Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta
2019
Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia
EJAAN
Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia
EJAAN

Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia
EJAAN
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia
Ejaan
Sriyanto
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

iv
EJAAN: Buku Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia
Penulis : Sriyanto
Penyunting : Endah Nur Fatimah
Penata Letak :
Diterbitkan oleh
Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan
Jalan Daksinapati Barat IV
Rawamangun
Jakarta Timur
Edisi revisi tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
“Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang
diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari
penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan
penulisan artikel atau karangan ilmiah."
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sriyanto
Ejaan: Buku Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia/
Sriyanto. Penyunting: Endah Nur Fatimah. Jakarta:
Badan Pengembangan Bahasa dan Pebukuan, 2019
ix; 117 hlm.; 21 cm.
ISBN: xxx-xxx-xxx-xx
1.
2.

PB
xxx xxx xxx xx
SRI
e

v
KATA PENGANTAR
Penggunaan bahasa Indonesia saat ini dalam kondisi yang
memprihatinkan. Kita menyaksikan di ruang-ruang publik
bahasa Indonesia nyaris tergeser oleh bahasa asing. Ruang
publik yang seharusnya merupakan ruang yang menunjukkan
identitas keindonesiaan melalui penggunaan bahasa Indonesia
ternyata sudah banyak disesaki oleh bahasa asing. Berbagai
papan nama, baik papan nama pertokoan, restoran, pusat-
pusat perbelanjaan, hotel, perumahan, periklanan, maupun
kain rentang hampir sebagian besar tertulis dalam bahasa
asing.
Mutu penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah,
baik ranah kedinasan, pendidikan, jurnalistik, ekonomi,
maupun perdagangan, juga belum membanggakan. Di dalam
berbagai ranah tersebut, campur aduk penggunaan bahasa
masih terjadi. Berbagai kaidah yang telah berhasil dibakukan
dalam pengembangan bahasa juga belum sepenuhnya
diindahkan oleh para pengguna bahasa.
Sementara itu, para pejabat negara, para cendekia, dan
tokoh masyarakat, termasuk tokoh publik, yang seharusnya
memberikan keteladanan dalam berbahasa Indonesia
ternyata juga belum dapat memenuhi harapan masyarakat.
Penghargaan kebahasaan yang pernah diberikan kepada
para tokoh masyarakat tersebut tampaknya belum mampu
memotivasi mereka untuk memberikan keteladanan dalam
berbahasa Indonesia.

vi
Berbagai persoalan tersebut menunjukkan bahwa
upaya pembinaan bahasa Indonesia pada berbagai lapisan
masyarakat masih menghadapi tantangan yang cukup
berat. Oleh karena itu, Badan Pengembangan Bahasa dan
Perbukuan melalui Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra
serta Bidang Pemasyarakatan—masih perlu bekerja keras
untuk membangkitkan kembali kecintaan dan kebanggaan
masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Upaya itu ditempuh
melalui peningkatan sikap positif masyarakat terhadap
bahasa Indonesia dan peningkatan mutu penggunaan bahasa
Indonesia dalam berbagai ranah. Upaya itu juga dimaksudkan
agar kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, baik sebagai
bahasa nasional maupun bahasa negara, makin mantap di
tengah terpaan gelombang globalisasi saat ini.
Untuk mewujudkan itu, telah disediakan berbagai bahan
rujukan kebahasaan dan kesastraan, seperti (1) pedoman
ejaan, (2) tata bahasa baku, (3) pedoman istilah, (4) glosarium,
(5) kamus besar bahasa Indonesia, dan (6) berbagai kamus
bidang ilmu. Selain itu, juga telah dilakukan berbagai kegiatan
kebahasaan dan kesastraan, seperti pembakuan kosakata
dan istiah, penyusunan berbagai pedoman kebahasaan, dan
pemasyarakatan bahasa Indonesia kepada berbagai lapisan
masyarakat.
Terkait dengan kegiatan pemasyarakatan bahasa
Indonesia, terutama yang berupa penyuluhan bahasa, juga
telah disusun sejumlah bahan dalam bentuk seri penyuluhan
bahasa Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Seri
Penyuluhan Bahasa Indonesia: Ejaan ini. Hadirnya buku seri

vii
penyuluhan ini dimaksudkan sebagai bahan penguatan dalam
pelaksanaan kegiatan pemasyarakatan bahasa Indonesia yang
baik dan benar kepada berbagai lapisan masyarakat.
Penerbitan buku ini tidak terlepas dari kerja keras
penyusun, yaitu Drs. Sriyanto, M.M., M.Pd., dan penyunting,
Endah Nur Fatimah, S.Pd. Untuk itu, kami menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan kepada yang
bersangkutan.
Mudah-mudahan buku ini bermanfaat, baik bagi masyarakat
maupun penyuluh bahasa yang bertugas di lapangan.
Jakarta, Oktober 2019

Hurip Danu Ismadi
Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra

viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................v
DAFTAR ISI..............................................................................vi
1. PENDAHULUAN...................................................................1
1.1 Pengertian Ejaan................................................................6
1.2 Ejaan yang Pernah Berlaku dalam
Bahasa Indonesia................................................................7
1.3 Ejaan dan Transliterasi......................................................11
2. PEMAKAIAN HURUF.......................................................17
2.1 Pemakaian Huruf dalam Bahasa Indonesia.....................17
2.2 Pemakaian Huruf Kapital..................................................20
3. PENULISAN KATA............................................................33
3.1 Penulisan Gabungan Kata Berimbuhan...........................33
3.2 Penulisan Kata Depan........................................................42
3.3 Penulisan Partikel..............................................................45
3.4 Penulisan Singkatan dan Akronim ...................................48
3.5 Penulisan Angka dan Lambang Bilangan.........................62
3.6 Penulisan Kata Ganti dan Kata Sandang.........................69
4. PEMAKAIAN TANDA BACA ...........................................73
4.1 Tanda Titik..........................................................................73
4.2 Tanda Koma........................................................................75
4.3 Tanda Titik Koma...............................................................80
4.4 Tanda Titik Dua..................................................................83
4.5 Tanda Hubung....................................................................87
4.6 Tanda Pisah........................................................................89
4.7 Tanda Tanya.......................................................................90
4.8 Tanda Seru..........................................................................91
4.9 Tanda Elipsis......................................................................92

ix
4.10 Tanda Petik.......................................................................94
4.11 Tanda Kurung ..................................................................95
4.12 Tanda Garis Miring..........................................................96
4.13 Tanda Apostrof..................................................................98
5. PENULISAN UNSUR SERAPAN...................................101
5.1 Ketentuan Umum Penulisan Unsur Serapan..................103
5.2 Pengelompokan Unsur Serapan........................................104
5.2.1 Tulisan Tetap, tetapi Ucapan Berubah...................104
5.2.2 Tulisan dan Lafal Berubah .....................................105
5.2.3 Unsur Serapan yang Sudah Lazim .........................106
6. PENUTUP...........................................................................113
DAFTAR PUSTAKA..............................................................115

1
1. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kita kegiatan tulis-menulis sudah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Para siswa harus
menulis tugas dari gurunya. Para guru harus menulis
rencana pembelajarannya. Begitu pula para mahasiswa
dan dosen. Para pekerja di kantor harus menulis surat
atau laporan kegiatan. Para wartawan dan insan
media massa harus menulis berita yang akan dimuat di
medianya. Pendek kata, hampir semua aktivitas manusia
tidak dapat dilepaskan dari kegiatan tulis-menulis.
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam
kegiatan tulis-menulis tersebut. Salah satunya adalah
penggunaan bahasanya. Penggunaan bahasa itu meliputi
penggunaan ejaan, pemilihan kata, penyusunan kalimat,
dan pembuatan paragraf. Semua unsur itu mempunyai
kedudukan yang sama. Kita harus menaruh perhatian
yang sama ketika menulis. Namun, dalam praktiknya

2
banyak orang yang kurang memperhatikan kaidah
ejaan saat menulis. Akibatnya, banyak sekali kesalahan
penggunaan ejaan. Kita perha­ tikan tulisan pendek
berikut!
Tulisan 1
(1) Adapun bagian kedua (bagian bawah, yaitu catat­
an kaki), maka ia berfungsi sebagai penjelasan dari
bagian pertama (atas). (2) Di dalam bagian ini saya
mentakhrij hadits-hadits yang saya bawakan pada
bagian pertama, dengan menerangkan lebih jauh
tentang lafazh dan jalan periwayatannya, ditambah
dengan penjelasan tentang sanad syahid (penguat),
pujian, dan celaan ulama pada perawi, juga penshahihan
dan pendha’ifan, sesuai dengan ketentuan ilmu
hadits yang mulia dan kaidah-kaidahnya. (3) Dalam
beberapa jalan periwayatan banyak dijumpai lafazh-
lafazh dan tambahan-tambahan yang tidak dijumpai
pada jalan periwayatan yang lainnya , oleh karena
itu jika memungkinkan dan serasi dengan lafazh
aslinya, maka saya tambahkan pada lafazh tersebut
di bagian atas, kemudian saya beri isyarat tambahan
tersebut dengan meletakkannya dalam kurung siku
({…}), tanpa saya berikan keterangan siapa yang
meriwayatkannya secara sendiri tambahan tersebut,
dari para perawi lafazh aslinya. (Diambil dari buku
terbitan di Jakarta/139 kata)

3
Tulisan 2
(1) Adapun bagian kedua (bawah/catatan kaki) berfungsi
sebagai penjelasan dari bagian pertama (atas). (2) Di
dalam bagian ini saya mentakhrij hadis-hadis yang saya
bawakan pada bagian pertama dengan menerangkan
lebih jauh tentang lafal dan jalan periwayatannya
serta ditambah dengan penjelasan tentang sanad,
syahid (penguat), pujian, dan celaan ulama pada
perawi. (3) Dalam bagian ini juga diberikan keterangan
penyahihan dan pendaifan sesuai dengan ketentuan
ilmu hadis yang mulia dan kaidah-kaidahnya. Dalam
beberapa jalan periwayatan banyak dijumpai lafal dan
tambahan yang tidak dijumpai pada jalan periwayatan
yang lainnya. (4) Oleh karena itu, jika memungkinkan
dan serasi dengan lafal aslinya, saya tambahkan pada
lafal tersebut di bagian atas. (5) Kemudian, saya beri
isyarat tambahan tersebut dengan meletakkannya
dalam kurung siku ({…}) tanpa keterangan perawinya
secara terpisah dari perawi lafal aslinya. (128 kata)
Tulisan yang digarisbawahi pada tulisan (1)
memperlihatkan kesalahan, baik kesalahan ejaan maupun
pilihan kata. Setelah dibandingkan dengan perbaikannya,
dapat diberikan catatan sebagai berikut.
(1) Jumlah katanya dapat dihemat. Tulisan (1) ter­ diri atas
139 kata, sedangkan tulisan (2) ter­ di­ri atas 128 kata.
Dengan demikian, terda­ pat 11 kata yang dihemat
untuk tulisan pendek itu.

4
(2) Kalimat dipecah agar komunikatif. Tulisan (1) terdiri
atas 3 kalimat, sedangkan tulisan (2) terdiri atas 5
kalimat. Kalimat (2) dan (3) pada tulisan (1) terlalu
panjang sehingga masing-masing dapat dipecah menjadi
dua kalimat. Dengan demikian, pemahaman kalimat
terse­but lebih mudah.
(3) Tidak kurang dari enam belas kesalahan ejaan terdapat
dalam tulisan pendek tersebut, termasuk penggunaan
tanda koma (,). Kesalahan penulisan kata yang terdapat
tulisan di atas beserta perbaikannya adalah sebagai
berikut.
Salah Perbaikannya
mentakhrij men-takhrij
hadits-hadits hadis-hadis
lafazh lafal
syahid syahid (tidak miring)
penshahihan penyahihan
pendha’ifan pendaifan
Kata takhrij bukan kata bahasa Indonesia. Oleh karena itu,
kata tersebut ditulis dengan huruf miring. Jika kata takhrij
diberi awalan, harus digunakan tanda hubung sehingga
tulisan yang benar adalah men- takhrij. Dalam bahasa
Indonesia tidak terdapat gabungan huruf konsonan ts, zh, sh,
dan dh seperti pada kata hadits, lafazh, penshahihan, dan
pendha’ifan. Kata hadis, sahih, dan daif sudah menjadi bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, tulisan­ nya harus sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia. Jadi, yang benar adalah hadis, lafal,

5
penyahihan, dan pendaifan. Khusus untuk kata penyahihan
dan pendaifan, perlu ada penjelasan. Kata penyahihan dipilih
kare­na kata dasar sahih yang mendapat imbuhan peng-…-
an menjadi penyahihan seperti kata salah dan salep menjadi
penyalihan dan penyalepan, bukan pensalihan dan pensalepan.
Selanjutnya, kata dasar yang benar adalah daif (tanpa apostrof
atau sering disebut tanda koma di atas). Oleh karena itu, yang
benar adalah pendaifan, bukan penda’ifan. Kemudian, kata
syahid sudah menjadi kata bahasa Indonesia. Oleh karena itu,
kata tersebut tidak perlu ditulis dengan huruf miring.
Kesalahan penggunaan tanda koma (,) dalam tulisan
(1) sebanyak 8: 5 kesalahan terdapat da­ lam kalimat
(1) dan (2) serta 3 kesalahan terdapat dalam kalimat
(3). Sebanyak lima kesalahan penggunaan tanda koma
terdapat sebelum kata maka, dengan, ditambah, juga, dan
sesuai. Lalu, tiga kesalahan lagi terdapat dalam kalimat
(3), yaitu sebelum kata oleh, karena itu, kemudian, dan
dari. Perbaikannya dapat dilihat dalam tulisan (2).
Bagaimana pendapat Anda? Perlu diketahui bahwa
tulisan di atas diambil secara utuh, tanpa perubahan
se­dikit pun. Namun, nama pengarang dan penerbitnya
tidak dicantumkan agar tidak menimbulkan salah
paham. Yang jelas buku tersebut terbit di Jakarta.
Contoh kasus di atas memberikan gambaran kepada kita
bahwa kesalahan penggunaan ejaan masih sangat marak
dalam dunia tulis-menulis. Tulisan berikut menguraikan
berbagai kesa­ lahan dalam penerapan kaidah ejaan
bahasa Indonesia.

6
1.1 Pengertian Ejaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ejaan
adalah kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata,
kalimat, dan sebagainya) dalam tulisan (huruf-huruf)
serta penggunaan tanda baca (KBBI). Penjelasan itu
mengandung pengertian bahwa ejaan hanya terkait
dengan tata tulis yang meliputi pemakaian huruf,
penulisan kata (termasuk penulisan kata atau istilah
serapan), dan pemakaian tanda baca. Dalam ejaan
tidak terdapat kaidah pemilihan kata atau penyusunan
kalimat.
Pada kenyataannya banyak orang yang salah dalam
memahami Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
(Pedoman Ejaan). Jika orang ditanya apakah Anda tahu
arti slogan yang berbunyi, “Mari kita gunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar,” kebanyakan jawaban
yang terlontar adalah bahasa Indonesia yang sesuai
dengan Pedoman Ejaan. Jawaban itu tidak tepat karena
Pedoman Ejaan hanya sebagian kecil dari kaidah bahasa
Indonesia. Dalam slogan di atas terdapat dua hal penting,
yaitu (1) bahasa Indonesia yang baik dan (2) bahasa
Indonesia yang benar. Bahasa Indonesia yang baik adalah
bahasa Indo­ nesia yang penggunaannya sesuai dengan
situasi komu­ nikasi, sedang­ kan bahasa Indonesia yang
benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya
sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Kaidah bahasa
Indonesia itu meliputi tata bu­ nyi, tata bentuk kata, tata
kalimat, dan tata tulis. Tata tulis itulah yang disebut
ejaan.

7
1.2 Ejaan yang Pernah Berlaku dalam Bahasa Indonesia
Tahukah Anda apa nama ejaan yang berlaku dalam
bahasa Indonesia saat ini? Anda betul jika jawaban Anda
adalah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Namun, jika dita­ nya sejak kapan PUEBI berlaku, Anda
mungkin ragu-ragu menjawabnya. Lalu, jika ditanya lagi
apa nama ejaan yang berlaku sebelumnya, Anda mungkin
juga tidak dapat menjawab dengan cepat dan tepat.
Walaupun begitu, Anda yakin bahwa ada ejaan yang
pernah berlaku sebelum PUEBI. Dengan kata lain, ejaan
yang pernah berlaku dalam bahasa Indonesia lebih dari
satu.
Sejak bahasa Indonesia masih bernama bahasa Melayu
sudah ada ejaan yang berlaku. Sesuai dengan nama
penulisnya, ejaan yang berlaku pada zaman Belanda
itu bernama Ejaan van Ophuijsen. Ejaan yang mulai
berlaku sejak tahun 1901 itu terdapat dalam Kitab Logat
Melajoe. Setelah Indonesia merdeka, disusunlah ejaan
baru yang merupakan perbaikan Ejaan van Ophuijsen.
Ejaan itu diberi nama Ejaan Republik atau Ejaan
Soewandi. Tampaknya, pemilihan nama Ejaan Republik
di­kaitkan dengan peristiwa sejarah kemerdekaan negara
kita dan pemilihan nama Ejaan Soewandi dikaitkan
dengan nama Menteri Pendidikan dan Kebu­ dayaan
waktu itu, yaitu Mr. Soewandi. Ejaan Soewandi mulai
berlaku tahun 1947. Setelah lebih dari dua dasawarsa
Ejaan Soewandi berlaku, diberlakukan Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disem­ purnakan atau EYD. Ejaan itu

8
diresmikan pemberlakuannya oleh Presiden Soeharto
berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun
1972. Kemudian, pada tahun 2015 terbit Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
50 Tahun 2015. Ejaan ini merupakan revisi EYD.
Setiap pergantian ejaan tentu ada perubahan. Di
bawah ini diberikan beberapa contoh perubahan Ejaan
van Ophuijsen, Ejaan Republik, dan Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan.
Ophuijsen Republik EYD
djoedjoer djudjur jujur
setoedjoe setudju setuju
tjoetjoe tjutju cucu
setjertjah setjertjah secercah
chawatir chawatir khawatir
choesoes chusus khusus
njanji njanji nyanyi
menjoeroeh menjuruh menyuruh
sjarat sjarat syarat
moesjawarah musjawarah musyawarah
sajang sajang sayang
bajang bajang bayang
bapa’ bapak bapak
tida’ tidak tidak
ma’mur makmur makmur
ra’yat rakyat rakyat
‘ilmu ilmu ilmu

9
‘akal akal akal
Jum’at Jumat Jumat
do’a doa doa
ma’af maaf maaf
ta’at taat taat
poera2 pura2 pura-pura
koera2 kura2 kura-kura
Dari contoh di atas dapat kita catat bahwa terdapat
perubahan huruf seperti berikut.
Ophuijsen Republik EYD
tj tj c
dj dj j
j j y
nj nj ny
ch ch kh
sj sj sy
oe u u
Dalam PUEBI tidak terdapat perubahan huruf.
Namun, ada sejumlah perbaikan dan penambahan
kaidah. Penambahan kaidah yang cukup banyak adalah
penambahan kaidah penulisan unsur serapan dari bahasa
Arab.
Dalam praktik berbahasa, kita masih sering menemukan
tulisan Jum’at, do’a, da’wah, atau ma’af, terutama dalam
buku-buku agama Islam. Sudah tentu tulisan seperti itu
tidak sesuai dengan PUEBI. Sebagaimana dapat kita lihat
pada per­ ban­dingan tulisan di atas, tanda apostrof hanya

10
digu­nakan dalam tulisan yang menggunakan Ejaan van
Ophuijsen. Dengan kata lain, cara penulisan seperti itu
merupakan sisa-sisa aturan lama.
Dalam kaidah ejaan memang terdapat tanda apostrof.
Namun, tanda apostrof atau tanda penyingkat itu hanya
dipakai untuk menuliskan kata dalam bahasa seni
atau bukan dalam bahasa ragam tulis resmi. Misalnya,
tulisan ‘kan yang berasal dari akan atau ‘lah dari telah
hanya ada dalam bahasa seni seperti puisi atau syair
lagu. Penyingkatan tahun 2018 menjadi ’18 dibenarkan
berdasarkan kaidah ejaan. Akan tetapi, dalam tulisan
resmi, seperti, surat dinas, penyingkatan tahun seperti itu
tidak dibenarkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa dalam bahasa Indonesia tidak ada kata baku yang
ditulis dengan tanda apostrof.
PUEBI su­ dah diberlakukan. Namun, bagai­ mana
kenyataan penerapannya? Tidaklah berle­ bihan kalau ada
orang yang menyatakan bahwa kita dengan mudah dapat
menemukan kesalahan di mana pun kita berada. Dalam
kegiatan-kegiatan di kantor, di sekolah-sekolah, atau di
kampus-kampus, misalnya, kita dapat membaca jadwal
kegiatan atau jadwal pembe­ lajaran yang mencantumkan
waktu­ nya. Pada umumnya pencatuman waktu itu
diketik secara salah, yaitu digu­ nakan tanda hubung
untuk menyatakan sampai dengan (08.00-12.00). Untuk
menyata­ kan sampai dengan, kita dapat menggunakan
tanda pisah (—), bukan tanda hubung (-). Jadi, penulisan
yang benar adalah 08.00—12.00. Di jalan-jalan di kota

11
kita dapat dengan mudah mene­­ mukan kesalahan,
misalnya, penulisan singkatan PT (perseroan terbatas).
Pada umumnya orang menulis singkatan itu dengan
tanda titik (PT.). Penulisan seperti itu tidak benar. Yang
benar adalah tanpa titik (PT). Persoalan itu sebenarnya
persoalan yang sangat sepele. Namun, kesalahan seperti
itu dapat kita temukan di mana-mana. Penyelesaiannya
sangat mudah. Kita dapat mem­ buka PUEBI. Dengan
mudah kita dapat menemukan jawabannya.
Barangkali pertanyaan yang muncul sehubungan
dengan persoalan di atas adalah mengapa kesalahan
itu terus terjadi? Padahal, persoalannya sangat sepele.
Anda mung­ kin setuju jika dikatakan bahwa kesalahan
itu berulang karena orang pada umumnya kurang
peduli terhadap kaidah ejaan. Banyak orang yang hanya
menggunakan perasaan ketika menghadapi masalah
dalam penulisan kata atau kalimat. Seharusnya, nalar
yang kita gunakan. Secara nalar dalam menentukan
tulisan yang benar, kita harus mencari sumber informasi
kaidahnya, bukan dengan perasaan.
1.3 Ejaan dan Transliterasi
Di atas telah dijelaskan bahwa ejaan adalah kaidah
tentang cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat,
dan sebagai­ nya) dalam tulisan (huruf-huruf) serta cara
menggu­ nakan tanda baca. Perlu dicatat bahwa ejaan
tersebut digunakan untuk mengatur tata cara penulisan
dalam bahasa Indonesia. Selain ejaan, ada pedoman yang
mengatur tata cara alih aksara. Salah satu pedoman alih

12
aksara itu adalah pedoman alih aksara Arab-Latin. Tata
cara alih aksara Arab-Latin itu diatur dengan Keputusan
Bersa­ ma Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan
Kebu­ dayaan RI Nomor 158 Tahun 1987.
Apa persamaan dan perbedaan antara pedoman ejaan
dan pedoman transliterasi Arab-Latin? Persamaannya
adalah bahwa baik pedoman ejaan maupun pe­ doman
trasliterasi sama-sama mengatur cara penulisan dengan
huruf Latin. Perbedaannya adalah bahwa ejaan bahasa
Indonesia mengatur tata cara penulisan dalam bahasa
Indonesia, baik yang me­ nyang­ kut penggunaan hu­ ruf,
penggunaan angka dan lambang bilangan, penu­ lisan
kata, penulisan unsur serapan, maupun penggunaan
tanda baca. Adapun pedoman transliterasi Arab-Latin
hanya mengatur tata cata mengalihaksarakan huruf
Arab ke dalam huruf Latin. Artinya, ejaan bahasa
Indonesia menga­ tur penulisan dalam bahasa Indonesia,
sedangkan pedoman transilterasi mengatur penulisan
bukan bahasa Indonesia. Penulisan kata atau istilah yang
sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia diatur dengan
ejaan. Sebaliknya, kata atau istilah, termasuk kalimat,
bahasa asing (Arab) diatur dengan pedoman transliterasi
Arab-Latin. Oleh karena itu, kata atau istilah asing
yang ditulis dengan huruf Latin dalam bahasa Indonesia
ditulis dengan huruf miring. Namun, kata atau istilah
yang sudah diindonesiakan tidak ditulis dengan huruf
miring.

13
Bahasa Indonesia menyerap kata atau istilah dari
berbagai bahasa asing, termasuk dari bahasa Arab. Jauh
sebelum bahasa Inggris, Belanda, atau Portugis, bahasa
Arab sudah masuk ke dalam bahasa Indonesia yang waktu
itu masih bernama bahasa Melayu. Berikut diberikan
contoh kata-kata yang berasal dari bahasa Arab.
Senin makna saat mudarat
Selasa maksud waktu rida
Rabu iklan kertas kurban
Kamis ilmu kubur takwa
Jumat kursi kiamat jadwal
Sabtu kitab kiblat perlu
Ahad taat takdir syarat
wajib
Akan tetapi, istilah-istilah berikut belum diserap ke
da­lam bahasa Indonesia: mad ‘iwad, mad tabi’i, idgam
bigunnah, da’wah billisan, atau akhlaqul karimah.
Dalam tulisan pendek di atas terlihat bahwa sejumlah
kata yang berasal dari bahasa Arab yang sudah menjadi
kata bahasa Indonesia tidak ditulis dengan huruf miring.
Namun, istilah yang masih merupakan istilah asing
ditulis dengan huruf miring. Penulisan kata atau istilah
yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia di­ lakukan
menurut kaidah ejaan bahasa Indonesia, se­ dangkan kata
atau istilah asing ditulis dengan mengikuti aturan dalam
Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
Barangkali pertanyaan yang muncul adalah kapan
suatu kata atau istilah sudah dikategorikan sebagai kata

14
Indonesia atau belum dianggap sebagai kata atau istilah
bahasa Indonesia. Secara umum dapat dinyatakan bahwa
sebuah kata atau istilah sudah dikategorikan sebagai
kata atau istilah Indonesia apabila kata atau istilah itu
sudah biasa digunakan dalam bahasa Indonesia. Kata
atau istilah itu biasanya sudah tertera dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dengan kata lain, kata
atau istilah yang sudah tercantum dalam KBBI sudah
dapat dikategorikan sebagai kata bahasa Indonesia,
kecuali ada tandanya secara khusus.
Bagaimana dengan kata-kata seperti dakwah, doa,
takwa, atau kalbu? Dalam buku-buku agama Islam
kata-kata itu sering ditulis da’wah, do’a, taqwa, atau
qalbu. Sesung­ guhnya masalah itu sudah jelas. Kata-
kata tersebut memang berasal dari bahasa Arab, tetapi
sudah menjadi kata-kata bahasa Indonesia. Oleh karena
itu, penu­ lisan­ nya harus taat pada kaidah ejaan bahasa
Indonesia. Menurut kaidah ejaan, tidak ada kata baku
bahasa Indonesia yang ditulis dengan tanda apostrof.
Tanda apostrof hanya digunakan untuk menulis bagian
kata atau bagian angka tahun yang dihilangkan. Aturan
itu hanya berlaku untuk bahasa seni atau tulisan yang
tidak resmi. Dalam surat dinas, misalnya, tahun tidak
disingkat dengan tanda apostrof, tetapi untuk pembuatan
jadwal, karena keter­ batasan ruangan, tanda apostrof
dapat digunakan. Huruf q juga tidak digunakan untuk
menulis kata dalam bahasa Indonesia, kecuali penulisan
nama. Dengan demikian, penu­­ lisan yang benar adalah
dakwah, doa, takwa, dan kalbu.

15
Dalam surat-surat resmi sering digunakan tulisan
salam dengan menggunakan bahasa Arab yang ditulis
dengan huruf Latin. Bagaimana penulisan ucapan salam
tersebut? Penu­ lisan­ nya mengikuti aturan ejaan bahasa
Indonesia atau aturan transliterasi Arab-Latin? Apakah
kata ‘alaikum ditulis dengan tanda apostrof atau tidak?
Apakah ucapan salam itu ditulis dengan huruf miring atau
tidak? Jawabannya sudah jelas. Ucapan salam tersebut
bukan bahasa Indonesia meskipun ditulis dengan huruf
Latin. Oleh karena itu, penulisannya mengikuti kaidah
transliterasi Arab-Latin. Ucapan salam ditulis dengan
tanda apostrof dan huruf miring. Jadi, tulisan yang benar
adalah assālamu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

16

17
2. PEMAKAIAN HURUF
Dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
telah diatur pemakaian huruf, baik huruf biasa, huruf
kapital, maupun huruf miring. Di samping itu, diatur
pula pemenggalan kata yang tidak dapat dilepaskan
dengan pemakaian huruf. Di bawah ini dibahas satu per
satu permasalahan yang sering muncul dalam berbahasa
sehari-hari.
2.1 Pemakaian Huruf dalam Bahasa Indonesia
Huruf yang dipakai dalam bahasa Indonesia dibedakan
menjadi dua, yaitu huruf konsonan dan huruf vokal.
Jumlah huruf konsonan ada 26 huruf dan huruf vokal ada
5 huruf. Di samping itu, terdapat 3 diftong, yaitu ai, au,
dan oi, dan 4 gabungan huruf konsonan, yaitu kh, ng, ny,
dan sy. Dalam pedoman ejaan dicantumkan nama setiap
huruf. Namun, masih banyak orang yang menyebut nama
huruf tidak sesuai dengan nama huruf tersebut. Ambillah

18
contoh penyebutan huruf c. Huruf sesudah b itu lebih
sering disebut /se/ daripada /ce/. Padahal, penyebutan
yang benar adalah /ce/. Begitu pula penyebutan huruf q.
Huruf yang seharusnya disebut ki itu sering disebut kiu.
Orang sering melakukan kesalahan pula ketika
membaca singkatan AC dan WC. Kebanyakan orang
membaca singkatan itu dengan a-se dan we-se.
Seharusnya, kedua singkatan itu dibaca a-ce dan we-ce.
Kedua singkatan itu harus dibaca seperti nama abjad
bahasa Indonesia. Banding­ kan dengan singkatan WHO,
WTO, HP, atau TKO yang dibaca we-ha-o, we-te-o, ha-pe,
atau te-ka-o. Orang juga sering membaca singkatan MTQ
dengan em-ti-kiu. Bukankah cara membaca seperti itu
aneh? Singkatan itu berasal dari bahasa Arab kemu­ dian
dibaca keinggris-inggrisan. Kalau dibaca sesuai dengan
asalnya, bacaan yang benar adalah mim-ta-qaf. Akan
terasa aneh jika ada kalimat yang berbunyi, “Menteri
Agama akan membuka acara mim-ta-qaf di kota itu.”
Aneh bukan? Singkatan itu berasal dari bahasa Arab
kemudian ditulis dengan huruf Latin. Lalu, sing­ katan itu
dibaca keinggris-inggrisan.
Di atas telah disebutkan bahwa dalam bahasa
Indonesia terdapat empat gabungan huruf konsonan,
yaitu kh, ng, ny, dan sy. Penggunaan gabungan huruf
konsonan selain itu tidak baku, kecuali nama. Di bawah
ini diberikan contoh kata yang tidak baku karena
menggunakan gabungan huruf konsonan yang baku.

19
Tidak Baku Baku
bhakti (sosial) bakti (sosial)
budhi budi
dharma darma
wudhu wudu
Ramadhan Ramadan
maghrib magrib
bathin batin
shalat/sholat salat
ashar asar
shubuh subuh
ustadz ustaz
ustadzah ustazah
hadits hadis
adzan azan
dhuha duha
Bagaimana dengan nama organisasi istri pegawai
negeri yang ditulis dengan Dharma Wanita? Apakah
nama itu harus juga diubah? Jawabannya tidak. Dharma
Wanita adalah nama, yaitu nama organisasi. Nama, baik
nama orang, nama organisasi, maupun nama diri lainnya,
tidak perlu dipersoalkan. Dengan kata lain, nama diberi
kebebasan. Begitu pula semboyan yang diambil dalam
bahasa asalnya. Misalnya, semboyan bhinneka tunggal
ika yang ditulis dengan bh atau ing ngarsa sung tuladha
yang ditulis dengan dh tidak perlu disalahkan. Yang
perlu diatur adalah penulisan kata yang digunakan
secara umum.

20
Jika kita buka PUEBI, Bab I tentang pema­ kaian huruf,
akan kita dapati tanda bintang dua (**). Huruf yang diberi
tanda bintang dua adalah huruf q dan x. Catatannya
berbunyi, “Khusus untuk nama dan keperluan ilmu.” Hal
itu berarti bahwa dalam bahasa Indo­ nesia terdapat huruf
q dan x, tetapi hanya digunakan untuk menulis nama atau
untuk ke­ perluan ilmu. Dengan kata lain, secara umum
dapat dinyatakan bahwa tidak ada kata baku bahasa
Indonesia yang ditulis dengan huruf q dan x. Jika ada
be­berapa kata, hal itu dilakukan dengan per­ timbangan
tertentu. Misalnya, kata qari tetap ditulis dengan huruf
q karena kalau ditulis dengan k (kari), kata kari sudah
ada dalam bahasa Indonesia yang berarti ‘sayur gulai
yang diberi kunyit sehingga berwarna kuning’.
2.2. Pemakaian Huruf Kapital
Pemakaian huruf kapital sudah diatur dalam PUEBI.
Sekilas kaidah-kaidah itu tampak sederhana. Namun,
jika kita cer­ mati, persoalannya tidak semudah yang kita
bayangkan. Salah satu persoalan yang boleh dikatakan
tidak sederhana adalah penulisan nama diri dan bukan
nama diri. Lalu, apa yang dimaksud nama diri? Jika kita
buka KBBI, kita dapati bahwa nama diri berarti ‘nama
yang dipakai untuk menyebut diri sese­ orang, benda,
tempat tertentu, dan sebagainya’. Dalam mak­ na itu
terdapat kata tertentu yang dapat pula diartikan ‘sudah
pasti’. Dengan kata lain, dapat dinya­ takan bahwa nama
diri itu sudah pasti atau satu-satunya atau tidak ada
yang lain. Contohnya adalah penulisan sekolah dasar

21
atau perguruan tinggi. Kebanyakan orang cenderung
menulis jenjang pendi­ dikan itu dengan huruf awal
kapital. Padahal, keduanya bukan nama diri. Marilah
kita perhatikan contoh pemakaianya dalam kalimat
berikut!
1) Mereka adalah siswa sekolah dasar (SD) se-
Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
2) Kebanyakan karyawan kantor itu adalah tamatan
perguruan tinggi negeri (PTN).
Pada contoh di atas terdapat dua jenjang pendidikan,
yaitu sekolah dasar dan perguruan tinggi negeri. Kedua
jenjang pendidikan itu bukan bagian nama diri. Oleh
karena itu, huruf kapital tidak digunakan. Bandingkan
dengan kalimat berikut!
3) Mereka adalah siswa Sekolah Dasar Negeri 03
Pagi Lubangbuaya, Jakarta Timur.
4) Para perwira di Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia itu kebanyakan tamatan Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian.
Di Indonesia, bahkan di dunia, nama Sekolah Dasar
Negeri 03 Pagi Lubangbuaya, Jakarta Timur hanya
satu-satunya. Nama Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
di Indonesia juga tidak ada duanya. Itulah yang disebut
nama diri, dalam hal ini nama diri lembaga. Jika sekolah
dasar negeri dan perguruan tinggi menjadi bagian nama
diri, penulisan setiap awal kata meng­ gunakan huruf
kapital.

22
Lebih dari sepuluh kaidah pemakaian huruf kapital
yang tercantum dalam PUEBI. Namun, tidak semua
menimbulkan masalah. Misalnya, kaidah tentang
penggunaan huruf kapital pada awal kalimat, awal setiap
unsur nama orang, nama agama, nama kitab suci jarang
menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pada bagian
penggunaan huruf kapital ini akan dibahas penggunaan
huruf kapital yang sering menimbulkan masalah. Di
bawah ini dikemukakan beberapa contoh kalimat yang
mengan­ dung kesalahan penggunaan huruf kapital.
1) Gelar Sarjana Hukum (S.H.) sudah diperoleh dua
tahun yang lalu.
2) Dalam rapat nasional itu hadir para Gubernur
dan Bupati/Wali Kota seluruh Indonesia.
3) Presiden Republik Indonesia bebe­ rapa waktu
yang lalu menghadiri sidang tahunan PBB. Dalam
kesempatan itu presiden menekankan pentingnya
kedaulatan setiap negara dalam mengatasi
persoalan dalam negeri.
4) Setiap hari Jumat ada mata pelajaran bahasa
Indonesia di kelas itu.
5) Sudah 5 tahun yang lalu mereka tinggal di jalan
Jenderal Sudirman.
6) Banyak turis mancanegara yang berkunjung ke
pulau Bali pada perayaan tahun baru.
7) Kita dapat membeli jeruk Bali di pasar tradisional.
8) Harga batik solo di Pasar Tanahabang Jakarta
sangat bervariasi.

23
9) Seorang Ayah mempunyai tanggung jawab yang
besar terhadap ekonomi keluarganya.
10) Kata Adik, “Besok ayah pulang dari luar kota,
Bu.”
Kata atau kelompok kata yang dicetak miring dalam
kalimat tersebut adalah kata atau kelompok kata yang
ber­masalah jika dilihat dari segi penggunaan huruf.
Berikut penjelasannya satu per satu.
Penggunaan huruf kapital pada awal kata Sarjana
Hukum (S.H.) pada kalimat (1) tidak benar karena gelar
akademik tidak didahului nama orang. Dalam PUEBI
dinyatakan bah­ wa gelar akademik ditulis dengan huruf
awal kapital jika diikuti atau didahului nama orang. Kita
perhatikan contoh di bawah ini!
Salah Benar
Sarjana Ekonomi (S.E.) sarjana ekonomi (S.E.)
Sarjana Pendidikan (S.Pd.) sarjana pendidikan (S.Pd.)
Insinyur (Ir.) insinyur (Ir.)
Doktor (Dr.) doktor (Dr.)
Ahmad, sarjana ekonomi Ahmad, Sarjana Ekonomi
Yoga, sarjana pendidikan Yoga, Sarjana Pendidikan
insinyur Stevanus Wangga Insinyur Stevanus Wangga
doktor Kusumastuti Doktor Kusumastuti
Penulisan nama jabatan gubernur, bupati, dan wali
kota yang diawali dengan huruf kapital seperti dalam
kalimat Dalam rapat nasional itu hadir para Gubernur
dan Bupati/Wali Kota seluruh Indonesia tidak benar.
Alasannya ada dua, yaitu (1) nama jabatan itu tidak

24
diikuti nama orang, instansi, atau tempat dan (2) nama
jabatan itu bukan pengganti nama orang tertentu. Hal
itu sesuai dengan aturan yang ada dalam PUEBI. Kita
perhatikan contoh di bawah ini!
Salah Benar
Camat camat
Lurah lurah
Bupati bupati
Wali Kota wali kota
Direktur direktur
Sekretaris Jenderal sekretaris jenderal
Menteri menteri
Presiden presiden
Rektor rektor
camat Pulogadung Camat Pulogadung
lurah Lubang Buaya Lurah Lubangbuaya
bupati Solok Bupati Solok
Wali Kota Surakarta Wali Kota Surakarta
direktur STAN Direktur PKN STAN
menteri Keuangan RI Menteri Keuangan RI
presiden Soekarno Presiden Soekarno
rektor UGM Rektor UGM
Nama jabatan yang tidak diikuti nama orang,
instansi, atau tempat ditulis dengan huruf awal kapital.
Jika nama jabatan itu juga ditulis dengan huruf awal
kapital, dapat dipastikan sebagai pengganti nama orang
tertentu. Kata presiden yang ditulis dengan huruf tebal

25
pada kalimat berikut ditulis dengan huruf awal kapital.
Presiden Republik Indonesia beberapa waktu yang lalu
mengahadiri sidang tahunan PBB. Dalam kesempatan
itu Presiden menekankan pen­ tingnya kedaulatan setiap
negara dalam mengatasi per­ soalan dalam negeri. Dalam
kalimat itu dapat dipas­ tikan bahwa kata presiden
yang dicetak tebal tersebut adalah Presiden Republik
Indonesia, bukan presiden negara lain. Oleh ka­ rena itu,
kata presiden tersebut ditulis dengan huruf awal kapital.
Salah satu kaidah penggunaan huruf kapital adalah
bahwa huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama
bangsa, suku bangsa, dan bahasa. Di bawah ini beberapa
contohnya.
Salah Benar
Negara Indonesia negara Indonesia
Negara Saudi Arabia negara Saudi Arabia
Suku Dani suku Dani
Suku Madura suku Madura
Bahasa Indonesia bahasa Indonesia
Bahasa Bugis bahasa Bugis
Akan tetapi, kata bahasa dalam kalimat Setiap hari Jumat
ada mata pelajaran bahasa Indonesia di kelas itu yang
ditulis dengan huruf awal huruf kecil tidak benar karena
nama mata pelajarannya adalah Bahasa Indonesia, bukan
Indonesia. Apa nama mata pelajaran­ nya? Jawabnya
adalah Bahasa Indonesia, bukan Indonesia. Oleh karena
itu, kata bahasa pada nama mata pelajaran itu ditulis
dengan huruf awal kapital, yaitu Bahasa Indonesia.

26
Penulisan alamat yang menggunakan nama jalan
sering salah. Yang sering diragukan adalah penulisan
kata jalan. Apakah kata jalan itu termasuk bagian nama
jalan tersebut atau bukan? Itu pertanyaannya. Kata jalan
pada kalimat Sudah 5 tahun yang lalu mereka tinggal di
jalan Jenderal Sudirman sudah benar atau seharusnya
diawali dengan huruf kapital? Ilustrasi berikut dapat
memjelaskan keraguan itu.
Di Jakarta Pusat ada tempat yang sangat dikenal oleh
para penggemar barang antik. Wilayah itu diberi nama
Jalan Surabaya. Jika ada orang yang bertanya di mana
tempat orang menjual barang antik di Jakarta Pusat,
jawabnya adalah Jalan Surabaya. Jawabannya bukan di
Surabaya karena jawaban terakhir itu nama ibu kota Jawa
Timur. Hal itu berarti bahwa nama jalan tersebut adalah
Jalan Surabaya, bukan Surabaya. Dengan kata lain,
kata jalan pada Jalan Surabaya menjadi bagian nama
jalan. Oleh karena itu, kata jalan pada Jalan Surabaya
ditulis dengan huruf awal kapital. Sebagai tambahan,
ada juga beberapa nama jalan di Jakarta yang hanya
menggunakan satu huruf, yaitu Jalan O atau Jalan G.
Orang tidak pernah mengatakan, “Ia tinggal di O atau Ia
tinggal di J.” Namun, orang akan mengatakan, “Ia tinggal
di Jalan O atau Ia tinggal di Jalan J.” Hal itu berarti
bahwa kata jalan menjadi bagian nama jalan tersebut.
Oleh karena itu, kata jalan pada Jalan O dan Jalan G
ditulis dengan huruf awal kapital. Dengan demikian,
kalimat di atas harus diperbaiki menjadi Sudah 5 tahun
yang lalu mereka tinggal di Jalan Jenderal Sudirman .

27
Kalimat (5), (6), dan (7) di atas merupakan contoh
per­soalan yang masih terkait. Kalimat (5) yang
berbunyi Banyak turis mancanegara yang berkunjung
ke pulau Bali pada perayaan tahun baru terkait dengan
penulisan nama geografi. Dalam kalimat itu kata
pulau ditulis dengan huruf awal kecil. Seharusnya,
kata pulau pada pulau Bali ditulis dengan huruf awal
kapital. Kata-kata seperti pulau, sungai, danau,
bukit, gunung, selat, teluk, dan laut ditulis dengan
huruf awal kapital jika menjadi bagian nama geografi.
Di bawah ini diberikan beberapa contohnya.
Salah Benar
pulau Bidadari Pulau Bidadari
sungai Musi Sungai Musi
danau Toba Danau Toba
bukit Barisan Bukit Barisan
gunung Slamet Gunung Slamet
teluk Bunaken Teluk Bunaken
laut Merah Laut Merah
Kata-kata seperti pulau, sungai, dan danau pada
kalimat di bawah ini ditulis dengan huruf kecil.
1) Banyak pulau di negara kita yang belum
berpenghuni.
2) Saat ini sungai di Jakarta tidak lagi menjadi
sarana transportasi.
3) Di wilayah terpencil itu keberadaan sebuah danau
sangat penting bagi kehidupan masyarakat.

28
Nama geografi yang menjadi bagian nama jenis ditulis
dengan huruf kecil. Kata bali pada kalimat Kita dapat
membeli jeruk Bali di pasar tradisional (kalimat 6)
seharusnya ditulis dengan huruf kecil. Jadi, kalimat (6)
yang benar adalah Kita dapat membeli jeruk bali di pasar
tradisional. Sebaliknya, kata solo pada batik Solo seperti
dalam kalimat (7) seharusnya ditulis dengan huruf awal
kapital. Jadi, kalimat (7) di atas dapat diperbaiki menjadi
Harga batik Solo di Pasar Tanahabang Jakarta sangat
bervariasi.
Barangkali muncul pertanyaan bagaimana menentukan
nama geografi yang menjadi bagian nama jenis. Nama jenis
yang mengandung nama geografi dapat dipilah menjadi
dua, yaitu nama jenis yang tergolong ke dalam biologi dan
nama jenis yang tidak tergolong ke dalam biologi. Dalam
ilmu biologi nama jenis atau spesies tanaman memiliki
nama Latinnya. Artinya, untuk mengetahui nama jenis
atau bukan, kita dapat melihat nama Latinnya. Jadi,
nama tanaman yang ada nama Latinnya termasuk nama
jenis. Oleh karena itu, nama jenis tersebut ditulis dengan
huruf kecil semua walaupun mengandung nama geografi.
Di bawah ini diberikan beberapa contoh nama jenis yang
tergolong ke dalam biologi.
kacang bogor (Voandzeia subterranean)
kacang dieng (Vicia faba)
jeruk bali (Citrus maxima)
jeruk garut (Citrus grandis)
terung bali (Solanum cyphopersicum)
terung belanda (Cyphonandra betacea)

29
Pada mulanya kata seperi bogor, dieng, bali, garut,
dan belanda adalah nama geografi. Oleh karena itu, kata-
kata itu ditulis dengan huruf kapital. Namun, setelah
menjadi bagian nama jenis, kata-kata tersebut ditulis
dengan huruf kecil.
Bagaimana dengan nama jenis yang tidak termasuk
biologi. Nama jenis, baik yang termasuk dalam ilmu
biologi maupun tidak, dapat disejajarkan dengan jenis
yang lain dalam kelompoknya. Jadi, nama jenis yang
termasuk biologi dapat ditentukan dengan mengetahui
nama Latinnya dan dapat pula disejajarkan dengan
jenis lain dalam kelompoknya. Untuk nama jenis yang
tidak termasuk ilmu biologi dapat diketahui dengan
menyejajarkannya dengan jenis yang lain dalam
kelompok­ nya. Kita perhatikan contoh di bawah ini.
gula jawa tahu sumedang kacang bogor jeruk bali
gula pasir tahu takwa kacang mede jeruk nipis
gula aren tahu isi kacang panjang jeruk limau
gula tebu tahu bacem kacang polong jeruk keprok
gula anggur tahu campur kacang hijau jeruk purut
gula tetes tahu gunting kacang kara jeruk mansi
gula kelapa tahu kupat kacang buncis jeruk sambal
Bagaimana dengan batik solo atau soto betawi? Kata solo
dan betawi ditulis dengan huruf awal kapital atau huruf
kecil? Batik solo dan soto betawi bukan nama jenis karena
keduanya tidak dapat disejajarkan dengan jenis lain, tetapi
dapat disejajarkan dengan nama geografi yang lain. Berikut
diberikan contoh nama geografi yang tidak menjadi nama jenis
dan nama geografi yang menjadi bagian nama jenis.

30
Nama Geografi
batik Solo soto Solo
batik Pekalongan soto Lamongan
batik Yogyakarta soto Kudus
batik Jambi soto Betawi
batik Madura soto Padang
batik Papua soto Banjar
batik Cirebon soto Bogor
batik Betawi soto Bandung
Nama Jenis
batik tulis soto ayam
batik cap soto daging
batik sablon soto mi
batik lurik soto sulung
batik truntum soto babat
batik lereng soto kikil
batik sidomukti batik parang rusak
Persoalan yang juga sering muncul yang terkait dengan
penggunaan huruf kapital adalah penggunaan huruf kapital
untuk kata yang menyatakan hubungan kekerabatan yang
dipakai sebagai sapaan dan sebagai penga­ cuan. Contoh
kesalahannya terlihat pada kalimat (9) dan (10) di atas. Kalimat
(9) di atas berbunyi Seorang Ayah mempunyai tanggung
jawab yang besar terhadap ekonomi keluarganya. Kalimat (10)
berbunyi Kata Adik,“Besok ayah pulang dari luar kota, Bu.”
Kata ayah memang termasuk kata yang menyatakan
hubungan kekerabatan, tetapi tidak semua kata yang
menyatakan hubungan kekerabatan ditulis dengan huruf

31
kapital. Kata yang menyatakan hubungan kekerabatan, seperti
saudara, adik, kakak, ibu, bapak, nenek, dan kakek, yang ditulis
dengan huruf awal kapital adalah yang digunakan sebagai
sapaan atau sebagai pengacuan. Kita perhatikan kalimat di
bawah ini.
1) Surat Saudara/Bapak sudah saya terima minggu yang
lalu.
2) Dalam acara itu Ibu dimohon memberikan sambutan.
3) Kalau tidak salah, Kakek akan ke Jakarta, ya Dik?
4) Saat memberikan uang itu, Ibu tidak bilang apa-apa,
Kak.
5) Dia mempunyai lima orang saudara yang tinggal di
kampung.
6) Sudah lama dia berpisah dengan bapak dan ibunya
karena belajar di luar negeri.
Kata saudara atau bapak pada kalimat (1) harus ditulis
dengan huruf awal kapital karena kedua kata itu termasuk
kata yang menyatakan hubungan kekerabatan dan digunakan
sebagai sapaan. Begitu pula kata ibu pada kalimat (2).
Adapun kata kakek dan ibu pada kalimat (3) dan (4) memang
tidak digunakan sebagai sapaan, tetapi digunakan sebagai
pengacuan. Istilah pengacuan yang digunakan dalam PUEBI
dapat disamakan dengan sapaan tidak langsung. Berbeda
halnya dengan kata saudara, bapak, dan ibunya pada kalimat
(5) dan (6). Dalam kalimat itu kata saudara serta bapak
dan ibunya tidak digunakan sebagai sapaan dan tidak pula
digunakan sebagai pengacuan. Oleh karena itu, kedua kata
tersebut ditulis dengan huruf kecil.

32
Berdasarkan penjelasan di atas, kalimat contoh kasus (1)—
(10) dapat diperbaiki menjadi seperti di bawah ini.
1a) Gelar sarjana hukum (S.H.) sudah diperoleh 2 tahun
yang lalu.
2a) Dalam rapat nasional itu hadir para gubernur dan
bupati/wali kota seluruh Indonesia.
3a) Presiden Republik Indonesia beberapa waktu yang
lalu mengahadiri sidang tahunan PBB itu. Dalam
kesempatan itu Presiden mene­ kankan pentingnya
kedaulatan setiap nega­ ra dalam mengatasi persoalan
dalam negeri.
4a) Setiap hari Jumat ada mata pelajaran Bahasa Indonesia
di kelas itu.
5a) Sudah 5 tahun yang lalu mereka tinggal di Jalan
Jenderal Sudirman.
6a) Banyak turis mancanegara yang berkunjung ke Pulau
Bali pada perayaan tahun baru.
7a) Kita dapat membeli jeruk bali di pasar tradi­ sional.
8a) Harga batik Solo di Pasar Tanah Abang Jakarta sangat
bervariasi.
9a) Seorang ayah mempunyi tanggung jawab yang besar
terhadap ekonomi keluarganya.
10a) Kata Adik, “Besok Ayah pulang dari luar kota, Bu.”

33
3. PENULISAN KATA
Setelah penggunaan huruf kaidah berikutnya yang terdapat
dalam PUEBI adalah kaidah penulisan kata. Kaidah penulisan
kata yang dibahas dalam tulisan ini adalah (1) penulisan
gabungan kata berimbuhan, (2) penulisan kata depan, (3)
penulisan partikel, (4) penulisan singkatan dan akronim, (5)
penulisan angka dan lambang bilangan, dan (6) penulisan kata
ganti dan kata sandang. Secara berturut-turut di bawah ini
penjelasannya satu per satu.
3.1 Penulisan Gabungan Kata Berimbuhan
Selain kaidah penulisan gabungan kata berim­ buhan, dalam
PUEBI diatur pula penulisan kata dasar dan kata berimbuhan.
Akan tetapi, karena dalam praktik berbahasa hampir tidak
menimbulkan masalah, penulisan kata dasar dan kata
berimbuhan tidak dijelaskan di sini. Yang di­ bahas dalam
tulisan ini hanyalah penulisan gabungan kata berimbuhan.
Perhatikan kalimat berikut!

34
1) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan
Bahasa) bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri.
2) Kami beritahukan kepada seluruh pegawai bahwa
upacara besok pagi dimulai pukul 07.00.
3) Semua pegawai harus bertanggungjawab terhadap tugas
yang diemban.
4) Penandatangan surat resmi sudah diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
5) Kita tidak boleh menyama ratakan kemampuan pegawai
di kantor kita.
6) Pemerintah tidak boleh menganak tirikan wilayah
terpencil dalam pelaksanaan pembangunan.
Penulisan kata bekerjasama seperti pada kalimat Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Ba­ hasa)
bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri tidak benar.
Tulisan kata seperti itu masih banyak ditemukan dalam
berbagai jenis tulisan. Ada dua hal yang harus diperhatikan
dalam hubungan dengan penulisan kata bekerjasama di
atas, yaitu (1) kaidah penulisan gabungan kata dan (2)
kaidah penulisan gabungan kata berimbuhan. Di bawah ini
penjelasannya satu per satu.
PUEBI telah mengatur penulisan gabungan kata. Dalam
pedoman itu dinyatakan bahwa unsur terikat atau unsur yang
tidak dapat berdiri sendiri ditulis serangkai. Di bawah ini
diberikan beberapa contohnya.
Benar Salah
antarkantor antar kantor/antar-kantor
antarpegawai antar pegawai/ antar-pegawai

35
tunakarya tuna karya
tunawisma tuna wisma
subbagian sub bagian
subtema sub tema
nonkolesterol non kolesterol/ non-kolesterol
nonformal non formal/ non-formal
mancanegara manca negara
mancawarna manca warna
narasumber nara sumber
narapidana nara pidana
pascabanjir pasca banjir
pascasarjana pasca sarjana
saptapesona sapta pesona
saptadarma saptadarma
semipermanen semi permanen
semiresmi semi resmi
multifungsi multi fungsi
multietnik multi etnik
pramusaji pramu saji
pramusiwi pramu siwi
dwiwarna dwi warna
dwibahasa dwi bahasa
Contoh-contoh di atas merupakan gabungan kata yang
terdiri atas unsur terikat dan unsur tidak terikat. Kata-kata
yang dicetak miring adalah unsur terikat, sedangkan kata-
kata yang tidak dicetak miring bukan unsur terikat. Di atas
juga sudah dinyatakan bahwa unsur terikat ditulis serang­ kai
dengan kata yang mengikutinya.

36
Bagaimana dengan gabungan kata kerja sama seperti pada
kalimat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan
bahasa) bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri di
atas? Gabungan kata itu terdiri atas dua unsur atau dua kata
yang tidak terikat. Oleh karena itu, tulisannya dipisah. Contoh
lain adalah sebagai berikut.
Benar Salah
tanda tangan tandatangan
tanda mata tandamata
rumah tangga rumahtangga
rumah sakit rumahsakit
orang tua orangtua
orang kota orangkota
mata acara mataacara
mata air mataair
meja tulis mejatulis
meja makan mejamakan
kaki tangan kakitangan
kaki lima kakilima
Ada sejumlah gabungan kata yang mungkin dapat
menimbulkan keraguan. Apakah gabungan kata itu ditulis
terpisah atau harus serangkai? Gabungan kata seperti uji
coba, uji petik, uji tera, daya cipta, daya serap, dan daya pikir
harus ditulis serangkai atau terpisah? Untuk menen­ tukan
gabungan kata seperti itu ditulis terpisah atau serangkai,
dapat ditambahkan imbuhan pada setiap unsur gabungan kata
itu. Jika masing-masing dapat diberi imbuhan, gabungan kata

37
itu ditulis serangkai. Untuk kata uji dan coba, masing-masing
dapat diberi imbuhan. Dari kata uji dapat dibentuk menjadi
diuji, menguji, pengujan, penguji, dan ujian. Dari kata coba
dapat dibentuk kata dicoba, mencoba, percobaan, pencoba, dan
cobaan. Contoh lain adalah daya cipta. Dari kata daya dapat
di­bentuk kata berdaya, memberdayakan, pemberdayaan dan
teperdaya. Dari kata cipta dapat dibentuk menjadi dicip­takan,
menciptakan, penciptaan, tercipta, dan ciptaan. Oleh karena
itu, gabungan kata uji coba dan daya cipta ditulis terpisah.
Dengan cara yang sama, dapat ditentukan bahwa gabungan
kata uji petik, uji tera, daya cipta, daya serap, dan daya pikir
ditulis terpisah.
Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa ada sejumlah
gabungan kata yang sudah dianggap padu. Gabungan kata itu
harus ditulis serangkai. Berikut ini gabungan kata yang sudah
dianggap padu.
acapkali adakalanya syahbandar
barangkali bilamana wiraswasta
beasiswa belasungkawa radioaktif
bumiputra darmabakti saripati
darmabakti kacamata sediakala
dukacita manasuka padahal
hulubalang olahraga kilometer
matahari peribahasa kasatmata
puspawarna perilaku sukarela
saputangan saptamarga
sukacita segitiga
sukaria apalagi

38
Kita kembali pada kata bekerja sama seperti pada kalimat
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan bahasa)
bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri di atas sekali
lagi. Di atas sudah dijelaskan bahwa gabungan kata kerja sama
harus ditulis terpisah. Lalu, bagaimana kalau gabungan kata
hanya mendapat awalan? Gabungan kata bekerja sama ditulis
terpisah atau serangkai?
Dalam PUEBI juga telah diatur pengimbuhan gabungan
kata. Gabungan kata yang ditulis terpisah tetap terpisah jika
hanya mendapat awalan atau akhiran. Di bawah ini diberikan
beberapa contohnya.
Benar Salah
berpesta pora berpestapora
bertanda tangan bertandatangan
bekerja bakti bekerjabakti
bertepuk tangan bertepuktangan
penanda tangan penandatangan
penanggung jawab penanggungjawab
penata busana penatabusana
kerja samakan kerjasamakan
tanda tangani tandatangani
kerja baktikan kerjabaktikan
sebar luaskan sebarluaskan
kerja baktikan kerjabaktikan
bebas tugaskan bebastugaskan
uji cobakan ujicobakan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
gabungan kata berimbuhan bekerja sama harus ditulis terpisah.

39
Dengan demikian, penulisan pada kalimat (1) di atas dapat
diperbaiki menjadi seperti berikut.
1a) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan
Bahasa) bekerja sama dengan Kemen­ terian Luar Negeri.
Bagaimana dengan penulisan beritahukan pada kalimat
Kami beritahukan kepada seluruh pegawai bahwa upacara
besok pagi dimulai pukul 07.00 di atas? Gabungan kata
beritahukan ditulis terpisah atau disambung? Sebagaimana
penentuan gabungan kata bekerja sama di atas, gabungan kata
beritahukan juga dapat ditentukan dengan dua tahap, yaitu
(1) penentuan ga­ bungan kata beri tahu dan (2) penentuan
gabungan kata yang mendapat awalan.
Gabungan kata beri tahu terdiri atas dua unsur: beri
dan tahu. Kata beri dapat diberi imbuhan sehingga menjadi
diberi, memberi, pemberian, dan berian. Kata tahu juga dapat
diberi imbuhan sehingga menjadi diketahui, mengetahui,
ketahuan, dan pengetahuan. Oleh karena itu, gabungan kata
beri tahu ditulis terpisah. Selanjutnya, kaidah penulisan kata
menentukan bahwa gabungan kata yang ditulis terpisah tetap
dipisah jika hanya mendapat akhiran. Jadi, gabungan kata
beri tahukan ditulis terpisah. Dengan demikian, penulisan
gabungan kata beri tahukan pada kalimat (2) dapat diperbaikan
menjadi seperti di bawah ini.
2a) Kami beri tahukan kepada seluruh pegawai bahwa
upacara besok pagi dimulai pukul 07.00.
Kalimat (3) dan (4) di atas masing-masing berbunyi
Semua pegawai harus bertanggungjawab terhadap tugas
yang diemban dan Penandatangan surat resmi sudah

40
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada kedua
kalimat itu terdapat gabungan kata bertanggungjawab dan
penandatangan yang ditulis serangkai. Bagaimana menu­ rut
Anda? Benar atau salahkah penulisan itu? Penjelasan­ nya
sama dengan penjelasan penulisan gabungan kata bekerja
sama di atas.
Gabungan kata bertanggung jawab yang bentuk dasarnya
tanggung jawab. Baik kata tanggung maupun jawab sama-
sama dapat diberi imbuhan. Dari kata tanggung dapat dibentuk
kata ditanggung, menanggung, tanggungan, pertanggungan,
dan tertanggung. Dari kata jawab dapat dibentuk kata
dijawab, menjawab, jawaban, dan terjawab. Dengan demikian,
gabungan kata tanggung jawab harus ditulis terpisah.
Gabungan kata penandatangan yang bentuk dasarnya tanda
dan tangan. Baik kata tanda maupun tangan tergolong kata
bebas atau tidak terikat. Oleh karena itu, gabungan kata itu
harus ditulis ter­ pisah. Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa
kedua ga­ bungan kata tersebut tetap ditulis terpisah. Jadi yang
benar adalah bertanda tangan dan penanda tangan. Dengan
demikian, kalimat (3) dan (4) di atas dapat diperbaiki menjadi
seperti berikut.
3a) Semua pegawai harus bertanggung jawab terhadap
tugas yang diemban.
4a) Penanda tangan surat resmi sudah diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Persoalan yang terkait dengan penulisan kata berimbuhan
yang lain adalah penulisan kata berimbuhan menyama ratakan
dan menganak tirikan seperti dalam kalimat berikut.

41
5) Kita tidak boleh menyama ratakan kemam­ puan pegawai
di kantor kita.
6) Pemerintah tidak boleh menganak tirikan wila­yah
terpencil dalam pelaksanaan pem­ bangunan.
Pada kedua kalimat di atas kata menyama ratakan dan
menganak tirikan ditulis terpisah. Bagaimana menurut Anda?
Betul kalau Anda menjawab salah. Seharusnya, kedua kata itu
ditulis serangkai. Kaidahnya menyatakan bahwa gabungan
kata yang semula terpisah ditulis serangkai jika gabungan
kata itu mendapat awalan dan akhiran sekaligus. Beberapa
contoh lainnya adalah sebagai berikut.
sebar luas menyebarluaskan
serah terima menyerahterimakan
ambil alih pengambilalihan
kambing hitam mengambinghitamkan
nina bobok meninabobokkan
tidak tahu ketidaktahuan
tidak ramah ketidakramahan
tidak sempurna ketidaksempurnaan
tidak nyaman ketidaknyamanan
salah guna menyalahgunakan
putus asa keputusasaan
Berdasarkan penjelasan di atas, gabungan kata menyama
ratakan dan menganak tirikan yang bentuk dasarnya sama
rata dan anak tiri harus ditulis serangkai. Dengan demi­ kian,
kalimat (5) dan (6) di atas dapat diperbaiki menjadi seperti
berikut.

42
5a) Kita tidak boleh menyamaratakan kemampuan pegawai
di kantor kita.
6a) Pemerintah tidak boleh menganaktirikan wila­yah
terpencil dalam pelaksanaan pem­ bangunan.
3.2 Penulisan Kata Depan
Kata depan yang sering salah dalam penulisan adalah kata
depan di dan ke. Dulu sebelum Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurkan diberlakukan, kata depan di
dan ke tidak dipisah. Hal itu berarti bahwa aturan penulisan
kata depan di dan ke serta awalan di- dan ke- tidak dibedakan.
Bandingkan contoh berikut!
Kata Depan Awalan
di samping disumbang
di sini disimpan
di atas diantar
di pinggir dipinjam
di pantai dipantau
di bawah dibawa
ke depan ketua
ke depan kekasih
ke atas kedua (tingkat/urutan)
ke rumah ketiga (tingkat/urutan)
ke belakang keempat (kumpulan)
ke kampung kelima (kelompok)
Kadang-kadang orang merasa bingung saat membedakan
kata depan dan awalan. Misalnya, bentuk di pada di atas
termasuk kata depan atau awalan? Sekurang-kurangnya ada

43
dua cara untuk menentukan apakah bentuk di tersebut masuk
kata depan atau awalan. Pertama, kata depan di mempunyai
pasangan ke dan dari. Kedua, kata depan di tidak dapat
dilawankan dengan meng-. Ambillah contoh kata di atas tadi!
Selain di atas, ada pula ke atas, dan dari atas. Bentuk di atas
juga tidak dapat dilawankan dengan mengatas. Hal itu berarti
bahwa di pada di atas ter­­masuk kata depan. Oleh karena itu,
kata di atas ditulis terpisah. Di bawah ini diberikan beberapa
contoh lain.
di lantai di negara lain
ke lantai ke negara lain
dari lantai dari negara lain
di tengah di persimpangan jalan
ke tengah ke persimpangan jalan
dari tengah dari persimpangan jalan
di ujung jalan di sejumlah daerah
ke ujung jalan ke sejumlah daerah
dari ujung jalan dari sejumlah daerah
Bagaimana dengan kata keluar? Kata keluar ditulis
terpisah atau serangkai? Kata keluar dibedakan menjadi dua
macam. Selain keluar, kita temukan pula di luar dan dari
luar. Hal itu berarti bahwa kata keluar itu merupakan kata
depan sehingga harus ditulis terpisah. Namun, ada juga keluar
yang ditulis serangkai. Kata keluar yang kedua ini merupakan
lawan masuk. Jadi, kata keluar yang kedua ini merupakan kata
kerja, bukan kata depan atau kelompok kata kata-depan. Oleh
karena itu, penulisannya diserangkaikan. Perhatikan kalimat
di bawah ini secara saksama!

44
1) Presiden RI akan berkunjung ke luar negeri.
2) Hati-hati keluar masuk kendaraan proyek.
Kata ke luar pada kalimat (1) merupakan kata depan.
Kelompok kata ke luar negeri itu dapat disan­ dingkan dengan
di luar negeri dan dari luar negeri. Bandingkan kalimat di
bawah ini!
1) Presiden RI akan berkunjung ke luar negeri.
1a) Presiden RI akan berada di luar negeri selama 1
minggu.
1b) Presiden RI akan kembali dari luar negeri minggu
depan.
Namun, kata keluar pada kalimat (2) bukan merupakan
kata depan karena lawannhya masuk. Kalimat (2) tidak dapat
dibuat variasinya seperti kalimat (1). Perhatikan baik-baik
kalimat berikut.
2) Hati-hati keluar masuk kendaraan proyek.
2a) Hati-hati di luar masuk kendaraan proyek.
(tidak bisa)
2b) Hati-hati dari luar masuk kendaraan proyek.
(tidak bisa)
Jika kalimat (2a) dan (2b) dimungkinkan, artinya sudah
berbeda jauh atau bukan merupakan pasangannya. Oleh karena
itu, kata keluar seperti pada kalimat (2) ditulis serangkai.
Kata ke pada frasa ke samping termasuk kata depan karena
kita temukan pula di samping dan dari samping. Namun, kata
ke samping dapat berubah menjadi kata kerja setelah diberi
imbuhan meng-…-kan. Oleh karena itu, mengesampingkan
ditulis serangkai. Begitu pula kata ke tengah dan ke depan.

45
Kedua kata itu juga tegolong kata depan sehingga ditulis
terpisah. Akan tetapi, setelah mendapat imbuhan meng-…-
kan, kedua kata itu ditulis serangkai karena statusnya berubah
menjadi kata kerja, bukan lagi sebagai kata depan. Perhatikan
kalimat berikut.
1) Dia membawa sepedanya ke samping rumah.
2) Sekarang mereka pergi ke samping gedung tingkat itu.
3) Kita tidak dapat mengesampingkan diri dari mereka.
4) Banyak orang sering mengesampingkan nasihat orang
tuanya.
3.3 Penulisan Partikel
Partikel yang diatur dalam PUEBI adalah -lah, -kah, -tah, pun,
dan per. Dalam praktiknya penulisan partikel -lah, -kah, dan
–tah tidak menimbulkan masalah. Oleh karena itu, penulisan
ketiga partikel itu tidak dibahas dalam tulisan ini. Yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah partikel pun dan per.
Pada dasarnya partikel pun ditulis terpisah dari kata yang
mendahuluinya. Contohnya adalah sebagai berikut.
1) Mereka pun turut mendukung pembangunan pasar
tradisional itu.
2) Parkir kendaraan pun sulit karena banyaknya mobil
yang dibawa para tamu.
Partikel pun yang ditulis serangkai adalah partikel pun
yang merupakan kata penghubung. Jadi, kata-kata seperti
meskipun, walaupun, sunggguhpun, biarpun, kendatipun,
dan bagaimanapun ditulis serangkai. Contoh pemakaian­ nya
adalah sebagai berikut.

46
3) Walaupun hari masih pagi, para pegawai kantor itu
sudah banyak yang datang.
4) Kendaraan di jalan bebas hambatan itu selalu macet
walaupun hari sudah malam.
Bagaimana dengan kata sekalipun? Apakah kata itu tetap
ditulis serangkai atau terpisah? Kata sekalipun dibedakan
menjadi dua. Ada yang ditulis serangkai dan ada pula yang
ditulis terpisah. Kata sekalipun yang ditulis serang­ kai
adalah kata penghubung, sedangkan yang ditulis terpisah
bukan merupakan kata penghubung. Bagaimana cara
membedakannya? Perhatikan kalimat di bawah ini!
5) Sekalipun dengan susah payah, mereka berhasil mendaki
gunung itu.
6) Jangankan dua kali sekali pun dia belum pernah datang
ke rumahku.
Kata sekalipun pada kalimat (5) merupakan kata
penghubung, sedangkan pada kalimat (6) bukan kata
penghubung. Kata sekalipun yang merupakan kata penghubung
dapat diganti dengan kata penghubung yang lain, sedangkan
kata sekali pun yang bukan merupakan kata penghubung tidak
dapat diganti dengan kata penghubung yang lain. Perhatikan
kalimat di bawah ini!
7) Sekalipun permintaan beras terus meningkat saat
menjelang Lebaran, sediaannya masih tetap aman.
7a) Meskipun permintaan beras terus meningkat saat
menjelang Lebaran, sediaannya masih tetap aman.
7b) Walaupun permintaan beras terus meningkat saat
menjelang Lebaran, sediaannya masih tetap aman.

47
Kata sekalipun pada kalimat (7) dapat diganti dengan
meskipun atau walaupun. Hal itu berarti bahwa kata sekalipun
seperti pada kalimat (7) adalah kata penghubung. Oleh karena
itu, penulisannya diserangkaikan. Namun, kata sekali pun
pada kalimat di bawah ini tidak dapat diganti dengan kata
meskipun atau walaupun.
8) Jangankan dua kali, sekali pun dia belum per­ nah
berkunjung ke rumahku.
8a) Jangankan dua kali, meskipun dia belum per­ nah
berkunjung ke rumahku. (Tidak bisa.)
8b) Jangankan dua kali, walaupun dia belum per­ nah
berkunjung ke rumahku. (Tidak bisa.)
Partikel berikutnya yang perlu pula dibahas dalam tulisan
ini adalah partikel per. Kesalahan penulisan partikel per
sering muncul karena tidak semua per ditulis terpisah. Per
yang ditulis terpisah adalah per yang mempunyai arti (1) ‘tiap-
tiap atau setiap’, (2) ‘demi’, dan (3) ‘mulai’. Berikut contoh
pemakaiannya dalam kalimat.
1) Harga kain itu Rp200.000,00 per meter.
2) Mahasiswa diminta keluar ruang kuliah satu per satu
secara tertib.
3) Surat keputusan itu berlaku per Januari 2018.
Selain per yang mengandung arti di atas, ada juga per
yang mempunyai (1) ‘dibagi’ dan (2) ‘dengan (menggunakan)’.
Per yang mengandung dua arti itu ditulis se­ rang­kai. Berikut
contoh pemakaiannya dalam kalimat.
4) Dua pertiga penduduk kampung itu masih ter­ golong
miskin.

48
5) Dia menghubungi saudaranya yang di kota per telepon.
Ada pula per- yang bukan partikel, melainkan awalan.
Karena merupakan awalan, per- ini ditulis serangkai.
Contohnya adalah sebagai berikut.
6) Perlebar gelaran tikarnya agar dapat memuat banyak
tamu!
7) Sudah sepantasnya kalau kita pertuan kepada orang
asing itu.
Imbuhan per- pada kalimat (6) berarti ‘membuat jadi lebih
lebar’ dan pada kalimat (7) berarti ‘memanggil’.
3.4 Penulisan Singkatan Dan Akronim
Singkatan dan akronim sama-sama merupakan ben­ tuk pendek
dari sebuah kata atau lebih. Bedanya adalah bahwa singkatan
merupakan bentuk pendek dari satu kata atau lebih yang
dilafalkan huruf demi huruf, sedangkan akronim merupakan
bentuk pendek dari satu kata atau lebih yang dilafalkan seperti
kata. Di bawah ini beberapa contohnya.
Singkatan
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
RRI (Radio Republik Indonesia)
SMA (sekolah menengah atas)
PT (perseroan terbatas/perguruan tinggi)
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Akronim
DAMRI (Djawatan Agkutan Motor Republik
Indonesia)

49
AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia)
balita (bawah lima tahun)
bandara (bandar udara)
capeg (calon pegawai)
Kepanjangan dari singkatan atau akronim di atas ada yang
ditulis dengan dengan huruf kapital setiap awal kata dan ada
pula yang ditulis dengan huruf kecil semua. Misalnya, Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Angkatan Udara Republik
Indonesia ditulis dengan huruf awal kapital. Sementara itu,
sekolah menengah atas dan bandar udara ditulis dengan
huruf kecil semua. Jika kita cermati, kepanjangan yang ditulis
dengan huruf kapital setiap awal katanya itu merupakan nama
diri, sedangkan yang ditulis dengan huruf kecil semua bukan
nama diri.
Pada bagian ini dibahas singkatan lebih dahulu. Penulisan
singkatan dapat dibedakan men­ jadi dua, yaitu (1) singkatan
yang ditulis dengan tanda titik atau tanpa tanda titik dan (2)
singkatan yang ditulis dengan huruf kapital atau huruf kecil.
Dalam kenyataan berbahasa sering ditemukan kesalahan
penulisan singkatan. Ambillah contoh penulisan singkatan PT
(perseroan terbatas) dan nama gelar akademik S.S. (sarjana
sastra). Di papan-panan nama di kota-kota besar singkatan
PT sering ditulis dengan satu titik (PT.). Anehnya, tanda titik
yang banyak digunakan hanya satu, yaitu setelah singkatan T.
Sangat jarang yang menuliskan P.T. Sementara itu, singkatan
nama gelar akademik sering tidak diikuti tanda titik. Banyak
orang yang menulis, misalnya, Burhanudin, SS, MA. Bagaimana
penulisan yang benar? Berikut penjelasannya.

50
Ada tiga kelompok singkatan yang diikuti tanda titik: (1)
singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, dan pangkat;
(2) singkatan yang terdiri atas 3 huruf atau lebih; dan (3)
singkatan yang terdiri atas 2 huruf yang biasa dipakai dalam
surat-menyurat.
Kelompok pertama singkatan yang diikuti tanda titik
adalah singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, dan
pangkat. Perhatikan contoh di bawah ini!
Anton M. Moeliono (Mudardo)
Sugiyono S.W. (Sastro Wardoyo)
M.Sy. Sudrajat (Muhamad Syarif)
Franky Yusuf, S.H., M.H.
Ajat Sudrajat, S.Kom., M.A.
K.H. Mahmud Yunus
Hj. Saparinah Supardi
R.A. Kartini
K.R.T. Hariyo Santiko
Sdr. Danil Ferguson
Tn. Syam Chaniago
Prof. Dr. Amran Halim (Prof. = pangkat)
Kol. Amarullah Katamso
Kelompok penulisan singkatan yang kedua adalah penulisan
singkatan yang terdiri atas tiga huruf atau lebih. Ada sejumlah
singkatan yang terdiri atas tiga huruf atau lebih yang ditulis
dengan diakhiri dengan tanda titik. Berikut adalah contohnya.
sda. sama dengan di atas
dll. dan lain-lain
dsb. dan sebagainya

51
yth. yang terhormat
dkk. dan kawan-kawan
dst. dan sterusnya
ybs. yang bersangkutan
sdr. saudara
ttd. tertanda
hlm. halaman
Dalam contoh di atas terlihat singkatan yang terdiri atas
tiga huruf. Ada yang berasal dari 4 kata, 3 kata, 2 kata, dan
1 kata. Artinya, dua kata lebih dapat disingkat menjadi tiga
huruf. Ketiga huruf itu semuanya huruf kecil dan diikuti satu
titik.
Pada kenyataannya ada singkatan yang berbeda. Ambillah
contoh kata jalan. Kata jalan sering disingkat menjadi jl. dan
ada pula yang disingkat menjadi jln. Pertanyaannya adalah
mana di antara kedua singkatan itu yang benar. Jawabannya
dua-duanya boleh atau tidak salah. Mengapa begitu?
Jawabannya adalah bahwa aturan pembuatan singkatan yang
baku tidak ada. Oleh karena itu, suatu singkatan tidak dapat
dikatakan salah. Jika dika­ takan bahwa singkatan itu salah,
tidak ada dasar untuk menyalahkannya. Misalnya, kata jalan
salah kalau dising­ kat menjadi jl., harusnya jln. Pertanyaannya
adalah apa dasarnya kita menyalahkan itu. Selain itu, sudah
lazim kata gunung, kebun, atau pondok disingkat menjadi gn.,
kb., atau pd.. Singkatan seperti itu banyak kita temukan yang
digunakan sebagai nama tempat atau nama jalan. Di Jakarta
dan sekitarnya dapat kita temukan nama seperti Gunung
Putri, Kebon Kacang, atau Pondok Gede yang dalam rambu lalu

52
lintas disingkat menjadi Gn. Putri, Kb. Kacang, atau Pd. Gede.
Tidaklah bijak kalau harus kita paksakan singkatan tersebut
menjadi, misalnya, Gng. Putri, Kbn. Kacang, atau Pdk. Gede.
Oleh karena itu, tidak perlu kita salahkan singkatan jl. atau
jln.. Yang lebih aman tentu tidak usah disingkat.
Kelompok penulisan singkatan yang ketiga adalah singkatan
yang terdiri atas dua huruf yang biasa dipakai dalam surat-
menyurat. Contohnya adalah sebagai berikut.
a.n. atas nama
d.a. dengan alamat
u.b. untuk beliau
u.p. untuk perhatian
s.d. sampai dengan
Contoh singkatan di atas memang sering kita temukan
da­lam surat-menyurat. Khusus singkatan s.d. tidak hanya
digunakan dalam surat-menyu­ rat, tetapi sering juga ditemukan
dalam ber­ bagai jenis tulisan lain.
Dalam surat-menyurat sering juga ditemukan singkatan
plh. dan plt. yang merupakan kepanjangan dari pelaksana
harian dan pelaksana tugas. Pertanyaannya adalah bagaimana
penulisan yang benar. Singkatan itu terdiri atas tiga huruf.
Pengelompokannya masuk dalam penulisan singkatan
kelompok kedua seperti dll. dsb. dst. atau sbb. yang ditulis
dengan huruf kecil semua dan diikuti satu tanda titik. Jadi,
penulisan yang benar adalah plh. dan plt.
Di atas telah dinyatakan bahwa penulisan singkatan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu (1) singkatan yang ditulis dengan
tanda titik atau tanpa tanda titik dan (2) singkatan yang ditulis

53
dengan kapital atau huruf kecil. Penulisan singkatan dengan
tanda titik sudah dibicarakan di atas. Lalu, bagaimana dengan
penulisan singkatan tanpa tanda titik? Penulisan singkatan
yang tidak diikuti tanda titik dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu (1) singkatan nama lembaga pemerintah dan
ketatanegaraan, lembaga pendidikan, badan atau organisasi,
dan dokumen resmi; (2) singkatan yang terdiri atas huruf-
huruf awal dan bukan nama diri; dan (3) singkatan lambang
kimia, satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang.
Kelompok pertama penulisan singkatan adalah penulisan
singkatan nama lembaga pemerintah dan ketata­ negaraan,
lembaga pendidikan, badan atau organisasi, dan dokumen
resmi. Singkatan kelompok ini tidak diikuti tanda titik.
Contohnya sebagai berikut.
DPRRI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia)
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
MK (Mahkamah Konstitusi)
MA (Mahkamah Agung)
RRI (Radio Republik Indonesia)
UGM (Universitas Gadjah Mada)
UI (Universitas Indonesia)
ITB (Institut Teknologi Bandung)
ITS (Institut Teknologi Surabaya)
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional)
BNN (Badan Narkotika Nasional)
BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak)

54
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
PII (Persatuan Insinyur Indonesia)
PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api)
Kelompok kedua penulisan singkatan adalah penulisan
singkatan yang terdiri atas huruf-huruf awal dan bukan nama
diri. Di bawah ini diberikan contohnya.
SD (sekolah dasar)
SMP (sekolah menengah pertama)
SMA (sekolah menengah atas)
MI (madrasah ibtidaiah)
MA (madrasah aliah)
PT (perguruan tinggi)
PT (perseroan terbatas)
PTN (perguruan tinggi negeri)
KTP (kartu tanda penduduk)
PBB (pajak bumi dan bangunan)
NPWP (nomor pokok wajib pajak)
NIP (nomor induk pegawai)
CPNS (calon pegawai negeri sipil)
PNS (pegawai negeri sipil)
Contoh di atas sering menimbulkan pertanyaan. Mengapa
sekolah dasar, madrasah ibtidaiah, sekolah menengah atas,
atau madrasah aliah tidak ditulis dengan huruf awal kapital?
Bukankah singkatannya ditulis dengan kapital? Pertanyaan
seperti itu sering muncul di masya­ rakat. Penjelasannya begini.
Nama jenjang pendidikan di atas bukan nama diri. Nama
itu menjadi bagian nama diri apabila diikuti nama tempat atau
nama yayasan. Hal kedua yang perlu diingat adalah bahwa

55
yang ditulis dengan huruf kapital bukan hanya nama diri.
Dengan kata lain, huruf awal pada singkatan bukan penanda
nama diri. Jadi, singkatan yang terdiri atas huruf-huruf awal
dapat berupa nama diri dan dapat pula bukan nama diri
sebagaimana telah dicon­ toh­kan di atas. Di bawah ini diberikan
contoh nama jenjang pendidikan yang menjadi bagian nama
diri yang harus ditulis dengan huruf awal kapital.
SDN 02 Pagi Lubangbuaya (Sekolah Dasar Negeri 02 Pagi
Lubangbuaya)
SMAN 1 Jakarta (Sekolah Menengah Atas Negeri Jakarta)
MIN 1 Sukoharjo (Madrasah Ibtidaiah Negeri 1 Sukoharjo)
MAN 1 Surakarta (Madrasah Aliah Negeri 1 Surakarta)
SD Muhammadiyah 1 Padang (Sekokah Dasar
Muhammadiyah 1 Padang)
MI Attayibah Ciamis (Madrasah Ibtidaiyah Attayibah
Ciamis)
PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian)
Kelompok ketiga penulisan singkatan adalah penulisan
singkatan lambang kimia, lambang mata uang, satuan ukuran,
takaran, dan timbangan. Di bawah ini diberikan contohnya.
As (arsenik)
Ca (kalsium)
Ra (radium)
Zn (seng)
Rp (rupiah)
km (kilometer)
m (meter)
cm (sentimeter)

56
l (liter)
g (gram)
kg (kilogram)
Perlu diberikan catatan sehubungan dengan contoh di atas.
Pertama, penulisan singkatan lambang kimia diawali dengan
huruf kapital. Penulisan seperti itu sudah benar karena
mengikuti cara penulisan internasional. Begitu pula penulisan
lambang mata uang. Lambang mata uang rupiah ditulis dengan
huruf awal kapital tanpa tanda titik (Rp). Kedua, penulisan
satuan takaran juga mengikuti inter­ nasional. Oleh karena
itu, singkatan cm tetap digunakan dengan huruf c, bukan sm
dengan huruf s.
Yang sudah dibahas di atas adalah singkatan. Penulisan
singkatan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok.
Penulisan akronim juga dapat dikelompokkan menjadi dua:
(1) penulisan akronim yang terdiri atas huruf-huruf awal, baik
nama diri maupun bukan nama diri dan (2) akronim nama
diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf
dan suku kata, baik nama diri maupun yang bukan nama diri.
Penjelasannya masing-masing adalah sebagai berikut.
Penulisan akronim kelompok pertama adalah penulisan
akronim yang terdiri atas huruf-huruf awal, baik nama diri
maupun bukan nama diri. Banyak orang berang­ gapan bahwa
akronim yang terdiri atas huruf-huruf kapital pasti merupakan
nama diri. Padahal, ada juga akronim yang terdiri atas huruf-
huruf kapital yang bukan nama diri. Di bawah ini diberikan
contohnya.

57
Bukan Nama Diri
SIM (surat izin mengemudi)
NIM (nomor induk mahasiswa)
NRP (nomor registrasi pokok)
NIP (nomor induk pegawai)
ABS (asal bapak senang)
ART (anggaran rumah tangga)
ATM (anjungan tunai mandiri)
BAP (berita acara pemeriksaan)
BBM (bahan bakar minyak)
BP (bimbingan dan konseling)
CBSA (cara belajar siswa aktif)
DAS (daerah aliran sungai)
DIP (daftar isian proyek)
DPO (daftar pencarian orang)
HUT (hari ulang tahun)
KKL (kuliah kerja lapangan)
Nama Diri
BKN (Badan Kepegawaian Negara)
FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia)
HWP (Himpunan Wanita Karya)
ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia)
KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi)
LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
LSI (Lembaga Survei Indonesia)
MA (Mahkamah Agung)
MDI (Majelis Dakwah Indonesia)
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
TNI (Tentara Nasional Indonesia)

58
Bagaimana membedakan nama diri dan bukan nama diri?
Barangkali itu pertanyaannya. Nama diri adalah nama satu-
satunya atau tidak ada duanya, baik nama diri orang, benda,
tempat, atau nama diri lainnya. Ambillah contoh rumkit,
puskesmas, atau posyandu. Rumah sakit yang sering disingkat
rumkit, pusat kesehatan masyarakat yang biasa disingkat
menjadi puskesmas, atau pos pelayanan terpadu yang juga biaya
disingkat menjadi posyandu bukan nama diri. Mengapa? Di
Jakarta saja ada sejumlah rumah sakit, baik milik pemerintah
maupun milik swasta. Jumlah puskesmas di Jakarta sangat
banyak. Begitu pula posyandu. Itu semua baru di Jakarta. Lalu,
berapa banyak di seluruh Indonesia? Itu semua dijabarkan
untuk memberikan gambaran bahwa rumkit, puskesmas, dan
posyandu bukan nama diri karena bukan satu-satunya. Oleh
karena itu, penulisannya dilakukan dengan huruf kecil, baik
bentuk lengkap maupun akronimnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah kapan ketiga akronim di
atas menjadi bagian nama diri. Pada dasarnya syarat nama
diri adalah satu-satunya. Untuk memenuhi persyaratan itu,
ketiga akronim tadi harus diikuti nama tempat atau nama diri
yang lain. Contohnya adalah sebagai berikut.
Bukan Nama Diri Nama Diri
rumah sakit Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Rumah Sakit Jantung Harapan Kita
puskesmas Puskesmas Kelurahan Lubangbuaya
Puskesmas Kecamatan Cipayung

59
Kelompok nama diri harus ditulis dengan huruf awal
kapital, sedangkan yang bukan nama diri ditulis dengan huruf
kecil semua. Dengan kata lain, nama diri tetap ditulis dengan
huruf awal kapital setiap unsurnya walaupun tidak berada di
awal kalimat. Sebaliknya, yang bukan nama diri harus ditulis
dengan huruf kecil semua, kecuali pada posisi di awal kalimat.
Di bawah ini diberikan contohnya.
1) Setiap hari Puskesmas Tanjungpriok melayani sekitar
150 orang.
2) Sekarang layanan Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Selatan sudah sangat baik.
3) Posyandu Maju Bersama Kelurahan Rawamangun
sudah aktif sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
4) Korban kecelakaan lalu lintas itu dibawa ke puskesmas
terdekat.
5) Kementerian Kesehatan RI telah menegaskan bah­ wa
setiap rumah sakit tidak boleh menolak pasien miskin.
6) Di kota-kota besar posyandu banyak ditemukan di
tingkat RW setiap kelurahan.
Di atas telah dinyatakan bahwa nama diri adalah satu-
satunya. Pernyataan berikutnya yang muncul adalah
bagaimana dengan nama orang. Bukankah nama orang itu
banyak yang sama? Bukankah nama, misanya, Ahmad atau
Supardi itu banyak? Memang betul di dunia ini nama orang
yang sama banyak. Namun, di dunia ini tidak ada orang
yang sama persis. Si Ahmad yang tetangga saya dengan si
Ahmad yang tinggal di tempat lain pasti tidak sama. Mungkin
wajahnya tidak sama, mungkin tinggi tubuhnya yang tidak

60
sama, atau rambutnya yang berbeda. Jika semua itu sama,
dapat dipastikan sidik jarinya tidak akan sama. Hal itu berati
bahwa si Ahmad tetangga saya adalah satu-satunya orang di
dunia ini. Si Ahmad lain merupakan nama diri yang lain.
Penulisan akronim kelompok kedua adalah penu­ lisan
akronim yang terdiri atas akronim nama diri yang berupa
gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata.
Akronim yang telah dijelaskan di atas adalah akronim yang
hanya terdiri atas huruf-huruf awal kata, sedangkan akronim
kelompok kedua ini adalah akronim yang tidak hanya terdiri
atas huruf-huruf awal kata, tetapi merupakan gabungan huruf
awal dan suku kata atau gabungan suku-suku kata. Akronim
kelompok kedua ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
akronim yang ter­ golong nama diri dan ada pula yang bukan
nama diri. Dengan sendirinya, akronim yang merupakan nama
diri ditulis dengan huruf awal kapital, sedangkan yang bukan
nama diri ditulis dengan huruf kecil semuanya. Berikut ini
contohnya.
Nama Diri
Apkindo (Asosiasi Panel Kayu Indonesia)
Babinkumnas (Badan Pembinaan Hukum Nasional)
Gapkindo (Gabungan Pengusaha Karet Indonesia)
Hipmi (Himpunan Pengusaha Indonesia)
Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia)
Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia)
Kejagung (Kejaksaan Agung)
Mabesad (Markas Besar Angkatan Darat)
Organda (Organisasi Angkutan Darat)

61
Bukan Nama Diri
amdal (analisis mengenai dampak lingkungan)
angkot (angkutan kota)
balita (bawah lima tahun)
bandara (bandar udara)
banpol (bantuan polisi)
danramil (komandan rayon militer)
galatama (liga sepak bola utama)
jihandak (penjinak bahan peledak)
kajari (kepala kejaksaan negeri)
moge (motor gede)
orpol (organisasi politik)
pangdam (panglima daerah militer)
Mungkin sebagian contoh akronim yang bukan nama diri
di atas masih menimbulkan pertanyaaan. Misal­ nya, kita ambil
akronim bandara, kajari, dan pangdam. Ketiga akronim itu
bukan nama diri. Bandingkan akronim nama diri dan bukan
nama diri dalam kalimat berikut!
1) Semua bandara di Indonesia telah menem­ patkan bahasa
Indonesia di tempat paling atas dalam dalam menuliskan
papan petunjuk.
2) Setiap orang yang akan diangkat menjadi kajari di
lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
harus memenuhi kriteria ter­ tentu.
3) Untuk dapat menduduki jabatan pangdam, seo­rang
perwira harus sudah berpangkat mayor jenderal.
4) Presiden akan terbang dari Bandara Halim
Perdanakusuma menuju London, Inggris, besok pagi.

62
5) Mereka harus bertemu dengan Kajari Semarang hari ini
sebelum pukul 10.00.
6) Mayor Jenderal TNI Gatot Sampurna akan di­ lantik
menjadi Pangdam Jaya bulan depan.
Akronim bandara, kajari, dan pangdam seperti dalam
kalimat (1), (2), dan (3) bukan nama diri. Ketiga akronim
itu merupakan pernyataan yang masih bersifat umum. Di
Indonesia ini terdapat banyak bandara, kajari, dan pangdam.
Artinya, akronim itu tidak menunjuk nama tertentu atau
bukan satu-satunya. Berbeda halnya dengan ketiga akronim
itu dalam kalimat (4), (5), dan (6). Pada ketiga kalimat terakhir
akronim bandara, kajari, dan pangdam menjadi nama diri.
Di dunia ini hanya ada 1 Bandara Halim Perdanakusuma, 1
Kajari Semarang, dan 1 Pangdam Jaya.
3.5 Penulisan Angka dan Lambang Bilangan
Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia telah diatur
bahwa ada dua cara menuliskan lambang bilangan, yaitu
dengan angka Arab dan angka Romawi. Masalah yang sering
muncul dalam penerapan kaidah ejaan adalah kapan lambang
bilangan itu ditulis dengan angka dan kapan ditulis dengan
huruf. Hal itu sering dipertukarkan. Kita cermati kalimat di
bawah ini.
1) Sekurang-kurangnya sudah 2 kali rombongan mahasiswa
dari Jawa Timur itu mengunjungi Perpustakaan Badan
Pengembangan Bahasa dan Perbukuan di Rawamangun,
Jakarta Timur.

63
2) Pajak bumi dan bangunan (PBB) yang hanya dibayar 1
(satu) kali dalam setahun itu harus kita taati bersama.
3) Dalam sehari ini kita menerima lima orang tamu: 2 orang
dari Jakarta dan 3 orang dari luar Jakarta.
Pada kalimat (1) lambang bilangan ditulis dengan angka,
bukan dengan huruf. Penulisan seperti itu salah. Kaidahnya
menyatakan bahwa lambang bilangan yang dapat dinyatakan
dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, kecuali
dipakai secara berurutan. Lambang bilangan seperti dua, tiga,
sepuluh, tiga pulun, atau seratus harus ditulis dengan huruf,
tetapi lambang bilangan seperti 22, 33, 65, 78, dan 121 harus
ditulis dengan angka. Oleh karena itu, lambang bilangan dua
seperti pada kalimat (1) harus ditulis dengan huruf. Dengan
demikian, kalimat (1) dapat diperbaiki menjadi seperti berikut.
1a) Sekurang-kurangnya sudah dua kali rombongan
mahasiswa dari Jawa Timur itu mengunjungi
Perpustakaan Badan Pengembangan Bahasa dan
Perbukuan di Rawamangun, Jakarta Timur.
Pada kalimat (2) lambang bilangan dinyatakan dengan
angka dan huruf sekaligus. Penulisan seperti itu juga tidak
sesuai dengan kaidah. Penulisan lambang bilangan yang
ditulis dengan angka dan huruf sekaligus hanya dilakukan
pada kuitansi dan rumusan peraturan perun­ dang-undangan.
Lambang bilangan seperti pada kalimat biasa seperti kalimat
(2) cukup ditulis dengan huruf karena dapat dinyatakan dengan
satu kata. Dengan demikian, kalimat (2) dapat diperbaiki
menjadi seperti berikut.

64
2a) Pajak bumi dan bangunan (PBB) yang hanya dibayar
satu kali dalam setahun itu harus kita taati bersama.
Penulisan lambang bilangan pada kalimat (3)
memperlihatkan kasus lain lagi. Dalam kalimat (3) ada lambang
bilangan yang ditulis dengan huruf dan ada pula yang ditulis
dengan angka. Penulisan seperti itu juga tidak sesuai dengan
kaidah. Lambang bilangan yang dipakai secara berturut-turut
ditulis dengan angka meskipun dapat dinytakan dengan satu
atau dua kata. Oleh karena itu, kalimat (3) dapat diperbaiki
menjadi seperti berikut.
3a) Dalam sehari ini kita menerima 5 orang tamu: 2 orang
dari Jakarta dan 3 orang dari luar Jakarta.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana penga­ turan
penulisan lambang bilangan? Kapan lambang bi­ langan ditulis
dengan angka, kapan ditulis dengan huruf, dan kapan ditulis
dengan angka dan huruf sekaligus? Lambang bilangan yang
harus ditulis dengan angka adalah lambang bilangan yang
menyangkut (1) ukuran (panjang, berat, luas, dan isi), waktu,
dan nilai uang; (2) nomor alamat (jalan, rumah, kamar hotel/
apartemen/kantor); serta (3) menomori bagian karangan dan
ayat kitab suci. Berikut ini penjelasannya satu per satu.
Penulisan lambang bilangan dengan angka kelom­ pok
pertama adalah penulisan lambang bilangan yang menyangkut
ukuran (panjang, berat, luas, dan isi), waktu, dan nilai uang.
Meskipun dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata,
lambang bilangan yang menyangkut ukur­ an, waktu, dan nilai
uang ditulis dengan angka. Contohnya adalah sebagai berikut.

65
1) Untuk perbaikan ruangan itu diperlukan papan
berukuran 4 meter.
2) Setiap orang mendapatkan bantuan beras seberat 20 kg.
3) Luas tanah lapang itu lebih dari 3.000 meter.
4) Setiap mobil hanya boleh mengisi BBM bersub­ sidi paling
banyak 10 liter untuk sekali pengisian.
5) Koruptor itu divonis 10 tahun penjara dan denda
sebanyak 4 miliar rupiah.
6) Harga sepeda motor itu Rp19.350.000,00.
Lambang bilangan 4, 20, 3.000, 10, dan 10 seperti yang
tertera pada kalimat (1)—(5) sebenarnya dapat dinyatakan
dengan satu atau dua kata, tetapi hatus ditulis dengan angka
sesuai dengan kaidahnya. Kaidah juga mengatur bahwa angka
dipakai dalam penulisan nilai mata uang seperti pada kalimat
(6).
Penulisan lambang bilangan dengan angka kelom­ pok
kedua adalah penulisan lambang bilangan yang menyangkut
penomoran jalan, rumah, dan kamar hotel/apartemen/kantor.
Di bawah ini diberikan contoh­ nya dalam kalimat.
1) Rumahnya beralamat di Jalan Kenari 2/45, Rawamangun,
Jakarta Timur.
2) Dia tinggal di Jalan Manunggal 17, RT03, RW11, Nomor
29, Lubangbuaya, Cipayung, Jakarta Timur.
3) Malam itu dia menginap di Hotel Surya Kencana, Kamar
412.
4) Selama ini dia diketahui tinggal di Apartemen Global
Jaya, Tower B, Lantai 8, Kamar 805.

66
5) Ruang kerjanya di Gedung Samudra, Lantai 3, Kamar
306.
Penulisan lambang bilangan dengan angka kelompok
ketiga adalah penulisan lambang bilangan yang menyangkut
penomoran bagian karangan dan ayat kitab suci. Perhatikan
contoh berikut!
1) Kita dapat membaca aturan itu dalam buku KUHP, Bab
XVI, Pasal 310, halaman 330.
2) Ciri orang bertakwa menurut Quran dapat dilihat dalam
surah Albaqarah: 3—4.
Penulisan lambang bilangan yang berikutnya adalah
penulisan lambang bilangan dengan huruf. Lambang bi­ langan
yang ditulis dengan huruf adalah lambang bilangan yang dapat
dinyatakan dengan satu atau dua kata, kecuali dipakai secara
berurutan seperti yang telah disinggung di atas. Namun, untuk
lebih memperjelas, di bawah ini diberikan contoh pemakaiannya
lagi dalam kalimat.
1) Dalam pertemuan yang sangat penting itu hadir lima
orang gubernur dari luar Jawa.
2) Panitia telah menentukan sepuluh buku pilihan untuk
dicalonkan sebagai penerima peng­ hargaan.
3) Pembagian tugas bagi 20 siswa diatur sebagai berikut:
6 siswa sebagai penerima tamu, 6 siswa mengantarkan
hidangan, dan 8 siswa mengatur pertemuan.
4) Tahun ini di sekolah kita ada 6 anak yang me­ nerima
beasiswa: 3 beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2 beasiswa dari pe­ me­rintah daerah, dan 1
beasiswa dari peru­ sahaan.

67
Jika kita cermati, semua lambang bilangan yang terdapat
dalam kalimat-kalimat di atas dapat dinyatakan de­ ngan
satu atau dua kata. Namun, lambang bilangan pada kalimat
(3) dan (4) ditulis dengan angka semua. Hal itu sudah sesuai
dengan kaidah. Lambang bilangan pada kalimat (1) dan (2)
tidak dipakai secara berturut-turut, sedangkan pada kalimat
(3) dan (4) dipakai secara berturut-turut. Oleh karena itu,
penulisannya tidak sama.
Bagaimana kalau lambang bilangan yang tidak dapat
dinyatakan dengan satu atau dua kata, tetapi terletak pada
posisi awal kalimat? Karena kalimat harus diawali dengan
huruf kapital, lambang bilangan yang tidak dapat dinya­ takan
dengan satu atau dua kata itu tidak diletakkan pada awal
kalimat. Perhatikan kalimat berikut!
Salah
1) 135* orang akan diberangkatkan naik haji di kelurahan
kita tahun ini.
2) 350* orang guru telah lulus sertifikasi guru tahun ini di
Jakarta Timur.
Benar
1a) Di kelurahan kita tahun ini 135 orang akan
diberangkatkan naik haji.
2a) Tahun ini di Jakarta Timur 350 orang guru telah lulus
sertifikasi guru.
Penulisan lambang bilangan yang terakhir adalah penulisan
lambang bilangan dengan angka dan huruf sekaligus. Lambang
bilangan yang ditulis dengan angka dan huruf sekaligus

68
dipakai dalam kuitansi atau rumusan peraturan perundangan-
undangan. Contohnya adalah seba­ gai berikut.
1) Sudah diterima uang sebesar Rp3.500.000,00 (tiga juta
lima ratus ribu rupiah) untuk pembelian sebuah televisi
merek Tania.
2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagai­ mana
dimaksud dalam Pasal 33 dipidana de­ ngan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) ta­ hun dan/atau denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Selain lambang bilangan yang ditulis dengan huruf dan/
atau angka di atas, diatur pula penulisan lambang bilangan
tingkat. Penulisan lambang bilangan tingkat dilakukan sebagai
berikut.
Benar Salah
angkatan XI angkatan ke-XI
angkatan ke-11 angkatan ke 11
angkatan kesebelas angkatan ke sebelas
HUT LXIX HUT ke-LXIX
HUT ke-69 HUT ke 69
Pertanyaan yang muncul sehubungan dengan contoh
penulisan bilangan tingkat di atas adalah bagaimana kalau
penulisan HUT RI sebagai berikut.
1) Tahun ini bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang
Tahun LXX Republik Indoesia.
2) Tahun ini bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang
Tahun Ke-70 Republik Indoesia.

69
3) Tahun ini bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang
Tahun Ketujuh Puluh Republik Indonesia.
Penulisan lambang bilangan seperti pada kalimat (1)—
(3) sudah benar. Pada kalimat (1) digunakan angka Romawi.
Dalam hal ini tidak perlu digunakan kata ke. Kata ke perlu
digunakan pada penulisan lambang bilangan tingkat yang
menggunakan angka Arab seperti dalam kalimat (2). Cara
penulisan lambang bilangan tingkat juga dapat dilakukan
dengan menggunakan huruf semua seperti dalam kalimat (3).
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika lambang bilangan
tingkat itu lebih dari satu kata, setiap awal kata ditulis dengan
huruf awal kapital. Selain itu, kata ketujuh ditulis serangkai,
tetapi frasa ketujuh puluh ditulis terpisah.
3.6 Penulisan Kata Ganti dan Kata Sandang
Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia diatur
penulisan kata ganti ku-, kau-, -ku, -mu, dan –nya. Lalu, kata
sandang yang diatur adalah si dan sang. Penulisan kata ganti
ku- (proklitik/terletak di depan) dan –ku (enklitik/terletak
di akhir) tidak menimbulkan masalah dalam penulisannya.
Penulisan kata seperti kusampaikan, kuambil, bukuku, atau
rumahku tidak menimbulkan masalah. Penulisan kata ganti –
mu dan –nya juga tidak menimbulkan masalah. Penulisan kata
seperti suratmu, pendapatmu, masalahnya, atau jumlahnya
tidak menimbulkan masalah. Yang sering menimbulkan
masalah adalah penulisan kata ganti kau-. Penulisan kau-
lebih banyak salah. Perhatikan kalimat berikut!

70
1) Kau ambilkan* titipan itu minggu depan.
2) Kemarin kau bawa* titipan itu saat pulang dari sini.
Pada kalimat (1) dan (2) di atas kata ganti kau- ditulis
terpisah dari kata yang mengikutinya. Penulisan seperti
itu sering ditemukan, tetapi tidak sesuai dengan kaidah.
Seharusnya, kata ganti kau- ditulis serangkai de­ ngan kata
yang mengikutinya sehingga kalimat di atas dapat diperbaiki
menjadi seperti berikut.
1a) Nak, tolong kauambilkan buku itu!
2a) Kemarin kaubawa titipan itu dalam tasmu.
Ada hal yang perlu diingat, yakni bahwa tidak semua
kata ganti kau ditulis serangkai. Lalu, bagaimana cara
membedakannya? Untuk mengetahuinya, perhatikan kalimat
di bawah ini!
3) Setelah mengerjakan tugas itu, kau boleh pulang nanti.
4) Kau akan mendapat hadiah itu kalau nilai rapormu
bagus.
Pada kalimat (3) dan (4) kata ganti kau ditulis terpisah dari
kata yang mengikutinya. Hal itu berbeda dengan kata ganti
kau- pada kalimat (1) dan (2). Jika dicermati, kata ganti kau-
pada kalimat (1) dan (2) dengan kalimat (3) dan (4) memang
berbeda. Perbedaannya terletak pada fungsi kata ganti kau-
dalam kalimat. Kita bandingkan kalimat (1) dan kalimat (3)
berikut.
1) Kauambilkan // titipan itu // minggu depan.
P S K

71
2) Setelah mengerjakan tugas itu, // kau // boleh pulang // nanti.
K S P K
Dari contoh perbandingan di atas terlihat perbedaan fungsi
kata ganti kau-. Pada kalimat (1) kata ganti kau- berfungsi
sebagai bagian dari predikat, sedangkan pada kalimat (2)
berfungsi sebagai subjek. Hal serupa dapat dilihat pada kalimat
(3) dan (4) berikut ini.
3) Kemarin // kaubawa // titipan itu// saat pulang dari sini.
K P S K
4) Kau // akan mendapat // hadiah itu // kalau nilai rapormu
bagus.
S P O K
Pada kalimat (2) kata kata ganti kau- berfungsi bagian
dari predikat, sedangkan pada kalimat (4) kau- berfungsi
sebagai subjek. Dengan demikian, jelaslah bahwa kau- yang
ditulis serangkai adalah kau- yang berfungsi sebagai bagian
predikat, sedangkan kau yang ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya adalah kau yang berfungsi sebagai subjek.
Penulisan kata sandang si dan sang sudah jelas, yakni
ditulis terpisah dari kata berikutnya dan ditulis dengan huruf
kecil. Khusus kata sandang sang ditulis dengan huruf awal
kapital hanya untuk nama Tuhan. Perhatikan perbedaan
penulisan dalam kalimat di bawah ini!
1) Selama ini dia tidak berani melanggar perintah sang
ayah.
2) Serahkan semua masalah itu kepada Sang Pencipta.

72

73
4. PEMAKAIAN TANDA BACA
Tanda baca yang diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia meliputi tanda titik, tanda koma, tanda titik koma,
tanda titik dua, tanda hubung, tanda pisah, tanda tanya, tanda
seru, tanda elipsis, tanda petik, tanda kurung, tanda garis
miring, dan tanda apostrof. Berikut penjelasannya satu per
satu.
4.1 Tanda Titik
Penerapan kaidah tanda titik tidak banyak menim­ bulkan
masalah selain yang dibahas pada penulisan sing­ katan atau
akronim di atas. Namun, ada kesalahan yang masih sering
ditemukan, yaitu (1) penggunaan tanda titik pada akhir
penomoran yang lebih dari satu angka dan (2) digunakan pada
angka atau huruf yang sudah menggunakan tanda kurung.
Perhatikan contoh berikut.
1) * 1. Pengaruh Bahasa Daerah dan Bahasa Asing
1.1. Pengaruh Bahasa Daerah

74
1.1.1. Pengaruh Positif
1.1.2. Pengaruh Negatif
1.2. Pengaruh Bahasa Asing
1.2.1. Pengaruh Positif
1.2.2. Pengaruh Negatif
2) * Hal-hal yang harus disiapkan dalam pelaksanaan
kemah adalah sebagai berikut:
a). tenda,
b). pakaian secukupnya,
c). peralatan masak,
d). peralatan mandi,
e). bekal makanan, dan
f). obat-obatan.
Kesalahan penggunaan tanda titik seperti pada con­ toh (1)
di atas sering ditemukan dalam tulisan-tulisan resmi seperi
karya ilmiah atau laporan kegiatan. Begitu juga kesalahan
penggunaan seperti pada contoh (2). Menurut kaidahnya, tanda
titik tidak digunakan pada akhir penomoran yang lebih dari
satu angka. Tanda titik juga tidak digunakan pada penomoran
yang sudah meng­ gunakan tanda kurung. Oleh karena itu,
contoh di atas dapat diperbaiki menjadi seperti berikut.
1a) 1. Pengaruh Bahasa Daerah dan Bahasa Asing
1.1 Pengaruh Bahasa Daerah
1.1.1 Pengaruh Positif
1.1.2 Pengaruh Negatif
1.2 Pengaruh Bahasa Asing
1.2.1 Pengaruh Positif
1.2.2 Pengaruh Negatif

75
2a) Hal-hal yang harus disiapkan dalam pelak­ sanaan
kemah adalah sebagai berikut:
a) tenda,
b) pakaian secukupnya,
c) peralatan masak,
d) peralatan mandi,
e) bekal makanan, dan
f) obat-obatan.
4.2 Tanda Koma
Dalam praktik berbahasa sering ditemukan kesa­ lahan
pemakaian tanda koma. Kesalahan yang cukup mencolok
adalah pemakaian tanda koma untuk memi­ sahkan induk
kalimat dan anak kalimat dalam kalimat majemuk yang anak
kalimatnya mengiringi induk kalimat. Perhatikan contoh
berikut.
1) Masyarakat yang datang ke tempat pembagian sembako
itu terlalu banyak,* sehingga panitian kewalahan.
2) Era teknologi seperti sekarang ini akses informasi sangat
bebas,* sehingga diperlukan bimbingan orang tua bagi
anak-anaknya.
Salah satu kaidah tanda koma menyatakan bahwa tanda
koma tidak dipakai untuk memisahkan induk kalimat dengan
anak kalimat jika induk kalimat mendahului anak kalimat
atau anak kalimat mengiringi induk kalimat. Kalimat (1) di
atas merupakan kalimat majemuk bertingkat. Begitu pula
kalaimat (2). Kalimat (1) terdiri atas 1 induk kalimat dan 1 anak
kalimat. Bagian yang pertama, yaitu masyarakat yang datang

76
ke tempat pembagian sembako itu terlalu banyak, merupakan
induk kalimat, sedangkan bagian kedua, yaitu sehingga panitia
kewalahan, merupakan anak kalimat. Kalimat (2) juga terdiri
atas 1 induk kalimat dan 1 anak kalimat. Bagian yang pertama,
yaitu era teknologi seperti sekarang ini akses informasi sangat
bebas, merupakan induk kalimat, sedangkan bagian kedua,
yaitu sehingga diperlukan bimbingan orang tua bagi anak-
anaknya, merupakan anak kalimat. Hal itu berarti bahwa pada
kalimat (1) dan (2) induk kalimat mendahului anak kalimat
atau anak kalimat mengiringi induk kalimat. Oleh karena itu,
di antara induk dan anak kalimat (1) dan (2) tidak digunakan
tanda koma seperti perbaikannya berikut.
1a) Masyarakat yang datang ke tempat pembagian sembako
itu terlalu banyak sehingga panitia kewalahan.
2a) Era teknologi seperti sekarang ini akses infor­ masi
sangat bebas sehingga diperlukan bim­ bingan orang
tua bagi anak-anaknya.
Banyak orang yang menggunakan tanda koma yang
tampaknya atas dasar atau pertimbangan jeda dalam
pembacaannya. Padahal, aturan yang benar tidak seperti itu.
Jika penggunaan tanda koma atas pertimbangan jeda, contoh
kalimat berikut sama-sama menggunakan tanda koma.
3) Mereka ditegur pimpinan,* karena laporan kegiatan­ nya
terlambat.
4) Karena laporan kegiatannya terlambat, mereka ditegur
pimpinan.
Jika hanya dirasa-rasa, penggunaan tanda koma seperti
pada kalimat (3) dan (4) sama-sama benar. Seharusnya,

77
penggunaan tanda koma dalam kedua kalimat tersebut harus
melihat anak kalimat dan induk kalimatnya (klausa subordinat
dan klausa utama). Kaidahnya mengatur bahwa anak kalimat
yang mendahului induk kalimat dipisahkan dengan tanda
koma. Jika kita cermati, kalimat (3) terdiri atas induk kalimat
dan anak kalimat. Bagian kalimat mereka ditegur pimpinan
merupakan induk kalimat, sedangkan bagian kalimat karena
laporan kegiatannya terlambat merupakan anak kalimat.
Oleh karena itu, mestinya koma tidak digunakan. Sebaliknya,
kalimat (4) sudah benar. Pada kalimat (4) anak kalimat
mendahului induk kalimat. Oleh karena itu, setelah anak
kalimat digunakan tanda koma.
Barangkali pertanyaan yang muncul adalah bagai­ mana
menentukan anak kalimat dan induk kalimat. Yang harus
diingat lebih dahulu adalah bahwa anak kalimat hanya ada
dalam kalimat majemuk bertingkat (kalimat kompleks).
Lalu, kalimat majemuk bertingkat sekurang-kurang terdiri
atas 2 subjek dan 2 predikat. Namun, jika subjeknya sama,
yang muncul hanya satu subjek. Adapun anak kalimat dapat
dikenali lewat (1) kata penghubung yang mengawalinya,
(2) ketidakmandiriannya sebagai sebuah kalimat, dan (3)
keberadaan unsur predikat sekurang-kurangnya. Perhati­ kan
baik-baik contoh berikut!
5) Karena tidak punya uang yang cukup, dia mengurungkan
niatnya untuk membeli mobil.
6) Mereka terlambat sehingga tidak dapat mengikuti acara
yang pertama.

78
Bagian kalimat yang dicetak miring pada kalimat (5) dan
(6) di atas merupakan anak kalimat, sedangkan bagian yang
lainnya merupakan induk kalimat. Anak kalimat pada kalimat
(5) diawali kata penghubung karena, sedang­ kan anak kalimat
(6) diawali kata penghubung sehingga. Setiap anak kalimat itu
tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat lengkap. Jadi, bagian
kalimat karena tidak punya uang yang cukup bukan merupakan
kalimat lengkap. Begitu juga bagian kalimat sehingga tidak
dapat mengikuti acara yang pertama. Di samping itu, dalam
setiap anak kalimat di atas terdapat predikat. Predikat pada
anak kalimat yang pertama adalah tidak punya, sedangkan
predikat pada anak kalimat yang kedua adalah tidak dapat
mengikuti. Dengan demikian, kedua bagian kalimat di anak
termasuk anak kalimat. Anak kalimat pada kalimat (5) dikuti
tanda koma karena anak kalimat mendahului induk kalimat.
Sebaliknya, anak kalimat pada kalimat (6) tidak diikuti koma
karena anak kalimat mengiringi induk kalimat.
Di atas sudah dibahas kaidah pemakaian tanda koma untuk
memisahkan anak kalimat yang mendahului induk kalimat. Itu
baru salah satu kaidah tanda koma. Namun, penerapan kaidah
itu memang sangat sering salah. Masih ada sejumlah kaidah
tanda koma yang juga masih sering salah dalam penerapannya
seperti dalam kalimat berikut.
7) Mereka membeli kertas, buku, dan laptop.
8) Dia tidak ingin memiliki lukisan itu, tetapi hanya
ingin melihatnya.
9) Oleh karena itu, persoalan itu kita anggap selesai.
10) Kantornya beralamat di Jalan Daksinapati Barat IV,
Rawamangun, Jakarta Timur.

79
11) Sekarang nama lengkapnya adalah Dr. Siti Nur
Azizah, S.H.
12) Semua karyawan, baik laki-laki maupun perem­ puan,
besok pagi harus ikut kerja bakti di halaman kantor.
Seperti pada kalimat (7) tanda koma digunakan untuk
memisahkan bagian-bagian dalam perincian. Namun, dalam
praktiknya banyak orang yang tidak menggunakan tanda
koma sebelum perincian terakhir. Tentu saja hal itu tidak
sesuai dengan kaidah. Pada kalimat (8) terlihat bahwa tanda
koma digunakan sebelum kata tetapi dalam sebuah kalimat.
Akan tetapi, banyak juga ditemukan kalimat yang tidak
menggunakan tanda koma seperti pada kalimat (8). Tanda
koma juga digunakan setelah kata penghubung antarkalimat
seperti pada kalimat (9). Dalam sebuah kalimat kata
penghubung seperti jadi, oleh karena itu, dengan demikian,
atau meskipun begitu harus diikuti tanda koma. Contoh
kalimat (10) memperlihatkan penggunaan tanda koma untuk
memisahkan bagian-bagian alamat yang ditulis menyamping.
Namun, masih banyak tulisan yang mencantumkan bagian-
bagian alamat yang tidak dipi­ sahkan dengan tanda koma.
Selanjutnya, tanda koma digunakan untuk memisahkan antara
nama dan singkatan gelar akademik seperti pada kalimat (11).
Pada Kenya­ taannya cara penulisan seperti itu masih banyak
salah. Kaidah tanda koma selanjutnya adalah tanda koma
yang digunakan untuk mengapit keterangan tambahan seperti
pada kalimat (12). Cara penulisan seperti itu juga sering salah.

80
4.3 Tanda Titik Koma
Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan
dengan kaidah pemakaian tanda titik koma, yaitu (1) untuk
menggantikan kata penghubung yang memisahkan kalimat
satu dengan kalimat lain dalam kalimat majemuk setara,
(2) untuk mengakhiri perincian yang berupa klausa, dan (3)
untuk memisahkan bagian-bagian dalam kalimat yang sudah
menggunakan tanda koma. Pertahikan contoh di bawah ini!
1) Sore itu cuaca di pinggir Pantai Losari sangat cerah;
sejumlah keluarga tampak sedang bersantai; para
pedagang kaki lima baru saja menggelar dagangannya.
2) Syarat untuk memiliki rumah susun adalah sebagai
berikut:
a. memiliki kartu tanda penduduk (KTP) setempat;
b. berpenghasilan Rp4.000.000,00—Rp7.000.000,00;
c. sudah menikah; dan
d. belum punya rumah.
3) Untuk kegiatan perkemahan itu semua peserta harus
membawa peralatan mandi seperti sabun, sikat gigi,
dan odol; peralatan makan dan masak-memasak
seperti kompor, panci, piring, dan cangkir; dan
peralatan pemasangan tenda seperti tenda, tali-temali,
paku pancang, pisau, atau gunting.
Pada kalimat (1) tanda titik koma digunakan untuk
memisahkan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam
kalimat mejemuk setara. Kalimat (1) terdiri atas tiga kalimat
tunggal. Antarkalimat itu dipisahkan dengan tanda titik koma

81
yang sebenarnya tanda titik koma itu dapat digantikan dengan
kata penghubung seperti kalimat berikut.
1a) Sore itu cuaca di pinggir Pantai Losari sangat cerah
dan sejumlah keluarga tampak sedang bersantai
serta para pedagang kaki lima baru saja menggelar
dagangannya.
Kalimat (2) memiliki empat perincian. Semua perincian itu
berupa klausa karena di dalamnya terdapat kata atau frasa
verba. Secara berturut-turut verba yang digunakan adalah
memiliki, berpenghasilan, sudah menikah, dan belum punya.
Kalimat (1) merupakan kalimat majemuk setara (kalimat
majemuk), sedangkan kalimat (2) merupakan kalimat tunggal
(simpleks). Tanda titik koma pada kalimat (1) digunakan
antarkalimat tunggal yang menjadi bagian dari kalimat
majemuk setara tersebut. Namun, pada kalimat (2) tanda
titik koma tidak digunakan antarkalimat tunggal, tetapi
untuk memisahkan antarpe­ rincian yang dalam setiap
perinciannya sudah menggu­ nakan tanda koma. Sebenarnya
untuk memisahkan bagian-bagian dalam perincian digunakan
tanda koma. Jika itu yang diikuti, tidak jelas perbedaan
antarperincian dan antarbagian dalam perincian. Bandingkan
kalimat (2) dengan (2a) berikut!
2a) Untuk kegiatan perkemahan itu semua peserta
harus membawa peralatan mandi seperti sabun,
sikat gigi, dan odol, peralatan makan dan masak-
memasak seperti kompor, panci, piring, dan cangkir,
dan peralatan pemasangan tenda seperti tenda, tali-
temali, paku pancang, pisau, atau gunting.

82
Ada satu hal lagi sehubungan dengan penggunaan tanda
koma di atas, yaitu penggunaan tanda titik koma untuk
akhir perincian yang biasanya ditulis menurun. Ketentuan
itu hanya berlaku dalam rumusan peraturan perundang-
undangan. Dalam hubungan itu, penggunaan tanda titik
koma tidak mempertimbangkan apakah perincian tersebut
berupa kalimat tunggal atau bukan. Penggunaan tanda titik
koma dalam peraturan perundang-undangan itu juga tidak
mempertimbangkan apakah dalam setiap perincian itu sudah
digunakan tanda koma atau belum. Ketentuan itu merupakan
ketentuan khusus yang hanya berlaku dalam ragam bahasa
peraturan perun­ dangan-undangan seperti yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berikut adalah
contoh­nya.
(1) Administrasi umum pemerintahan yang baik dalam
undang-undang ini meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
(2) Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan
yang melampaui wewenang apabila:

83
a. bertindak melampaui batas waktu berlakunya
wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan;
b. bertindak melampaui batas wilayah berlakunya
wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan; dan/atau
c. menggunakan prosedur yang tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 26 sampai dengan Pasal 28.
4.4 Tanda Titik Dua
Hingga saat ini kesalahan penggunaan tanda titik dua lebih
banyak ditemukan dalam laporan kegiatan, surat dinas, atau
laporan penelitian dalam kasus seperti berikut.
1) Kegiatan penataran bagi para calon penyuluh bahasa
Indonesia merupakan kegiatan yang sangat dinanti-
nanti oleh para pegawai di lingkungan Badan
Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Hal itu
wajar karena jumlah pegawai yang dapat mengikuti
penataran sangat terbatas. Karena peminatnya begitu
besar, kegiatan penataran itu perlu terus diadakan
dan ditingkatan. Sehubungan dengan itu, kami perlu
melaporkan hal-hal sebagai berikut:
1. Persiapan
….
2. Pelaksanaan
….
3. Hambatan
….

84
4. Solusi
….
5. Penutup
Contoh laporan di atas kalau ditulis lengkap dapat
mencapai tiga puluh halaman atau lebih. Perhatikan kalimat
yang terakhir! Kalimat terakhir itu diakhiri tanda titik dua.
Pertanyaan yang muncul adalah kapan kalimat tersebut
berhenti. Jawabannya tidak pernah berhenti karena setelah
kalimat itu, ada sub-subjudul baru yang masing-masing diikuti
uraian yang terdiri atas sejumlah paragraf. Kesalahan seperti
itu sering ditemukan dalam penulisan laporan kegiatan di
kantor-kantor pemerintah atau swasta.
Bagaimana yang benar menurut kaidahnya? Kaidah­ nya
berbunyi begini. “Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu
pernyataan lengkap jika diikuti pemerincian atau penjelasan.”
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami
kaidah itu, yaitu (1) pernyataan lengkap, (2) pemerincian atau
penjelasan. Pernyataan lengkap sama penger­ tiannya dengan
kalimat lengkap. Artinya, pernyataan ter­ sebut sekurang-
kurangnya mengandung unsur subjek dan predikat. Kemudian,
pemerincian atau penjelasan sama penger­ tiannya dengan
penguraian unsur-unsurnya.
Mari kita cermati kalimat Sehubungan dengan itu, kami perlu
melaporkan hal-hal sebagai berikut. Kalimat itu merupakan
pernyataan lengkap atau kalimat lengkap karena mengandung
subjek dan pre­ dikat. Jika diuraikan atas unsur-unsurnya,
kalimat itu terdiri atas kata penghubung (sehubungan dengan
itu), subjek (kami), predikat (perlu melaporkan), dan objek

85
(hal-hal sebagai berikut). Jadi, pernyataan tersebut ter­ masuk
pernyataan lengkap.
Pertanyaan berikutnya adalah pernyataan tersebut diikuti
perincian atau tidak. Pernyataan lengkap tersebut diikuti
perincian atau uraian. Namun, perincian atau uraiannya tidak
dalam satu kalimat dengan pernyataannya, tetapi ada pada
sub-subjudul baru dengan uraiannya yang dapat mencapai
puluhan halaman. Dengan kata lain, perincian atau uraian
kalimat di atas bukan bagian pernyataan. Hal itu penting
karena terkait dengan penentuan tanda baca yang digunakan,
dalam hal ini tanda titik dua atau tanda titik.
Kapan tanda titik dua digunakan sesudah pernyataan
lengkap? Tanda titik dua digunakan sesudah pernyataan yang
diikuti perincian apabila perincian itu merupakan bagian dari
penyataan lengkap tersebut. Perhatikan contoh berikut!
2) Mahasiswa yang akan mengadakan penelitian harus
melakukan hal-hal berikut:
a) mengadakan survei awal,
b) menyusun proposal penelitian,
c) mengumpulkan data,
d) mengolah data, dan
e) menyusun laporan penelitian.
Pernyataan pada contoh (2) termasuk pernyataan lengkap.
Pernyataan itu terdiri atas subjek (mahasiswa yang akan
mengadakan penelitian), predikat (harus melakukan), dan
objek (hal-hal berikut). Kemudian, pernyataan lengkap tersebut
diikuti perincian, yaitu (a)—(e). Yang perlu dicatat di sini adalah
bahwa perincian tersebut merupakan bagian pernyataan

86
karena semua unsur perincian itu bukan merupakan kalimat
yang dapat berdiri sendiri. Konsekuensinya adalah bahwa
setiap awal perincian dimulai dengan huruf kecil dan setiap
akhir perincian diakhiri tanda titik koma, kecuali perincian
yang terakhir dengan tanda titik. Agar masalahnya lebih jelas,
contoh di bawah ini dapat dijadikan bandingannya.
3) Mahasiswa yang akan mengadakan penelitian harus
melakukan hal-hal berikut.
a) Sebagai persiapan penelitian, mahasiswa perlu
mengadakan survei awal.
b) Setelah persiapan cukup, mahasiswa harus menyusun
proposal penelitian.
c) Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data.
d) Setelah data terkumpul, tahap berikutnya adalah
mengolah data.
e) Langkah terakhir dalam penelitian adalah menyusun
laporan penelitian.
Pada contoh (3) pernyataannya termasuk pernyataan
lengkap dan diikuti perincian. Akan tetapi, perinciannya berupa
kalimat-kalimat lengkap. Berbeda halnya dengan contoh (2)
yang perinciannya bukan merupakan kalimat lengkap. Oleh
karena itu, tanda baca yang mengikuti pernyataan berbeda.
Pada contoh (2) pernyataan diikuti tanda titik dua, sedangkan
pada contoh (3) pernyataan diikuti tanda titik. Setiap awal
perincian pada contoh (2) diawali dengan huruf kecil dan
diakhiri dengan tanda koma, sedangkan setiap perincian pada
contoh (3) diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda titik.

87
Masih ada pertanyaan lagi sehubungan dengan penggunaan
tanda baca setelah pernyataan yang diikuti perincian di atas.
Pertanyaannya adalah bagaimana jika pernyataannya bukan
merupakan pernyataan lengkap, tetapi juga diikuti perincian.
Jika pernyataannya bukan merupakan pernyataan lengkap,
tetapi diikuti perincian, setelah pernyataan tersebut tidak
diikuti tanda baca apa pun. Perhatikan contoh berikut!
4) Laporan kegiatan ini meliputi
a) persiapan,
b) pelaksanaan,
c) hambatan di lapangan,
d) cara mengatasinya, dan
e) penutup.
Contoh (4) juga terdiri atas pernyataan dan perincian.
Namun, pernyataannya bukan merupakan pernyataan
lengkap. Pernyataan pada contoh (4) terdiri atas subjek (laporan
kegiatan ini) dan predikat (meliputi). Agar pernyataan itu
lengkap, harus ada objek. Ternyata objek­ nya berupa perincian
(a)—(e). Hal itu berarti bahwa perincian merupakan bagian
dari pernyataan. Oleh karena itu, setelah pernyataan tidak
digunakan tanda baca apa pun.
4.5 Tanda Hubung
Ada sejumlah jenis kesalahan penggunaan tanda hubung,
antara lain, penggunaan tanda hubung untuk menulis kata
ulang; untuk memisahkan tanggal, bulan, dan tahun; untuk
memisahkan huruf kecil dengan huruf besar dalam sebuah
kata; atau untuk memisahkan angka dan huruf dalam satu
kata. Perhatikan contoh di bawah ini!

88
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian.
2) Rapat dilaksanakan tanggal 12-9-2019 di Jakarta.
3) Pertandingan itu diikuti peserta se-Jawa dan Bali.
4) Dia dikenal sebagai penulis sastra angkatan 70-an.
5) Kegiatan itu di-back up oleh pejabat setempat.
Menurut kaidah semua kata ulang ditulis dengan tanda
hubung, baik kata ulang dasar maupun kata ulang berimbuhan.
Ketentuan itu berlaku dalam penulisan judul karangan atau
judul dokumen resmi. Dalam praktiknya penu­ lisan kata ulang
seperti makan-makan, pagi-pagi, besar-besar, atau baik-baik
hampir tidak masalah. Masalah kadang-kadang muncul dalam
penulisan kata ulang berimbuhan. Kadang-kadang orang
menulis kata ulang berimbuhan sacara salah, misalnya, menyia
nyiakan, memata matai, atau kepura puraannya. Penulisan
yang benar adalah menyia-nyiakan, memata-matai, atau
kepura-puraan. Kesalahan lain yang kadang-kadang muncul
adalah penulisan judul karangan atau dokumen seperti pada
kalimat (1). Contoh penulisan kata ulang pada kalimat (1)
sudah benar. Namun, penulisannya sering salah menjadi kata
Undang-undang dan Pokok-pokok.
Penggunaan tanda seperti pada kalimat (2) sudah benar.
Akan tetapi, dalam praktiknya kadang-kadang salah,
misalnya, tanggal 12-September-2019. Jika nama bulan ditulis
lengkap, tanda hubung tidak lagi digunakan. Penulisan yang
benar adalah tanggal 12 September 2019. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah bahwa meskipun tanggal, bulan, dan
tahun yang ditulis dengan angka itu benar, untuk surat dinas

89
digunakan nama bulan, bukan dengan angka. Alasannya
adalah bahwa nama bulan lebih mencerminkan keresmian. Di
samping itu, untuk jenis surat tertentu pencantuman nama
bulan lebih aman.
Pengaturan kaidah tanda hubung selanjutnya adalah
penggunaan tanda hubung pada pertemuan huruf kecil
dengan huruf kapital atau huruf dengan angka dalam sebuah
kata. Contoh pada kalimat (3) dan (4) sudah benar. Dalam
praktiknya penerapan kaidah tanda hubung jenis ini juga
kadang-kadang salah. Penulisan seperti HUT ke 67 RI, se DKI
Jakarta, atau tahun 50an merupakan contoh penulisan yang
salah. Seharusnya, yang benar adalah HUT ke-67 RI, se-DKI
Jakarta, atau tahun 50-an.
Ada satu kaidah tanda hubung lagi, yaitu tanda hubung di
antara imbuhan bahasa Indonesia yang diikuti kata asing atau
kata daerah. Contoh penulisan pada kalimat (5) merupakan
contoh penulisan yang benar. Sejalan dengan itu, penulisan
yang benar adalah di-peusijuk (Aceh/’ditepungtawari’), di-
sowan-i (Jawa/’di­ da­tangi’), atau ber-pariban (Batak/’bersaudara
sepupu’) adalah contoh penulisan yang juga benar.
4.6 Tanda Pisah
Pengalaman penulis di lapangan menunjukkan bahwa tanda
pisah masih jarang diterapkan dalam praktik berbahasa
sehari-hari. Yang lebih mengherankan lagi adalah bahwa pada
umumnya orang tidak tahu bahwa ada tanda pisah dalam kaidah
Ejaan Bahasa Indonesia. Padahal, tanda pisah dicantumkan
dalam Ejaan Bahasa Indonesia bersamaan dengan tanda
baca yang lain. Hal itu terjadi mungkin karena tanda yang

90
digunakan hampir sama. Tanda hubung lebih pendek daripada
tanda pisah. Berikut contoh penerapan kaidah tanda hubung
yang salah.
1) Perang itu terjadi tahun 1928-1930.*
2) Rapat akan dilaksanakan pukul 08.00-12.00.*
Pada umumnya orang menulis sampai dengan menggunakan
tanda hu­ bung seperti pada contoh (1) dan (2). Penulisan seperti
itu salah. Seharusnya, tanda baca yang digunakan adalah
tanda pisah, bukan tanda hubung sehingga perbaikannya
menjadi seperti berikut:
1a) Perang itu terjadi tahun 1928—1930.
2a) Rapat akan dilaksanakan pukul 08.00—12.00.
Ada cara lain untuk menulis frasa atau kelompok kata
sampai dengan. Pertama, frasa itu tidak disingkat. Kedua,
frasa sampai dengan disingkat menjadi s.d. Perhatikan contoh
berikut!
1b) Perang itu terjadi tahun 1928 sampai dengan 1930.
2b) Rapat dilaksanakan pukul 08.00 sampai dengan 12.00.
1c) Perang itu terjadi tahun 1928 s.d. 1930.
2c) Rapat akan dilaksanakan pukul 08.00 s.d. 12.00.
Perlu dicatat bahwa sampai dengan yang disingkat dengan
s/d seperti yang ada di spanduk-spanduk di pusat-pusat
perbelanjaan merupakan contoh kesalahan yang diperagakan
oleh para pengelola pusat perbelanjaan tersebut.
4.7 Tanda Tanya
Kaidah tanda tanya hanya dua, yaitu (1) digunakan pada akhir
kalimat tanya dan (2) digunakan untuk menan­ dai bagian

91
kalimat yang diragukan. Penerapan tanda tanya untuk kalimat
tanya hampir tidak menimbulkan masalah. Masalah kadang-
kadang muncul jika kalimat tanya itu dalam kutipan langsung.
Berikut ini contohnya.
1) Ayah berkata, “Kapan kita harus datang di tempat itu,
Nak”?*
2) Siapa pencipta lagu “Satu Nusa Satu Bangsa?”*
Penulisan seperti pada kalimat (1) dan (2) itu contoh
penulisan tanda tanya yang salah. Pada kalimat tanya yang
ditulis dalam kutipan, tanda tanya ditulis sebelum tanda petik.
Jadi, urutannya tanda tanya dulu lalu diikuti tanda petik.
Namun, berbeda halnya dengan kalimat (2). Pada kalimat itu
yang dikutip adalah judul lagu. Oleh karena itu, tanda tanya
diletakkan sesudah tanda petik. Dengan demikian, penggunaan
tanda tanya pada kedua kalimat tersebut dapat diperbaiki
menjadi seperti berikut.
1a) Ayah berkata, “Kapan kita harus datang di tempat itu,
Nak?”
2a) Siapa pencipta lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”?
4.8 Tanda Seru
Tanda seru digunakan untuk ungkapan atau per­ nyataan
yang berupa seruan atau perintah yang meng­ gambarkan
kesungguhan, ketidakpercayaan, atau emosi yang kuat.
Namun, dalam praktik berbahasa masih sering ditemukan
kesalahan penulisan kalimat seru. Berikut contoh kesalahan
itu.

92
1) Perhatikan contoh berikut.*
2) Alangkah segarnya udara pagi di pegunungan ini.*
3) Yang benar saja.*
4) Semangat terus.*
Kalimat (1) termasuk kalimat perintah. Penggunaan kata
perha­tikan merupakan tanda bahwa kalimat itu kalimat
perintah. Oleh karena itu, penggunaan tanda titik pada
akhir kalimat perintah tersebut salah. Seharusnya, kalimat
(1) diakhiri dengan tanda seru. Kalimat (2) juga meru­ pakan
pernyataan kekaguman yang sungguh-sungguh tentang udara
pagi di pegunungan. Kalimat yang menggambar kesungguhan
seperti itu harus diakhiri dengan tanda seru juga, bukan tanda
titik. Kalimat (3) merupakan pernyataan yang menggambarkan
ketidakpercayaan terha­ dap sesuatu. Kalimat seperti itu juga
harus diakhiri dengan tanda seru, bukan tanda titik atau
tanda tanya. Kalimat (4) dapat diakhiri dengan tanda titik,
tetapi pernyataan seperti itu hanya merupakan pernyataan
biasa yang tidak meng­ gambarkan semangat yang besar. Jika
ingin menggam­ barkan semangat yang bergelora, kalimat (4)
harus di-akhi­ ri dengan tanda seru. Dengan demikian, keempat
kalimat di atas dapat diperbaiki seperti di bawah bini.
1a) Perhatikan contoh berikut!
2a) Alangkah segarnya udara pagi di penungan ini!
3a) Yang benar saja!
4a) Semangat terus!
4.9 Tanda Elipsis
Tanda elipsis digunakan untuk menandai kalimat yang
terputus-putus atau bagian kalimat yang dihilangkan. Pada

93
umumnya pemakai bahasa sudah tahu kaidah ter­ sebut. Yang
sering salah adalah penggunaan jumlah tanda titik pada
tanda elipsis tersebut. Jika ditanya berapa tanda titik yang
digunakan, jawabannya pada umumnya ber­ beda-beda. Padahal,
jumlah titik pada tanda elipsis se­ banyak tiga titik. Jika tanda
elipsis terletak pada posisi akhir kalimat, harus digunakan 4
tanda titik: 3 titik meru­ pakan tanda elipsis dan 1 titik sebagai
tanda akhir kalimat. Berikut ini disajikan beberapa contoh
penggunaan tanda elipsis yang salah.
1) Satu ….., dua ……., tiga!
2) Kita harus ……. mengantre untuk mendapatkan tiket.
3) Semua warga negara harus mau membayar ……
4) Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan mulai
berlaku pada tahun ……
a. 1928 c. 1965
b. 1945 d. 1972
Tanda titik pada kalimat (1) yang merupakan tanda elipsis
tidak sama jumlahnya. Pada tanda elipsis bagian pertama
digunakan 5 tanda titik yang diikuti tanda koma dan pada
bagian kedua digunakan 7 tanda titik yang diikuti tanda koma
juga. Tanda titik yang digunakan pada kalimat (2) tujuh.
Lalu, pada kalimat (3) digunakan enam tanda titik. Dalam
pembuatan soal yang berbentuk pilihan ganda sering juga
digunakan tanda elipsis. Akan tetapi, pada umumnya juga
salah dalam penggunan tanda titiknya. Pada contoh kalimat
(4) digunakan enam tanda titik. Penggunaan tanda titik pada
keempat kalimat di atas harus diperbaiki menjadi seperti
berikut.

94
1a) Satu …, dua …, tiga!
2a) Kita harus … mengantre untuk mendapatkan tiket.
3a) Semua warga negara harus mau membayar ….
4a) Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan mulai
berlaku pada tahun ….
a. 1928 c. 1965
b. 1945 d. 1972
4.10 Tanda Petik
Nama tanda petik dalam ejaan ini yang dimaksud adalah tanda
petik dua, sedangkan tanda petik satu disebut tanda petik
tunggal. Tanda petik digunakan, antara lain, untuk mengapit
kutipan langsung, judul puisi, lagu, film, sinetron, serta kata
atau istilah yang mempunyai arti khusus. Perhatikan kalimat
di bawah ini!
1) Kata ustaz, “Kita memang harus selalu bersabar dalam
menghadapi hidup ini.”
2) “Aku” merupakan judul sajak Chairil Anwar yang sangat
terkenal.
3) Lagu Bimbo “Tuhan” merupakan contoh lagu lama yang
melegenda.
4) Film Indonesia yang berjudul “Laskar Pelangi” pernah
menjadi film nasional yang sangat laris.
5) Mereka dilarang memberikan “amplop” kepa­ da panitia
kegiatan itu.
Kesalahan yang sering ditemukan di lapangan ada­ lah
penggunaan tanda petik untuk mengapit kata bahasa asing
atau bahasa daerah seperti pada kalimat berikut.

95
6) Istilah “deadline”* dan “ballroom”* dipadan­ kan dengan
tenggat* dan balai riung.*
7) Dalam menyikapi masalah itu diperlukan sikap “legawa”.*
Penggunaan tanda petik seperti pada kalimat (6) dan (7)
tidak benar. Kata bahasa asing atau kata bahasa daerah tidak
diapit dengan tanda petik, tetapi ditulis dengan huruf miring.
Di samping itu, untuk menuliskan terjemahan tidak digunakan
huruf tebal, tetapi menggunakan tanda petik tunggal. Dengan
demikian, penulisan kalimat (6) dan (7) dapat diperbaiki
menjadi seperti berikut.
6a) Istilah deadline dan ballroom dipadankan dengan
‘tenggat’ dan ‘balai riung’.
7a) Dalam menyikapi masalah itu diperlukan sikap legawa.
4.11 Tanda Kurung
Pada umumnya tanda kurung hanya dipahami untuk mengapit
keterangan tambahan atau penjelas. Perhatikan contoh di
bawah ini!
1) Mereka itu siswa sekolah menengah pertama (SMP) di
DKI Jakarta.
2) Kebanyakan pegawai perusahaan itu tamatan perguruan
tinggi negeri (PTN) di Jakarta.
Contoh di atas memang merupakan hal yang biasa atau
hampir tidak menimbulkan masalah. Namun, hal itu bukan
berarti bahwa tidak ada masalah dalam penulisan yang
berkaitan dengan tanda kurung. Perhatikan contoh berikut!
3) Sekurang-kurangnya ada empat kaidah bahasa Indonesia:
1.*tata bunyi atau fonologi, 2.* tata bentuk kata atau

96
morfologi, 3.* tata kalimat atau sintaksis, dan 4.* tata
tulis atau ejaan.
Pada contoh di atas terlihat bahwa penomoran perin­ cian
dalam teks digunakan tanda titik. Penomoran seperti itu salah.
Seharusnya, angka dalam penomoran seperti itu dia­ pit tanda
kurung sehingga perbaikannya menjadi seperti berikut.
3a) Sekurang-kurangnya ada empat kaidah bahasa
Indonesia: (1) tata bunyi atau fonologi, (2) tata bentuk
kata atau morfologi, (3) tata kalimat atau sintaksis, dan
(4) tata tulis atau ejaan.
Barangkali timbul pertanyaan bagaimana kalau perincian
itu ditulis menurun, bukan menyamping. Apa­ kah tetap
digunakan tanda kurung atau tanda titik. Jawab­ nya sama,
yaitu tetap dengan tanda kurung seperti berikut.
3a) Sekurang-kurangnya ada empat kaidah bahasa
Indonesia:
(1) tata bunyi atau fonologi,
(2) tata bentuk kata atau morfologi,
(3) tata kalimat atau sintaksis, dan
(4) tata tulis atau ejaan.
4.12 Tanda Garis Miring
Kaidah tentang penggunaan tanda garis miring tidak banyak.
Penggunaan tanda garis miring pada nomor surat hampir tidak
ada masalah. Begitu pula pada tahun takwim. Yang kadang-
kadang menimbulkan masalah adalah peng­ gunaan tanda
garis miring pada nomor alamat. Kadang-kadang penggunaan
tanda garis miring pada nomor alamat dianggap tidak lazim

97
atau dianggap salah. Padahal, peng­ gunaan tanda garis miring
dalam penomoran alamat tidak salah. Perhatikan contoh di
bawah ini!
1) Alamat terakhirnya adalah Jalan Rawamangun Muka
II/21, Jakarta Timur.
2) Alamatnya adalah Jalan Purnawarman IV/99, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan.
Penulisan nomor alamat seperti di atas benar. Cara lain
yang juga benar adalah sebagai berikut.
1a) Alamat terakhirnya adalah Jalan Rawamangun Muka
II Nomor 21, Jakarta Timur.
2a) Alamatnya adalah Jalan Purnawarman IV Nomor 99,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Kaidah tanda garis miring lain yang perlu diingat adalah
bahwa tanda garis miring digunakan sebagai pengganti kata
dan, atau, serta setiap. Masing-masing contohnya adalah
sebagai berikut.
3) Bapak/Ibu/Saudara yang saya hormati.
4) Paket itu dapat dikirim lewat darat/laut.
5) Rumah itu dipasarkan Rp950 juta/unit.
Pada kalimat (3) garis miring sama dengan dan; pada
kalimat (4) garis miring sama dengan atau; pada kalimat (4)
garis miring sama dengan setiap. Tidak tepat kalau tanda garis
miring pada kalimat (3) dimaknai sama dengan atau karena
yang disapa semua, bukan Bapak saja, Ibu saja, atau Saudara
saja.

98
4.13 Tanda Apostrof
Kaidah tanda penyingkat atau apostrof hanya satu, yaitu
bahwa tanda apostrof digunakan untuk menunjukkan bagian
kata atau bagian angka tahun yang dihilangkan. Contohnya
sebagai berikut.
1) ‘Lah lama kulayangkan surat itu.
2) Jadwal mengajarnya Senin, 24-11-’14.
Perlu dicatat bahwa penggunaan tanda apostrof seperti
pada kalimat (1) dan (2) hanya ada dalam bahasa seni atau
dalam tulisan yang lebih bersifat internal. Contoh seperti pada
kalimat (1) biasa ada dalam pusisi atau syair lagu. Dalam
bahasa tulis resmi seperti dalam laporan atau surat dinas tidak
akan digunakan kata ‘lah atau ‘kan yang merupakan bentuk
pendek dari telah dan akan. Dalam surat resmi pada bagian
tanggal surat angka tahun juga tidak boleh ditulis dengan
bentuk singkatnya. Namun, untuk penulisan jadwal kegiatan
internal kantor penulisan angka tahun dapat digunakan
bentuk pendeknya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada kata
baku bahasa Indonesia yang ditulis dengan tanda apostrof.
Kata-kata seperti doa, maaf, Jumat, atau Alquran ditulis tanpa
tanda apostrof. Penulisan kata-kata seperti do’a, ma’af, Jum’at,
atau Alqur’an dengan apostrof me­ mang pernah berlaku, yaitu
pada zaman Ejaan van Ophuijsen yang berlaku tahun 1901—
1947. Bahkan, kata-kata seperti ‘amal, ‘ilmu, atau ‘akal juga
ditulis dengan tanda apostrof. Lalu, bagaimana dengan tulisan
salam dalam Islam yang ditulis dengan huruf Latin? Tulisan
Assalamu ‘alaikum warrahmatullahi wabarakatuh harus pakai

99
tanda apostrof atau tidak? Jawabnya pakai karena salam itu
bukan bahasa Indonesia, melainkan bahasa Arab yang ditulis
dengan huruf Latin.

100

101
5. PENULISAN UNSUR SERAPAN
Yang dimaksud dengan unsur serapan adalah kata atau
istilah yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Kita tahu bahwa bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa
Melayu diperkaya oleh bahasa daerah dan bahasa asing. Hal
itu wajar karena semua bahasa akan dipenga­ ruhi oleh bahasa
lain selama bahasa itu masih dipakai sebagai alat komunikasi.
Dengan kata lain, tidak ada bahasa di dunia ini yang steril atau
terbebas dari pengaruh bahasa lain selama bahasa itu masih
berfungsi sebagai alat komunikasi.
Kita mencatat banyak kata atau istilah bahasa Indonesia
yang berasal dari bahasa daerah. Kata-kata seperti nyeri
(Sunda), gambut (Banjar), dan imbau (Minangkabau)
merupakan contoh kata bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa daerah. Adapun contoh kata bahasa Indonesia yang
berasal dari bahasa Jawa adalah sebagai berikut.

102
tentrem tenteram
grebek gerebek
trima terima
unggah unggah
unduh unduh
blusukan belusukan
bedol desa bedol desa
Jika dicermati, kata atau istilah bahasa Indonesia banyak
yang berasal dari bahasa asing, baik dari bahasa Arab, Portugis,
Belanda, Inggris, maupun Mandarin. Ba­ hasa Arab telah lebih
dahulu memengaruhi bahasa Melayu yang merupakan asal
bahasa Indonesia daripada Portugis, Belanda, Inggris, atau
Mandarin. Sebelum meng­ gunakan huruf Latin, bahasa Melayu
menggunakan huruf Jawi atau yang lebih sering disebut huruf
Arab Melayu. Pengaruh bahasa Arab itu sudah berlangsung
begitu lama sehingga banyak sekali kata bahasa Indonesia
yang berasal dari bahasa Arab yang tidak dirasakan lagi
sebagai bahasa asing. Semua nama hari dalam satu pekan,
kecuali Minggu, di­ am­bil dari bahasa Arab. Nama hari sesudah
Sabtu adalah Ahad dalam bahasa Arabnya. Pada umumnya
yang digunakan adalah Minggu, tetapi bukan berarti bahwa
nama Ahad tidak digunakan. Nama Ahad juga digunakan,
terutama di lingkungan pesantren atau sekolah-sekolah Islam.
Selain nama hari itu, kita juga dengan mudah menyebut kata-
kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab, seperti
kursi, makna, ilmu, amal, maksud, kertas, taat, kaidah, kubur,
kiblat, kiamat, perlu, wajib, sunah, nikah, reda, iklan, setan,
malaikat, kabar, sedekah, atau pondok. Berikut ini diberikan

103
contoh kata-kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa
asing selain bahasa Arab.
cambuk → cabuk (Parsi)
domba → dunba (Parsi)
taman → caman (Parsi)
jendela → janela (Portugis)
garpu → garfo (Portugis)
gereja → igreja (Portugis)
kemeja → camisa (Portugis)
persekot → voorschot (Belanda)
bengkel → winkel (Belanda)
dongkrak → dommekracht (Belanda)
perkedel → frikadel (Belanda)
bakwan → bah oan (Cina)
becak → be chchia (Cina)
cawan → cha oan (Cina)
centeng → chhin teng (Cina)
5.1 Ketentuan Umum Penulisan Unsur Serapan
Dalam PUEBI kaidah penulisan unsur serapan di­ atur dalam
bab tersendiri. Dalam bab itu terdapat keten­ tuan umum yang
harus diperhatikan dalam pengin­ done­siaan kata atau istilah
asing, yakni bahwa penyerapan diusahakan agar ejaannya
diubah seperlunya sehingga ben­ tuk Indonesianya dapat
dibandingkan dengan bentuk asalnya. Berikut ini diberikan
beberapa contohnya.
description → deskripsi
stereo → stereo

104
aquarium → akuarium
frequency → frekuensi
conduite → konduite
idealist → idealis
Pada contoh di atas dapat dibandingkan kata asing dan
Indonesianya. Kata yang baku adalah deskripsi, bukan
diskripsi, karena suku pertama bahasa asingnya mengan­ dung
huruf e, bukan i. Begitu pula kata stereo. Yang benar bukan
stirio karena dekat dengan kata asingnya. Selanjut­ nya, kata
akuarium, frekuensi, konduite, dan idealis adalah kata-kata
yang baku. Jika dicermati, ketiga kata itu juga mirip dengan
asalnya.
5.2 Pengelompokan Unsur Serapan
Pada kenyataannya pengindonesia kata atau istilah asing,
terutama dari bahasa Inggris, sekurang-kurangnya dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) pengin­ donesiaan
kata asing dengan hanya mengubah ucapannya atau tulisan
tetap, (b) pengindo­ nesiaan kata asing dengan mengubah
tulisan dan ucapan­ nya atau tulisan dan ucapan berubah,
(c) pengindonesiaan kata asing yang sudah lazim. Berikut
penjelasannya satu per satu.
5.2.1 Tulisan Tetap, tetapi Ucapan Berubah
Pengindonesiaan kata atau istilah yang berasal dari bahasa
Inggris pada dasarnya dilakukan dengan mempertimbangkan
ejaan, lafal, atau gabungan keduanya. Pengindonesiaan
berdasarkaan ejaan inilah yang termasuk dalam kelompok
tulisan tetap, tetapi ucapannya berubah. Di bawah ini beberapa
contohnhya.

105
bus → bus
bank → bank
unit → unit
program → program
problem → problem
tank → tank
radio → radio
plus → plus
patriot → patriot
data → data
ideal → ideal
Pada contoh di atas terlihat bahwa tulisan bahasa asing
dan bahasa Indonesianya sama. Yang berubah adalah ucapan
atau lafalnya, termasuk kata tank yang harus dilafalkan
/taŋ/, bukan /tєŋ/.
5.2.2 Tulisan dan Lafal Berubah
Pengindonesiaan kelompok ini merupakan gabungan
pengindonesiaan berdasarkan ejaan dan lafal. Artinya, kata
atau istilah itu diserap atas dasar ejaan dan ucapan. Beberapa
contoh sebagai berikut.
management → manajemen
computer → komputer
competent → kompeten
curriculum → kurikulum
concrete → konkret
congress → kongres
credit → kredit

106
charisma → karisma
generic → generik
genius → genius
focus → fokus
Kata-kata yang tertera sebelah kanan di atas harus dibaca
seperti tulisannya. Misalnya, kata komputer, generik, dan
genius harus dilafalkan /komputer/, /generik/, dan /genius/,
bukan /kompyuter/, /jenerik/, dan /jenius/. Ketiga kata itu
dalam bahasa Indonesia masih sering dilafalkan secara salah.
Kata-kata yang lain yang tertera sebelah kanan di atas hampir
tidak ada masalah pengucapannya.
5.2.3 Unsur Serapan yang Sudah Lazim
Pengaruh bahasa asing terhadap bahasa Indonesia sudah
berlangsung berabad-abad lamanya sejak bahasa Indonesia
masih bernama bahasa Melayu. Pada mulanya aturan atau
kaidah pengindonesiaan kata asing, baik dari bahasa Arab,
Potugis, Belanda, Inggris, maupun Mandarin, belum ada. Oleh
karena itu, pengindonesiaan kata asing berlangsung secara
tidak beraturan. Di bawah ini diberikan beberapa contohnya.
khabr (Arab) kabar
funduk (Arab) pondok
fikr (Arab) pikir
fardu (Arab) perlu
frikadel (Belanda) perkedel
winkel (Belanda) bengkel
voorschot (Belanda) persekot
dommekracht (Belanda) dongkrak

107
Bagaimana dengan pengindonesiaan kata seperti kualitas,
kuantitas, atau jadwal? Yang benar kualitas dan kuantitas
(dengan u) atau kwalitas dan kwantitas (dengan w)? Lalu,
bagaimana dengan kata jadwal? Yang benar jadwal (dengan
w) atau jadual (dengan u)?
Yang harus diingat lebih dahulu adalah bahwa dalam
penentuan kata yang baku atau tidak baku dapat ditelusuri
asal kata tersebut. Lalu, kata yang baku adalah kata yang
tulisannya lebih dekat dengan aslinya. Kata kualitas dan
kuantitas berasal dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris
kedua kata itu ditulis tanpa w, yaitu quality dan quantity. Oleh
karena itu, kata Indonesianya yang baku adalah kualitas dan
kuantitas, bukan kwalitas dan kwantitas.
Berbeda halnya dengan kata jadwal. Kata itu berasal dari
bahasa Arab jadwal (dengan w). Kata jadwal dalam bahasa
asalnya ditulis dengan huruf wau fathah. Huruf wau fathah
itu diindonesiakan menjadi wa seperti kata fatwa atau takwa.
Oleh karena itu, kata yang baku adalah jadwal (dengan w),
bukan jadual (dengan u). Perlu dicatat bahwa penentuan kata
baku atau tidak baku tidak dapat ditentukan secara pukul
rata, tetapi perlu diketahui asal kata tersebut. Kata-kata yang
berasal dari bahasa Inggris harus dilacak dalam bahasa Inggris,
kata-kata yang bera­ sal dari bahasa Arab harus dirunut dalam
bahasa Arab, dan seterusnya.
Dalam praktik berbahasa sehari-hari penulisan kata yang
berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta se­ ring tidak
benar, seperti adzan, shalat, wudhu, maghrib, bathin, dharma,
bhakti, dan taqwa. Bagaimana seharus­ nya kata-kata itu
ditulis? Bagaimana aturan penulisan kata-kata tersebut?

108
Perlu diingat bahwa dalam bahasa Indonesia hanya
terdapat empat gabungan huruf konsonan, yaitu ng, ny, kh,
dan sy. Di luar itu tidak baku. Gabungan huruf konsonan
seperti dz, sh, dh, gh, th, dan bh sebagaimana terdapat pada
contoh di atas tidak ada dalam bahasa Indonesia. Penting juga
dicatat bahwa gabungan huruf konsonan tidak sama dengan
konsonan rangkap. Gabungan huruf konsonan itu dua huruf
yang melambangkan satu bunyi, sedangkan konsonan rangkap
masing-masing melam­ bang­kan bunyi. Ambillah contoh
konsonan kh pada kata khusus dan kl pada klarifikasi. Konsonan
kh pada khusus melambangkan satu bunyi, sedangkan kl pada
klarifikasi melambangkan dua bunyi.
Sekarang kita bahas persoalan penulisan kata di atas
sapu per satu. Masalah yang pertama adalah penulisan kata
adzan. Kata itu berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa
asalnya kata itu mengandung huruf żal (). Lalu, bagaimana
pengindonesiaan kata bahasa Arab yang mengan­ dung bunyi
żal? Huruf żal menjadi z dalam bahasa Indonesia. Berikut
beberapa contohnya.
izn () izin
zikr () zikir
‘uzr () uzur
zat () zat
azan () azan
Contoh di atas memperlihatkan bahwa huruf żal menjadi z,
bukan dz. Oleh karena itu, penulisan yang benar adalah azan,
bukan adzan.

109
Kata shalat juga sering ditulis secara salah. Kata itu juga
berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa asalnya kata itu
mengandung bunyi şad (). Huruf şad menjadi s dalam bahasa
Indonesia. Perhatikan beberapa contoh berikut!
şahābat () sahabat
şabar )( sabar
şahīh () sahih
şah () sah
şadāqah () sedekah
şālih () saleh
şalāt () salat
Dari sejumlah contoh di atas yang sering menimbulkan
masalah dalam penulisannya hanyalah kata salat. Dalam
hubungan itu, kita harus konsisten. Pengindonesiaan kata
salat yang benar adalah salat (dengan s), bukan shalat (dengan
sh).
Kata wudhu (dengan dh) yang berasal dari bahasa Arab
itu merupakan penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah.
Dalam bahasa asalnya kata itu mengandung huruf dad ().
Pengindonesiaan kata bahasa Arab yang mengandung huruf
dad menjadi d, bukan dh. Berikut ini beberapa contohnya.
fard ( ) fardu
rida’ ( ) rida
darŭrat () darurat
madarat () mudarat
ramadān () ramadan

110
Huruf dad dalam bahasa Arab menjadi d dalam bahasa
Indonesia, bukan dh, seperti terlihat dalam contoh di atas. Oleh
karena itu, kata wudu yang mengandung dad harus ditulis
dengan d, yaitu wudu, bukan dengan dh (wudhu).
Kata selanjutnya yang juga salah adalah kata maghrib.
Kata yang berasal dari bahasa Arab itu mengan­ dung huruf
gain (). Huruf gain dalam bahasa Arab menjadi g dalam bahasa
Indonesia. Beberapa contohnya sebagai berikut.
magfirah ( ) magfirah
gāib () gaib
gafura ( ) gapura
magrib () magrib
Sejalan dengan kata-kata seperti magfirah, gaib, gapura,
kata magrib ditulis dengan g, bukan maghrib dengan gh.
Bagaimana dengan penulisan kata bathin? Kata batin
juga berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab kata batin
mengandung huruf ta (). Huruf ta dalam bahasa Arab menjadi
t dalam bahasa Indonesia. Beberapa contohnya sebagai berikut.
qirtās () kertas
tā’at () taat
tarīqat () tarekat
syarat ( ) syarat
bātin () batin
Huruf tak dalam bahasa Arab seperti pada kata-kata di
atas menjadi t dalam bahasa Indonesia. Atas dasar itu, kata
yang benar adalah batin (dengan t), bukan bathin (dengan th).

111
Kata dharma bukan kata yang berasal dari bahasa Arab,
melainkan kata yang berasal dari bahasa Sanskerta. Ketentuan
pengindonesiaan bahasa Arab tanpa huruf dh berlaku pula
dalam pengindonesiaan kata yang berasal dari bahasa
Sanskerta. Oleh karena itu, penulisan yang benar adalah
darma (dengan d), bukan dharma (dengan dh). Bagaimana
dengan nama orang atau nama organisasi yang menggunakan
kata dharma (dengan dh)? Nama orang atau nama organisasi,
seperti Budhi Wijaya atau Dharma Wanita, tidak perlu diatur.
Yang perlu diatur adalah kata umum. Misalnya, kata darma
pada kalimat Kita harus berdarma bakti kepada nusa dan
bangsa harus ditulis dengan d, bukan dh.
Penjelasan penulisan kata darma di atas berlaku pula
pada penulisan kata bakti. Artinya, huruf dh dalam bahasa
Sanskerta menjadi d dalam bahasa Indonesia. Begitu pula
huruf bh dalam bahasa Sanskerta yang menjadi b dalam
bahasa Indonesia. Jadi, yang benar adalah bakti (dengan b),
bukan bhakti dengan bh. Kata bakti pada kalimat Mereka
mengadakan kerja bakti setiap hari Minggu ditulis dengan
b, bukan dengan bh. Bagaimana dengan semboyan Bhinneka
tunggal ika? Semboyan itu ditulis seperti aslinya sehingga
tetap ditulis dengan bh.
Satu lagi penulisan kata yang berasal dari bahasa Arab,
yaitu kata taqwa. Yang benar taqwa (dengan q) atau takwa
(dengan k)? Kata itu berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa
Arab kata takwa mengandung bunyi qaf (). Huruf qaf dalam
bahasa Arab menjadi k dalam bahasa Indonesia. Berikut
diberikan beberapa cntohnya.

112
qiyās ( ) kias
qiyāmat ( ) kiamat
qissah ( ) kisah
qudrat ( ) kodrat
qubur ( ) kubur
taqwa () takwa
Pada contoh di atas terlihat bahwa huruf qaf dalam bahasa
Arab menjadi k dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, yang
benar adalah takwa (dengan k), bukan taqwa (dengan q).

113
6. PENUTUP
Tidaklah berlebihan kalau dinyatakan bahwa sekarang ini
kita sangat mudah menemukan berbagai kesalahan penerapan
kaidah Ejaan Bahasa Indonesia. Padahal, Ejaan Bahasa
Indonesia sudah diberlakukan sejak lebih dari empat dasawarsa
yang lalu. Masa empat puluh tahun lebih merupakan waktu
yang sudah sangat lama bagi berlakunya sebuah keputusan
presiden, yaitu Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972
tentang Ejaan Bahasa Indonesia, yang kemudian mengalami
revisi.
Berbagai pertanyaan bisa muncul sehubungan de­ ngan
pernyataan di atas. Jawabannya pun juga bisa ber­ macam-
macam. Salah satu pertanyaan itu adalah mengapa kaidah
yang sudah lama diberlakukan, tetapi masih begitu mudah
ditemukan kesalahan penerapan kaidah ejaan. Apakah kaidah
ejaan itu sulit? Atas pertanyaan itu saya berani menjawab
tidak. Secara umum dapat dinyatakan bahwa kaidah Ejaan
Bahasa Indonesia itu tidak sulit. Memang ada beberapa hal

114
yang mungkin tidak terlalu dapat dikatakan mudah. Namun,
pada umumnya tidak sulit.
Mengapa kesalahan penerapan ejaan itu masih sangat
mudah ditemukan kalau memang kaidah ejaan secara umum
dapat dikatakan mudah? Tampaknya, penyebab utama begitu
mudah ditemukan kesalahan itu adalah ku­ rangnya kesadaran
masyarakat pemakai bahasa terhadap kaidah ejaan. Ambillah
contoh penulisan singkatan perseroan terbatas (PT) atau
singkatan sampai dengan yang se­ ring ditulis PT. (diikuti titik).
Sebenarnya singkatan PT itu dapat dilihat dengan mudah
dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia . Orang tidak
perlu ber­ pikir karena sudah ada contohnya. Namun, coba
lihat ka­ nan kiri di sekitar kita! Pada umumnya singkatan itu
ditulis dengan titik (PT.). Seharusnya, pada singkatan itu ti­
dak digunakan tanda titik. Kita juga masih disuguhi spanduk
yang ada tulisan s/d yang cukup besar dan mencolok yang
seharusnya ditulis s.d. Padahal, kalau ada sedikit kesadaran
untuk melihat kaidah ejaan, kesalahan yang sepele itu tidak
perlu terjadi.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

115
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal E. dan S. Amran Tasai. 2010. Cermat Berbahasa
Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika
Presindo.
Ali, Lukman. 1998. Ikhtisar Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Alwi dkk. 2017. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Edisi
Keempat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2016. Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
1972. Pedoman Umum Edjaan Bahasa Indonesia jang
Disempurnakan. Jakarta Hakim, Lukman, Zainal Arifin,
dan Yayah B. Lumintaintang. 1992.
Ejaan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1972
tentang Peresmian Berlakunya “Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan”.
Latif, A. (Ed.). 2001. Ejaan. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Mashuri. 1972. “Penjelasan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan mengenai Ejaan yang Disempurnakan.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

116
Panitia Edjaan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1969. Ejaan Baru Bahasa Indonesia. Jakarta:
Dian Rakjat.
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. 1975.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1986. Pedoman Umum
Edjaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta:
Balai Pustaka.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1987. Pedoman Umum
Edjaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Pedoman Umum
Edjaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Pedoman Umum
Edjaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta:
Balai Pustaka.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Pedoman Umum
Edjaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2002.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Jakarta.

117
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 2005. Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Balai
Pustaka.