PEMIKIRAN TEOLOGI
ISLAM MODERN
Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag

Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang No. 28 Th. 2014, Tentang Hak Cipta
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
hufuf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
1.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat miliar rupiah).

©Copyright Lawwana
Cetakan Pertama, November 2021
hlm: viii+157 15,4 cm x23 cm
©Hak pengarang dan penerbit dilindungi undang-undang No. 28 Tahun 2014
Dilarang memproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa
izin tertulis dari penerbit. 
ISBN

Penulis
Penyunting
Desain dan Layout
: 9786235514086

: Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
: Nazar Nurdin, M.S.I
: Moh. Haidar Latief
Pemikiran Teologi Islam Modern
Diterbitkan Oleh:
CV Lawwana
Perumahan Taman Puri Banjaran
Kel. Beringin, Kec. Ngaliyan, Semarang Jawa Tengah
penerbit @lawwana.com I CP: 081-226--888-662
Lawwana.com

Kata Pengantar v
KATA PENGANTAR
A
lhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kekuatan dan
kemampuan kepada penulis sehingga buku ini bisa selesai dengan
baik sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.
Buku ajar yang ada di hadapan pembaca ini berjudul Pemikiran
Teologi Islam Modern. Buku ini diharapkan bisa membantu mahasiswa
dalam mengikuti perkuliahan agar lebih efisisen efektif. Sebagai buku
ajar, buku ini merujuk kepada Rencana Pembelajaran Semeseter (RPS)
yang ada. Namun demikian bukan berarti jumlah babnya sama persis
dengan jumlah pertemuan yang ada dalam RPS. Bab-bab yang ada dalam
buku ini, merupakan gabungan dari topik-topik pembahasan yang ada
dalam RPS yang sebagian besarnya penulis ambil dari berbagai catatan
dan artikel penulis.
Buku ini terdairi dari empat (4) bab. Akan tetapi, secara garis besar inti
buku ini terbagi dalam dua bagian. Bagian peratma berbicara mengenai
perkembangan teologi Islam klasikdari dulu hingga kini. Penjelasan
diawali dengan sejarah awal dan wacana yang melahirkannya sehingga
kemudian mengristal menjadi alira-aliran teologi Islam. Dalam bagian ini
juga dijelaskan mengenai tantangan luar biasa yang dihadapi oleh teologi
Islam dalam masa modern. Bagian ini dimaksudkan sebagai garis besar
dan bersifat mengantarkan untuk bisa memahami mengapa pemikirn
teologi Islam modern dibutuhkan.

viDr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Pada bagian kedua, buku ini berbicara megenai pemikiran para tokoh
teologi yang merasa resah dengan masa modern dan berbagai tantangan
modernitasnya. Para pemikir tersebut juga merasa memilki tanggungjawab
dan kewajiban untuk turut memberikan kontribusi konseptual sehingga
teologi Islam diharapkan tetap kompatibel dengan perkembangan modern.
Melalui buku ajar ini penulis mengharap mampu mengantarkan
mahasiswa memahami pemikiran yang berkembang dalam sejarah Islam
yang sangat variatif dengan pemahaman yang benar, mempunyai pola
berpikir yang luas dan lentur dalam memahaminya sehingga tidak muncul
cara beragama yang eksklusif akibat dari adanya cara pandang dan cara
pikir yang sempit.
Penulis bersyukur dapat menyelesaikan buku ajar ini, yang tentunya
tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor UIN Walisongo,
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN
Walisongo yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk
menerbitkan buku ajar ini. Kepada semua pihak yang telah membantu
untuk penyelesaian penulisan buku ajar ini penulis juga ucapkan terima
terima kasih. Semoga semua amal baik yang telah diberikan mendapatkan
balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.
Penulis menyadari buku ini masih jauh dari kata sempurna
mengingat berbagai keterbatasan yang penulis miliki. Oleh karenanya
saran perbaikan dan kritik dari para pembaca sangat penulis
harapkan. Semoga buku ajar ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin
Semarang, 5 Oktober 2021
Penulis

vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................v
DAFTAR ISI...............................................................................................vii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II
TEOLOGI ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS........................9
A. TEOLOGI ISLAM...........................................................................................12
B. TANTANGAN MODERNITAS....................................................................38
BAB III
RAGAM PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN...........................61
MUHAMMAD ABDUH.....................................................................................61
RASYID RIDHA...................................................................................................71
FAZLUR RAHMAN............................................................................................77
HASSAN HANAFI...............................................................................................90
ASGHAR ALI ENGINEER................................................................................97
NURCHOLISH MADJID....................................................................................108
ABDURRAHMAN WAHID..............................................................................117
BAB IV
PENUTUP..................................................................................................145
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................147
TENTANG PENULIS.................................................................................157

viiiDr. H. Nasihun Amin, M.Ag

Pendahuluan 1
BAB I
PENDAHULUAN
T
eologi Islam pada dasarnya merupakan sebuah rumusan yang
telah berusia tua, ribuan tahun. Walau demikian, ternyata
bangunan teologi Islam cenderung tidak mengalami perubahan. Ia
berkutat pada persoalan ilahiyyat (ketuhanan) tanpa menyentuh
aspek insaniyyat (kemanusiaan). Kalau pun toh ada, biasanya sangat
minim. Secara keseluruhan wilayah pembahasannya dikelompokkan
menjadi tiga yaitu al-mabda, al-wasithah dan al-ma’ad. Dalam wilayah
al-mabda sebagai pangkal yang dibicarakan adalah Allah dengan
segala hal yang melingkupinya. Pada wilayah al-wasithah yang berada
pada posisi pertengahan sebagai perantara antara Allah dengan
manusia adalah malaikat, kitab dan nabi. Sementara pada wilayah al-
ma’ad sebagai akhir atau tempat kembali manusia adalah mengenai
hari akhir.
Sebenarnya bangunan demikian ini tidak menjadi persoalan
ketika berada pada konteks perumusan awalnya dulu karena, jika
dilihat secara kesejarahan, rumusan teologi, selain karena persoalan-
persoalan politik internal, juga bermula dari niat tulus umat Islam
untuk memperkokoh keimanan dan mempertahankannya dari
berbagai serangan wakil-wakil sekte dan budaya lama. Sebagai
kekuatan baru yang menang dalam berbagai medan pertempuran
sistem keyakinan,
1
Islam mendapatkan berbagai gempuran dari
aliran-aliran filsafat, agama dan kepercayaan yang ada di sekitar di
mana mereka hidup, terutama filsafat Yunani, agama Yahudi, Kristen
dan Zoroaster. Hanya saja, setelah sekian lama teologi masih tetap
berkutat dengan semata-mata persoalan ketuhanan tanpa menyentuh
1
Hassan Hanafi, From Faith to Revolution (Cordoba, Spain, 1985), hlm. 4.

2Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
persoalan kemanusiaan. Kalau pun toh ada relasi Tuhan dengan
manusia, mainstream  pemikiran teologi selalu bersifat teosentris.
,di mana Tuhan menjadi pusat segala kekuatan dan kekuasaan,
sedangkan manusia tidak mempunyai peran apa-apa.
Sebut saja sebagai contoh adalah Asy’ariyah, sebuah aliran
yang dominan di berbagai belahan dunia Islam. Segala sesuatu yang
terjadi di dunia ini pada hakikatnya bergerak atas ketentuan Tuhan.
Manusia tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan hasil dari
yang diinginkan. Bagi umat Islam yang umumnya bersifat sederhana,
kerangka pemikiran seperti ini menjadi lebih mudah di terima
karena tetap meletakkan Tuhan sebagai yang di atas segalanya. Itulah
sebabnya sistem teologi ini menjadi sangat mengakar di masyarakat.
Implikasi sistem teologi ini menjadi kemampuan akal manusia dalam
menghadapi segala realitas mempunyai daya yang lemah. Manusia
tidak mempunyai kebebasan; manusia tidak bisa menentukan
kehidupannya sendiri, termasuk perbuatan baik dan buruk manusia.
2

Tak ada kemampuan untuk menentukan perbuatan sendiri, karena
semuanya telah ditentukan (predestination). Sekalipun manusia
mempunyai usaha (kasb)
3
tetapi tidak efektif.
Akibat dari konstruk yang seperti ini lantas banyak pihak
yang mempertanyakan tentang fungsi dan relevansi teologi bagi
realitas sosial. Dari sisi waktu, para pengguna teologi sekarang ini
hidup dalam rentang waktu yang sangat jauh, cara berpikir yang
sangat berbeda dan tantangan zaman yang sangat kompleks jika
dibandingkan ndengan para perumus teologi. Mereka hidup dalam
cara berpikir dan tantangan zaman yang sangat jauh berbeda. Dari
sisi obyek, keduanya berada dalam zona yang terpisah. Teologi berada
dalam zona ke-tuhanan yang metafisik-spekulatif, sedangrealitas
sosial berada dalam zona kemanusiaan yang aktual-eksistensial. Jika
mengikuti pandangan ini, maka tidak ada kaitan antara teologi dengan
transformasi sosial. Artinya kalau orang ingin menjadikan teologi
sebagai basis transformasi sosial, hal itu merupakan suatu pekerjaan
2
Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ’an Ushul al-Diyanah (Kairo: Idarah al-Muniriyyah,
tth.), hlm. 9.
3
Ibid. , hlm. 54.

Pendahuluan 3
yang teramat sangat sulit, untuk tidak mengatakan mustahil.
Jika demikian, pertanyaan yang muncul adalah masih mungkinkah
teologi menjadi sebuah disiplin yang diharapkan mampu melakukan
proses transformasi sosial? Jika mungkin, teologi macam apa yang bisa
dijadikan basis transformasi sosial? Terhadap pertanyaan seperti ini
tentu kita masih banyak berharap bahwa teologi mampu melakukan
hal itu. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah dengan cara
teologi, sebagai sebuah disiplin, harus menyesuaikan dan mengaitkan
diskursusnya dengan perkembangan kehidupan manusia. Jika tidak,
bisa dipastikan bahwa teologi akan menjadi usang (out of date).
Dalam kehidupan manusia transformasi merupakan sebuah
keniscayaan. Ia mengandung dimensi waktu dan perubahan sosial
budaya masyarakat yang menempati yang muncul melalui proses
yang panjang yang selalu terkait dengan aktifitas-aktifitas yang
terjadi. Dengan kata lain transformasi akan terus berjalan secara
perlahan tetapi pasti menuju progresifitas. Ia adalah sebuah proses
yang tidak bisa dihentikan, akan terus berkesinambungan dan sangat
erat kaitannya dengan sistem nilai yang berlaku. Itu sebabnya, teologi
sudah seharusnya diposisikan berkepentingan dengan transformasi.
Amin Abdullah secara tegas mengidentifikasi adanya dua
kesulitan utama yang dihadapi teologi dalam mengambil peran
melakukan transformasi jika tetap bersikukuh pada bangunannya yang
sekarang. Kesulitan pertama muncul ketika ia berhadapan dengan
temuan-temuan ilmu empiris, baik ilmu kealaman maupun ilmu
kemanusiaan. Ketidakmampuan teologi menyesuaikan bahasa dengan
perkembangan ilmu-ilmu modern empiris tersebut menjadikan
teologi kurang relevan dengan perkembangan pengalaman manusia.
Teologi menjadi usang dan ketinggalan mode karena tidak mampu
berbicara tentang masalah-masalah empirik kontemporer. Kesulitan
kedua muncul ketika teologi berhadapan dengan globalisasi budaya.
Bagaimanapun, globalisasi akan memaksa teologi utnuk membuat
konsesi-konsesi psikologis. Namun, konsesi-konsesi psikologis ini

4Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
sulit untuk dilakukan karena struktur fundamental pemikiran teologis
yang partikularis tak memungkinkan hal itu.
4
Menyadari keadaan demikian ini maka para pemikir Islam
memandang perlu untuk mengadakan pemikiran ulang dengan
melakukan reformulasi teologis secara sistematis. Reformulasi
tersebut haruslah merupakan terobosan baru yang memungkinkan
pemikiran teologis melampui batas-batas tradisionalnya agar
lebih segar dan tak berkutat pada isu-isu transendental spekulatif,
melainkan lebih reflektif-sosiologis. Pada konteks ini pilihan strategis
untuk membangun kesatuan ilmu melalui humanisasi ilmu-ilmu
keislaman agar mampu menjadi kekuatan untuk melakukan proses
transformasi adalah pilihan yang tepat
Mewujudkan teologi sebagai sebuah perangkat yang bisa
mentransformasi masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah.
Dibutuhkan adanya usaha yang sangat serius untuk mencapainya.
Langkah paling fundamental adalah gerakan humanisasi teologi
artinya merubah struktur paradigmatik epistemologis teologi
menjadi tidak semata-mata berorientasi ketuhanan, melainkan juga
berorientasi kemanusiaan. Memberikan muatan-muatan aspek
realitas kemanusiaan terhadap teologi Islam yang selama ini dirasakan
terlalu melangit dan bersifat eskatologis. Hal ini dilakukan agar
teologi Islam menjadi semakin akrab dengan persoalan keseharian
kehidupan manusia.
Ada dua pertimbangan mendasar mengapa humanisasi ini
diperlukan. Pertama, dari penelaahan historis menujukkan bahwa
teologi tidak lebih adalah formulasi pemikiran ketuhanan yang
berusaha menjawab berbagai persoalan agama yang muncul pada
waktu tertentu. Munculnya Khawarij, Syiah, Mutazilah, Asy’ariyah,
Maturidiyah dan lain-lain adalah dalam rangka merespon apa
yang terjadi pada masanya dengan persepktif dan metodologi yang
4
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarata: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 53-54.

Pendahuluan 5
berbeda-beda. Karena sifatnya yang demikian, maka teologi tidak
lain juga merupakan bagian pemikiran Islam yang seharusnya,
selalu mengalami perkembangan dan penyesuaian. Sayangnya,
Teologi, meminjam istilah Arkoun,
5
telah dimitologisasikan dan
diidiologisasikan sehingga melakukan perubahan terhadapnya
dianggap sebuah Tindakan yang tidak.
Kedua, sesungguhnya Islam dan ilmu-ilmu yang diturunkan
daripadanya adalah untuk kepentingan manusia untuk sebesar-besar
kemakmuran dan kebahagiaan manusia, tanpa kecuali. Perlu dipahami
bahwa dalam perspektif Islam manusia memiliki tempat yang sangat
khusus. Ia menjadi tema sentral. Hal ini bukan saja karena seringnya
disebut dalam al-Quran akan tetapi juga karena al-Quran, sebagai
ayat qauliyah dan menjadi sumber normarif Islam, dan alam, sebagai
ayat kauniyah, semata-mata diberikan kepada manusia, bukan kepada
yang lain. Keduanya tentu saja diharapkan bisa dimanfaatkan sebagai
petunjuk menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
tidak bisa tidak, jika ada sebuah disiplin yang tidak mengarah ke sana,
tentu ini bertentangan dengan misi keislaman itu sendiri.
Dari pemaparan di atas, tampak jelas bahwa keberadaan manusia
menjadi sangat sgtrategis. Islam tentu mempunyai pandangan
sendiri tentang manusia sebab adalah mustahil berbicara tentang
kebahagiaan manusia tanpa dijelaskan terlebih dahulu makna definitif
manusia. Untuk melihat makna definitif manusia tersebut bisa dilihat
dari dua sisi: teologi dan humanisme. Akan tetapi, harus segera
disadari bahwa jika secara strict berbicara dari aspek pembidangan
ilmu antara humanisme dan teologi, maka akan ditemukan wilayah
yang sangat berlainan. Yang kemudian menjadi persoalan adalah
mungkinkah keduanya dipertemukan?
5
Dalam kaitannya dengan pemikiran Islam, Arkoun banyak menggunakan istilah
mitologisasi dan idiologisasi untuk pembakuan pemikiran. Yang dimaksud dengan
mitologisasi adalah penegasan berbagai kepercayaan dan gambaran yang menggerakkan
kelompok besar di balik selubung ilmiah dan rasional. Sedangkan idiologisasi adalah
penggunaan sejumlah terbatas gagasan yang disederhanakan untuk mengarahkan kekuatan-
keuatan sosial menuju tindakan-tindakan tertentu. Baca: Mohammad Arkoun, Tarikhiyyat
al-Fikr al-Arabi al-Islami (Bairut: Markaz al-Inma al-Qoumi, 1988), hlm. 211-213.

6Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Di satu pihak, sedemikian penting hakekat keberadaan manusia,
sehingga dalam kosmologi maupun ekologi semua bermuara oleh dan
untuk manusia. Ia merupakan titik sentral. Dari posisi inilah yang
pada akhirnya melahirkan apa yang disebut humanisme. Humanisme
sesungguhnya adalah sebuah aliran filsafat yang mengedepankan
nilai atau martabat manusia dan menjadikannya sebagai ukuran
segala sesuatu dan juga menjadikan hakekat manusia, batas-
batasnya serta kepentingan-kepentingannya sebagai tema sentral
pembicaraan.
6
Dengan demikian bisa dipahami bahwa tujuan pokok
humanisme adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia.
Ia memandang manusia sebagai makhluk mulia yang otonom.
Di pihak lain, salah satu cara pandang untuk memotret manusia
adalah melalui teologi. Dalam perspektif ini, manusia adalah ciptaan
Tuhan, dari tiada menjadi ada dan akan kembali menjadi tidak ada.
Tuhan adalah sangkan paran manusia. Jadi kebaradaan manusia tidak
bisa dilepaskan dari keberadaan Tuhan.
Mungkin terkesan kontradiktif. Disatu pihak, pusat pembicaraan
adalah manusia. Sementara, di pihak lain, tema sentral perbincangan
adalah Tuhan. Tetapi jika dicermati lebih mendalam akan segera
diketahui bahwa sebenarnya tidak ada kontradiksi sebab humanisme
dalam Islam adalah humanisme yang mempunyai orientasi ke-
Tuhanan.
7
Itu artinya keberadaan manusia, bagaimanapun tidak
bisa dilepaskan hubungannya dari Tuhan. Tentu saja memang perlu
adanya upaya-upaya untuk melakukan interpretasi ulang terhadap
konsep-konsep teologi itu sehingga akan bisa dilihat bahwa salah satu
unsur paling menentukan apakah agama menjadi fungsional ataukah
6
Paul Edward (ed.). The Encyclopaedia of Philosophy (New York: Macmillan Publishing,
vol 3-4, 1967)
7
Syekh Vahiduddin. “Quranic Humanism” dalam Islam and the Modern Age1987, hlm. 4.

Pendahuluan 7
tidak adalah teologi. Hal ini menjadi wajar mengingat, ibarat karpet
8

teologi menjadi landasan bagi segala sesuatu yang dibangun dan
ditata di atasnya. Apabila karpet ini ditarik maka semua bangunan
yang ada di atasnya tentu akan ambruk. Artinya potret masyarakat,
statis, dinamis, fundamentalis, atau mungkin revolusioner akan,
termasuk, sangat ditentukan oleh sistem teologi yang diyakini.
Penggambaran mengenai posisi teologi Islam sebagaimana
dipaparkan di atas menjadi menarik, karena semuanya berujung
lepada kehidupan pada diri manusia. Untuk itu pemikiran teologi
Islam modern sebagai sebuah rumusan baru yang diharapkan
mampu menjawab berbagai tantangan modernitas adalah sebuah
keniscayaan yang harus terus diperjuangkan. Berdasarkan latar
belakang pemikiran ini, buku Pemikiran Teologi Islam Modern
menjadi penting.
Buku ini disusun berangkat dari kegelesiahan intelektual
mengapa teologi yang merupakan bagian dari agama tidak mampu
berbuat apa-apa menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat. Adakah sesuatu yang salah dengan bangunan
teologi yang sudah ada sehingga perlu diadakan upaya dekonstruksi-
rekonstruksi teologi agar lebih mampu menjawab tantangan zaman?
Jika ya, teologi yang bagaimana yang dibutuhkan. Untuk itu, buku
ini berusaha menjelaskan mengenai pemikiran para teolog yang
coba menawarkan gagasan baru mengenai teologi Islam yang lebih
mampu menjawab berbagai tantangan modernitas serta cocok
dengan perkembangan peradaban sekarang ini
Bagian berikutnya memotret Teologi Islam dan tantangannya
dalam dunia modern yang terus berkembang. Sebagaimana
tercermin dari judul bab, dalam bagian ini dibagi menjadi dua sub
pokok pembicaraan yaitu teologi Islam yang berbicara mengenai
bagaiamna asal muasal lahirnya teologi Islam dan apa saja aliran yang
8
Pengibaratan seperti ini dibuat oleh Nurcholish Madjid. “Abduhisme Pak Harun” dalam
Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF, 1989), hlm.
109.

8Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
hidup dan terus tumbuh serta berkembang secara baik. Kemudian,
setelah membicarakan mengenai aspek kesejarahan teologi Islam,
sub berikutnya berusaha melihat keberadaan teologi Islam seiring
dengan perkembangan laju ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(ipteks) yang demikian luar biasa dewasa ini. Seperti diketahui bahwa
ipteks adalah peubah utama laju peradaban manusia. Ia menjadikan
dunia ini semakin dinamis, kehidupan lebih efisien efektif, dan banyak
hal posisitif lainnya. Namun demikian, ia juga menjadikan sejumlah
persoalan kehidupan yang harus ikut diurai sehingga tidak berpotensi
untuk menghancurkan kehidupan itu sendiri. Dalam keadaan seperti
ini teologi Islam dihadapkan pada tuntuan dan tantangan untuk turut
serta menyelesaikan problem aktual eksistensial manusia tersebut.
Kondisi sebagaimana demikian ini mengantarkan para pemikir
Islam untuk mengusulkan bangunan teologi baru yang diharapkan
mampu menjadi driving force bagi kemajuan manusia, sekaligus
memberikan rambu-rambu dan arah moral agar tidak salah orientasi.
Hal inilah yang menjadi pembicaraan pada bagian berikutnya, yang
merpakan bagian terpenting dari seluruh bagian buku ini. Setidak
nya ada tujuh (7) tawaran pemikiran teologi Islam yang dipaparkan
pada bagian ini. Tawaran-tawaran ini membentang dari masa awal
dinyatakannya Islam memasuki babak kebangkitan sampai masa
mutakhir belakangan ini. Di samping itu, tokoh juga mewakili berbagai
wilayah yang berbeda.
Terakhir, seluruh rangkaian tulisan akan diakhiri dengan bagian
yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 9
BAB II
TEOLOGI ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS
S
alah satu konsep penting dalam sejarah adalah periodisasi. Oleh
keran itu, setiap memotret rangkaian peristiwa dalam panggung
sejarah selalu dibuat periodisasinya. Dalam sejarah peradaban Islam,
ada beberapa periodisasi yang ditawarkan oleh para tokoh. Namun
secara umum, sebagimana disampaikan oleh Harun Nasution dalam
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya dan Abudin Nata dalam
Metodologi Studi Islam serta kebanyakan sejarawan, pada garis
besarnya sejarah Islam dapat dibagi kedalam tiga periode besar,
yaitu periode klasik (650 s/d 1250 M), periode pertengahan (1250
s/d 1800 M ), dan periode modern (1800 s/d sekarang ini).
1
Periode klasik adalah merupakan zaman kemajuan yang dibagi
kedalam dua fase. Pertama, fase ekspansi, integrasi, dan puncak
kemajuan. Di zaman ini kekuasaan Islam meluas. Daerah-daerah
tunduk kepada kekuasaan khalifah. Di masa ini lahir dan berkembang
berbagai ilmu pengetahuan.. Masa ini pula menghasilkan ulama besar
seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ibnu
Hanbal dan Imam Mazhab lain yang kiranya belum disebutkan dalam
bidang Hukum islam atau yang lebih kita kenal dalam bidang Fiqih.
Dalam bidang Teologi kita mengenal Imam Asyari, Imam Maturidi,
para pemuka Muktazilah seperti Washil bin Atha, Abu al Huzail, al-
Nazzam, al-Jubaai. Dalam bidang Tasawuf kita mengenal Zunnun
al-Mishri, Abu Yazid al- Bustami dan al- Kindi. Tokoh Al Kindi Al
Farabi, Ibnu Sinna, Ibnu Maskawih, dalam bidang filsafat. Sedangkan
1
Baca: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, Universitas
Indonesia, 1974), hlm. 56. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam , (Jakarta: Rajawali Press,
2O11) hlm. 375

10Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
dalam bidang ilmu pengetahuan kita mengenal Ibnu al- Haitsam, Ibnu
Hayyan, al-Khawarizmi, al-Masudi dan Fachruddin al- Razi.
Fase berikutnya adalah fase disintegrasi (1OOO s/d 125O).
Pada masa ini keutuhan umat Islam mulai pecah, kekuasan khalifah
menurun. Baghdad sebagai pusat kekuatan Islam dihancurkan oleh
Hulagu di tahun 1258 M, khalifah sebagai lambang kekuasan politik
umat Islam hilang.
Periode pertengahan (125O s/d 18OO M) juga dibagi menjadi dua
fase yaitu fase kemunduran dan fase tiga kerajaan besar. Pada fase
kemunduran (125O- 15OO M) disentegrasi bertambah meningkat.
Perbedaan antara Sunni dengan Syiah, Arab dengan Persia semakin
tampak. Dunia Islam terbagi dua, Bangsa Arab yang terdiri dari Arabia,
Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai
pusat dan bagian Persian yang terdiri atas Balkan, Asia kecil, Persia,
dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia,
mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak
lapangan kebudayaan Arab. Demikian pula, pendapat bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup makin kuat di kalangan umat Islam.
Pada fase tiga kerajaan besar (15OO s/d 18OO M) yang dimulai
dengan zaman kemajuan {15OO s/d 17OO M}, dan zaman kemunduran
{17OO s/d 18OO M}. Tiga kerajaan yang dimaksud adalah kerajaan
Utsmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal di
India. Kemajuan dalam zaman ini lebih banyak merupakan kemajuan
dalam lapangan politk dan jauh lebih kecil dari kemajuan periode
klasik perhatian terhadap ilmu pengetahuan dalam peride ini masih
sangat kurang sekali.
Kemudian pada masa kemunduran, ketiga kerajaan dihancurkan
oleh musuh-musuhnya. Masing-masing adalah kerajaan Utsmani
terpukul di Eropa, kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan suku
Bangsa Afghan, sedang daerah kerajaan Mughal oleh pukulan para
raja di India. Akibatnya, kekuatan militer dan kekuasan pollitik umat
Islam menurun. Keadaan umat Islam pada saat itu mundur dan statis,
Periode Modern (18OO s/d sekarang) merupakan zaman
kebangkitan. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menyentak kesadaran
masyarakat Islam akan kelemahannya. Kenyataan ini juga

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 11
menyadarkan mereka bahwa di Barat telah timbul peradaban baru
yang kian meninggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Maka,
para pemimpin dan pemikir muslim mulai memikirkan bagaimana
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Di periode
inilah timbulnya ide ide pembaharuan dalam Islam.
Sementara itu , sedikit berbeda dengan sejarah peradaban Islam,
sejarah pemikiran Islam secara umum bisa dikelompokkan ke dalam
empat periode:
1. Periode Perintisan yaitu periode di mana semangat untuk melakukan
berbagai pemikiran keagamaan telah muncul tetapi belum dilakukan
secara terbuka dan belum didukung oleh adanya sebuah perangkat
metodologi yang memadai. Periode ini berlangsung sejak masa Nabi
sampai masa sahabat (abad VII M ).
2. Perode Pembentukan berlangsung diawali dengan adanya gerakan
kodifikasi hadits dan diikuti oleh adanya semangat pemikiran dan
formulasi berbagai ilmu keislaman secara massif dengan didukung
adanya perangkat-perangkat metodologis yang jelas. Periode ini
ditandai oleh adanya gerakan tadwin (kodifikasi), penerjemahan,
dan lahirnya berbagai karya besar sebagai bukti munculnya
berbagai ilmu baru. Periode ini berlangsung semenjak mulai masa
dinasti sampai jatuhnya Baghdad (abad VII-XIII M ).
3. Periode Pengikutan adalah periode di mana masyarakat Islam
merasa puas dan cukup dengan hasil yang telah dicapai oleh masa
sebelumnya karena berbagai masterpiece telah lahir dan mampu
menyediakan solusi bagi persoalan masyarakat Islam. Akibatnya
berbagai peroalan yang timbul, hanya dicarikan penyelesaiannya
pada karya yang telah ada, tidak mendorong untuk melahirkan
sebuah gagasan baru. Karakter dasarnya pada periode ini adalah
taklid dan menerima begitu saja hasil pemikiran yang telah
ada. Periode ini berlangsung sejek kajatuhan Baghdad sampai
digaungkannya kebangkitan Islam (abad XIII-XIX M).
4. Periode Kebangkitan adalah periode di mana muncul kesadaran baru
bahwa ada banyak sekali tantangan masyarakat Islam yang harus
dihadapi. Tingkat kompleksitas masalah yang dihadapi, tuntutan
penyesuaian dengan laju perkembangan zaman yang sangat cepat,

12Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
persaingan global yang tak terbendung dan sebagainya, sangat
membutuhkan berbagai rumusan dan pendekatan keilmuan yang
baru. Pendekatan dimaksud bukan lagi hanya berasal dari keilmuan
ke-Islaman semata, tetapi dengan melibatkan berbagai perangkat
keilmuan kontemporer. Periode ini dimulai pada XIX M sampai
sekarang masih terus berjalan.
A. TEOLOGI ISLAM
Salah satu pemikiran Islam yang mempunyai posisi sentral adalah
teologi. Sebagaimana diketahui bahwa dalam struktur keberagamaan
masyarakat, setidaknya ada tiga unsur utama yaitu kepercayaan
(belief) yang membentuk sistem keyakinan, pemujaan (cult) yang
membentuk sistem peribadatan dan perilaku (behaviour) yang
membentuk sistem tata nilai. Ketiganya saling berjalin berkelindan
antara satu dengan yang lainnya kendati bisa diidentifikasi secara
berebda-beda. Dari ketiganya, unsur keyakinan mengenai adanya
Tuhan menempati posisi yang sangat signifikan karena keyakinan
melahirkan berbagai cara penyembahan terhadap-Nya, sekaligus
melahirkan tata nilai dalam kehidupan bersama.
Sebagai bagian penting dari keberagamaan, ketiganya kemudian
menjelma menjadi sebuah obyek kajian tersendiri yang melahirkan
berbagai disiplin keilmuan tertentu yang terus berkembang. Dalam
Islam, sistem keyakinan itu melahirkan disiplin Kalam (teologi Islam),
sistem peribadatan melahirkan disiplin Fiqh (hukum Islam) dan sistem
tata nilai melahirkan disiplin Tasawuf (etika Islam). Jika diperhatikan
dari ketiga unsur utama tersebut, kepercayaan mempunyai
posisi yang amat sentral. Hal ini disebabkan karena hakekatnya
keberagamaan itu hanya menjadi mungkin karena yang utama
dalam agama adalah keyakinan mengenai Tuhan. Dari keyakinan ini
kemudian memunculkan implikasi adanya penyembahan dan sistem
tata nilai yang dsandarkan kepada-Nya. Oleh karena itu, teologi
sebagai disiplin yang mempelajari sistem keyakinan ini pun menjadi
strategis keberadaannya.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 13
Secara etimologis, kata teologi berasal dari kata theos yang berarti
Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Jika dilihat dari kata tersebut,
istilah teologi bisa dipastikan tidak berasal dari Islam. Hanya saja,
sebenarnya istilah teologi tersebut bukan sesuatu yang baru dalam
khazanah pemikiran Islam sekarang. Perlu diketahui bahwa Islam
mengalami perkembangan intelektual yang cukup signifikan melalui
gerakan penerjemahan berbagai karya-karya monumental Yunani.
Sebut saja karya yang berjudul Theologia Aristotle dan Elementatio
Theologia yang telah dikenal di kalangan para pemikir Islam.
2
Jadi
istilah teologi sebenarnya telah lama dikenal oleh Islam. Demikian
pula, sebagai istilah pungutan dari khazanah dan tradisi lain tidaklah
harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, apalagi istilah
tersebut memperkaya khazanah dan membantu mensistematisasikan
pemikiran dan pemahaman, sekalipun pada perkembangannya
melahirkan berbagai pemahaman yang berbeda.
Secara terminologis ada beberapa pengertian tentang teologi yang
diberikan oleh para pemikir. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa menjelaskan bahwa teologi adalah pengetahuan
ketuhanan (mengenai sifat-sifat Allah dan agama terutama berdasar
pada kitab-kitab Suci.
3
Sedangkan D.S. Adam memberikan batasan
pengertian teologi merupakan   disiplin   yang  membahas   mengenai
Tuhan  dan  hubungan Tuhan dengan  dunia.
4

Dalam perkembangannya istilah teologi dipahami secara
berbeda-beda. Ada yang memahami istilah teologi merupakan istilah
teknis ilmiah. Sebagai ilmu tentu saja ia mempunyai bidang kajian
khusus yang membedakannya dari bidang ilmu yang lain. Dalam hal
ini teologi adalah sebuah ilmu dengan bidang pengkajian tertentu
2
Madjid Fakhry, The History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University
Press, 1983), hlm. 19-31.
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
hlm. 932.
4
Lihat: D.S. Adam, “Theology” dalam James Hastings, Encyclopaedia of Religion and Ethics
(New York: Charlers Scribner`s Sons, vol. 12. tth.), hlm. 728.

14Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
yaitu Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan manusia.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa arus utama intelektualisme
yang pada saat itu berada di tangan orang-orang Islam Arab dan
adanya dominasi gerakan Arabisme telah menjadi faktor penting
yang meniscayakan berbagai istilah Yunani dialihbahasakan ke dalam
bahasa Arab, termasuk istilah teologi menjadi istilah kalam.
5
Dari
kenyataan ini bisa diketahui bahwa penggunaan istilah teologi sebagai
pengganti ilmu kalam tidak lain hanya merupakan pengulangan
sejarah.
6
Oleh karena itu, membicarakan masalah teologi dalam Islam
berarti adalah membicarakan tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan Tuhan sebagaimana disebutkan dalam peristilahan yang
sering dipakai dalam dunia Islam yaitu Ilmu Kalam, Ilmu `Aqāid dan
Ilmu Ushuluddin.
7

Tidak demikian dengan Masdar Farid Mas`udi. Menurutnya,
teologi sebagaimana yang dipahami sekarang ini merupakan suatu
bentuk penyempitan. Pemahaman seperti ini didasarkan pada
kenyataan bahwa istilah teologi, menurut Masdar, hanya menyangkut
masalah ketuhanan semata (sebagaimana bisa dipahami dari kata:
theos dan logos). Bagi Masdar teologi merupakan istilah yang serba
mencakup, yaitu suatu bentuk pemahaman terhadap agama itu
sendiri. Teologi adalah merupakan fiqh, dalam arti pemahaman bukan
5
Menurut Gruneboum, salah satu hal yang menjadi aspek penentu keberhasilan
Arabisasi pemikiran adalah adanya keyakinan bahwa bahasa Arab mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan bahasa lainnya. Hal inilah yang pada tataran tertentu berpengaruh
terhadap adanya penerjemahan istilah Yunani, termasuk teologi. Baca: Gustave von
Gruneboum, Medieval Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1956), hlm. 37.
Penilaian bahwa bahasa Arab mempunyai keunggulan juga disampaikan oleh Gustave
Le Bon bahwa satu abad sebelum Islam, bahasa Arab dengan jaringan konseptualnya dan
jaringan maknanya telah mencapai kesempurnaan. Baca: Aan Radiana dan Abdul Munir
Almarhum, “Analisa Linguistik dalam al-Qur’an”, dalam al-Hikmah, No. 17 Vol. VII tahun
1996, hlm. 12. Sedangkan al-Jābirī� menyatakan bahwa kesimpulan bahasa Arab adalah
bahasa yang sempurna diyakini oleh masyarakat Arab karena menjadi bahasa al-Quran. Jika
al-Quran dipahami sebagai “karya” yang sempurna, maka bahasanya juga adalah bahasa yang
sempurna. Dalam konteks ini, maka di masyarakat Arab muncul fanatisme ke-Araban. Baca:
M. `Abid al-Jabiri, Bunyat al-`Aql al-`Araiī� (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-`Arabi, 1993).
6
Wolfson menegaskan bahwa istilah kalam pada awalnya merupakan pengganti istilah
logos dalam pemikiran filsafat Yunani, termasuk di dalamnya teologi. Kalau pada zaman
sekarang ada kecenderungan mengganti istilah kalam dengan teologi maka bisa dikatakan
sebagai pengulangan sejarah. Harry Austin Wolfson, The Philosophy of Kalam (England:
Harvard University Press, 1976), hlm. 2.
7
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm.
201-202.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 15
dalam arti kajian mengenai hukum Islam. Ini terbukti dengan istilah
al-fiqh al-akbar yang justru berisi tentang sistem keimanan. Itulah
sebabnya, bagi Masdar, terdapat teologi hukum.
8

Demikian pula dalam pandangan Djohan Effendi, istilah teologi
sekarang ini mengalami penyempitan. Baginya teologi lebih tepat
dipadankan dengan istilah fiqh, yang berarti pemahaman, bukan ilmu
kalam atau ilmu tauhid. Ia mendasarkan pemahamannya mengenai
teologi berdasarkan al-Quran di mana ide sentralnya adalah tauhid
yang menghendaki adanya keserasian antara ide-ide ketuhanan dan
kehidupan praktis.
9
Kelompok ini mengidentikkan teologi sebagai
pemahaman keagamaan secara totalitas. Dengan demikian, pemakaian
istilah teologi pada gilirannya akan selalu mengalami perkembangan
dan perluasan.
Dalam sebuah karyanya yang berjudul al-Madzahib al-Islamiyyah,
Muhammad Ahmad Abu Zahrah mengelompokkan aliran-aliran
teologi dalam sejarah Islam ke dalam dua kelompok besar yaitu
kelompok yang bergerak pada ranah teologi dan yang bergerak pada
ranah politik. Kelompok yang dimasukkan ke dalam ranah teologi
adalah Mu`tazilah dan Asy`ariyah, sedangkan yang dimasukkan dalam
ranah politik adalah Syiah dan Khawarij.
10
Pada bagian ini hanya
akan dibicarakan mengenai aliran yang berada pada ranah teologi
yaitu Mutazilah dan Asy’ariyah mengingat kedua aliran inilah yang
pada akhirnya menguasai dialektika pemikiran teologi. Keduanya
merupakan kelompok yang mempunyai pengikut yang cukup besar
dan mempunyai cara pandang yang saling berhadapan secara
diametral. Mutazilah sebagai representasi kelompok rasional, dan
Asy’ariyah merupakan representasi kelompok tradisional.
Dalam persepktif sejarah, teologi lahir karena dua faktor
penyebab. Pertama, penyebab internal yaitu karena konflik politik
8
Lihat: Masdar F. Mas`udi, “Teologi Rasionalistik dalam Islam, Suatu Telaah Kritis atas
Teologi Mu`tazilah” dalam Masyhur Amin, Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran
Islam (Yogyakarta : LKPSM NU DIY, 1989), hlm. 101.
9
Djohan Effendi, “Konsep-konsep Teologis” dalam Budhy Munawar-Rahman,
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 52.
10
Muhammad Ahmad Abu Zahrah, al-Madzahib al-Islamiyyah (Kairo: al-Maktabah al-
Adab, tt.)

16Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
yang terjadi antara umat Islam pasca wafat Nabi Muhammad yang
membelah menjadi dua kubu yaitu sunni dan syiah. Kasus ini memang
belum memuncak menjadi sebuah wacana teologi yang serius, tetapi
setidak-tidcaknya telah ada indikasi yang mengarah ke sana dengan
munculnya berbagai perbedaan pendapat. Perbedaan ini semakin
mendapat bentuknya setelah terbunuhnya `Utsmān bin `Affān.
Yang semula muatan teologisnya tidak begitu kental, untuk tidak
mengatakan semata-mata persoalan politik, mulai mendapat muatan
teologis yang semakin jelas. Apakah pembunuh Usman telah menjadi
kafir ataukah masih dalam keadaan mukmin? Ditambah lagi dengan
peristiwa tahkim antara Ali dan Muawiyah yang memunculkan
persoalan hakekat keimanan. Keadaan demikian terus berkembang
sehingga akhirnya mewujud menjadi paham-paham politik sekaligus
paham-paham teologi karena masing-masing kelompok memerlukan
dukungan teologi untuk melegitimasi sikap-sikap politik mereka.
Kedua, faktor eksternal. Disela-sela pertarungan dan perdebatan
teologi antara umat Islam sendiri, timbul pula pertanyaan dan
serangan dari luar Islam, wakil-wakil sekte dan budaya lama tentang
aspek-aspek ketuhanan yang diyakini oleh Islam. Sebagai kekuatan
baru yang menang dalam berbagai medan pertempuran sistem
keyakinan,
11
Islam mendapatkan berbagai gempuran dari aliran-aliran
filsafat, agama dan kepercayaan yang ada di sekitar di mana mereka
hidup, terutama filsafat Yunani, agama Yahudi, Kristen dan Zoroaster.
Pertanyaan itu seperti mengenai sifat-sifat Tuhan. Apakah Tuhan
bersifat? Jika bersifat, bagaimana sifat-sifat Tuhan tersebut, apakah
sebagai suatu kesatuan tak terpisahkan ataukah suatu tambahan
atas-Nya. dan sebagainya
Di kalangan umat Islam, begitu diplomasi politik antara
kubu`Ali bin Abi Thalib yang diwakili oleh Abu Musa al-Asy`ari dan
kubu Muawiyah yang diwakili oleh `Amr bin `Ash selesai dengan
kekalahan di pihak `Ali bin Abi Thalib,
12
al-fitnah al-kubra benar-
11
Hassan Hanafi, From Faith to Revolution (Cordoba, Spain, 1985), hlm. 4.
12
Diplomasi ini diajukan oleh pihak Muawiyah atas inisiatif Amr bin `Ash karena
melihat posisinya yang sudah tidak menguntungkan. `Ali mempunyai banyak pendukung.
Dari kalangan sahabat sendiri, dalam penulisan Fu’ad Jabali, terhitung ada 128 orang yang
pro `Ali dan 35 orang yang pro Mu`awiyah. Fu’ad Jabali, The Companions of the Prophet: A
Study of Geographical Distribution and Political Alignment (Canada: Institute of Islamic
Studies University Montreal, 1990), hlm. 252-253.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 17
benar terjadi. Konflik yang serius pun sulit dihindari. Benih-benih
perpecahan mulai tampak ke permukaan. Dalam kegaduhan politik
seperti itulah muncul berbagai pertanyaan normatif semisal: Apa
hukumnya perang sesama muslim? Bagaimana dengan mereka yang
terlibat? Jawaban yang diajukan dengan argumentasinya masing-
masing banyak bermunculan. Sekelompok orang menghukumi
kafir setiap orang yang terlibat. Orang yang membunuh kafir, yang
zina kafir, meninggalkan shalat juga kafir. Bagi mereka iman bukan
hanya al-iqrar bi al-qalbi, tetapi juga al-a’mal bi al-jawarih Akibat
pandangan demikian hampir semua sahabat adalah kafir. `Utsman
kafir, `Ali kafir, Mu`awiyah kafir, `Aisyah kafir. Sementara kelompok
yang mengultuskan `Ali, juga mulai mengadakan gerakan untuk
mengobarkan semangat pembelaan terhadap ahl al-bait. Dengan
merujuk hadits ana madinah al-`ilmi wa `aliyyu babuha fa man arada
al-madinah falya’ti al-bab (saya adalah kota ilmu dan `Ali adalah pintu
gerbangnya, barangsiapa ingin masuk kota maka ia harus melalui
pintu gerbang tersebut)
13
mereka coba menumbuhkan fanatisme di
kalangan pengikut Ali.
Golongan yang keluar dari kelompok `Ali pada mulanya adalah
pendukung `Ali yang kemudian menentangnya setelah peristiwa
tahkim (arbitrase) yaitu pengambilan keputusan setelah mendengar
kedua belah pihak yang bersengketa.
14
Secara politik, tahkim
merupakan suatu upaya perdamaian dari pihak yang berseteru
dengan melakukan gencatan senjata dan perundingan. Dalam
persengketaan antara `Alī� dan Mu`āwiyah, proses tahkim ini diawali
dengan menurunkan kepemimpinan dari kedua belah pihak terlebih
dahulu, kemudian diikuti dengan diplomasi untuk mencapai jalan
keluar bersama. Hanya saja dalam tahkim itu, kelompok Muawiyah
yang diwakili oleh Amr bin `Ash yang seorang politisi berhasil
mengelabui Abu Musa al-Asy`ariyang seorang ulama yang lugu.
Akibatnya `Ali, secara politik, menelan kekalahan.
13
Abu `Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak `ala al-Shahihain, jilid 3 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1978), hlm. 126.
14
N.S. Doniach, The Oxford English and Arabic Dictionary of Current Usage (Oxford:
The Clarendon Press, 1987), hlm. 57.

18Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Kelompok ini mengemukakan alasan-alasan teologis untuk
mendukung pandangan dan sikap politik mereka yang menegaskan
bahwa tahkim adalah salah karena dengan demikian kelompok-
kelompok yang bertikai itu telah jelas menyimpang bahwa yang
berwenang atas kekuasaan adalah Ali. Golongan lain adalah kelompok
yang tetap setia kepada Ali dan memberikan dukungan penuh kepada
kekuasaaannya. Dengan demikian bisa diketahui bahwa akibat
perpecahan itu muncul dua partai politik yaitu Khawarij dan Syiah.
Partai yang satu mengafirkan Ali, satunya lagi mengultuskannya.
Kedua partai itu muncul karena, dan secara tegas diperlihatkan
sebagai, reaksi politik
Selain reaksi-rekasi politik, ada juga sikap yang sebenarnya
politis, tetapi dibungkus dengan nuansa religius. Corak demikian
banyak dilakukan oleh penguasa. Tentu saja langkah demikian sengaja
digunakan untuk memberikan bobot dan legitimasi keagamaan bagi
kekuasaannya. Mu`āwiyah, misalnya, menyadari posisinya banyak
dipertanyakan masyarakat. Karena itu demi keabsahan pengangkatan
dirinya melalui perebutan yang curang, ia menyebarkan akidah
fatalistik. Kepada umat Islam didoktrinkan bahwa yang terjadi
sudah merupakan qadha dan qadar Allah. Manusia harus percaya
dan menerimanya. Semuanya sudah ditulis yang berarti bahwa Allah
sudah ridha, maka ia menjadi khalifah berarti juga berdasar ridha
Allah.
Ada juga reaksi lain lagi, tetapi sifatnya intelektual yaitu datang
dari putra `Alī� sendiri yang bernama Muhammad. Ketika `Ali terbunuh,
putra tunggal `Ali dari Fathimah binti Hanafiyah ini baru berumur 18
tahun. Gerakan Muhammad bin `Ali lebih ditekankan pada gerakan
kultural dengan mengadakan pengajian di Masjid Nabawi, Madinah.
Salah satu pemikiran yang dikembangkan adalah al-amr `urf, segala
sesuatu yang terjadi adalah karena kelakuan manusia. Allah tidak
ikut campur tangan, af`al al-`ibad min al-`ibad. Segenap tindakan
manusia adalah dari dan menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.
Inilah reaksi intelektual pertama yang menentang qadha dan qadar,

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 19
menolak paham jabariyah dan kemudian dikenal sebagai al-qadariyah
al-ula.
15

Di tengah keadaan kacau balau dan situasi politik yang tidak
menentu yang membuat orang sulit untuk menentukan kebenaran,
ternyata ada dari beberapa generasi tabiin yang memiliki kestabilan,
bisa berpikir jernih dan netral dalam menyikapi politik. Tokohnya
yang terkenal antara lain AbuHanifah
16
dan Shufyan al-Tsauri.
17
Tokoh-
tokoh ini mencanangkan satu doktrin bahwa dalam situasi seperti itu
satu-satunya cara untuk tetap berada di jalan lurus adalah kembali
kepada al-Quran. Namun demikian, untuk memahami al-Quran harus
dicari melalui nalar. Untuk mencapai kebenaran diperlukan logika.
Karena logika berasal dari Yunani, maka logika tersebut harus diambil.
Berpijak pada dasar ini mereka berpandangan bahwa mencari
kebenaran harus menggunakan ilmu pengetahuan, menggunakan
nalar dengan cara ilmiah. Pemikiran Abu Hanifah ini langsung atau
tidak sebenarnya dimaksudkan untuk menjawab beberapa mazhab
yang sangat ekstrem. Ketika itu Syiah sudah berlebihan aspek
mistiknya. Sampai-sampai berkembang keyakinan bahwa imam itu
ma’shum. Sementara itu, Khawarij sangat formalistik. Abu Hanifah
sebenarnya adalah orang pertama yang merumuskan cara berpikir
dalam memahami agama yang meletakkan aspek tawāsuth dan
tasāmuĥ sebagai pijakan dalam mencari jalan tengah. Setelah Abu
Hanifah, datang generasi `Abdullah bin Kullaab al-Karamisi dan Abu
Haris al-Muhasibi. Dengan berpijak pada dasar yang telah dibangun
oleh Abu Hanifah, keduanya juga mencari jalan tengah. Hanya saja,
pada tahap berikutnya seiring dengan semakin berkembangnya
pemikiran mulai tampak kesimpangsiuran. Ada yang terlalu
menekankan ke aspek burhān hingga lebih dekat pada Mu`tazilah,
15
Baca: W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik Wacana Kritik Sejarah, terj. Sukoyo
dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 113.
16
Nama lengkap Abu Hanifah adalah Nu`man bin Tsabit al-Kufi. Ia lahir pada tahun
80 H dan wafat pada thun 150 H. Ia belajar fiqh pada Hammād bin Abi Sulaiman. Ia adalah
seorang yang kaya tapi zuhud. Lihat: `Abd al Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Bagdadi,
al-Farq bain al-Firaq (Kairo: Maktabah Muhammad `Ali Subaih wa Auladuhu, tt.), hlm. 27.
17
Nama lengkapnya adalah Abu `Abd Allah Shufyan bin Sa`id bin Masruq bin Hamzah
bin Ĥ� abib al-Tsauri al-Kūfi. Ia lahir pada tahun 95 H dan wafat 161 H. Lihat: al-Bagdadi, al-
Farq, hlm. 314.

20Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
ada yang terlalu `irfān hingga tampak condong ke Syiah, dan ada yang
terlalu formalistik hingga tampak condong ke Khawarij.
18

Reaksi intelektual ini tentu saja kemudian mengundang reaksi
intelektual yang lain. Pada akhirnya seluruh reaksi itu kemudian
mengkristal menjadi ajaran keagamaan yang dianut oleh masyarakat.
Dialektika pemikiran rasionalisme dan tradisionalisme, atau
lebih tepatnya keberagamaan yang didasarkan kepada pola pikir
rasionalistik dan pola pikir tradisionalistik dalam Islam kemudian
mulai berkembang dengan sangat marak. Pertarungan antara
rasionalisme dan tradisionalisme semakin mengemuka. Lebih-lebih
ketika salah satu paham tersebut mulai ditopang oleh kekuasaan.
Ambil contoh Mu`tazilah yang ditopang oleh pemerintahan Abbasiyah
awal dan mengkristal pada waktu al-Ma’mun, muncul nama-nama
besar yang melakukan perlawanan intelektual seperti al-Syafi’i, al-
Bukhari, Aĥ �mad bin Ĥ� anbal dan sebagainya. Pada waktu itu, Mu`tazilah
mengembangkan pemikiran yang sangat liberal. Dikatakan bahwa
Allah tidak mempunyai sifat karena itu al-Quran adalah ciptaan. Sebab
kalau Allah punya sifat, timbul masalah sifat itu qadim atau hadits?
Kalau qadim akan terjadi ta’addud al-qudama’ (berbilangnya zat/
substansi yang qadīm). Dikatakan hadits juga mustahil karena tidak
mungkin yang qadim punya sifat hadits. Sejak itu betul-betul terjadi
benturan antara beberapa sistem pemikiran.
Sistem berpikir rasional yang direpresentasaikan oleh Mu`tazilah
dan mendapat dukungan dari al-Ma’mun mendapat reaksi secara
serius dari kalangan tradisional. Muncul nama-nama besar seperti
al-Syafi’i (w. 204/819) yang bergerak di bidang hukum, al-Bukhari
(w. 256/870) yang bergerak dalam bidang hadits, yang kemudian
semakin diperkokoh oleh Ahmad ibn Hanbal. Seperti diketahui
bahwa nama-nama tersebut adalah tokoh utama paling berpengaruh
di bidangnya di dunia Islam sampai sekarang ini. Sedangkan nama
terakhir adalah tokoh yang paling gigih memberikan perlawanan
kepada kaum rasionalis (Mu`tazilah) yang kemudian mendapatkan
sambutan hangat dari masyarakat pada waktu itu.
18
Imam Baihaqi, Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan dan Reinterpretasi (Yogyakarta:
LKiS, 2000), hlm. 23-24.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 21
Dialektika pemikiran ini terus berlangsung. Keduanya pada
perkembangannya ternyata sama-sama membutuhkan adanya
dukungan politik dari kekuasaan. Karena itulah kemudian terjadi
perebutan pengaruh politik dari berbagai pola pemikiran tersebut.
Perebutan ini tampak nyata dari akibat yang ditimbulkannya.
Mu`tazilah sebagai representasi dari kelompok rasionalis berhasil
mempengaruhi pola pikir beberapa khalifah. Puncaknya, ketika
Abbasiyah jatuh ke tangan al-Ma’mun. Pada masa pemerintahannya,
penegakan doktrin Mu`tazilah dilakukan dengan sangat represif.
Siapapun yang tidak sama dengan doktrin keagamaan Mu`tazilah
menjadi korban.
Tidak berbeda dengan kelompok rasionalis, kelompok
tradisionalis juga melakukan hal yang sama. Kegigihan kaum
tradisionalis dalam memberikan perlawanan kepada kaum rasionalis
berhasil baik dengan dicabutnya paham rasional Mu`tazilah sebagai
acuan resmi negara pada masa al-Mutawakkil. Kebijakan ini kemudian
dilanjutkan dengan diresmikannya paham ahl al-hadits sebagai
mazhab resmi negara waktu itu.
19
Sekalipun, bisa jadi para penyokong
tradisionalisme tidak bermaksud untuk melakukan respon politik,
melainkan lebih ke arah respon intelektual dan religius, ternyata
tradisionalisme mendapatkan momen politik yang sangat bagus.
Momen ini tentu saja harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Ini terbukti
dengan ditetapkannya tradisionalisme sebagai mazhab negara.
Demikianlah, maka kemudian melahirkan berbagai pandangan
teologis yang berbeda antara satu dengan yang lain.
1. Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah salah satu dari madzhab teologi dalam
Islam. Ia muncul pertama kali sekitar tahun 748 M di Basrah,
tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin
Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Mu’tazilah berasal
dari kata i’tazala yang berarti memisahkan, menjauhkan diri,
menyalahi pendapat umum.
Ada cukup banyak teori mengenai sejarah kelahiran Mutazilah.
19
Imam Baihaqi, Kontroversi, hlm. 28.

22Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Harun Nasution dalam Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan mengumpulkan tidak kurang dari enam teori yang
masing-masing dikemukakan oleh al-Syahrastani, al-Baghdadi,
Tasy Kubra Zadah, al-Masudi, Ahmad Amin, CA Nallino.
20
Penjelasan Al-Syahrastani dan al-Baghdadi dalam masing-
masing karyanya memberikan informasi yang kurang lebih sama.
Menurut keduanya, kelahiran Mu’tazilah biasanya dikaitkan
dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya,
Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang
Islam yang melakukan dosa besar. Menurut Hasan Basri, orang
tersebut dianggap munafiq sekaligus fasiq, sehingga ia harus
dikeluarkan dari komunitas masyarakat muslim. Sementara
itu, menurut Washil ibn Atha, orang tersebut dihukumi fasiq. Ia
berada di antara dua tempat (manzilah bain al-manzilatain).
Karena perbedaan tersebut, Washil ibn atha lantas memisahkan
diri dan membentuk halaqah sendiri bersama Amr Ibn Ubaid.
Hasan Basri pun akhirnya mengatakan, i’tazala anna Washil
(Washil telah memisahkan diri dari kita). Dari pernyataan Hasan
BAsri ini kemudian dikenal istilah Mu’tazilah, orang-orang yang
memisahkan diri.
Tasy Kubra Zadah menjelaskan bahwa pada suatu hari
Qatadah ibn Daamah masuk ke masjid Basrah dan menuju majlis
Amr ibn Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Basri.
Setelah tahu bahwa majlis itu bukan majlis Hasan Basri, Qatadah
meninggalkannya dengan mengatakan “Ini kaum Mu’tazilah”
Al-Masudi berteori lain dengan tanpa mengaitkannya kepada
peristiwa Washil ibn Atha. Mereka disebut Mutazilah karena
mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan
makmin dan bukan pula kafir, tetapi berada di antara akedua
posisi itu. Mereka disebut Mutazilah karena mereka membuat
orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk)
golongan mukmin dan kafir.
Sementara menurut Ahmad Amin dan CA Nallino mempunyai
20
Harun Nasution dalam Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1986), hlm. 38-41

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 23
pandangan yang hampir sama yaitu nama Mu’tazilah sudah
terdapat sebelum adanya peristiwa Washil ibn Atha dan Hasan
Basri. Tepatnya adalah golongan orang-orang yang tak mau turut
campur dalam pertikaian politik. Yang terjadi pada masa Usman
ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib.
Dari sisi geografis, Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu
Mu’tazilah Basrah dan Mu’tazilah Baghdad. Perbedaan antara
keduanya pada umumnya disebabkan karena situasi geografis
dan kultural. Kota Basrah lebih dahulu didirikan daripada kota
Baghdad, sehingga lebih dahulu mengenal berbagai budaya dan
agama. Sementara itu, meskipun Baghdad merupakan kota yang
lebih belakangan didirikan, namun menjadi ibukota Abbasiyah.
Tokoh-tokoh Mu’tazilah Basrah antara lain adalah bin ‘Atha’,
Abu Huzail al-Allaf, al- Nazzham, dan al-Jubba’i. Sementara
tokoh-tokoh Mu’tazilah Baghdad antara lain adalah Bisyr ibn al-
Mu’tamir, al-Khayyat, al-Qadhi Abd al-Jabbar dan al-Zamakhsyari.
Pada dasarnya, Mu’tazilah membangun kerangka
pemikirannya secara rasional yang bertujuan untuk mensucikan
Tuhan dari segala hal yang bisa menodai keesaan dan kebaikan-
Nya. Untuk itu, jika ada sebuah teks al-Qur’an atau Sunnah yang
dianggap bisa memberikan pengertian yang menodai keesaan
dan kebaikan-Nya, mereka menakwilkanya sehingga sesuai
dengan apa yang ditunjukkan dalil-dalil akal. Adapun
Kendati masing-masing tokoh Mutazilah mempunyai
pemikiran, akan tetapi ada lima pemikiiran utama yang mereka
sepakati sebagai ajaran dasar. Kelima ajaran dasar itu adalah
keesaan Allah (al-tauhid), keadilan Allah (al-’adlu), janji dan
ancaman (al-wa’d wa al-waid), Posisi diantara dua tempat (al-
manzilatu bain al-manzilatain), perintah berbuat baik dan
larangan berbuat buruk (al-’Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-
Munkar)
21
a. Keesaan (al-Tauhid)
Tauhid adalah dasar ajaran Islam yang pertama dan utama.
Tauhid sesungguhnya memang bukan ajaran Mu’tazilah saja,
21
Mengenai lima ajaran dasar Mu’tazilah secara komprehensip bisa dibaca: ‘Abd al-
Jabbar, Syarh Ushul al-Khamsah (KAiro: Maktabqah Wahbah, 1965).

24Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
akan tetapi menjadi milik semua aliran di dalam Islam. Hanya
saja karena Mu’tazilah mempunyai pemahaman yang berbeda
yang dipertahankannya, maka pemahaman mengenai keesaan
Allah ini menjadi menarik.
Dari ajaran dasar ini ini pada akhirnya melahirkan prinsip
pensucian Allah dari persaman dengan semua makhluk. Allah
tidak mempunyai sifat. Apa yang dipandang orang sebagai sifat,
tidak lain itu adalah zat Allah sendiri. Jika Allah mempunyai
sifat, berarti ada dua yang qadim, yaitu zat dan sifat. Padahal,
sesungguhnya yang qadim itu hanya satu yaitu Allah (la
qadima illa Allah). Dengan demikian, jika ada dua yang qadim
berarti ada dua Tuhan. Hal ini, bagi Mu’;tazilah, tidak mungkin
terjadi. Ini tidak berarti bahwa, Tuhan tidak diberi sifat oleh
Mu’tazilah. Allah bagi mereka tetap Maha Tahu, Maha Kuasa,
Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya.
Tapi ini semua tidak bisa dipisahkan dari zat-Nya (sfat zatiyah)
dan perbuatan-Nya (sifat fi’liyah).
Allah juga berbeda dengan yang lain. Tidak ada sesuatu
makhlukn pun yang menyamai Allah. Tuhan bukan bukan
benda fisik, tidak membutuhkan ruang dan waktu, tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak bisa disifati dengan
sifat-sifat yang ada pada makhluk yang tidak menunjukkan
keazaliannya. Tidak bisa dilihat dengan panca indera dan tidak
bisa digambarkan dengan akal fikiran. Oleh karena itu, segala
upaya pemaknaan antropomorfis tidak bisa diterima. Jika
ada ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan seolah-olah ada
persamaan antara Tuhan dengan makhluk seperti mempunyai
tangan, mata dan telinga, maka harus dilakukan takwil. Karena
Allah, tidak berdimensi fisik, maka Alla tidak bisa dilihat
dengan mata kepala.
22

b.Keadilan (al-Adl)
Prinsip yang dibangun dari ajaran dasar kedua ini
adalah pensucian perbuatan Allah dari persamaan perbuatan
22
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: IP Press,
1986), hlm. 53

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 25
makhluk. Allah pasti berbuat adil, tidak mungkin Allah berbuat
zalim. Jika diakui bahwa Allah itu pasti adil maka harus diakui
bahwa semua semua perbuatan-Nya adalah baik. Dia tidak
mungkin melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia juga tidak
mungkin meninggalkan apapun yang merupakan kewajiban
bagi-Nya.
Kerangka kerja keadilan dipegang Mu’tazilah ialah
meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala
perbuatannya. Allah tidak menciptakan perbuatan manusia.
Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah Nya dengan
kodrat (kekuasaan) yang dijadikan pada diri mereka. Dengan
cara pandang seperti ini ada beberapa implikasi yang timbul
bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan
perbuatannya sendiri. Tuhan pasti mengerjakan yang baik
dan yang terbaik (al-shalah wa al-ashlah) karena itu menjadi
kewajiban Tuhan untuk menciptakan manusia, memerintahkan
manusia, dan membangkitkannya kembali. Tuhan menciptakan
makhluk atas dasar tujuan dan hikmah kebijaksanaan dan
tidak menghendaki keburukan serta tidak memerintahkannya.
Dengan cara demikian, dapat dipahami adanya perintah-
perintah, janji dan ancamanya, pengertian rasul-rasul, tidak
ada kezaliman pada Tuhan.
c. Janji dan Ancaman (al-Wa’du wa al Wa’id )
Ajaran dasar yang ketiga adalah janji dan ancaman yang
merupakan kelanjutan dari ajaran keadilan Tuhan. Mu’tazilah
meyakini bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala dan
ancaman menjatuhkan siksa berlaku.
Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa seorang mu’min,
apabila telah keluar dari dunia ini dalam keadaan taat
dan taubat, ia berhak mendapatkan pahala. Juga berhak
mendapatkan tafaddhul (karunia Tuhan) yaitu suatu pengertian
lain dibalik pahala. Aapabila seorang mu’min keluar dari
dunia ini tanpa taubat lebih dahulu dari sesuatu dosa besar
yang telah diperbuatnya, maka ia ditempatkan dalam neraka
selama-lamanya. Akan tetapi siksanya lebih ringan daripada
orang kafir.

26Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Mu’tazilah juga menolak adanya syafaat pada hari kiamat
karena meyakini bahwa apa yang didapatnya pada hari kiamat
adalah apa yang dilakukannya sendiri semasa hidup. Menurut
mereka, syafaat berlawanan dengan ajaran al wa’du wal wai’d.
d. Posisi antara Dua Posisi (al-Manzilah bain alManzilatain )
Konsep ini dianggap sebagai inti dan faktor utama
timbulnya Mu’tazilah. Begi mereka, pelaku dosa besar
adalah fasik karena orang yang melakukan dosa besar yang
mengakibatkan kekurangsempurnaan keimanan. Orang yang
tidak sempurna imannya tidak layak untuk disebut dengan
sebutan yang mulia yaitu mukmin. Tetapi juga tidak layak
kalau disebut kafir karena masih percaya kepada Allah dan
Nabi Muhammad.
Karena bukan mukmin, maka ia tidak layak masuk
surga. Demikian pula, karena bukan kafir, maka ia tak harus
masuk neraka. Ia seharusnya berada di luar surge dan di luar
neraka. Inilah keadilan. Hanya saja, mengingat di akherat
hanya ada surga dan neraka, maka pembuat dosa besar harus
dimasukkan ke dalam salah satu tempat itu. Penentuannya
sangat berhubungan erat dengan konsep iman dalam
Mu’tazilah. Bagi mereka, iman bukan hanya pengakuan lisan,
melainkan perbuatan Dengan demikian pendosa besar tidak
bisa dikatakan beriman. Oleh keran itu, tempat satu-satunya
adalah neraka. Hanya saja, tentu tidak adil kalau siksa yang
diterimanya sama berat dengan siksa orang kafir. Akhirnya
mereka mendapatkan siksa yang lebih ringan.
e. Perintah Berbuat Baik dan Larangan Berbuat Buruk
Menurut Mu’tazilah yang dimaksud kebaikan (ma’ruf)
adalah sesuatu yang disepakati kebaikannya oleh banyak orang.
Sedangkan buruk (munkar) adalah sesuatu yang bertentangan
dengan kesepakatan orang banyak. Cara pandang seperti ini
bukan monopoli Mu’tazilah. Yang berbeda adalah pada tataran
pelaskanaannya. Mu’tazilah meyakini bahwa kegiatan ini tidak
cukup dengan seruan, jika perlu dengan paksaan. Maka dalam

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 27
lintasan sejarah ditemukan adanya tindakan pemaksaan untuk
itu, tepatnya pada masa khalifah al-Makmun (813-833 M)
Praktik ini yang menyebabkan popularitas Mu’tazilan menurun
dan mayoritas masyarakat antipati kepada kelompok ini.
2. Asy’ariyah
Asyariyah adalah sebuah kelompok yang dinisbatkan kepada
penggagas awalnya yaitu al-Asyari. Nama lengkap al-Asy’ari
adalah Abu al-Hasan ibn Ismail ibn Abi Basyar Ishaq ibn Salim
ibn Ismail `Abd Allah Abu Musa al-Asy`ari. Sekalipun ia dilahirkan
di Basrah, namun ia besar dan wafat di Bagdad. Berkaitan dengan
wafatnya, Richard J. McCarthy menginformasikan bahwa para
penulis berbeda antara satu dengan yang lain. Abu Bakr Ahmad
ibn `Ali ibn Tsabit ibn al-Khathib al-Bagdadi mengatakan bahwa
al-Asy’ari lahir tahun 260 H/873-874 M dan wafat 330 H/941-
942 M; Abu al-Qasim `Abd al-Wahid ibn `Ali al-Asadi menyatakan
bahwa al-Asy`ari wafat antara 320 H dan 330  H; sedangkan
Abu Muhammad `Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm menegaskan
bahwa al-Asy`ari wafat tahun 324 H/935-936 M; beberapa orang
belakangan bahkan ada yang menyatakan bahwa ia wafat setelah
tahun 330.
23
M.M. Sharif juga melaporkan adanya perbedaan-
perbedaan tersebut.
24
Walaupun begitu, pada umumnya para
penulis biografi al-Asy’ari lebih banyak bersepakat bahwa ia lahir
tahun 260 H/873 M dan wafat tahun 324 H/935 M.
25

Ayah al-Asy’ari, Ismail ibn Ishaq adalah seorang tokoh
hadits. Ayahnya wafat ketika ia masih kecil. Pada waktu itu,
usianya kurang lebih baru mencapai 10 tahun. Tidak ada
laporan pasti pada usia berapa ayahnya wafat. Selang beberapa
tahun setelah ayahnya wafat, kemudian ibunya dinikahi oleh
Abu `Ali al-Jubbai, seorang professor dari kalangan Mu`tazilah
23
Richard J. McCarthy, The Theology of al-Ash’ari (Beirut: Imprimerie Catholique,
1953), hlm. 139-141.
24
M.M. Sharif, History of Islamic Philosophy (Germany: Otto Harrasowitz Weisbaden,
1963), hlm. 222.
25
Pernyataan demikian bisa dilihat dalam pengantar Muhammad Sayyid al-Julaynid
dalam Abu al-Hasan al-Asy`aii, Ushul Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah (Kairo: Dar al-`Ulum,tt.),
hlm. 5.

28Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
yang sangat berpengaruh pada waktu itu. Al-Jubbai inilah yang
kelak menjadi pembimbing dalam teologinya setelah al-Jubbqai
menikah dengan ibunya pada tahun 275 H saat mana usia al-
Asy’ari berusia 15 tahun.
Sebelum berkenalan dengan teologi, al-Asy’ari telah terdidik
terlebih dahulu secara intensif dalam bidang fiqh dan hadits.
Sebelum ayahnya wafat, ia telah dititipkan kepada Zakariyya bin
Yahya al-Saji, seorang pakar hadits pada waktu itu. Dari al-Saji,
al-Asy’ari meriwayatkan beberapa hadits. Kepada al-aji pula al-
Asy’ari belajar fiqh al-Syafi’i. Pengetahuan fiqhnya yang telah
dimiliki dari gurunya itu kemudian ia kembangkan secara intensif
dengan mengikuti forum setiap hari Jumat di masjid al-Manshūr
yang diasuh oleh Abu Ishaq al-Mauzi (w. 340 H), seorang ulama
fiqh pada waktu itu
Lingkungannya yang kondusif dan intelektualitasnya yang
cemerlang menjadikannya sebagai sosok yang memiliki kehausan
intelektual untuk terus melakukan pencarian. Ia tertarik dengan
berbagai bidang ilmu. Hadits dan fiqh yang dipelajarinya tidak
membuatnya puas. Setelah ibunya menikah dengan aili al-Jubbāi,
ia mulai berkenalan dengan teologi. Perkenalannya yang intensif
dengan teologi melalui ayah tirinya ini membuatnya memutuskan
untuk lebih memusatkan perhatiannya kepada teologi yang
menurutnya justru lebih mendasar, di samping karena berbicara
tentang hal-hal pokok yaitu simpul-simpul keimanan manusia,
juga karena besarnya peran akal dalam disiplin itu. Dalam bidang
teologi ini, al-Asy’aribelajar secara lebih intensif mengenai teologi
Mu`tazilah di bawah bimbingan tokoh-tokohnya seperti al-Jubbāī�
dan al-Syahham.
Dari berbagai latihan dan berkat kecerdasannya, dalam
waktu relatif singkat al-Asy’ari menjadi salah satu tokoh
Mu`tazilah dengan tingkat kredibilitas tinggi. Ia dipercaya oleh
guru-gurunya, terutama al-Jubbai dalam berbagai perdebatan
karena dikenal pandai dalam berdebat. Al-Jubbai sendiri dikenal
sebagai seorang yang tulisan-tulisannya tajam akan tetapi dalam
hal berdebat masih kalah jika dibandingkan dengan al-Asy’ari.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 29
Sekalipun menempati posisi terhormat di kalangan
Mu`tazilah, pergulatan intelektualnya ternyata mencapai titik
kulminasi. Ia mulai ragu terhadap kebenaran sistem keimanan
yang dianut dan diperjuangkannya selama ini. Tepatnya, pada usia
40 tahun al-Asy’ari mengalami kebimbangan yang disebabkan
oleh berbagai hal sehingga akhirnya membawa konversi
pemikiran teologis. Bahkan dengan kepiawaian logika yang
dipelajarinya dari Mu`tazilah, ia kemudian berbalik menyerang
Mu`tazilah dengan sangat gencar.
26
Tidak ada kepastian apa yang menyebabkan al-Asy’ari
mengalami kebimbangan. Ibn Nadim sebagaimana diinformasikan
oleh Al-Julaynid menyatakan bahwa salah satu yang menyebabkan
keraguan al-Asy’ari kepada Mu`tazilah adalah karena pandangan
tentang keadilan Allah yang terkesan menghilangkan aspek
kekuasaan-Nya dan tentang penciptaan al-Quran.
Sementara beberapa informasi yang lain sampai sekarang
sebatas pada tiga faktor yang mendorong terjadinya peristiwa
tersebut. Peristiwa pertama, adanya petunjuk langsung dari nabi
melalui mimpi yang berlangsung selama tiga kali yang menegaskan
bahwa ahl al-hadits-lah yang benar, bukan Mu`tazilah. Peristiwa
kedua yaitu perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya, Abu
`Ali al-Jubbai tentang keharusan Allah untuk berbuat yang baik,
bahkan terbaik bagi manusia (al-shalah wa al-ashlah). Peristiwa
ketiga adalah persaingan pengaruh politik di internal Mutazilah
dengan saudara tirinya, Abu Hasyim al-Jubbai.
Di samping tiga alasan terdahulu yang sifatnya kasuistik
dan masih perlu dipertanyakan, ada tiga alasan lain yang lebih
mendasar dan mestinya harus lebih diperhitungkan karena
secara ilmiah lebih bisa dipertanggungjawabkan. Alasan-alasan
ini bergerak pada tataran pemikiran sehingga alasan-alasan
ini mendasari mengapa ketika terjadi kasus tertentu kemudian
26
Kasus yang sama dengan al-Asy`arī� juga terjadi pada al-Gazali, penerus paling utama
dari mazhab Asy`ariyah. Jika al-Asy`arī� dalam bidang teologi, al-Gazali dalam bidang tasawuf.
Sebagaimana diketahui bahwa al-Gazali adalah seorang filosof, yang karena sesuatu hal,
kemudian berbalik menyerang filsafat. Karya monumental dalam bidang ini adalah Tahafut
al-Falasifah.

30Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
konversi itu terjadi. Dengan meminjam analisis Fuad Baali dan
Ali Wardi
27
serta Mc. Guire,
28
alasan-alasan tersebut, menurut
hemat penulis, bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu personal-
ideasional, kultural-psikologis dan sosial.
29
Alasan personal-
ideasional lebih merupakan seperangkat kepercayaan yang
menjustifikasi sistem pemaknaan yang dianutnya, sedangkan
alasan kultural-psikologis sangat erat hubungannya dengan
aspek emosi dan sikap yang dimiliki al-Asy’ariyang timbul karena
budaya yang mengalir dalam dirinya, sementara alasan sosial
sangat berkaitan dengan adanya interaksi dengan orang-orang
di sekitarnya. Dalam skala kecil seperti orang tua, teman dan
dalam skala besar adalah masyarakat yang cenderung bersifat
tradisional. Alasan sosial ini juga bisa diidentifikasi sebagai
alasan politism karena pada waktu itu kekuasaan politik lebih
mendukung kelompok tradisional.
Fakta ini menunjukkan bahwa tampilnya bersamaan dengan
konsolidasi Sunni yang hampir selesai. Apa yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh yang secara serentak membangun tradisionalisme
ini, hampir bisa dipastikan membawa dampak sedemikian rupa
bagi sistem berpikir dan pola hidup bermasyarakat. Artinya
nilai-nilai ortodoksi yang dibangun oleh kelompok ini melalui
berbagai wilayah, fiqh dan kodifikasi hadits sudah terinternalisir
dalam praktek kehidupan keseharian masyarakat. Di sisi lain,
dengan cerdas al-Asy’ari melihat bahwa kehidupan berdasarkan
ortodoksi yang sudah berjalan itu belum tersentuh oleh adanya
teologi sistematis. Sejak dibatalkannya Mu`tazilah sebaga mazhab
resmi yang dipaksakan oleh negara, masyarakat tidak mempunyai
27
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought Style; A Social Perspective
(Boston: G.K. Hall and Co., 1981).
28
Meredith B. Mc. Guire, Religion: The Social Context (California: Wadsworth Publishing
Company, 1981), hlm. 61.
29
Dalam menganalisis konversi Abū al-Ĥ � asan al-Asy`arī� ini penulis mengadopsi dan
menggabungkan pendekatan yang dipakai oleh Fuad Baali, Ali Wardi dan Mc. Guire. Di satu
sisi Menurut Fuad Baali dan Ali Wardi, ketika menganalisis pemikiran Ibnu Khaldun, faktor-
faktor yang mempengaruhi pemikiran adalah hal-hal yang bersifat personal, kultural dan
sosial. Di sisi lain, menurut McGuire ada dua faktor utama penyebab konversi yaitu faktor
ideasional dan faktor psikologis. Mengingat al-Asy`ari telah mengalami konversi pemikiran
maka penulis mengidentifikasi faktor konversinya adalah personal-ideasional, kultural-
psikologis dan sosial. Baca: Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun, baca juga: Mc. Guire.
Religion.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 31
acuan teolog. Al-Asy’arimenngisi kekosongan tersebut.
Kehadiran al-Asy’ari semakin mengokohkan posisi kelompok
tradisional dan berlawanan dengan kelompok rasional yang
diwakili oleh Mutazilah pada waktu itu. Adapun beberapa
pandangan al-Asy’’ari adalah
a.Kekuasaan dan Keadilan Allah
Bagi al-Asy’ari, Allah adalah zat yang Mahakuasa dan
Mahaadil. Tentu demikian halnya bagi yang lain. Akan tetapi
pemahaman mengenai kekuasaan dan keadilan ini ternyata
antara satu pihak dengan pihak yang lain tidak sama. Adil,
dalam pandangan al-Asy’ari, adalah meletakkan segala sesuatu
pada tempatnya (wadh`u al-syai’ fi mahallihi). Seseorang yang
mempunyai kekuasaan berarti seseorang itu bisa melakukan
apa saja terhadap apa yang dimiliki. Karena Allah adalah zat
yang Mahakuasa berarti Dia bisa berbuat apa saja terhadap
apa yang dikuasai-Nya. Jika Allah diakui zat yang Mahakuasa,
maka apapun yang dilakukan Allah adalah sebuah bentuk
keadilan. Tidak akan pernah ketidakadilan itu terdapat
pada diri-Nya. Al-Asy’ari menggambarkan kekuasaan Allah
seperti orang yang memiliki kekuasaan atas suatu barang
yang dimilikinya dan mempergunakannya sesuai dengan
kehendaknya sendiri. Sekalipun barang itu telah memberikan
banyak kemanfaatan, maka tidak ada keharusan bagi orang itu
untuk menempatkannya di tempat yang indah dan bergengsi.
Sebaliknya, sekalipun barang itu tidak ada nilainya, juga tidak
ada keharusan pemiliknya untuk membuang ke tempat yang
menjijikkan. Semua tindakan pemilik barang itu tidak bisa
dikatakan tidak adil karena ia berkuasa penuh terhadap yang
dimilikinya.
Menurut al-Asy’ari Allah adalah maha segalanya. Allah
berada di luar dari segala yang ada. Allah berada di luar
domain hukum yang ada, sehigga ia bisa berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya. Sekalipun menurut logika manusia hal itu
tidak sepatutnya dilakukan oleh Allah, hal itu tetap pantas

32Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
dilakukan oleh Allah. Manusia adalah milik Allah sepenuhnya.
Seorang yang selama hidupnya telah melakukan amal
kebaikan, bisa saja diletakkan oleh Allah di dalam neraka. Atau
sebaliknya, seorang yang selama hidupnya telah melakukan
berbagai tindak kejahatan Allah bisa saja memasukkannya ke
dalam surga. Sekalipun demikian, Allah tidak bisa dikatakan
salah atau tidak adil karena yang dimaksud dengan perbuatan
salah dan tidak adil menurutnya adalah perbuatan yang
melanggar hukum, padahal di atas Allah tidak ada hukum,
sehingga perbuatan Allah tidak pernah bertentangan dengan
hukum. Karena itu, tidak ada istilah «tidak adil» bagi Allah.
Apapun yang dilakukan Allah adalah wujud keadilan-Nya.
b. Perbuatan Manusia
Kekuasaan dan keadilan Allah sebagaimana dicanangkan
oleh al-Asy’ari di atas mengakibatkan posisi manusia menjadi
sangat lemah. Kelemahan ini menjadi semakin nyata karena
diperkuat dengan keyakinannya bahwa seluruh apa yang
dilakukan manusia sesungguhnya telah ditentukan oleh Allah.
Dalam kaitan dengan ini, al-Asy’ari mengedepankan konsep
qadha-qadar. Namun demikian, ia berusaha memberikan jalan
keluar melalui konsep al-kasb.
Qadha dan Qadar adalah ketentuan dan ukuran tentang
kehidupan manusia. Ada beberapa ayat yang berbicara
tentang hal ini. Di antaranya yaitu QS al-Qamar (54) : 49 yang
menyatakan inna kulla syai’in khalaqnāhu biqadar (Sungguh,
kami ciptakan segalan sesuatu menurut ukuran) dan QS al-
Thalaq (65): 3 yang menyatakan qad ja`alallāhu likulli syai’in
qadrā (Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan untuk
segala sesuatu). Keduanya secara tegas menerangkan bahwa
Allah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran yang
telah ditetapkan. Dari ayat ini sangat jelas bahwa ukuran itu
merupakan ketentuan yang telah dibuat oleh Allah bersamaan
dengan penciptaannya yang merupakan harga mati tanpa ada
kemungkinan sedikitpun untuk berubah.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 33
Menurut al-Asy’ari manusia adalah lemah. Dalam
kelemahannya itu manusia bergantung pada kehendak dan
kekuasaan Allah. Apa yang dilakukan manusia sesungguhnya
adalah ketentuan dan kehendak Allah. Namun demikian, al-
Asy’ari tetap memberikan porsi keterlibatan manusia dalam
perbuatannya. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
manusia dengan kemauan dan kehendak mutlak Tuhan itulah
al-Asy’ari memakai kata al-kasb.
30
Konsep ini menunjukkan
bahwa sesuatu perbuatan terjadi dengan perantaraan daya
yang diciptakan oleh Tuhan. Dengan demikian menjadi
perolehan bagi seseorang yang dengan daya-Nya perbuatan itu
menjadi terlaksana. Kendati demikian, al-kasb itu adalah tetap
ciptaan Tuhan sehingga manusia tetap berada dalam poisi yang
pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Dalil yang dipergunakan
oleh al-Asy’ari dalam kaitan dengan perbuatan manusia in
adalah Q.S. al-Shāffāt (37): 96 “wa Allāhu khalaqakum wa
mā ta`malūn” (Allah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat). Jadi Tuhanlah yang menjadi pembuat yang
sebenarnya dari perbuatan manusia dan manusia menjadi
tempat bagi perbuatan Tuhan.
Al-Asy’ari secara tegas menyatakan keyakinan adanya
seluruh ketentuan kehidupan manusia melalui qadha dan
qadar. Seluruh kebaikan dan keburukan, manis dan pahitnya
kehidupan adalah dengan ketentuan Allah. Menurutnya,
manusia tidak memiliki dirinya sendiri, bahaya maupun
manfaat, kecuali dengan kehendak Allah.
31

Dari pandangan ini diketahui bahwa segala perbuatan
manusia, menurut al-Asy’ari, positif maupun negatif, manis
maupun pahit, ditentukan oleh Allah. Keinginannya hanya
akan bisa terealisir dengan adanya ketentuan dan kekuasaan
Allah, karena manusia sendiri tidak memiliki hak atas dirinya
sendiri kecuali hanya atas kehendak Allah. Dari persepktif
30
Berkaitan dengan pemikiran al-Asy`arī� mengenai al-kasb menarik untuk dibaca
penulisan Nukman Abbas, Al-Asy`ari (874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir
Tuhan (Jakarta; Penerbit Erlangga, 2006).
31
Al-Asy`ari, al-Ibanah, hlm. 9.

34Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
qadhā dan qadar ini, sosok manusia dalam pandangan al-
Asy’ari merupakan sosok yang berada dalam posisi yang tidak
bisa menentukan kemerdekaan dirinya sendiri, kendati ia telah
mengusulkan adanya konsep al-kasb sebagai upaya untuk
keluar dari keterbelengguan itu. Akibatnya, konsep perbuatan
manusia menjadi tidak mandiri, tetapi ditentukan oleh Allah
sepenuhnya.
Pendapat al-Asy’ari ini semakin dikokohkan oleh
penerusnya, al-Gazali. Untuk mendukung gagasannya al-
Gazali menyatakan bahwa sesungguhnya daya manusia rapat
hubungannya dengan perbuatan itu, tak dapat dikatakan
bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan itu. Untuk
itu perlu dicari term baru dan sesuai dengan apa yang disebut
dalam Q.S. al-Baqarah (2): 286 yang dijadikan rujukan bagi
Mu`tazilah. Bagi al-Gazāli, al-kasb bisa diibaratkan dengan
perbuatan dua orang yang mengangkat batu berat. Satu orang
tidak kuat mengangkatnya, sedangkan yang lainnya kuat
untuk mengangkatnya. Keberhasilan mengangkat batu berat
tersebut tidak bisa dikatakan bahwa semata-mata dari hasil
kerja orang yang kuat mengangkat. Demikian pula dengan
perbuatan manusia, pada hakekatnya terjadi dengan adanya
daya Tuhan, tetapi manusia tetap tidak kehilangan sifatnya
sebagai pembuat.
b. Kemampuan akal manusia
Keberadaan akal manusia sangat tergantung kepada
pemahaman mengenai kekuasan dan keadilan Allah serta
perbuatan manusia. Membaca dua penjelasan mengenai
dua hal tersebut, bisa diketahui bahwa keberadaan manusia
demikian lemah di hadapan Tuhan. Jika akal adalah bagian
inheren dari manusia, maka kemampuan akal pun menjadi
lemah dan oleh karenanya menjadi terbatas. Sekalipun, bagi al-
Asy’ari akal manusia mampu mengetahui adanya Tuhan, tetapi
kewajiban untuk mengetahui Tuhan tidak ditetapkan oleh akal.
Wahyu Allah yang mewajibkan manusia untuk mengetahui
Tuhan, yang mewajibkan untuk bersyukur kepada-Nya.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 35
Sekiranya wahyu tidak turun kepada manusia maka tidak wajib
mengetahui dan bersyukur sama sekali kepada-Nya. Akal juga
tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Baginya, baik dan
buruk tidak melekat pada suatu perbuatan, tetapi tergantung
pada kehendak mutlak Tuhan. Dusta, misalnya, adalah jahat
karena dilarang Tuhan. Bila dusta disuruh Tuhan, maka dusta
adalah baik.
c. Kebaikan dan Keburukan.
Menurut al-Asy’ari yang disebut kebaikan adalah seluruh
yang diperintahkan, dianjurkan maupun diperbolehkan oleh
Allah swt. Kebaikan bukanlah semata-mata kewajiban atau
anjuran, tetapi juga segala sesuatu yang tidak ada larangan
secara tegas (ibahah) dari Allah swt. Sebaliknya, yang disebut
keburukan adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah swt.
32

Dengan demikian, kebaikan dan keburukan sangat ditentukan
oleh ada atau tidak adanya pemberitahuan oleh Allah, bukan
ditentukan oleh kemampuan manusia itu sendiri karena
manusia sangat dipengaruhi dan diliputi dengan hawa nafsu.
Wilayah kebaikan jika dibandingkan dengan wilayah keburukan
ternyata jauh lebih luas wilayah kebaikan. Berdasarkan ini,
maka kebaikan dan keburukan yang menjadi standard dalam
praktik politik umat Islam seharusnya adalah apa yang telah
digariskan oleh Allah.
d. Bi la kayf wa la tasybih
Selain melahirkan konsep keadilan, pandangan al-Asy’ari
mengenai kekuasaan Allah juga melahirkan konsep kesucian
yang tidak mungkin tertempeli sifat-sifat kemanusiaan.
Sebelum konsep kesucian ini diperkenalkan al-Asy’ari,
sebenarnya telah ada lebih dulu berbagai paham yang
mencoba memberikan penjelasan terhadap berbagai ayat
yang berbicara tentang adanya berbagai atribut manusiawi
yang ada pada Allah. Mu`tazilah, sebagai kelompok yang
mengedepankan aspek rasionalitas, memberikan pemahaman
32
Al-Asy`ari, Ushul Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah, Kairo: Dar al-`Ulum, tt., hlm. 78.

36Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
yang metaforis sifatnya. Dengan demikian, kelompok ini secara
tegas keluar dari penggambaran manusiawi mengenai Allah.
Sementara itu di sisi lain, kelompok musyabbihah cenderung
memaknainya bahwa atribut-atribut itu adalah sama dengan
atribut kemanusiaan.
Melihat kenyataan ini, al-Asy’ari melontarkan konsep bi
la kayf wa la tasybih, tidak perlu dipertanyakan bagaimana
mengenai hal itu dan tidak ada penyerupaan, tidak perlu
perincian dan penjelasan,
33
untuk mengisi kekosongan
dan ketidakmampuan kelompok tersebut dalam menjawab
berbagai pertanyaan dan pandangan dari berbagai pihak.
La kaifa adalah konsep yang ditujukan untuk mementahkan
pandangan Mu`tazilah yang secara tegas berusaha
menakwilkannya. Sementara la tasybih adalah konsep
untuk membantah kaum musyabbihah yang cenderung
antropomorfis. Jadi konsep-konsep ini sebenarnya adalah
untuk memukul lawan-lawan paham keagamaannya sekaligus
lawan politiknya.
Konsep ini merupakan konsep yang dikembangkan dari
adanya keyakinan bahwa Allah adalah zat yang berbeda
dengan segala sesuatu yang ada (laisa kamitslihi syai’un).
Karena keterbatasan penalaran manusia, maka manusia pasti
tidak akan bisa menjelaskan bagaimana dan di mana letak
perbedaan Allah itu dengan segala selain-Nya. Manusia adalah
entitas relatif dan terbatas, sedangkan Allah adalah zat yang
mutlak dan tak terbatas. Apapun pemikiran yang dilakukan
oleh manusia, termasuk mengenai Tuhannya, selalu berada
dalam keterbatasan. Oleh karena itu, pemikiran manusia
tidak akan bisa menyentuh kemutlakan dan ketakterbatasan
Tuhan.
34
f. Kedudukan al-Qur’an
Al-Asy’ari berpendapat bahwa al-Quran adalah kalamullah,
tidak berubah, tidak diciptakan, bukan makhluk dan tidak baru.
Adapun huruf, bentuk, warna, dan suara adalah diciptakan. Al-
33
Al-Asy`ari, al- Ibanah, hlm. 9, 35-39. Baca juga Al-Asy`ari, Ushul, hlm. 76.
34
G.E. Von Gruneboum, Classical Islam A History 600 A.D. –1258 A.L. (Chicago: Aldine
Publishing Company, 1970), hlm. 130.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 37
Quran qadim sebagaimana qadimnya Zat Yang Maha Tinggi.
Ia tidak tersusun dari huruf dan kata-kata. Karena kata-kata
dan huruf itu baru sehingga tidak melekat pada yang qadim
dan wajib al-wujud. Pandangan al-Asy’ari ini didasarkan
kepada Q.S. al-Rūm (30): 25 yang berbunyi “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah tegaknya langit dan bumi
dengan perintah-Nya.” Demikian pula pada Q.S. al-A`rāf (7): 54.
“Ingatlah hanya pada Allah hak mencipta dan memerintah.”
Ketika menjelaskan tentang ayat ini, ia menegaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan perintah tersebut adalah kalam Allah
itu sendiri. Dalam tulisan lain, ia menjelaskan bahwa antara
mencipta dan memerintah adalah berbeda. Segala sesuatu
yang diciptakan adalah keberadaan setelah kebelumberadaan.
Perintah-Nya adalah sesuatu yang tidak dicptakan sebab jika
diciptakan maka tentu saja dibutuhkan ada perintah yang lain
untuk mengadakan perintah itu. Hal itu akan berlangsung
terus menerus.
35

Memahami keyakinan al-Asy’ari bahwa al-Quran adalah
qadim tidak bisa dilepaskan dari kerangka pemikirannya
tentang sifat Allah secara umum mengingat al-Quran
sesungguhnya adalah manifestasi dari salah satu sifat Allah
yaitu kalam. Kalam Allah bukanlah alam karena ia menempel
pada Khaliq. Karena al-Asy’ari meyakini bahwa Allah
mempunyai sifat dan sifat-sifat tersebut adalah qadim, maka
tentu saja al-Quran sebagai manifestasi kalam Allah tidak bisa
tidak adalah qadim.
g. Sifat Allah swt
Dalam hal ini al-Asy’ari dapat dianggap mengambil jalan
tengah dengan mengemukakan bahwa Tuhan mempunyai
sifat yang menjadi bukti adanya (wujud) Allah. Sifat-sifat
tersebut antara lain adalah hidup (hayat), berkuasa (qudrah),
mengetahui (`ilm), berkehendak (iradah) melihat (bashar),
mendengar (sam`), berbicara (kalam). Akan tetapi dalam
pandangannya, sifat Tuhan bukan esensi Tuhan itu sendiri,
35
Al-Asy`ari, Ushul, hlm. 71-72.

38Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
sifat Tuhan dan zat Tuhan adalah berbeda tetapi adalah satu
(ma huwa wa la gairuhu, shifat Allah laisat ‘ain dzatihi wa la
gairu dzatihi).
36
Ada beberapa karakter berkaitan dengan sifat ini. Bagi
al-Asy’ari sifat Allah adalah qadīm karena melekat pada yang
qadim. Memang benar bahwa zat dan sifat adalah sesuatu
yang berbeda akan tetapi keberadaan sifat itu sendiri pasti
melekat kepada zat. Sifat tidak bisa berdiri sendiri. Karena itu,
zat dan sifat merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.
Tidak mungkin menggambarkan keberadaan Allah tanpa sifat-
Nya. Menggambarkan bahwa Allah adalah zat yang berkuasa
pasti harus mengakui kekuasaan-Nya; Allah adalah zat yang
berkehendak tidak mungkin tanpa mengakui kehendak-Nya,
Allah adalah zat yang hidup tidak mungkin tanpa pengakuan
terhadap kehidupan-Nya, Allah adalah zat yang mengetahui
tidak mungkin tanpa pengakuan terhadap pengetahuan-Nya,
dan seterusnya. Karena keduanya menjadi satu kesatuan,
maka apa yang terdapat pada zat tentulah berlaku juga pada
sifat. Jika zat adalah qadim, maka tidak mungkin sifat adalah
hadits. Jika zat qadim dan sifatnya hadits berarti di situ terjadi
pertentangan. Antara yang qadim dan yang hadits tidak
mungkin bisa berada dalam satu kesatuan.

B. TANTANGAN MODERNITAS
Kini Teologi Islam telah memasuki masa modern dan segala
tantangan modernitasnya. Sebagai sebuah rumusan pemikiran yang
pada mulanya dalam rangka berusaha merespon persoalan pada
masanya, tentu saja sekarang ini teologi Islam pun harus merespon
kehidupan modern dengan segala pernak-perniknya. Kata modern
berasal dari kata Latin modernus yang artinya baru saja; just now.
Namun demikian, sebenarnya pengertian modern bukan sekedar
mengacu kepada zaman sebagaimana yang dikenal dengan zaman
36
Ahmad Mahmud Shubhi, fi `Ilm al-Kalam (Kairo: Dar al-Kutub al-Jami`ah, 1969), hlm.
62.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 39
purba,klasik, zaman pertengahan dan zaman modern, akan tetapi
juga mengacu kepada cara berfikir dan bertindak. Dari Batasan ini
timbul istilah modernitas. Dengan menggunakan kerangka berpikir
di atas, modernitas sesungguhnya bisa dipahami sebagai zaman
yang ditandai oleh dua ciri utama, yaitu cara berpikir yang lebih
mengedepankan akal (cara berpikir rasional) dan cara bertindak
dengan menggunakan alat-alat yang menjadi aktivitas menjadi
semakin efisien dan efektif (cara bertindak teknikal). Sains dan
teknologi mengakibatkan laju perkembangan dunia menjadi terasa
lebih cepat; batas wilayah yang ada juga terasa menjadi lebih sempit.
Berbicara modern selalu berkaitan dengan masalah ruang dan
waktu. Sesuatu bisa saja dikatakan modern di tempat tertentu,
namun belum tentu di tempat lain. Begitu pula sesuatu bisa dikatakan
modern untuk waku yang akan datang. Begitu seterusnya selalu
membutuhkan sesuatu yang baru dari tradisi-tradisi yang lama.
modern mempunyai makna yang relatif.
Istilah lain selain modern dan modernitas yaitu modernisme.
Sedikit berbeda dengan modern dan modernitas, modernisme
dalam arti pemikiran, tidak bisa dilepaskan dari alam pikiran Barat.
Akar-akar modernisme berasal dari perkembangan filsafat serta
ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat. Pada awal abad 15-16
muncul gerakan renaissance, yaitu gerakan menentang gereja yang
dianggapnya telah membelenggu dan memasung kreatifitas berfikir
manusia. Gerakan renaissance pada akhirnya menempatkan manusia
pada kedudukan sentral dengan kekuatan rasionalnya, dimana pada
masa ini Rene Descartes muncul sebagai tokoh utamanya. Jika pada
abad pertengahan filsafat mencurahkan perhatian pada hal-hal
abstrak yang didominasi oleh religiusitas gereja, maka pada zaman
renaisance perhatian ditujukan pada hal-hal yang konkret, pada alam
semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah.
37
Dari rasio
itulah lahir pencerahan dalam kehidupan natural manusia, yakni
pada zaman aufklarung pada abad ke 18. Pada masa ini David Hume
telah menanamkan puncak pemikiran empirismenya yang secara
37
Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: kanisius, 1983), 12

40Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
tegas menolak kebenaran metafisika dalam aktifitas ilmiah dan terus
merangsang penemuan-penemuan baru, hingga menjadi ladang
penyelidikan ilmu baru yang sekuler.
38

Dengan demikian zaman modern sebenarnya didorong
oleh perkembangan filsafat Barat, yang memberikan fokus pada
pembahasan humanisme, individualisme dan kebebasan. Hingga
pada akhirnya arah kecenderungan ini membawa konsekwensi yang
mengakibatkan keraguan-keraguan.
Modernisasi secara implikatif, merupakan proses yang cenderung
mengikis dan menghilangkan pola-pola lama dan kemudian
memberinya status modern pada pola- pola yang baru. Sementara
aspek yang paling mencolok dari modernisasi adalah beralihnya
teknik produksi dari tradisional ke teknik modern. Pandangan ini
berlandaskan pada terjadinya revolusi industri di Barat. Dengan kata
lain modernisasi adalah suatu proses transformasi perubahan bentuk
dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Makna
tradisional sendiri diartikan sebagai pandangan hidup yang pada
pokoknya tertutup, kaku dan tidak mudah menerima perubahan.
39

Sebagai suatu proses yang global, pada perjalanannya modernisasi
yang diterapkan mempunyai implikasi-implikasi dan sering kali
kontra produktif.
Dari pemaparan di atas, bisa diketahui bahwa modernisasi dapat
dimaknai sebagai meniru Barat, atau setidaknya mengikuti jejak
masyarakat Barat. Hal ini memang fakta-faktanya tetap, yakni desain-
desain dan peralatan yang dipakai dalam riset modernisasi adalah
dikembangkan di Barat, oleh ilmuan Barat dan terpengaruh oleh cara-
cara berfikir Barat. Namun bukan berarti meniru secara membabi
buta. Unsur-unsur pengetahun modern yang mula-mula dari Barat
dapat ditransfer, diadaptasi tanpa harus menjadi seperti orang Barat
secara berlebihan misalnya: gaya bicara, pergaulan, pola hidup inilah
yang sering diistilah dengan westernisasi.
40

38
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, (Jakarta: Pustaka Utama Grafit, 1993), 5
39
Pardoyo, Sekularisasi.., 40,
40
Koentjaraningrat, Kebudayaan Metalitas dan Pembangunan. (Jakarta: Gramedia,
1987), Hal. 140-142.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 41
Menurut Daniel Lerner modernisasi adalah istilah baru untuk
suatu proses yang panjang, yaitu proes perubahan sosial dimana
masyarakat yang kurang berkembang memperoleh cirri-ciri yang
biasa bagi masyarakat yang lebih berkembang.
41
Nurcholis Madjid
mengatakan satu hal yang pasti bahwa kita menerima modernisasi
akan tetapi menolak westernisasi. Westernisme yang dimaksud
adalah suatu keseluruhan faham yang membentuk suatu totalitas
way of life dimana faktor yang paling menonjol adalah sekulerisme.
42

Dengan demikian sudah sewajarnya menerima modernisasi,
akan tetapi menolak westernisasi karena modernisasi bukanlah
westernisasi.
Salah satu karakteristik modern adalah wataknya yang rasional.
Di sinilah sebenarnya letak tantangan yang dihadapi masyarakat
Islam modern sekarang. Rasionalisme akan berimplikasi membawa
pada sikap anti tradisionalisme, di mana yang terakhir ini dipahami
sebagai suatu yang mengikat masyarakat secara emosional. Sikap
rasional akan mendorong orang-orang untuk selalu cenderung
mempertanyakan keabsahan tradisi-tradisi lama yang sudah
mengakar.
Implikasi selanjutnya dari rasionalisme adalah sekulerisme.
Dalam pandangan Larry Shine, bahwa sekularisasi paling tidak
menunjukkan lima hal. Pertama mundurnya pengaruh agama. Kedua
adalah sekedar kompromi dengan dunia. Ketiga demistifikasi atau
desakralisasi dunia. Keempat ketidak terikaitan disengagement
kepada masyarakat. Kelima pemindahan kepercayaan/iman dan
pola-pola prilaku dari suasana keagamaan ke suasana sekular.
43
Yang
paling tampak pada masyarakat Muslim modern kini adalah definisi
terakhir. Muslim modern cenderung mengatur prilaku dan menerima
keyakinannya tidak lewat doktrin-doktrin agama, tetapi lewat
pertimbangan-pertimbangan rasional dan praktis di mana peran
akal sangatlah mendominasi. Sementara di sisi lain pragmatisme
telah menyempitkan peranan agama sebagai pengatur prilaku.
41
Sidi Gazalba, Modernisasi dalam Persoalan, Bagaimana sikap Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1985) hal. 4-5
42
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan k- Indonesiaan, (Bandung: Mizan 1993),
18
43
Ibid.,179

42Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Dalam sebuah karyanya yang berjudul al-Madzahib al-Islamiyyah,
Muhammad Ahmad Abu Zahrah mengelompokkan aliran-aliran
teologi dalam sejarah Islam ke dalam dua kelompok besar yaitu
kelompok yang bergerak pada ranah teologi dan yang bergerak pada
ranah politik. Kelompok yang dimasukkan ke dalam ranah teologi
adalah Mu`tazilah dan Asy`ariyah, sedangkan yang dimasukkan dalam
ranah politik adalah Syiah dan Khawarij.
44
Pada bagian ini hanya
akan dibicarakan mengenai aliran yang berada pada ranah teologi
yaitu Mutazilah dan Asy’ariyah mengingat kedua aliran inilah yang
pada akhirnya menguasai dialektika pemikiran teologi. Keduanya
merupakan kelompok yang mempunyai pengikut yang cukup besar
dan mempunyai cara pandang yang saling berhadapan secara
diametral. Mutazilah sebagai representasi kelompok rasional, dan
Asy’ariyah merupakan representasi kelompok tradisional.
Kompatibilitas teologi Islam dalam menghadapi tantangan
modernitas pernah dipertanyakan oleh petinggi pemerintah
Indonesia pada Maret 1988. Waktu itu beberapa pemikir Muslim,
di antaranya Zamakhsyari Dhofier, Zakiah Daradjat, dan Andi Hakim
Nasution diundang oleh Dephankam. Ada sebuah pertanyaan menarik
dan mendasar yang diajukan oleh Dephankam kepada mereka.
Pertanyaan itu seputar hakekat teologi Islam. Manakah teologi Islam
yang sesungguhnya: lebih percaya kepada takdir ataukah lebih
menekankan kepada ikhtiar? Pertanyaan ini tentu saja membuat para
pemikir muslim balik bertanya mengapa persoalan itu dimunculkan?
Dephankam menjawab bahwa mayoritas orang Indonesia adalah
muslim sehingga pandangan teologi mereka tentu saja sangat
berpengaruh terhadap jalannya pembangunan di Indonesia.
45
Alasan Dephankan mempertanyakan hal itu terasa sangat
masuk akal Nurcholish Madjid sendiri mengibaratkan teologi
sebagai sebuah karpet, sementara aspek-aspek lain adalah benda-
benda yang diletakkan di atasnya. Semua apa yang sekarang ini
muncul sebagai tindakan ad hoc yang konkret sebetulnya mempunyai
44
Muhammad Ahmad Abu Zahrah, al-Madzahib al-Islamiyyah (Kairo: al-Maktabah al-
Adab, tt.i)
45
M. Masyhur Amin, Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
LKPSM NU DIY, 1989), hlm 39.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 43
dasar dan pemikiran yang fundamental.
46
Dengan kata lain bisa
dipahami bahwa teologi mendasari seluruh bangunan pemahaman
yang lainnya karena ia membentuk mind set. Teologi menjadi unsur
sangat menentukan apakah agama menjadi fungsional ataukah tidak
Jika demikian, pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah
signifikankah teologi Islam yang telah terbentuk untuk menjawab
berbagai tantangan kemanusiaan sekaligus memecahkan berbagai
problem riil kemanusiaan sekarang ini.
Jika diadakan proses identifikasi terhadap tantangan dan
problem kemanusiaan sekarang, ternyata demikian kompleks. Mulai
dari persoalan internal teologi umat Islam yang beragam corak akibat
dari adanya perbedaan penafsiran sampai akibat-akibat moral yang
dilahirkan oleh adanya arus deras era informas, bahkan keterpurukan
umat Islam dalam kompetisi penguasaan dan pengelolaan dunia.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut pertama yang diperlukan
adalah data-data proses konseptualisasi dalam konteks kesejarahan.
Seperti diketahui dalam sejarah teologi Islam, ada banyak sekali
corak dan warna teologi yang berkembang. Semuanya mempunyai
kekhasannya tersendiri. Kelompok teologi yang mula-mula muncul
adalah Khawarij. Ia merupakan kelompok yang ekstrim dan eksklusif.
Al-Syahrastani menengarai kelompok ini sebagai kelompok yang
menyempal dari pemerintahan Islam yang sah.
47
Akar-akar mereka
semula sebenarnya adalah pengikut Ali, tetapi dengan berbagai
pertimbangan, ketidaksesuaian keyakinan politis, akhirnya mereka
menyatakan keluar. Bagi mereka satu-satunya hukum adalah
hukum Allah (la hukma illa li Allah) yang diterapkan secara fanatis
, ekslusif dan intoleran. Iinilah ciri Khawarij yang dalam kerangka
operasionalnya dilakukan dalam tiga gerakanyaitu takfir, hijrah dan
jihad.
48

Takfir dilakukan kepada kelompok yang dipandang sudah
menyimpang dari ketentuan dan hukum Tuhan. Siapapun yang tidak
46
Nurcholish Madjid. “Abduhisme Pak Harun” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran
Islam, 70 Tahun Harun Nasution. (Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 109
47
Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), hlm. 114.
48
Azyumaardi Azra. Pergolakan Politik Islam. (Jakarta : Paramadina, 1996 ), hlm. 141.

44Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
tunduk kepada hukum-Nya, tentu saja yang sesuai dengan pengertian
mereka yang biasanya diturunkan dari pemahaman tekstual, adalah
kafir. Setelah proses pengafiran ini, konsekuensinya kelompok
Khawarij harus berhijrah, memisahkan diri dari orang-orang
yang telah dipandang sesat tersebut. Selanjutnya disusul dengan
pernyataan dan pelaksanaan jihad, perang dengan “orang kafir”.
Berbeda dengan sistem teologi Khawarij yang mendasarkan
sepenuhnya kepada doktrin-doktrin tekstual yang terkesan kaku
dan rigid, Mu’tazilah adalah sistem teologi yang sangat menekankan
aspek rasionalitas. Mereka berusaha memperkenalkan lima prinsip
keimanan yang terdiri dari tauhid, al-‘adl, al-wa’d wa al-wa’id, al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, al-manzilah bain al-manzilatain.
49

Sebagai representasi dari kelompok rasionalis, yang lahir dari
keprihatinan realitas kognitif, tentu saja mereka memaparkan sistem
teologinya secara filosofis dan njlimet. Akibatnya sistem teologinya
menjadi sangat elitis. Ia hanya menjadi konsumsi bagi orang-orang
yang terdidik secara intelektual sehingga tidak mampu menyentuh
akar-akar persoalan pada masyarakat bawah.
Salah satu prinsip ajaran yang dikedepankan adalah keadilan
-suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu, terutama
jika diingat praktek keseweanang-wenangan penguasa- Keadilan
Allah dipahami bahwa semua perbuatan-Nya adalah baik. Ia tidak
melakukan sesuatu yang tidak baik dan tidak meninggalkan apapun
yang merupakan kewajiban bagi-Nya. Keadilan dalam perspektif
Mutazilah mengimplikasikan adanya kebebasan berkehendak
dan bertindak (free will and free act). Akan tetapi lantaran dasar
keprihatinanya yang elitis. Maka keadilan yang dimaksudkan adalah
keadilan lain yang bersifat eskatologis, yang berkaitan dengan peran
Tuhan di kemudian hari. Bukan keadilan sosiologis..
Akibat lebih jauh yang bisa dirasakan adalah keinginan mereka
untuk “menurunkan” Tuhan dan agama hanya pada dataran kognitif
49
Mengenai kelima prinsip ini bisa dibaca secara lebh komprehensip dalam al-Qodli
Abdul Jabbar. Syarh Ushul al-Khamsah, Abd al-Karim Usman (ed) (Kairo  : Maktabah Wahbah,
1965).

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 45
semata. Meminjam istilah Iqbal,
50
mereka berusaha mereduksi agama
menjadi semata-mata sistem konsep yang logis sehingga memisahkan
pemikiran keagamaan dari pengalaman konkret manusia.
Sistem teologi lain yang saat sekarang ini masih sangat dirasakan
adalah sistem teologi Asy’ariyah. Berbeda dengan Mu’tazilah,
Asy;ariyah didirikan di atas kerangka yang sangat teosentris. Segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini pada hakekatnya bergerak atas
ketentuan Tuhan. Manusia tidak mempunyai kemampuan untuk
menentukan hasil dari yang diinginkan. Bagi umat Islam yang
umumnya bersifat sederhana, kerangka pemikiran seperti ini menjadi
lebih mudah diterima karena tetap meletakkan Tuhan sebagai yang
diatas segalanya. Itulah sebabanya sistem teologiini menjadi sangat
mengakar di masyarakat. Implikasi sistem teologiini menjadikan
kemampuan akal manusia dalam menghadapi segala realits
mempunyai daya yang lemah.
Dari berbagai konsepsi sebagaimana dijelaskan di depan, bisa
disimpulkan bahwa teologi adalah persoalan spekulatif dan metafisik.
Sementara itu, persoalan-persoalan riil kemanusiaan bersifat aktual
dan eksistensial. Jika teologi adalah karpet, sedangkan segala
sessuatu yang lain adalah benda-benda yang ada di atasnya, tentu
posisi teologi amat fundamental. Bagaimana pun tatanan segala
sesuatu sangat ditentukan oleh landasan yang diberikannya. Kalau
pengendaiannya seperti itu, maka teologi Islam, yang note bene
adalah produk klasik, spekultaif dan metafisik, rasa-rasanya berat
diharapkan untuk bisa turut memecahkan persoalan riil kemanusiaan
yang kompleks tersebut, lebih lebih era sekarang di mana telah terjadi
proses globalisasi dalam segala aspek.
.Proses globalisasi itu, dalam skema Alvin Toffler, terjadi di dunia
disebabkan oleh karena adanya revolusi teknologi informasi dan
komunikasi. Ia menyebutnya sebagai gelombang ketiga. Gelombang
ini melahirkan sebuah peradaban global dengan ciri ketergantungan
50
Mohammad Iqbal. The Reconstruction Religious Thought in Islam. (New Delhi: Kitab
Bhavan, 1981), hlm. 5. Dalam bukunya ini Iqbal mengatakan “.The Mutazila… reduced
religion to a mere sistem logical concepts ending in a purely negative attitude. They failed to
see that in the domain of knowledge -scientific ..........................................................................

46Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
antarbangsa dan menciutkan dunia menjadi sebuah desa buana
(global village), sebuah dunia yang bisa dilukiskan sebagai tanpa
batas dan tanpa sekat, blong (borderless world). Peradaban global bisa
dipahami sebagai lingkup masalah yang menyangkut kepentingan
dan nasib bersama yang tidak dapat lagi dipecahkan hanya oleh
negara masing-masing.
Menurut Huntington globalisasi akan meniscayakan adanya
benturan peradaban (clash of civilization). Benturan tidak hanya
terjadi pada aras ideologis melainkan telah merambah aras kultural.
Benturan ini tentu akan menghasilkan krisis yang tidak kecil. Krisis
itu bisa jadi berujud perang saudara, tetapi juga bisa berwajah krisis
sosial, budaya, poltik bahkan psikologis. Sebagai sebuah benturan
bisa dipastikan akan mengimplikasikan adanya pihak–pihak yang
menang (the winner) dan yang kalah (the loser).
51

Walaupun globalisasi itu dinilai posititp, tetapi bagi sementara
pihak juga mengandung nilai negative. Sebagai contoh ciri positip
global market yang membawa peluang perluasan pasar dan
keragaman konsumen, juga mengandung aspek negative dengan
kerasnya kompetisi antar produsen dunia. Dengan berdasarkan
pada equality of opportunities principle tentu saja bisa dibayangkan
bagaimana kompetisi berlangsung antara negara maju dengan
negara berkembang, apalagi dengan negara terbelakang.
Demikian pula dengan informasi global yang cepat dan akurat.
Di satu sisi bisa menyajikan berbagai khazanah dunia lain dengan
sangat cepat. Akan tetapi, di sisi lain membawa dampak negatif
terhadap nilai-nilai budaya setempat karena pada waktu bersamaan
menjadi sarana infiltrasi kultural ideologis. Gustave le Bone pernah
mengajukan sebuah teori bahwa masyarakat sesungguhnya dibentuk
dari proses imitasi. Jika ini benar, maka akan terjadi suatu imitasi
sosial-kultural yang amat hebat yang tidak mesti sesuai dengan nilai-
nilai lokal.
Tesis Huntington ini sepenuhnya dibenarkan oleh Fukuyama.
Oleh karena itu, menurut Fukuyama, adanya perbedaan kultural
51
Baca; Jacques Atali. Milenium. Winners and Losers in the Coming World Order. terj.
Emmy Noor Hariati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 47
tersebut harus benar-benar mendapat perhatian serius, bukan
hanya berkaitan dengan problem internalnya sendiri, melainkan juga
dalam hubungannya dengan negara lain.
52
Perhatian serius terhadap
fenomena ini tentu saja menjadi pekerjaan semua pihak jika tidak
menginginkan adanya akibat yang menghancurkan sisi kemanusiaan
itu sendiri; sebaliknya menginginkan terciptanya tata kehidupan yang
diwarnai oleh perdamaian global.
Peradaban global adalah sebuah keniscayaan. Tak ada tawar
menawar atau kata-kata untuk menolak. Yang bisa dilakukan adalah
begaimana berusaha untuk mensikapinya secara arif dan kritis. “Are
We Masters or Servants?” demikian pertanyaan yang dilontarkan
oleh Paul Vallely dan Ian Linden dalam dua seri tulisannya mengenai
Doing Battle with Globalisation. Terhadap pertanyaan ini keduanya
tidak menjawab dengan melakukan identifikasi diri secara tegas.
Mereka hanya menyimpulkan bahwa globalisasi bukanlah merupakan
proses hegemonisasi monolitik.
53
Tetapi, dalam tulisan keduanya
yang berjudul The Tide can be Tamed, mereka menegaskan bahwa
gelombang yang dibawa arus globalisasi masih bisa dijinakkan
karena globalisasi bukanlah merupakan sebuah proses yang begitu
saja terlepas dari etika dan berbagai aspek kontrol.
54
Apalagi jika
dipahami, bahwa globalisasi adalah sebuah produk peradaban,
sehingga dengan demikian pasti juga akan bisa dikendalikan oleh
para perancang peradaban itu sendiri.
Sebagai bagian dari perdaban global, dunia Islam juga harus
bersikap demikian sekalipun memang harus diakui mendapatkan
tekanan yang cukup berat. Berat, karena hal ini tidak terlepas dari
adanya asumsi yang dimiliki oleh agama, khususnya Islam, bahwa
manusia perlu mempunyai pegangan hidup yang kokoh dan tetap
(stable, certainty, unfalsifiable). Padahal kehidupan itu sendiri terus
selalu dalam perubahan (unstable, uncertainty, falsifiable). Dalam
keadaan demikian manusia dituntut untuk selalu beradaptasi dengan
52
Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (London:
Hamish Hamilton, 1995), hlm. 5.
53
Paul Vallely dan Ian Linden. “Doing Battle with Globalisation: Are We Masters or
Servants?” dalam The Tablet, 9 Agustus, 1997, hlm. 1004-1005.
54
Paul Vallely dan Ian Linden. “Doing Battle with Globalisation: The Tide can be Tamed”
dalam The Tablet, 9 Agustus, 1997, hlm. 1035.

48Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
lingkungan baru secara terus menerus, sementara nilai-nilai lama
yang diidealkan dijadikan sebagai panutan.
Secara singkat dan tepat Helmut Kalbitzer mengatakan bahwa
peradaban industri tidak mengandung nilai-nilai moral dan seni
55

apalagi pada era peradaban berikutnya yaitu peradaban informasi.
Suatu peradaban yang kering, bahkan tidak mengandung muatan-
muatan moral dan seni, bisa dipastikan akan berisi kekerasan. Lewis
Mumford, penulis Condition of Man dan Technics and Civilization
menggambarkan bahwa manusia yang hidup pada masa itu berada
dalam bimbingan kekerasan.
56
Itulah sebabnya tidak terlalu
berlebihan rasanya jika Sisella Bok menengarai bahwa tantangan
abad 21 pada dasarnya adalah persoalan moral. Hal ini hanya bisa
ditangani apabila proses-proses kerjanya didasarkan pada adanya
trust.
57
Sekian banyak pihak menaruh harapan besar kepada Islam
untuk mengadakan kontrol dan memberikan arah moral terhadap
peradaban yang ditimbulkan akibat adanya globalisasi. Apa yang
bisa diberikan Islam kepada peradaban global? Akbar S. Ahmed
menegaskan bahwa banyak sekali yang bisa diperbuat oleh Islam.
Konsepsinya tentang keseimbangan antara agama dan dunia menjadi
sangat bernilai. Ini bisa mengoreksi dan mengendalikan materialisme
yang mewataki sebagian besar peradaban sekarang ini serta bisa
memberikan perasaan kasih sayang, kesalehan dan rasa rendah hati.
Kealitas-kualitas ini menegaskan kandungan moral dan eksistensial
manusia.
58
Secara normatif apa yang diungkapkan oleh Akbar S Ahmed
tidaklah berlebihan. Secara tegas al-Quran menyatakan bahwa bumi
ini hanya akan diwarisi oleh hamba Allah yang salih.
59
Kesalihan
55
Faisal Islamil. Paradigma Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998),
hlm. 254.
56
Ismail. Paradigma, hlm. 252.
57
Inovasi No. 7 tahun 1987.
58
Akbar S. Ahmed. Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise (terj. M.
Sirozi (BAndung: Mizan, 1992), hlm. 128.
59
QS al-Anbiya/21: 105

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 49
tentu saja adalah milik orang Islam. Mereka percaya kepada Allah,
menyembah-Nya, menerapkan hukum-Nya dan bermuamalah dengan
tata nilai yang ditetapkan-Nya. Demikian pula, secara tegas al-Quran
juga menyatakan bahwa siapa yang menolong Allah pasti Allah akan
menolongnya.
60
Ayat ini pun pelaksananya adalah orang Islam
Akan tetapi jika hal itu dihadapkan pada realitas kemanusiaan
tentu tidak dengan begitu gampang menjawabnya. Yang terjadi justru
sebaliknya, ada banyak pertanyaan. Mengapa dunia Islam, yang tentu
saja secara normative lebih salih, tidak mampu menguasai dunia?
Malah orang-orang non-Muslim , yang tentu saja tidak salih, yang
menguasainya? Mengapa kenyataannya justru Islam yang mengalami
kekalahan dan keterpurukan padahal mereka yang menolong dan
memperjuangkan agama Allah?. Kita juga melihat dan menyaksikan
keruntuhan moral pada bangsa-bangsa serta individu-individu yang
mengidentifikasi diri kepada Islam. Tengok saja Indonesia, yang
secara statistik adalah negara berpenduduk Islam terbesar dan sering
disebut sebagai bangsa religius, ternyata tingkat degradasi moralnya
telah sedemikian memprihatinkan. Pendek kata, ketidakadilan,
kesenjangan ekonomi, persatuan yang rapuh, perampasan hak,
ketidakpedulian pada persoalan kaum tertindas, dan sebagainya
merupakan hal-hal yang masih sering kita temukan di dunia Islam.
Pada tataran realitas, untuk mentransformasikan sebuah
nilai, kewibawaan mutlak diperlukan. Peradaban Barat menjadi
sedemikaian efektif menancapkan kukunya di berbagai belahan
bumi karena memang didukung oleh sebuah kewibawaan. Sementara
secara realistis, dunia Islam masih belum memiliki kewibawaan itu.
Bahkan dunia Islam dalam keadaan yang bertolak belakang dengan
spirit yang diajarkannya sendiri seperti persatuan di antara umat
Islam yang rapuh, citra islami yang sulit ditemukan di dunia Islam dan
kondisi sosial politik dan ekonomi buruk .
Kerapuhan persatuan ini telah mulai terlihat sejak mula-mula
sekali ketika masa perumusan pandangan-pandangan teologi
akibat adanya pemaksaan pemahaman dan justifikasi terhadap cara
pandang.. Secara historis, teologi sebenarnya bermula dari niat tulus
umat Islam untuk memperkokoh dan mempertahankan keimanan
60
QS al-Hajj/22: 40

50Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
dan dari serangan wakil-wakil sekte dan budaya lama. Sebagai
kekuatan baru yang menang dalam berbagai medan pertempuran
sistem keyakinan,
61
Islam mendapatkan berbagai gempuran dari
aliran-aliran filsafat, agama dan kepercayaan yang ada di sekitar di
mana mereka hidup..
Penelaahan historis, sebagaimana diuraikan terdahulu, juga
membuktikan bahwa teologi mula-mula didorong dan sangat diwarnai
oleh interes-interes politik.
62
Teologi dan politik berhubungan secara
resiprokal.
63
Akibatnya masing-masing kelompok mempunyai definisi
sendiri tentang persoalan persoalan ketuhanan yang juga digunakan
untuk menopang ideologi politik tertentu. Kondisi demikian juga
melahirkan adanya pandangan yang menafikan pandangan yang
dikemukakan oleh pihak lain. Masing-masing kelompok menghklaim
bahwa hanya pandangannya sajalah yang paling benar sedang yang
lain salah.
Relitas lain yang menunjukkan bahwa keberadaan umat
Islam belum menggembirakan adalah ketakmampuannya untuk
menjadikan wilayah-wilayahnya sebagai wilayah yang sesuai dengan
ajaran islaminya. Sebuah penelitian mengenai bagaimana islaminya
negara-negara Islam yang dilakukan oleh tim The George Washington
University dibawah komando Professor Schehrazade S Rehman dan
Professor Hossein Askari membuktikan ini. Dalam penelitian ini, tim
membuat indikator yang menjadi ukuran islami atau tidak islaminya
sebuah negara berdasarkan lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam,
seperti kejujuran, amanah, keadilan, kebersihan, ketepatan waktu,
ketepatan janji, empati,  toleransi, dan sederet ajaran al-Quran serta
akhlaq Nabi Muhammad saw.
Hasil yang diperoleh adalah di antara dua ratus lebih negara yang
diteliti negara-negara Islam justru berada jauh dari nilai-nilai Islam.
Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko
61
Hassan Hanafi, From Faith to Revolution (Cordoba, Spain, 1985), hlm. 4.
62
Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1962) , hlm. 2
63
Berkaitan dengan ini menarik untuk dibaca Nasihun Amin, Paradigma Teologi Politik
Sunni Melacak Abu al-Hasan al-Asy’ari sebagai Pemikir Politik Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015).

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 51
(119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman
(198), dan terburuk adalah Somalia (206). Sebaliknya, yang paling
islami adalah.Selandia Baru (1), diikuti Luksemburg (2). Sedangkan
negara barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada(7),
Iinggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).
Khusus mengenai budaya membaca yang menjadi pintu masuk
bagi kemajuan sebuah bangsa juga demikian lemah. Sebut saja
Indonesia, sebagai representasi negara Islam karena berpenduduk
terbesar di dunia, data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) mencatat
indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, pada
setiap 1.000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca.
Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per
tahun. Tidak usah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika yang
rata-rata membaca 10-20 buku pertahun. Jika dibandingkan dengan
negara-negara di kawasan ASEAN, yang membaca 2-3 buku per tahun,
kita pun masih sangat ketinggalan.
64

Demikian pula dalam aspek sosial politik dan ekonomi umat
Islam juga menghadapi persoalan yang tidak kalah serius. Seperti
diungkap Muhammad A. al-Buraey dalam disertasinya yang berjudul
Administrative Development: an Islamic Perspective yang di ajukan
pada Univesitas North Carolina, ia memberikan gambaran menarik
mengenai ketidakberdayaan kondisi Islam tersebut. Ia menyebutkan
sebagai “berada di lubang kadal” ( in the lizrd hole).
65
Dalam aspek
politik, misalnya, ia mencatat bahwa dari ke-47 negara OKI, pada
tahun 80-an, 22 diantaranya merupakan Negara diktator, baik oleh
militer, sipil, maupun satu partai.
66
Sementara itu dalam aspek
ekonomi, dunia Islam justru terjadi kesenjangan yang sangat luar
biasa tetapi, anehnya, mereka dengan lantang menyuarakan adanya
solidaritas sosial.
67
64
http://www.kompasiana.com/idrisapandi/Islam-dan-budaya-literasi_573931c0117b
61f6043ccf96 Kompas, 22/02/2016
65
Muhammad A. al-Buraey, Administrative Development: an Islamic Persepective terj.
M. Nashir Budiman. (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 212-221.
66
Muhammad A. al-Buraey, Administrative hlm. 162-163.
67
Muhammad A. al-Buraey, Administrative, hlm. 204-209.

52Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Senada dengan penilaian al-Buraey, Kuntowijoyo: yang mencoba
mengetengahkan hasil penulisan Gerhald Lenski bahwa di negara
sosialis kesenjangan, kasus Rusia, maksimal AS, bisa mencapai 1: 25,
sedangkan di Negara kapitalis, kasus AS, bisa mencapai 1 : 11.000;
menyatakan bahwa kesenjangan di Negara ketiga, di mana sbagian
besar dunia Islam berada, bisa puluhan ribu kali lipat, tanpa menyebut
angka pasti. Dengan kata lain, ketidakadilan distribusi pendapatan
yang paling banyak terjadi adalah di duia ketiga.
68
Bahkan, Arief
Budiman menandaskan, ada kesan kuat bahwa kemiskinan identik
dengan Islam. Sebaliknya Kristen identik dengan kekayaan.
69

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kenyataan kehidupan
masa kini, terutama iptek dan akibat-akibat yang ditimbulkannya
merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh para teolog. Ini
tidak berarti bahwa kaum muslimin harus anti iptek melainkan
bahwa perumusan teologi yang telah dibuat orang selama ini
ternyata sudah tidak lagi effektif untuk membekali dalam masa iptek
dan informasi. Ini juga tidak berarti bahwa orang-orang terdahulu
telah berbuat kesalahan dalam penyusunan ilmu ini. Mereka bisa jadi
telah berhasil menghadapi tantangan zaman mereka, namun untuk
tantangan masa kini senjata mereka tidak lagi berdaya guna. Melihat
kenyataan ini orang lalu dapat bertanya, apa kaitan antara keimanan
dan perilaku orang yang beriman? Kesalahan atau ketidakberesan
seperti ini bisa jadi disebabkan oleh banyak factor, namun kiranya
tidak terlalu jauh dari kebenaran kalau dikatakan bahwa kesalahan
konseptual teologi merupakan salah satu penyebabnya.
Persoalan teologis, dalam pengertian di atas, adalah persoalan
spekulatif dan metafisik, sedangkan persoalan aktual dan eksistensial
adalah persoalan realitas hidup. Sebagaimana diuraikan pada bagian
depan, bahwa teologi adalah ibarat sebuah karpet, sedangkan segala
sesuatu yang lain adalah benda-benda yang di atasnya, tentu posisi
teologi menjadi amat fundamental. Bagaimana pun tatanan segala
sesuatu sangat di tentukan oleh landasan yang diberikannya, kalau
68
Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung : Mizan, 1991), hlm. 296-297.
69
Arief Budiman, “Dimensi Sosial Ekonomi Konflik” dalam Th. Sumartana, Dialog: Kritik
dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian/Interfidei, tth.), hlm. 190.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 53
pengandaiannya seperti itu, maka Teologi Islam, yang nota bene adalah
produk masa klasik dan skolastik, jika tidak diadakan perumusan
ulang, memang tidak banyak bisa diharapkan untuk memecahkan
persoalan kontemporer. Oleh karena itu, perumusan ulang terhadap
teologi menjadi langkah yang tidak bisa dielakkan.
Dalam kehidupan masyarakat, karya-karya intelektual yang
diterima oleh masyarakat secara baik yang kemudian dikenal sebagai
tradisi (turats) mempunyai status dan peran yang sangat penting.
Sebegitu pentingnya sehingga terkadang menggeser posisi kitab
suci. Padahal sesungguhnya tradisi adalah sekedar produk material
dan pemikiran yang ditinggalkan oleh generasi terdahulu kepada
generasi sesudahnya. Oleh karenanya, seharusnya tradisi dipahami
sebagai hasil ciptaan manusia dan produk kreatifitas sadar manusia
dalam periode sejarah yang silih berganti. Namun begitu, ia berperan
fundamental bagi generasi baru dalam pembentukan karakter, nalar
dan perilaku sehari-hari.
Secara garis besar, kecenderungan pemikiran Islam
sebagai respon terhadap rumusan keilmuan yang telah ada dan
menjadi mapan (tradisi) bisa dipolakan menjadi dua. Perrtama,
kecenderungan pemikiran Islam yang berusaha untuk melestarikan
keilmuan Islam yang terbangun secara kokoh sejak berabad abad
serta memanfaatkannya untuk membendung aspek negatif dari
arus modernisasi dalam segala bidang. Tradisi keilmuan Islam yang
telah ada dan terbakukan dianggap sebagai kekayaan dan kekuatan
spiritual yang perlu dipertahankan tanpa harus dipertanyakan karena
mempertanyakan berarti meragukannya dan mengingkari wujud
tradisi yang selama ini dipegangi dengan kokoh karena menjadi
sumber kekuatan mental spiritual yang ampuh untuk menahan badai
perubahan dan pembangunan dalam segala bidang.
Disiplin-disiplin seperti Kalam, Fiqh, Tasawuf sebagai khazanah
intelektual menjadi semacam bentuk paten. Generasi yang sekarang
tinggal mewarisi dan memanfaatkannya, tanpa disertai sikap kritis.
Dengan begitu tanpa terasa tradisi tersebut diterima secara dogmatis.
Tidak ada kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan tradisi

54Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
sesuai dengan perkembangan wilayah pengalaman manusia. Karya-
karya manusia yang telah diletakkan para pendahulunya tidak
pernah terlintas untuk mempertanyakan tradisi yang telah mengakar
sebelumnya.
70

Kedua, kecenderungan pemikiran keagamaan yang kritis. Pola
kedua ini meyakini bahwa khazanah intelektual Islam tidak lain
adalah merupakan sebuh produk sejarah biasa yang sudah barang
pasti tidak tabu dari berbagai perubahan. Oleh karena pemikiran
keagamaan adalah produk sejarah yang berkembang pada zaman
tertentu, maka sesungguhnya ia hanya mewakili nuansa pemikiran
yang berkembang pada saat tertentu pula. Artinya, dalam pandangan
pola kedua bahwa pemikiran Islam hanya hasil olh pikir manusia
biasa pada era dan zaman tertentu. Ia tidak lebih produk zaman yang
mengitarinya.
Pola pemikiran kedua ini berusaha sekuat mungkin untuk
menerima segala nuansa perkembangan manusia dan menarik
manfaatnya untuk menemukan penyesuaian-penyesuaian yang
diperlukan. Sehingga dengan demikian bisa didapatkan sebuah tradisi
keagamaan yang baru dan responsif dengan tantangan zaman.
Dengan menggunakan pemilahan ini bisa dilihat bahwa respon
terhadap Teologi Islam sebagai khazanah intelektual Islam berada
pada pola pertama. Padahal ia tidak lebih adalah formulasi pemikiran
ketuhanan yang berusaha menjawab berbagai persoalan agama
yang muncul pada waktu tertentu. Karena sifatnya yang demikian,
maka teologi tidak lain juga merupakan bagian pemikiran Islam
yang seharusnya, selalu mengalami perkembangan. Jadi, pemikiran
Khawarij, Mutazilah, Maturudiyah, Asyariyah adalah bangunan
pemikiran yang dibentuk oleh suatu zaman yang berkembang saat itu.
Sayangnya, meminjam istilah Arkoun,
71
teologi telah dimitologisasikan
70
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
(Chicago: The University of Chicago Press,, 1993), hlm. 32.
71
Dalam kaitannya dengan pemikiran Islam, Arkoun banyak menggunakan istilah
mitologisasi dan idiologisasi untuk pembakuan pemikiran. Yang dimaksud dengan
mitologisasi adalah penegasan berbagai kepercayaan dan gambaran yang menggerakkan
kelompok besar di balik selubung ilmiah dan rasional. Sedangkan idiologisasi adalah
penggunaan sejumlah terbatas gagasan yang disederhanakan untuk mengarahkan kekuatan-
keuatan sosial menuju tindakan-tindakan tertentu. Baca: Mohammad Arkoun, Tarikhiyyat
al-Fikr al-Arabi al-Islami (Bairut: Markaz al-Inma al-Qoumi, 1988), hlm. 211-213.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 55
dan diidiologisasikan. Akibatnya, sangat terasa betapa masing-masing
sistem teologi tersebut sedemikian tak berdaya menghadapi berbagai
persoalan dan tantangan modern yang berupa isu kemanusiaan
universal, pluralisme keagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan
lingkungan dan sebaginya. Teologi Islam yang hanya berbicara
tentang Tuhan dan tidak mengaitkannya dengan diskursus persoalan
kemanusiaan uniuversal, maka rumusan teologinya lambat laun akan
usang.
Teologi Islam yang ada sekarang ini seharusnya adalah teologi
yang berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang
berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialog dengan masa lalu,
apalagi masa silam yang terlalu jauh. Telaah masa silam boleh-
boleh saja, stidaknya untuk memenuhi rasa kuriositas manusia.
Teologi Islam kontemporer tidak dapat tidak harus memahami
pertkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan
oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tegasnya jika Teologi Islam klasik berdialog dan bergaul
dengan serta epistemology Yunani, maka Teologi Islam modern sudah
semestinya harus bersentuhann dengan ilmu-ilmu yang berkembang
di Barat modern karena yang dibentuk dan dipengaruhi oleh arus
perubahan akbat perkembangan iptek.
Dalam kondisi Teologi Islam yang tak mampu berbuat apa-apa
demikian ini, wajar jika kemudian di sana sini muncul gugatan untuk
melakuakan reformasi teologis pada level paradigm sehingga menjadi
lebih bersifat transformatif sebagai upaya humanisasi terhadap
teologi.
Perjalanan teologi, sebagai mana diungkapkan di depan,
menunjukkan adanya perbedaan. Ketidaksamaan ini sangat ditentukan
oleh cara pandang yang berdasarkan pada adanya lapisan-lapisan
yang secara struktural tak terlihat. Cara pandang tersebut tunduk
kepada berbagai aturan, yang menentukan apa yang dipandang
atau dibicarakan dari kenyataan, apa yang di anggap penting atau
tidak penting, hubugan apa yang diadakan antara berbagai unsur

56Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
kenyataan dalam penggolongan dan analisis dan sebagainya. Artinya,
setiap zaman memandang, memahami dan membicarakan kenyataan
dengan caranya sendiri-sendiri karena sruktur yang tak terlihat
memang berlainan. Gadamer menyebut sebagai “praduga”, Foucault
menyebut sebagai “episteme”, sedangkan Thomas Kuhn menyeebut
sebagai “paradigma”.
Secara konseptual Kuhn memandang paradigm sebagai latar
belakang yang tak tertanyakan atau seperangkat kepercayaan yang
merupakan persenyawaan sifat-sifat personal dan historis.
72
Di
sisi lain Hans Kung memahaminya sebagai “a total constellation:
the conscious unconscious total constellation of convictions, value,
and pattern of behaviour” (sebuah konstalasi total: konstelasi total
kesadaran-ketaksadaran mengenai keyakinan, nilai, dan pola tingkah
laku).
73
Dari pengertian tersebut bisa dipahami bahwa paradigma
adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun
praktek-praktek ilmiah dalam pereode tertentu. Secara lebih ringkas,
paradigma tidak lain dan tidak bukan adalah model interpretasi atau
model pemahaman. Adakalanya fundamental, rasional dan tradisional.
Paradigma fundamental, menurut Ernest Gellner, memiliki ide
dasar bahwa ajaran pokok agama harus di pegang kokoh secara rigid
dan literalis, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi, dan reduksi.
74

Dari gambaran yang diberikan Gellner di atas bisa diketahui bahwa
yang dimaksud paradigma fundamental adalah suatu cara pandang
masyarakat yang segala sesuatunya dirujukkan kepada kitab suci
secara apa adanya.
Penjelasan Martin E Marty mengenai gerakan fundamentalisme,
sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, cukup representatatif
mewakili untuk menyebut karakteristik paradigma ini. Ia
mengemukakan empat prinsip. Pertama, oppositionalisme, paham
72
Baca: Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolution di bawah judul
”Introduction: A Role for History” dan “The Priority of Paradigms”. (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), hlm.1-9 dan 43-51. Baca juga: Ted Honderich (ed.), The Oxford
Companion to Philosophy (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 451.
73
St. Sunardi, “Dialog: Cara Baru Beragama” dalam Th. Sumartana, Dialog Kritik dan
Identitas Agama (Yogyakarta: Dian/Interfidei, tt.), hlm. 81.
74
Ernest Gellner. Postmodernism: Reason and Religion (London : 1992) , hlm. 2.

Teologi Islam dan Tantangan Modernitas 57
perlawanan terhadap segala sesuatau yang dianggap mengancam
jati diri dan eksistensi Islam. Kedua, fundamentalisme merupakan
penolakan terhadap hermeneutika. Teks al-Quran harus dipahami
secara literal, sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tak mampu
memberikan intepretasi terhadap teks. Ketiga, fundamentalisme
merupakan penolakan terhadap pluralisme dan relativisme
karena keduanya merupakan pemahaman yang keliru terhadap
teks al-Quran. Keempat, fundamentalisme merupakan penolakan
terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Masyarakat harus
menyesuaikan, bila perlu dengan kekerasan, perkembangannya
dengan teks al-Quran, bukan sebaliknya teks atau penafsirannya yang
mengikuti perkembangan masyarakat.
75

Berbeda dengan paradigm fundamental, paradigma rasional
menyatakan bahwa kebenaran bisa diketahui oleh akal.
76
Artinya
bahwa , kemajuan suatu masyarakat sepenuhnya di tentukan oleh
kebebasan manusia sendiri. Sedangkan keterbelakangan dipandang
sebagai akibat dari adanya sesuatu yang salah dalam teologi umat
Islam, sehingga perlu pembaruan teologi secara rasional.
Dalam kaitanya dengan Teologi Islam, landasannya adalah
keyakinan bahwa pada dasarnya Islam itu bersifat rasional. Sehingga
rasionalitas pun menjadi entitas paling akhir dan paling menentukan
untuk kebenaran sebuah proposisi Islam.
Paradigma lainnya lagi adalah paradigm tradisional yang
meyakini bahwa kehidupan ini adalah deterministik. Hanya Tuhan
yang tahu apa arti dan hikmah dibalik ketentuan-Nya. Kemajuan,
keterbelakangan dan kemiskinan umat, misalnya, adalah ketentuan
Tuhan dan lebih merupakan ujian dari Allah ketimbang sebagai
persoalan manusia. Dengan kata lain apa yang benar hanya bisa
diketahui melalui wahyu.
77
Di samping itu paradigma tradisional
juga sangat kopromistik terhadap tradisi. Cara pandang demikian
75
Azyumardi Azra, Pergolakan Polit\ik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme
hingga Postmodernisme (Jakarta: Paradigma, 1996), hlm. 109-110.
76
George F. Hourani, Ethical, Presupposion Of The Quran” dalam The Muslm Word, Vol.
LXX No. 2 April 1980, hlm. 2.
77
George F. Hourani, “Ethical , hlm. 3

58Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
ini, seperti kita lihat pada arus besar sistem teologi, paling banyak
menentukan rumusan teologis sunny (baca: Asy’ariyah). Hal ini
mengingat bahwa struktur masyarakat, bagaimanapun, didominasi
oleh kaum awam.
Kesederhanaan pemikiran dan kecenderungan untuk menerima
keadaan apa adanya, menjadikan mereka lebih banyak bersandar
dan berdasar pada konsep kelemahan manusia dan bergantung
sepenuhnya kepada takdir tanpa disertai sikap kritis. Akibatnya,
ketika sampai pada dataran kognitif, paradigma ini tidak mampu
menggunakan alat analisa dengan baik. Paradigma ini, akhirnya,
menjadikan masyarakat kurang begitu menyakini proses-proses
kausalitas.
Memperhatikan perjalanan pemikiran teologis Islam, Khawarij
bisa diidentifikasi sebagai representasi dari paradigma fundamental,
Mu’tazilah sebagai representasi paradigma rasional, dan Asy’ariyah
sebagai representasi paradigma tradisonal. Melihat kenyataan bahwa
rumusan teologis sebelumnya mengalami kegagalan, maka muncul ide
untuk membangun sebuah teologi baru berparadigma transformatif
yang lebih bisa menjawab persoalan eksistensial manusia. Teologi
baru ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
mebangun kemanusiaan.
Ada beberapa ciri pokok dalam paradigma ini, yaitu:
a. Teologi bukanlah semata-mata persoalan abstrak sehingga
tercerabut dari akar-akar sosio-psikologisnya. Ia harus bertautan
dengan visi social yang emansipatorik.
b. Teologi transformatif merupakan artikulasi pesan agama dan
bukan agama itu sendiri.
c. Model ideal yang dirumuskan dari proses dialog antara
superstruktur dan realitas.
d. Basis otoritas bertumpu dan untuk kepentingan umat,
profesionalisme agama hanya untuk pendampingan.
e. Berorentasi pada praksis, bukan dakwah agama karena
dakwah agama biasanya berorentasi pada membangun symbol

Ragam Pemikiran Teologi Islam 59
permukaan. Sedangkan praksis agama yang sejati berorentasi
kepada bagaimana menegakkan basis nilai keberagamaan yang
essensial.
f. Berfungsi sebagai institusi kritis terhadap jebakan struktur yang
melawan pesan dasar agama, termasuk struktur yang dibangun
oleh proses sosiologis.
78
Paradigma yang disebut terakhir ini perhatian utamanya
adalah suatau tranformasi sosial, bukan dalam pegertian mereka
yang menekankan pembangunan klas menengah Islam yang kuat
secara ekonomis, politis dan komitmen terhadap nilai dasar Islam,
tapi transformasi untuk kebebasan, kekuatan dan otonomi untuk
mengorganisisir diri dalam memperbaiki harkat dan martabatnya
sebagai manusia. Dengan demikian jelas bahwa tekanannya bukan
mengusahakan transformasi masyarakat ke arah kemodernan saja,
tetapi mentransformasikan struktur-struktur masyarakat, ke arah
struktur yang lebih fungsional dan humanis, untuk realisasi martabat
manusia
78
Moeslim Abdurrahman, “Wong Cilik dan Kebutuhan Teologis Transformatif” dalam
Masyhur Amin (ed), Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta:
LKPSM NU DIY, 1989), hlm. 160-161.

60Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag

Ragam Pemikiran Teologi Islam 61
BAB III
RAGAM PEMIKIRAN
TEOLOGI ISLAM MODERN
MUHAMMAD ABDUH
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya Muhammad Abduh, tanggal, tahun hari
dan desa teampat lahirnya tidak diketahui dengan pasti. Mungkin
karena orang tuanya brasal dari desa dan hidup berpindah pindah
memandang tidak penting untuk mencatatnya. Yang pasti dia lahir
pada akhir pemerintahan Muhammad Ali. Umumnya literatur
literatur yang dijumpai menyatakan Muhammad abud lahir
pada 1849 M/1244 H di sebuah desa di Mesir Hilir,
1
di Propinsi
Gharbiyyah. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairallah. Ia lahir
dalam lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan
cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallat
Nashr. Karena situasi politik yang tidak stabil menyebabkan orang
tuanya menyingkir di daerah Gharbiyah, dan di sanalah ia menikah
dengan ibu Muhammad Abduh. Setelah situasi politik membaik,
orang tuanya kembali ke Mahallat Nashr dan di kota inilah Abduh
tumbuh dan berkembang menjadi remaja.
Masa pendidikan Muhammad Abduh dimulai dengan pelajaran
dasar menulis dan membaca dalam bimbingan orang tuanya sendiri.
Kemudian ia menghafal Al-Qur’an dengan bimbingan seorang hafizh.
Sejak anak-anak Abduh telah menunjukkan kemampuannya. Dalam
waktu dua tahun ia menjadi seorang hafizh seluruh isi al-Qur’an.
1
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (London: Oxford University Press,
1962), h. 130

62Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Pendidikan selanjutnya ditempuh di Thanta. Pada tahun 1279 H
(1863 M) ia dikirim orang tuanya ke sebuah lembaga pendidikan
Masjid Ahmadi.
Di lembaga pendidikan itu, ia merasa tidak paham apa-apa.
Ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas,
bahkan membawanya pada rasa putus asa untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan seperti yang diharapkannya. Hal ini karena
metode pengajaran yang diterapkan cenderung mencekoki murid-
murid dengan kebiasaan menghafal.. Ia akhirnya lari meninggalkan
pendidikannya. Ia bertekat untuk tidak kembali lagi belajar, tidak
mau membaca buku-buku lagi, dan pulang ke kampungnya. Bahkan,
ia berniat bekerja sebagai petani. Dalam susia muda, 16 tahun, Abduh
akhirnya menikah. Tetapi empat puluh hari setelah pernikahannya,
ia dipaksa orang tuanya kembali ke Thanta. Dalam perjalanannya ke
sana, ia berbelok ke desa Kanisah Urin, tempat tinggal paman orang
tuanya yang bernama Syeikh Darwisy Kadhr, seorang dengan banyak
pengalaman mengadakan perjalanan ke luar Mesir, belajar bermacam
ilmu agama Islam dan pengikut tarikat al-Syaziliah.
Oleh Syekh Darwisy, Abduh selalu didorong untuk membaca
buku, Syekh Darwisy juga membantu Muhammad Abduh memahami
apa yang dibacanya. Atas bantuan pamannya, ia akhirnya mengerti
apa yang dibaca. Sejak saat itu minat bacanya mulai tumbuh. Namun
demikian, Syekh Darwisy tetap membimbingnya dengan tekun dan
berusaha untuk menumbuhkan kembali sikap cintanya pada ilmu
serta mengarahkannya pada kehidupan sufi. Dengan semangat baru
yang ditanamkan Syekh Darwisy padanya, akhirnya Abduh kembali ke
Thanta untuk meneruskan Pendidikan. Ia pun akhirnya meneruskan
studinya ke Al-Azhar di Cairo dan berhasil menyelesaikan studi di situ
dengan menyabet gelar alim pada 1877. Setelah ia menyelesaiakn
studinya di al-Azhar, ia kemudian dipercaya mulai mengajar di
almamaternya itu, juga di Universitas Dar al-Ulum.
Disamping semangat akademiknya yang tinggi, Abduh juga
menaruh perhatian kepada gerakan social politik. Ketika Jamaluddin
al-Afghani pada 1869 datang ke Mesir, Muhammad Abduh berusaha
menemuinya dan mengajak al-Afghani diskusi. Ia begitu tertarik

Ragam Pemikiran Teologi Islam 63
kepada, al-Afghani karena ilmunya yang dalam dan cara berpikirnya
yang modern. Ia pun pada akhirnya menjadi murid al-Afghani.
Kepada gurunya itu, Abduh banyak berdiskusi tentang ilmu agama,
pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ketatanegaraan.
Dari al-Afghani juga, ia mengalami perubahan cara berpikir, semangat
untuk mendedikasikan diri bagi umat, harapan dinamika dalam
agama, akhlak dan pergaulan dan gelora untuk memutus mata rantai
fanatisme dan menggantinya dengan cara berpikir lebih maju.
Sebagai seorang aktivis, Abduh sering mendapatkan berbagai
tekanan dari penguasa pada waktu itu. Tercatat Abduh pernah
dibuang keluar dari Mesir dan juga dijebloskan ke dalam penjara seta
tidak diperbolehkan mengajar. Pada akhirnya, Abduh memusatkan
konsentrasinya untuk menulis. Media pertama yang digunakan untuk
menyalurkan idalismenya adalah al-Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan
untuk membangkitkan semangat perjuangan seluruh umat Islam
dalam menentang ekspansi Eropa ke dunia Islam. Demikian pula,
karena kekhawatiran pemerintah atas aktivitas Abduh, ia juga tidak
diperkenankan mengajar di al-Azhar melainkan ditempatkan sebagai
hakim. Karirnya dimulai sebagai hakim pada pengadilan negeri, yang
karena prestasinya kemudian ia diangkat menjadi penasehat pada
mahkamah tinggi. Demikian pula, ia juga diangkat menjadi anggota
Majlis Aa’la dari al-Azhar. Pada 1899, Abduh diangkat menjadi mufti
Mesir. Kedudukan ini dipegangnya sampai ia meninggal dunia pada
tahun 1905.
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui ada beberapa hal yang
mempengaruhi pemikiran Abduh, termasuk dalam bidang teologi.
Pertama, faktor social yang lebih banyak terbentuk oleh suasana
keluarga dan gurunya. Hal lain adalah kekecewaanya terhadap
lingkungan pendidikan di Tanta dan Mesir yang dinilainya tidak
efektif, serta pandangan keagamaan yang statis dan fatalistis. Kedua,
factor politik yang bersumber pada system kekuasaan yang dinilainya
otoriter, rasis dan adanya intervensi Barat. Ketiga, faktor budaya
yang berupa ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama belajar di
sekolah-sekolah formal, persinggungannya dengan al-Afghani, serta
pengalaman yang didapatnya di Barat
2
.
2
A. Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh Suatu Studi Perbandingan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 124.

64Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Abduh dikenal sebagai seorang yang produktif. Ia meruapabanyak
meninggalkan karya tulis. Beberapa buku yang ditulisnya antara lain:
Durus min al-Quran
a. Durus min al-Quran (Berbagai Pelajaran dari al-Quran)
b. Risalah al-Tauhid, uraian tentang tauhid yang mendapat sambutan
terbaik dari kalangan ulama muslim dan dari kalangan agama lain
c. Hasyiyah ala Syarh al-Dawwani li al- Aqaid al-Adudiyyah (Komentar
terhadap Penjelasan al-Dawwani terhadap Akidah-akidah yang
Meleset)
d. Tafsir al-Quran al-Karim Juz Amma
e. Al-Islam wa al-Nasraniyyah ma’a al-Ilmi al Madaniyyah (Islam dan
Ilmu Bersama ilmu-ilmu Peradaban)
f. Tafsir Juz ‘Amma, tafsir Alquran juz 30 ini diajarkan oleh ‘Abduh
di Madrasah al-Khairiyah, isinya antara lain menghilangkan segala
macam tahayul dan syirik yang mungkin menghinggapi kaum
muslimin
g. Tafsir al-Manar. Tafsir ini diselesaikan oleh muridnya, Syekh Rasyid
Ridha.
2. Pemikiran Teologi
Berbicara mengenai pemikiran teologi Muhammad Abduh,
meniscayakan membicarakan mengenai pandangannya tentang
kedudukan akal dan wahyu. Teologi menurut pandangan Muhammad
Abduh dapat digambarkan sebagai Tuhan berada di puncak alam
wujud dan manusia ada di dasarnya. Manusia yang berada di
dasar ini berusaha mengetahui Tuhannya dan Tuhan menurunkan
wahyu karena kasihan melihat kelemahan manusia dibandingkan
kemahakuasaan-Nya. Manusia yang dimaksud oleh Muhammad
Abduh di sini adalah kaum khawas yakni orang-orang yang terpilih
dari golongan awam. Hal ini dikarenakan kemampuan akal yang
dimiliki orang khawas yang mampu mencapai Tuhan serta alam ghaib
yang berada pada puncak tertinggi dari alam wujud
3
. Untuk mencapai
3
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. (Jakarta: UJI
Press, 1987), h. 43

Ragam Pemikiran Teologi Islam 65
pengetahuan tertinggi ini bisa melalui dua alat, yaitu: akal dan wahyu.
Kendati bisa melalui dua alat, akal menempati posisi kunci dan
istimewa dalam konteks pemikiran Abduh sehingga mempengaruhi
seluruh bangunan pemikirannya. Menurutnya hampir semua masalah
keagamaan bisa diketahui melalui akal. Akal bisa mnegetahui adanya
Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akherat,
mengetahui kewajiban terjadap Tuhan, mengetahui kebaikan dan
kejahatan, mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban
menjauhi perbuatan yang jahat.
Pandangannya yang demikian tentu bukan tanpa alasan. Baginya,
sedemikian banyak Allah mengalamatkan perintah dan larangan
kepada akal. Juga, ada banyak sekali tantangan yang diberikan
kepada akal, baik tersurat maupun tersirat dalam Al-Qur’an. Akal
adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar dari kelangsungan
hidupnya karena akal yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya. Dengan demikian, menggunakan akal adalah salah satu
dari dasar-dasar Islam. Karena itu, Abduh selalu berbicara tentang
pentingnya akal dan pentingnya manusia mengembangkan akalnya
untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi.
Begitu pun dalam masalah teologi. Ia tidak pernah meninggalkan
akal sebagai dasar dari teologi. Dalam sistem teologinya Muhammad
Abduh berpendapat bahwa akal mempunyai kekuatan yang tinggi.
Menurutnya, Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan
dengan akal, bahkan agama yang didasarkan atas akal. Pemikiran
rasional, menurutnya adalah jalan untuk memperoleh iman
sejati. Iman tidaklah sempurna, kalau tidak didasarkan atas akal,
iman harus berdasar pada keyakinan bukan pada pendapat, dan
akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu, serta
kemahakuasaanNya dan pada Rasul.
Muhammad Abduh juga menyatakan bahwa Al-Qur’an
memerintahkan kita untuk berfikir dan mempergunakan akal serta
melarang kita memakai sikap taklid. Melihat kedudukan yang begitu
penting diberikannya kepada akal, tidak mengherankan kalau ia
amat keras menentang taklid. Taklid, menurut pendapatnya, adalah
salah satu sebab penting yang membawa kemunduran umat Islam. Ia

66Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
mengkritik kaum ulama yang mengajarkan bahwa umat Islam zaman
belakangan wajib mengikuti ajaran-ajaran hasil ijtihad ulama masa
silam, sehingga pemikiran berhenti dan akal tidak berfungsi lagi di
kalangan umat Islam. Beliau sangat menyesalkan timbulnya sikap
taklid yang telah menjalar di setiap aspek kehidupan umat pada masa
itu. Dengan demikian ia mengharap dapat meyakinkan umat Islam
bahwa Al-Quran menentang taklid.
Kepercayaan kepada kekuatan akal membawa Muhammad
Abduh kepada paham bahwasanya manusia mempunyai kebebasan
dalam kemauan dan perbuatan (free will and free act). Ia menyatakan
bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan
usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa di atasnya masih
ada kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi.Pemberian pengertian
kepada umat Islam, bahwa akal adalah nikmat dari Allah dan harus
selaras dengan agama dan risalahNya bagi manusia. Melalaikan
kemampuan akal, berarti menutup mata dari nikmat Allah.
Menurut Abduh manusia diberi kebebasan untuk berkehendak dan
berbuat. Ia bebas memilih perbuatan yang mana yang dilakukannya.
Untuk itu manusia dibekali akal untuk berpikir dan dengan akalnya
ia mempertimbangkan akibat dari apa yang diperbuatnya. MAnusia
tidaklah bebas secara mutlak. Kebebasannya dibatasi oleh hukum
alam ciptaan Tuhan (sunnah Allah). Jadi tampak bahwa Abduh
menganut paham kadariyah, sebuah paham yang meyakini bahwa
perbuatan manusia adalah pwerbuatannya sendiri secara hakiki.
Hukum alamlah yang menentukan adanya perbuatan atas
pilihannya sendiri itu dalam diri manusia. Muhammad Abduh
percaya betul pada pendapat bahwa alam ini diatur hukum alam tidak
berubah-ubah yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ciptaan Tuhan ini
ia sebut Sunnah Allah. Sunnah Allah dalam pendapatnya mencakup
semua makhluk. Segala yang ada di alam ini diciptakan sesuai dengan
hukum alam atau sifat dasarnya. Manusia tidak terkecuali dari
ketentuan universal ini. Manusia diciptakan sesuai dengan sifat-sifat
dasar yang khusus baginya dan dua di antaranya adalah berpikir dan
memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya.
4
4
Abduh, Risalah…, h. 64

Ragam Pemikiran Teologi Islam 67
Jadi manusia selain mempunyai daya berpikir, juga mempunyai
kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang mesti
ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya
dia bukan manusia lagi, tetapi menjadi makhluk lain.
5
Manusia
dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan
dilakukannya, kemu dian mengambil keputusan dengan kemauannya
sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang
ada dalam dirinya.
6
Jelas bahwa bagi Muhammad Abduh manusia secara alami
mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan.
Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah mempertimbangkan
akibat-akibatnya dan atas pertimbangan ini manusia mengambil
keputusan melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan
dimaksud. Kalau manusia, atas kemauan sendiri, mengambil
keputusan untuk mewujudkan perbuatan itu, ia mengambil langkah-
langkah untuk itu dan perbuatan ia wujudkan dengan dayanya sendiri.
Maka sejalan dengan keyakinannya bahwa manusia, menurut hukum
alam ciptaan Tuhan, mempunyai kebebasan dalam kemauan, manusia,
menurut sunnah Allah, juga mempunyai daya dalam dirinya untuk
mewujudkan perbuatan yang dikehendakinya itu. Hal ini ditegaskan
Muhammad Abduh, ketika ia menyebut bahwa dalam melaksanakan
perbuatannya, baik fisik maupun pikiran, manusia menggunakan
kemampuan dan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya.
7
Dengan demikian bisa dipahami bahwa Muhammad Abduh
meyakini akal dapat mengetahui banyak masalah pokok keagamaan.
Persoalan keagamaan itu seperti:. Tuhan dan sifat-sifat-Nya, adanya
hidup di akhirat, kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada
mengenal Tuhan dengan baik, sedang kesengsaraannya bergantung
pada tidak mengenal Tuhan dan perbuatan jahat, wajibnya manusia
mengenal Tuhan, wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia
menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan hidup di akhirat; dan
hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
5
Abduh, Risalah…, h. 64
6
Abduh, Risalah…, h. 59
7
Abduh, Risalah…, h.60

68Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Sekalipun akal begitu dominan, Abduh tetap mengakui perlunya
wahyu diturunkan. Bagi Abduh fungsi wahyu adalah memberi
keyakinan kepada manusia bahwa jiwanya akan terus ada setelah
tubuh mati. Wwahyu menolong akal untuk mengetahui akhirat
dan keadaan hidup manusia di sana. Wahyu juga membantu akal
dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang
dibawanya sebagai sumber ketenteraman hidup dalam masyarakat.
Wahyu membimbing akal agar dapat mengetahui cara beribadah, dan
berterimakasih pada Allah.
Dari pemaparan di atas, bisa diketahui bahwa secara garis
besar,, wahyu mempunyai dua fungsi utama, yaitu konfirmasi dan
informasi. Wahyu dalam hal ini pada akhirnya sangat diperlukan
untuk menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh melalui akal.
Akal dan wahyu mempunyai hubungan yang sangat erat, karena
akal memerlukan wahyu, tapi wahyu itu tidak mungkin berlawanan
dengan akal. Jika nampak pada lahirnya wahyu itu berlawanan dengan
akal, maka Muhammad Abduh memberi kebebasan pada akal untuk
memberi interpretasi agar wahyu itu sesuai dengan pendapat akal dan
tidak berlawanan dengan akal. Dengan demikian, hubungan antara
wahyu dan akal dapat terjalin harmonis. Dari sini, dapat kita lihat
bahwa Abduh adalah tokoh pemikir yang tidak pernah taklid bahkan
pada pemikirannya sendiri. Abduh tidak semata-mata mendewakan
akal dan kemudian meniadakan wahyu seperti apa yang dituduhkan
orang-orang sekitarnya. Abduh tetap menjaga nilai-nilai ajaran agama
Islam yang dianutnya dan mencoba menyandingkannya dengan
pemikiran rasionalisme yang menurutnya merupakan metode paling
efektif dalam mencari kebenaran.
Sedemikian penting posisi akal dalam kerangka pemikiran
Abduh, sehingga ia dinilai bahkan lebih rasional daripada Mutzailah.
8

Keyakinannya ini mempengaruhi seluruh pikiran-pikirannya. Tentang
iman misalnya, Abduh menjelaskan bahwa iman adalah pengetahuan
hakiki yang diperoleh akal melalui argument yang kuat dan membuat
jiwa seseorang menjadi tunduk dan pasrah. Baginya iman bukan
hanya sekedar tasdiq, melainkan juga makrifat dan perbuatan. Iman
8
Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve ,Cet. X, 2002), h. 256.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 69
meliputi tiga unsur yaitu ilmu (pengetahuan), iktikad (keperfcayaan)
dan yakin (keyakinan). Abduh membedakan manusia menjadi dua
golongan: khawas (orang yang tingkatan ibadahnya sudah tinggi) dan
awam. Karena itu, iman pun terbagi dua yaitu iman orang khawas
yang disebut iman hakiki dan iman orang awam yang disebut iman
taklidi. Bagi orang awam iman adalah sekedar tasdiq, sedangkan bagi
orang khawas tasdiq harus disertai dengan amal baik.
Mengenai sifat Tuhan, Abduh menolak pandangan al-Asyari
yang mengakui sifat Tuhan yang berdiri sendiri di luar dzatnya. Ia
juga mengkritik pandangana al-Asyari yang menegaskan bahwa sifat
bukanlah esensi Tuhan dan bukan pula lain dari esensi. Baginya, sifat
sebagai esensi Tuhan. Hal ini juga bisa diketahui melalui akal, walaupun
tidak seluruhnya. Allah harus mempunyai sifat ilmu, terbukti dari
adanya peraturan yang tepat dan sempurna yang mengatur alam
ini. Karena Allah mempunyai ilmu Ia dengan sendirinya juga harus
mempunyai kemauan dan Ia juga harus mempunyai kekuasaan
(qudrah), kemudian Ia juga harus mempunyai kebebasan memilih
(ikhtiyar), karena arti ikhtiyar adalah melaksanakan kekuasaan sesuai
dengan pengetahuan dan kemauan. Ia juga harus Esa dan unik, karena
kalau tidak maka peraturan alam ini akan menjadi kacau disebabkan
masing-masing mempunyai ilmu dan kemauan berbeda, oleh karena
itu Tuhan hanya satu . Disamping sifat-sifat ini, ada sifat-sifat lain yang
dibawa wahyu, karena tidak dapat diketahui akal, yaitu sifat-sifat yang
berbentuk jasmani, seperti berbicara, mendengar dan melihat. Adanya
sifat-sifat ini wajib diyakini, karena wahyu mengatakan demikian.
Dalalm hal perbuatan Tuhan, Abduh mengakui perbuatan-
perbuatan yang wajib bagi TuhanTentu saja yang mewajibkan tentu
adalah dirinya sendiri, bukan yang lain.Tuhan mewajibkan dirinya
untuk mengatur alam ini sesuai dengan sunnah-Nya yang telah
ditetapkan demi kepentingan ma
9
nusia. Perbuatan Tuhan yang wajib
itu antara lain berbuat baik dan terbaik kepada manujsia dengan tidak
memberikan beban di luar batas kemampuan manusia. Kewajiban lain
adalah mengirim rasul untuk memberikan teladan. Tuhan juga wajib
menepati janji untuk memasukkan orang mukmin ke dalam surga,
9
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, jilid IV h. 56

70Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
juga menepati ancaman untuk memasukkan orang yang berdosa ke
dalam neraka.
Mengenai soal keadilan Tuhan, Abduh berpendapat bahwa Tuhan
mahadil. Tuhan mustahil berbuat aniaya Tuhan tidak mungkin tidak
adil. Ketidakadilan tidak bisa dialamatkan kepada Tuhan mengingat
hal ini tidak seirama dengan kebijaksanaan Tuhan. Tidak juga seirama
dengan kesempurnaan hukum-hukum Tuhan, dan juga dengan
kesempurnaan hukum-hukum alam semesta. Karena itu hukuman
dan pahala yang diterima manusia sesuai dengan perbuaatn jahat dan
baik yang telah dilakukannya.
Keadilan Tuhan sangat berkaitan erat dengan kekuasaan dan
kehendak-Nya. Mengenai kekuasaan dan kehendak Tuhan, Abduh
mengakui bahwa Tuhan itu maha kuasa dan maha berkehendak.
Meskipun demikian, Tuhan tidak bertindak sewenang-wenang karena
bertentangan dengan keadilan-Nya. Tuhan membatasi kekuasaan dan
kehendak mutlak-Nya dengan sunnah-Nya yang tidak mengalami
perubahan. Juga dengan keadilan-Nya. Tuhan tidak mungkin
memasukkan manusia yang telah melakukan Tindakan-tindkan mulia
ke dalam neraka. Ini bukan berarti Tuhan tidak kuasa, tetapi beralawan
dengan keadilan yang ada pada diri dan pada janji Tuhan sendiri.
Abduh juga menjelaskan bahwa Tuhan sendiri menegaskan bahwa
tidak akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan
manusia
10
Jika manusia berbuat baik, berarti manusia berkepntingan
untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan. Demikian pula, jika
manusia berbuat tidak baik, maka manusia berkepenitngan untuk
mendapatkan balasan ynag tidak baik dan kesengsaraan. Dengan
demikian, keadilan tidak bisa bermakna memberikan sesuatu kepada
orang yang tidak berhak menerimanya dan menahan sesuatu dari
orang yang berfhak menerimanya.
11
Sungguhpun kalua dilihat
dari perspektif kekukasaan dan kehendak, pastilah Tuhan bisa
melakukannya, tetapi hal itu tidak mungkin terjadi pada Tuhan
karena kekuasaan dan kehendak-Nya itu dipagari oleh keadilan-Nya.
10
Muhammad Abduh, al-Manar…, h. 56
11
Rashid Ridha, Tarikh al UStadz al Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Cairo: al-Manar),
h. 275

Ragam Pemikiran Teologi Islam 71
RASYID RIDHA
1. Riwayat Hidup
Muhammad Rasyid Ridho lahir pada tahun 1865 M, di al-Qolamun,
suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli
(Syiria).
12
Ia berasal dari keturunan al-Husein, cucu Nabi Muhammad.
Oleh karena itu ia memakai gelar “Sayyid” di depan namanya. Ridha
menikmati pendidikan masa kecilnya di madrasah tradisional untuk
belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an di al-Qalamun.
Setelah dewasa (tahun 1882), ia meneruskan pendikan di madrasah
al-Wathaniah al-Islamiyah di Tripoli di bawah asuhan Syekh Husin al-
Jisr al-Tarabulisi. Di Tripoli, ia memperoleh ilmu-ilmu baru maupun
pengetahuan tertentu dalam bahasa Peancis. Tetapi ia juga menguasai
ilmu agama dalam bahasa Arab.
Tahun 1898 Ridha hijrah ke Mesir untuk lebih mendekatkan
dirinya dengan pergumulan intelektual Islam, utamanya dengan
tokoh-tokoh al-Azhar. Ia amat tertarik dengan pemikiran Abduh
dan al-Afghani yang ditulis melalui al-Urwat al-Wutsqa. Dalam
pertemuan yang relative singkat, ia menunjukkan kesetujuannya
terhadap gagasan-gagasan pembaharuan Abduh. Bahkan kemudian
menerbitkan sebuah majalah al-Manar Bersama-sama dengan
gurunya itu. Ia menuangkan pikiran pembaharuanny atentang ijtihad,
terkait dengan sosial keagamaan, sosial ekonomi, untuk memberantas
bid’ah, serta menyerang penjajahan Barat. Sebagai murid terdekat
Abduh, ia banyak mencurahkan perhatian pada bidang tafsir al-
Qur’an dan menerbitkan sebuah tafsir, yang kemudian diberi nama
yang sama dengan majalahnya, yakni Tafsir al-Manar.
Pada 1912 Rasyid Ridha mendirikan sebuah sekolah dengan
nama Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad di Kairo. Sekolah ini
bertujuan mendidik calon-calon da’i, untuk memenuhi kebutuhan
pengembangan Islam di berbagai wilayah, bukan saja di Mesir, tetapi
di seluruh penjuru dunia, antara lain Indonesia. Selain perhatian yang
tinggi dalam bidang pendidikan, ia juga menulis beberapa artikel yang
12
Ibrahim Ahmad al-Adawiy, Rasyid Ridha al-Imam al-Mujahid (Mesir: al Muassasah al
Misriyyah al-Ammah, t.th), h. 19

72Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
bernuanasa politik menentang kediktatoran penguasa Turki Usmani,
serta menentang keterlibatan Inggris-Perancis di Mesir.
Aktivitasnya sedemikian banyak. Kendati pun usianya sudah tua
dan kesehatannya telah menurun, ia tetap tidak berhenti beraktivitas.
Akhirnya Rasyid Ridha wafat pada Agustus 1935 di Mesir sekembalinya
dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal di terusan Suez.
2. Pemikiran Teologi
Pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha tidak
banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh, bahwa yang
sebenarnya, membawa kemunduran umat Islam menjadi terbelakang
adalah karena umat Islam menjadi umat yang malas, taklid buta dan
pasif. Untuk mengatasi itu semua, maka sifat aktif dan dinamis perlu
dihidupkan dan dikembangkan.
13
. Peran akal dalam hal ini sangat
diperlukan. Maka, bagi Rasyid Ridha akal dapat dipakai terhadap
ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi bukan
terhadap ibadah. Ijtihad diperlukan hanya untuk soal-soal hidup
kemasyarakatan, terhadap ayat dan hadits yang tidak mempunyai arti
tegas dan terhadap masalah-masalah yang tidak disebutkan secara
rinci dalam al-Qur’an dan hadits. Melalui ijtihad yang demikian akan
memacu umat Islam untuk befikir keras tentang agama dan sosial
kemasyarakatan.
14

Rasyid Ridha juga menyoroti masalah aqidah Islam hubungannya
dengan praktik di tengah masyarakat Islam saat itu. Umumnya, umat
Islam mempunyai pengalaman agama berdasarkan taklid. Mereka lebih
memilih sesuatu hukum atau fatwa yang sudah baku, karena dianggap
merupakan kebenaran mutlak. Dengan dasar itu, segala sikap berbeda
akan tidak sesuai dengan paham ini. Kecenderungan taklid juga akan
menimbulkan sikap menyalahkan terhadap kelompok yang berbeda.
Sampai tingkat yang lebih parah akan membawa pertentangan bahkan
permusuhan. Keanekaragaman paham keagamaan yang muncul
justeru makin memperlebar perpecahan di kalangan umat Islam.
13
HM. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembahatuan dalam
Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 185
14
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, PT. Raja
Grafindo Persada Jakarta, 1995, hal.66.    

Ragam Pemikiran Teologi Islam 73
Untuk itu umat Islam perlu mencari ternatif paham keagamaan yang
dapat membawa kearah persatuan, yaitu sebagaimana terdapat pada
zaman Rasulullah SAW.
Sekalipun demikian Ridha menempatkan akal begitu penting
dalam dinamika kemasyarakatan, tetapi tidak dengan persoalan
keagamaan. Di sinilah letak titik perbedaaan dengan Abduh yang
nota bene adalah gurunya. Pandangan keduanya berkaitan dengan
posisi akal dan wahyu sangatlah berbeda. Jika Abduh, sebagaimana
telah diuraikan pada bagian depan, begitu mengistimewakan akal
dengan menyatakan bahwa hamper seluruh masalah keagamaan
bisa diketahui melalui akal dan wahyu mengonfirmasi, Ridha justru
sebaliknya. Baginya wahyu yang menempati posisi istimewa, semua
harus berdasar wahyu, sedangkan akal hanya mengonfirmasi. Akal
menurutnya penting dalam memberikan interpretasi terhadap
persoalan teologis, memahami ayat Al-Qur’an; dan meneliti Hadis
Nabi dan pendapat sahabat. Selanjutnya ia menyebutkan bahwa
akal manusia tidak mampu mengetahui Tuhan dan segala kewajiban
terhadap-Nya.
Pendapatnya yang menyebutkan bahwa akal berperan untuk
mengetahui persoalan-persoalan mu’amalat (hidup kemasyarakatan),
bukan terhadap persoalan-persoalan ibadah, berimplikasi terhadap
fungsi wahyu lebih banyak ber fungsi sebagai informasi daripada
konfirmasi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa wahyu berfungsi
untuk memberikan informasi tentang segala pengetahuan secara
garis besar, sedangkan akal berfungsi dalam memberikan perincian
terhadap apa-apa yang telah diinformasikan oleh wahyu. Dengan
demikian, wahyu baginya adalah sumber informasi yang utama
terhadap pengetahuan tentang Tuhan dan akal berfungsi sebagai
konfirmasi terhadap informasi wahyu tersebut.
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Ridha menempatkan
wahyu pada posisi yang tinggi. Oleh sebab itu, menurutnya, seseorang
yang mendustakan rasul sebagai manusia pilihan Tuhan yang
memberikan penjelasan tentang wahyu akan diberi adzab. Lebih
jauh ia menyebutkan bahwa azab tidak ada sebelum wahyu datang

74Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
dibawa rasul.
15
Dengan kata lain jika rasul tidak ada maka azab tidak
ada sebab tanpa rasul, wahyu juga tidak akan ada padahal manusia
tidak wajib beriman tanpa adanya wahyu.
Wahyu berfungsi memberikan informasi tentang persoalan-
persoalan keyakinan alam gaib, memberikan pedoman tentang
pelaksanaan kewajiban bersyukur kepada Allah dan memberikan
ketentuan-ketentuan umum dan bersifat garis besar tentang
perbuatan-perbuatan yang ditetapkan syariat. Berdasarkan ini
tampak bahwa empat masalah pokok dalam teologi diketahui melalui
informasi wahyu. Bagi Ridha, akal hanya mengonfirmasi terhadap
informasi wahyu saja. Sebab pada dasarnya, wahyu memberikan
motivasi agar manusia menggunakan akalnya dan mencela manusia
yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan tanpa dibarengi oleh dalil-
dalil akal. Akal sangat signifikan untuk memberikan penjelasan kepada
mereka yang masih ragu dengan akidah Islam. Dengan begitu, hasil
temuan akal tidak dapat disejajarkan dengan wahyu. Derajat wahyu
lebih utama daripada akal. Oleh karenanya, jika dalam memahami
ajaran agama, hasil temuan akal bertentangan dengan wahyu, maka
wahyu harus diutamakan.
16
Pemahamannya mengenai wahyu dan akal membawa Ridha pada
konsep mengenai iman, Baginya, iman terdiri dari taqrir, tadiq, dan
‘amal. Iman akan sempurna apabila diiringi dengan ma’rifat, Esensi
iman adalah tasdiq, yaitu membenarkan informasi-informasi Tuhan
melalui wahyu yang disampaikan-Nya kepada Rasul-Nya. Iman harus
didasarkan pada wahyu, bukan pada akal manusia, karena persoalan
iman berkenaan dengan eskatologi (alam gaib).” Baginya, iman terdiri
dari keyakinan terhadap adanya Allah, malaikat, rasul, kitab Allah,
hari berbangkit, dan qada-qadar Tuhan,
17
Berkaitan dengan paham kebebasan manusia, Rasyid Ridha
menghubungkan dengan aturan-aturan Tuhan. la berpendapat
bahwa Tuhan telah membuat aturan-aturan (sunnatullah) tentang
15
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar…, h. 73-74
16
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Jakarta Pustaka Hidayah. 1994), h 65-
66.)
17
Rasyid Ridha, al-Wahyu al-Muhammadi (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960), h. 169-
184

Ragam Pemikiran Teologi Islam 75
penciptaan-penciptaan atau kejadian kejadian yang memberikan
petunjuk kepada manusia. Sunatullah tersebut merupakan hukum
umum yang menjelaskan tentang sebab-sebab dan musabab-musabab.
Di samping itu, sunatullah berkaitan dengan hukum kemasyarakatan,
yaitu ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan sejak zaman azali
dan terpola dalam perbuatan-perbuatan manusia dengan akibat yang
tertentu. Antara perbuatan yang dilakukan manusia dan sunatullah
Tuhan mempunyai hubungan kausalitas,
Harus disadari bahwa manusia diciptakan dengan berbagai
potensi dalam menerima ajaran-ajaran-Nya. Ada yang mukmin dan
kafir dengan segala akibat dari padanya seperti menerima kebaikan
atau keburukan. Kondisi demikian ini sangat ditentukan oleh usaha
manusia dan kadar kemampuan yang diberikan Tuhan. Dengan
demikian, perbuatan manusia tidak keluar dari sunatullah, sebab-
akibat, dan qadha qadar Tuhan. Oleh karena itu, meskipun mengakui
adanya qada dan qadar, akan tetapi ia tidak fatalis, sebab ia mengakui
adanya sunatullah dan hukum kausalitas. Jadi manusia bebas
menentukan perbuatannya, akan tetapitidak bebas sepenuhnya.
Manusia dibatasi oleh qadha dan qadar, sunnatullah yang telah
ditetapkan sejak zaman azali dan mempunyai sebab akibat.
18

.Di sisi lain, meyakini Tuhan mempunyai sifat. Sifat-sifat ini azali
dan kekal karena tidak bisa dipisahkan dari zat Tuhan. Sitat-sifat
Tuhan tersebut tergambar dalam al-asma’ al-husna. Sifat Tuhan pasti
tidak sama dengan sifat manusia. Ilmu Tuhan tidak timbul seperti ilmu
manusia dan tidak diperoleh melalui pancaindra dan akal. Sifat Tuhan
tidak dapat dibayangkan bagaimana caranya Untuk memahami sifat
Tuhan seperti ilm, qudrah, iradah, bashar, sama’, Ridha menghindari
takwil dan memahami sifat-sifat Tuhan sebagaimana adanya sesuai
dengan yang disebutkan Al-Qur’an, tanpa mempermasalahkannya
lebih jauh. Dalam hal ini Ridha tidak menggunakan pemikiran rasional.
Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mengimani sifat Tuhan
sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, tanpa mengingkarinya.
Pemahaman mengenai sifat Tuhan yang seperti itu, membawa
Rasyid Ridha pada sikap tekstualis Ketika berbicara mengenai ayat-
18
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar…. h. 394

76Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
ayat antropomorfis. Ia menafsirkan ayat-ayat demikian secara literal,
apa adanya sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Namun
demikian tentu saja diikuti keyakinan bahwa antropomorfisme Tuhan
tidak sama dengan yang ada pada manusia.Ridha menegaskan bahwa
ayat-ayat jenis ini harus diimani tanpa mempersoalkannya, sebab
mempersoalkan hakikat sifat Tuhan adalah bid’ah. Di samping itu,
ia meyakini bahwa kemampuan akal manusia sangat terbatas untuk
mampu mengungkapkan makna yang sebenarnya dari ayat-ayat
tersebut. Hal ini me nunjukkan kemahakuasaan Tuhan dan kelemahan
manusia. Pemahaman literal terhadap ayat-ayat antropomorfis
membawa Rasyid Ridha pada kesimpulan bahwa Tuhan dapat dilihat
oleh manusia di akhirat kelak. Menurutnya, orang yang menyangkal
bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat adalah zindiq.
19
19
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar…, h. 134-137

Ragam Pemikiran Teologi Islam 77
FAZLUR RAHMAN
1. Riwayat Hidup
Fazlur Rahman dilahirkan pada 21 September 1919 di Hazara,
suatu daerah   terletak di barat laut Pakistan.  Ia dilahirkan dalam
suatu keluarga Muslim bermadzhab Hanafi yang sangat religius.
Kerelegiusan ini dinyatakan sendiri oleh Rahman yang mengatakan
bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat,
puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun. Dengan latar
belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka wajar ketika
berumur sepuluh tahun ia sudah dapat hafal al-Quran.
Orang tua Rahman sangat berpengaruh dalam pembentukan
watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Rahman
mendapat pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih sayang,
kesetiaan, dan cinta. Ayah Rahman, Maulana Syahab al-Din, adalah
penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun demikian ia tidak
menutup diri dari pendidikan modern. Berbeda dengan penganut
mazhab Hanafi fanatik lainnya kala itu, ayah Rahman meyakini
bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan dan
kesempatan sekaligus. Pandangan ayahnya yang seperti inilah yang
mempunyai pengaruh cukup kuat bagi pemikiran dan keyakinan
Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Rahman pada kemudian
hari menjadi seorang yang tekun dalam mendapatkan pengetahuan
dari berbagai sumber. Sementara itu, melalui ibu kemudian Rahman
menjadi pribadi yang sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan
keyakinan dan pembaruan Islam.
Pada 1933, Rahman melanjutkan pendidika di sebuah sekolah
modern di Lahore. Selain mengikuti pendidikan formal, Rahman pun
mendapatkan Pendidikan dan pengajaran tradisinonal berupa kajian
keIslaman dari ayahnya.. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya
ini merupakan materi yang didapat kannya ketika menempuh
pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika
berumur empat belas tahun, usia yang relative muda, Rahman sudah
mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis
dan tafsir.
20
20
IAIN Syarif Hidayatullah, Eksiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992, h.
20.

78Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Rahman
melanjutkan pendidikan dengan mengambil konsentrasi studi bahasa
Arab. berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art (BA) pada 1940.
Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernismde Islam
ini berhasil menyabet gelar Master dalam bidang Bahasa Arab.
Untuk memuaskan dahaga intelektualnya, Rahman pada
1946 berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studia di Oxford
University. Selama berada di Barat, ternyata Rahman tidak hanya
belajar disiplin keilmuan yang digelutinya, melainkan juga belajar
berbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai
antara lain ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan
Urdu. Penguasaan beragam bahasa ini membantu Rahman dalam
memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya (khususnya
studi keIslaman) melalui penelusuran berbagai literatur. Setelah
belajar dengan tekun di Oxford, Rahman pada 1951 berhasil
menyelesaikan studi doktoralnya. Ia dinyatakan sebagai doktor di
Oxford University pada usia 32 tahun.
Begitu selelsai kuliah dan mendapat gelar doctor, Rahman
tidak langsung pulang ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah
melepaskan diri dari India). Ia memutuskan untuk tinggal beberapa
saat di sana. Ketika suatu saat sempat tinggal di Inggris, Fazlur
Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah
mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada,
dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal
tahun 1960. Menurut pengakuan   Fazlur Rahman, ketika menempuh
studi pasca sarjana di Oxford University dan mengajar di Durham
University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di
Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di
negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya
pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam
bidang filsafat.
 Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, pada awal 1960
Rahman kembali ke Pakistan. Ia diminta membantuan oleh Ayyub
Khan untuk membangun Pakistan. Permintaan Ayyub Khan kepada
Rahman ialah bertujuan agar bisa bersam-sama membawa Pakistan

Ragam Pemikiran Teologi Islam 79
pada khittah berupa negara yang bervisi Islam. Rahman diminta
oleh Ayyub Khan, Presiden Pakistan waktu itu, untuk memimpin
Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota
Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic
Ideology). Rahman menerima kepercayaan Ayyub Khan dengan baik.
Motivasi Rahman menerima tawaran itu sepenuhnya karena ingin
membangkitkan kembali visi al-Quran yang dinilainya telah terkubur
dalam puing-puing sejarah.
Sebagai orang yang dididk di Barat dengan kritisisme dan
keinginannya untuk menggali Kembali khazanah al-Quran,
menjadikan Rahman sering memunculkan pernyataan yang dianggap
menkdai oleh kalangan ulama tradisisonal.   Kursi panas yang
diduduki oleh Rahman akhirnya menuai berbagai reaksi. Para ulama
tradisional menolak Rahman. Hal ini disebabkan oleh latar belakang
pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Rahman
memuncak mencapai klimaks ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan
tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang
berjudul Islam. Dalam tulisan tersebut, Rahman mengemukakan
gagasan kontroversial mengenai hakikat wahyu dan hubungannya
dengan Muhammad SAW. Menurut Rahman, di satu sisi al-Quran
sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah SWT, di sisi lain, al-
Quran juga merupakan perkataan Muhammad SAW. Akibat pernyataan
tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai mengingkari al-Quran.
Polemik berjalan cukup lama sampai pada akhirnya membawa pada
gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah
Pakistan pada September 1968. Untuk tidak menimbulkan persaoalan
berkepanjangan, Rahman beriinisiatif mengajukan pengunduran
diri. Akhirnya pada 5 September 1968 permintaan Rahman untuk
mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan
oleh Ayyub Khan.
Sebagai seorang intelektual yang mendambakan kebebasan
berikir, Pada 1969 Rahaman memutuskan meninggalkan Pakistan
untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles,
dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di
sana. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Salah satu

80Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di
Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang
ditawarkannya tidak akan direspons dengan baik, apalagi menemukan
lahan subur di Pakistan. Selain itu, tentu saja Rahman menginginkan
adanya keterbukaan atas berbagai gagasan dan suasana perdebatan
yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan.
Selama di Chicago, Rahman betrusaha mencurahkan sepenuh hati
seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya
dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang
terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas
Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut
laiknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara.
Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan
akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan
berskala internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada
tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von
Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California,
Los Angeles.
21
Selama kurang lebih 18 tahun tinggal di Chicago, Rahman
betul-betul telah menampilkan sebagai sosok pemikir modern yang
bertanggung jawab dan senantiasa berfikir untuk mencari solusi
terhadap problem yang dihadapi Islam dan umatnya. Ada sejumlah
buku yang berhasil dia tulis dan puluhan artikel lainnya yang tersebar
di berbagai jurnal ilmiah internasional. Setelah lama mengidap
penyakit diabetes, akhirnya Rahman menghembuskan nafas terakhir
pada 26 juli 1998.
2. Pemikiran Teologi
Fazlur Rahaman, sebagai mana diketahui, adalah penarik gerbong
neomodernisme yang berusaha mempertemukan tradisionalisme dan
modernism. Dalam setiap gagasanya, Rahman senantiasa merujuk
pada al-Quran sebagai sumber otoritas primer dan representator
Allah yang senantiasa aktual dan kontekstual dalam setiap masa dan
keadaan di mana manusia berada.Titik pijak dan berangkat Rahman
21
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1998).

Ragam Pemikiran Teologi Islam 81
adalah al-Quran, sehingga sangat wajar bila ia disebut sebagai Quranik
sentris mengingat seluruh pola pikirnya selalu dimulai dari dan
bertujuan kepada maksud al-Qur’an.
22
Olah karenanya, Ketika Rahman
mengangkat masalah-masalah teologi, ia selalu membicarakan dalam
bentuk konsep yang holistik dan kontekstual. Ia selalu membicarakan
topik teologisnya dalam perspektif kegunaannya bagi kehidupan di
dunia, tanpa menghilangkan kehidupan di akhirat kelak.
Beberapa pandangan teologi Fazlur Rahman adalah sebagai
berikut:
a. Tuhan: Pemberi Makna Kehidupan
Salah satu pernyataan menarik Rahman adalah bahwa semua
pernyataan al-Quran tentang alam ataupun Tuhan, pada dasarnya
menyatakan tentang manusia. Merujuk beberapa ayat, al-Quran
cuma menegaskan bahwa Tuhan Mahakuasa dan manusia diberi
pilihan dan diserahi tanggung jawab untuk pengelolaan segala
sesuatunya. Dengan demikian bisa dipahami bahwa fungsi
gagasan tentang Tuhan adalah menjelaskan keteraturan alam
semesta. Demikian pula, bahwa konsep Tuhan adalah bagian
dari logika yang inheren. Dari al-Quran bisa dipahami bahwa
Tuhan bukan saja transenden tetapi juga imanen sebagaimana
direpresentasikan oleh ayat-ayat yang berhubungan dengan
seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan.
23
Tantangan terbesar sebenarnya bukan pada bagaimana
membuat manusia beriman dengan mengedepankan bukti-bukti
teologis yang njlimet tentangkeberadaan Tuhan, melainkan
bagaimana membuat beriman dengan fakta yang jelas dan
menjadikan hal-hal tersebut mengingatkan manusia kepada
keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan adalah eksistensi
yang menyebabkan munculnya eksistensi-eksistensi lain; Tuhan
memberi arti dan kehidupan kepada segalanya. Tuhan serba,
meliputi. Tuhan adalah tak terhingga dan hanya Dia saja yang tak
terhingga.
24

22
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Quran (Bandung: Pustaka, 1984), h. 86
23
Fazlur Rahman, Islam (Bandung:Pustaka, 1984), h. 87
24
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok, h. 88

82Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
b. Wahyu dan Kenabian
Keberadaan al-Quran sebagai firman Tuhan merupakan
keyakinan dasar bagi umat Islam. Al- Quran sepenuhnya bersifat
ilahi dan sudah barang tentu dipandang bersifat abadi. Al-Quran
adalah perwujudan dari wahyu yang diberikan kepada nabi. Nabi,
dalam pandangan Rahman, adalah manusia biasa yang karena
ketabahan, kepekaan, dan keuletan mereka menyampaikan
wahyu tanpa mengenal takut dapat mengalihkan hati nurani
manusia. Maka, tidak tercela jika sebagai manusia biasa seorang
Nabi tidak selalu konsisten. Justru keberadaannya sebagai
manusia biasa itu ia pantas menjadi teladan. Muhammad tidak
pernah ingin menjadi Nabi atau mempersiapkan dirinya menjadi
seorang Nabi.
25

Berkaitan dengan proses pewahyuan, Rahman secara
tegas menolak pandangan mekanistik sebagaimana pandangan
kalangan otrodoks. Baginya pewahyuan yang demikian seolah
Jibril mengantarkan risalah Tuhan kepada Nabi Muhammad
seperti tukang pos yang menyerahkan surat. Penyampaian
demikian jelas menghilangkan aspek transendentalitas Tuhan,
di satu sisi, dan Nabi sebagai manusia pada pihak lain.. Jibril
sebagai penyampai wahyu dapat diartikan sebagai spirit (Ruh).
Pandangannya itu didasarkan pada al-Quran surat an-Nahl [16]:
102 yang menyebutkan bahwa Ruh al-Qudus menurunkan al-
Quran kepada Nabi. Menurutnya, Ruh suci itu bukan sekedar
malaikat yang berdiri sendiri karena istilah malaikat tidak
tepat dikenakan untuk itu. Kepada Muhammad al-Quran tidak
menyatakan penyampai wahyu itu sebagai malaikat tetapi sebagai
ruh atau utusan spiritual.
26
Karena kepribadian nabi sebagaimana yang digambarkan
di bagian depan , maka nabi layak mendapatkan mukjizat.
Menurutnya mukjizat adalah sesuatu yang riil dan dan bersifat
permanen. Lawannya adalah sihir atau magis yang hanya
merupakan hayalan yang tidak bersifat permanen tetapi semata-
25
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok, h. 132
26
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok, h. 139

Ragam Pemikiran Teologi Islam 83
mata persoalan psikologis dan mendistorsi realitas yag ada. Sihir
bersifat artifisial yang dapat dilakukan oleh siapapun, sedangkan
mukjizat hanya dapat dilakkukan oleh para Nabi. Mukjizat adalah
pertanda yang bersifat supranatural untuk mendukung kebenaran
risalah. Perlu diketahui bahwa mukjizat yang berbentuk keajaiban
bukan bukti utama kerasulan. Hal itu tidak lebih hanya sebagai
pendukung. Bukti utama kebenaran rasul adalah bukti yang lebih
prinsip dan esensial dari sekededar yang bersifat supranatural.
Bukti itu terkait erat dengan misi yang dibawa para Nabi.
27

c. Kehendak dan Perbuatan Manusia
Dalam memotret mengenai kehendak dan perbuatan
manusia, Fazlur Rahman berangkat dari keyakinan bahwa
manusia adalah mahluk yang memiliki kelebihan dibanding
mahluk-mahluk lain. Pandangan ini didasarkan pada ayat yang
berbicara tentang penyerahan amanah Tuhan kepada manusia.
Rahman menegaskan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang
hal itu secara jelas menunjukkan potensi dan possibilitas yang
hanya dapat direalisasikan manusia; tidak dapat dilaksanakan
oleh mahluk lain. Sesungguhnya hanya manusia yang mampu
berprestasi dan membangun dunia dan kehidupan. Mahluk
yang lain, termasuk malaikat tidak mempunyai kemampuan
menjalankan amanat tersebut.
28

Amanah tersebut bisa dilaksanakan dengan baik oleh manusia
karena adanya kebebasan yang dinberikan kepadanya. Sebagai
implikasi dari tesisnya tentang kebebasan manusia, ia meyakini
kesesatan yang dialami manusia adalah akibat ulah manusia itu
sendiri. Penyesatan bukan dilakukan oleh Tuhan. Al-Quran tidak
pernah menyatakan bahwaTuhan menutup hati dan menyesatkan
manusia secara sewenang-wenang. Al-Quran justru menegaskan
bahwa Tuhan berbuat begitu karena tindakan manusia sendiri,
atau karena sebab-sebab lain yang banyak disebutkan al-Quran.
Rahman meyakini bahwa manusia benar-benar bebas
27
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad (bandung: Pustaka, 1983), h. 92.
28
Fazlur Rahman, Islam dan Modenitas, Tentang Transformasi Intelektual (Bandung:
Pustaka, 1985), h. 87.

84Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
menentukan pilihan dan tindakannya. Keyakinannya ini didasarkan
konsep qadar Tuhan bukan lah kejadian tentang sesuatu, tapi
potensinya. Lewat potensi yang telah ditentukan Tuhan, manusia
dapat mengolah sesuatu dan mengembangkannya secara bebas
dan kreatif, tanpa terkait dengan adanya predeterminasi yang
kaku. Berdasarkan uraian tersebut, manusia dalam tesis Rahman
adalah mahluk yang benar-benar bebas, tetapi kebebasan
yang dimilikinya manifestasi limpahan kasih Tuhan yang tidak
berkesudahan, bukan kebebasan yang muncul dengan sendirinya.
Dengan kebebasan itu, manusia mempunyai tugas sebagai
khalifah Allah, amanah agar memperjuangkan dan menciptakan
tata sosial yang bermoral di muka bumi.
Ada hubungan erat antara kebebasan di satu sisi dan tugas
moral pada sisi yang lain. Inti persoalan dalam kaitannya dengan
wacana tentang kebebasan manusia pada hakekatnya bukan
terletak pada kebebasan atau determinisme itu sendiri, melainkan
pada upaya menjadikan kebebasan itu sebagai pendorong agar
selalu hidup pada prinsip-prinsip moral yang telah digariskan.
Di sini terlihat bahwa tanggung jawab merupakan aspek
yang tidak dapat diabaikan. Kebebasan harus berada di atas
kerangka tanggung jawab. Konsep kebebasan yang dilepaskan
dari tanggung jawab pasti akan melahirkan dampak negatif
bagi kehidupan dan bertentangan dengan tujuan kebebasan itu
sendiri. Tindakan tanpa adanya suatu tanggung jawab, pasti akan
melahirkaan kesewenang-wenangan, pengrusakan dan bentuk-
bentuk tindakan negatif atau destruktif yang lain.
Sebagai konsekuensi lebih jauh dari pemahamannya tentang
tanggung jawab individu,, Rahman menolak konsep syafaat.
Quran sendiri, bagi Rahman, seperti QS : 233 dan 286 tentang
pertanggungjawaban seseorang sesuai dengan kemampuannya,
dan ayat 254 mengenai kesia-siaan persahabatan dan tolong-
menolong manusia pada hari perhitungan, jelas memperlihatkan
bahwa al-Quran menolak penengah antara manusia dengan
Allah. Konsep tentang syafaat merupakan hal yang bertentangan
dengan sikap dasar Islam yang sangat memperhatikan usaha,
perjuangan, dan tanggung jawab individu.
29
29
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 150

Ragam Pemikiran Teologi Islam 85
Kendati manusia mempunyai kebebasan dalam perbuatannya,
Rahman tetap memberikan porsi dukungan terhadap doa. Doa
menurut Rahman adalah sikap pikir yang aktif dan reseptif.
Dengan doa maka energi-energi baru mengalir kedalam jiwa
seseorang yang berdoa tersebut. Namun demikian, doa tesebut
juga disertai dengan perjuangan. Bagi Rahman, doa memiliki nilai
yang sangat positif dalam kehidupan seorang muslim. Melalui
doa yang disertakan dalam setiap usaha dan tindakannya yang
kongkrit, seorang muslim akan selalu bersikap optimis dalam
menghadapi kehidupan yang akan dijalaninya.
30

Merujuk kepada pemaparan tersebut bisa dipahami bahwa
kebebasan manusia merupakan kebebasan terbatas yang muncul
karena adanya karunia Tuhan. Kekuasaan manusia tidak akan
pernah melampaui kekuasaan Tuhan. Sebagai akibatnya, manusia
harus selalu memohon pertolongan kepada Tuhan melalui doa
dan tindakan nyata. Dengan doa manusia menjadi optimis dalam
setiap usaha dan kerjanya. Adapun usaha menjadi realisasi dari
optimisme yang dimilikinya sehingga sikap itu akhirnya benar-
benar diwujudkan dalam bentuk aktivitas yang kongkrit.
d.Eskatologi
Sebagaimaan dipahami bersama bahwa akhirat adalah saat
dimana kebenaran oyektif akan terjadi. Begitu pun Rahman.
Kebahagian dan penderitaan manusia di akhirat, menurut
Rahman, tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga fisikal. Al-
Quran tidak mengakui suatu akherat yang dihuni oleh jiwa-jiwa
tanpa raga; Al-Quran juga tidak mengakui adanya dualisme jiwa
dengan raga mengingat manusia adalah sebuah organisme yang
berfungsi penuh. Jadi al-Quran tidak membenarkan surga atau
neraka yang sama sekali yang bersifat spritual. Dengan demikian
yang menjadi subjek kebahagian dan siksaan adalah manusia
sebagai pribadi.
31

Manusia akan menghadapi semua yang ada di akherat secara
jujur. Manusia juga akan menerima keputusan atas perbuatan-
30
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1994), h. 145.
31
Fazlur Rahman, Tema tema Pokok, h. 97

86Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
perbuatan tersebut sebagai akibat yang mesti. Ada beberapa
alasan mengapa keberadaan akhirat itu penting. Pertama,
moral dan keadilan sebagai konstitusi realitas adalah kualitas
untuk menilai amal perbuatan manusia karena keadilan tidak
dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang terjadi diatas dunia.
Kedua, tujuan-tujuan hidup harus dijekaskan dengan seterang-
terangnya sehingga manusia dapat melihat apa yang telah
diperjuangkannnya dan apa tujuan-tujuan yang sesungguhnya
dari kehidupan ini. Ketiga, perbantahan, perbedaan pendapat,
dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia akhirnya harus
diselesaikan. Kebahagiaan dan penderitaan manusia di akhirat
menurut Rahman tidak hanya bersifat spiritual tapi juga bersifat
fisik.
32
Konsep Rahman mengenai kebahagiaan dan penderitaan
yang bersifat fisik tersebut berimplikasi pada keyakinan akan
adanya surga dan neraka yang juga bersifat fisik. Sebab al-Quran
tidak membenarkan surga atau neraka yang murni bersifat
spiritual. Oleh karena itu, subyek dari kebahagiaan dan penderitan
di akhirat nanti adalah pribadi manusia. Dalam perspektif ini,
keberadaan surga dan neraka yang berbentuk fisik merupakan
konsep yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara qurani
dan logika rasional. Selain itu hal tersebut merupakan suatu
kondisi yang lebih sempurna daripada sekedar bersifat spiritual
sehingga diharapkan akan berdampak pada usaha manusia yang
lebih intens untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan moral
agama. Pandangan yang sangat ortodoks ini mempertanyakan
dan meragukan keabsahan pandangan yang hanya melihat
keberadaan tempat pembalasan itu sebagai simbol belaka.
Sedang bentuk siksaannya lebih bersifat psikologis daripada
bersifat fisik. Meskipun demikian ia tidak mengingkari adanya
siksaan yang bersifat fisik. Hanya saja sifat psikologisnya lebih
dominan sehingga orang yang hidup dalam siksaan Tuhan itu
tidak dapat merasakan kebahagiaan sama sekali. Sebab pada
intinya kesusahan atau kesenangan manusia sangat tergantung
dan ditentukan oleh sikap kejiwaan.
32
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok, h. 163

Ragam Pemikiran Teologi Islam 87
e.Setan dan Kejahatan
Wacana lain yang dibicarakan oleh Fazlur Rahman adalah
tentang setan. Wacana ini mempunyai arti yang cukup signifikan
sebab bahasan tersebut memiliki hubungan yang sangat erat
dengan kejahatan sebagai suatu realitas kehidupan yang harus
dihadapi manusia. Adanya setan menuntut manusia agar benar-
benar berjuang menuju hidup pada jalan kebenaran, dan berjuang
melawan setan sehingga terhindar dari kesesatan. Manusia yang
berhasil melawan kekuatan dan godaan setan, ia pantas menjadi
khalifah-Nya di muka bumi.
33
Sebagai suatu person, setan pada awalnya berasal dari
semacam bangsa jin. Meskipun demikian, Rahman membedakan
antara jin pada satu sisi dengan setan atau iblis pada sisi yang
lain. Untuk menjelaskan perbedaan itu, dia mengutip beberapa
ayat (QS Saba’: 12, QS al-An’am: 130). Dengan berpijak pada ayat-
ayat tersebut, Rahman menyimpulkan bahwa jin adalah mahluk
yang tidak berbeda dengan manusia kecuali mereka mempunyai
lebih besar kecenderungan kepada kejahatan dan kebodohan.
Selain itu mereka memiliki kekuatan yang sangat besar dan tabiat
yang panas. Disamping itu, jin termasuk golongan mahluk ghaib
yang berasal dari esensi api. Pengungkapan ini menunjukkan
bahwa jin merupakan mahluk yang benar-benar bersifat person,
bukan hanya metafora atau simbol semata. Sedangkan setan
sebagaimana dijelaskan di atas, dapat diartikan dengan dua
pengertian; sebagai suatu person, dan juga sebagai kiasan.
34

Berdasarkan analisisnya itu, setan dalam peristiwa turunnya
Adam dan Hawa, perlu dipahami dalam perspektif semacam itu.
Dalam kisah tersebut, iblis merupakan person yang bukan hanya
mengingkari perintah Tuhan dengan menolak menghormat
kepada Adam, tapi juga ia terlibat perdebatan dengan Tuhan dan
bersumpah untuk menggoda manusia. Ketika Adam dan Hawa
telah tergoda bujukan untuk memakan buah terlarang, maka
yang menggoda mereka bukan lagi iblis, melainkan setan yang
33
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok, h. 178-93.
34
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok, h. 110.

88Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
menjadi sebutan bagi prinsip kejahatan.
35
Setan muncul sebagai
manifestasi keburukan dan kejahatan yang bersifat objektif,
bukan sebagai person tertentu. Jelasnya, setan bukanlah suatu
prinsip anti-Tuhan. Dia lebih merupakan satu kekuatan anti
manusia yang tiada akhir berupaya menyimpangkan manusia
dari kebenaran sehingga terperosok kedalam jalan yang sesat.
Tujuan tindakan setan adalah penyesatan terhadap manusia.
Ide terpenting yang dapat dipetik dari al-Quran, menurut
Rahman, bahwa aktivitas setan pasti memasuki setiap bidang
kehidupan manusia dan oleh karenanya manusia harus selalu
berjaga-jaga. Jika manusia mengendorkan kewaspadaannya
maka ia mudah terbujuk oleh godaan setan. Walaupun hingga
batas-batas tertentu dan didalam prinsipnya, setiap manusia
terbuka bagi godaan atau bujukan setan, namun orang-orang
yang mempunyai memiliki kemampuan untuk berjaga-jaga
terhadap bahaya moral tidak akan terlena di dalam kejahatan .
Bagi Rahman, cengkeraman setan itu sebenarnya tidak kuat;
hanya karena kelemahan, tidak adanya keberanian moral, dan
tidak adanya kewaspadaan di dalam diri manusia yang membuat
setan terlihat sedemikian kuatnya.
36

Lebih jauh Rahman mengatakan, iblis atau setan itu
sebenarnya tidak kuat tetapi licik dan licin. Setan lebih banyak
mempergunakan tipudaya dan siasat daripada menantang
dengan terang-terangan. Aktivitasnya tidak menggempur tetapi
membujuk, berkhianat dan menghadang. Jadi kekuatan setan
itu tergantung kepada kelemahan manusia. Untuk melawan
kekuatan setan, manusia memerlukan kesadaran untuk selalu
mendengarkan hati nuraninya sehingga hal itu akan menjadi
pertahanan diri yang kokoh terhadap segala bentuk godaan
setan. Pada dasarnya setan hanya akan menjadi sahabat orang
yang zalim yaitu orang yang tidak mau mendengarkan suara
hatinya yang lurus yang mengakibatkan setan bersama orang
itu memperoleh suatu kekuatan. Namun perlu diketahui bahwa
35
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok, h. 189.
36
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok, h. 182.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 89
kekuatan mereka adalah tidak riil. Kekuatan itu tidak dapat
menandingi kekuatanTuhan, dan karena itu bersifat palsu dan
dapat dikalahkan manusia yang benar-benar berjuang untuk
memperoleh kebenaran.
37

37
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok, h. 115.

90Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
HASSAN HANAFI
1.Riwayat Hidup
Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo
dari keluarga musisi. Akan tetapi sejak kecil Hanafi dihadapkan  pada
kenyataan-kenyataan kehidupan yang pahit, karena dominasi
kekuasaan penjajah dan pengaruh-pengaruh politik asing yang lain.
Hanafi kecewa dan sadar di negaranya telah terjadi problem tentang
ancaman persatuan umat yang lemah.
Pendidikan  Hassan Hanafi diawali pada tahun 1948, kemudian
dilanjutkan pada Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo yang
diselesaikannya selama empat tahun. Semasa Tsanawiyah, ia aktif
mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-Muslimin. Karena
itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran-pemikiran yang
dikembangkan oleh Ikhwan al-Muslimin dan aktifitas- aktifitas
sosialnya. Hassan Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran-
pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu,
ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan
perubahan sosial.
Hassan Hanafi adalah seorang filosof dan teolog Mesir yang
meraih gelar Sarjana Muda bidang filsafat di Universitas Kairo pada
tahun 1956. Kemudian, gelar Doktor diperolehnya dari Universitas
Sorbonne, Paris dengan disertasinya berjudul “Lexegeses de la
Phenomenologie Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son
Application an Phenomene Religieux”. Karya tersebut  merupakan
upaya Hassan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh (Islamic
Legal Teory) pada madzhab filsafat fenomenologi dari Edmund
Husserl. Ia merasa sangat beruntung karena memperoleh lingkungan
yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan
mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus ia mulai
merumuskan jawaban-jawaban itu. Sebagaimana ia akui, di Prancis
ia dilatih berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun
bacaan-bacaan atas karya orientalis.
Setelah pulang dari Prancis pada tahun 1966, semangat Hanafi
untuk meneruskan tulisannya tentang pembaruan pemikiran Islam

Ragam Pemikiran Teologi Islam 91
sangat tinggi.Namun hal ini untuk sementara waktu haruas dikubur
karena Mesir kalah melawan Israel. Ia memutuskan untuk ikut
serta dengan rakyat, berjuang dan membangun kembali semangat
Nasionalisme. Karena itu, ia memanfaatkan media masa sebagai
corong perjuangannya. Ia menulis artikel-artikel untuk menanggapi
masalah-masalah aktual  untuk melacak faktor kelemahan umat
Islam.
Di dunia akademik, Hassan Hanafi aktif memberikan kuliah di
berbagai negara. Kemudian, ia diangkat menjadi Penasehat Program
pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987), dan sekembalinya dari
Jepang pada tahun 1988 Hassan Hanafi diserahi jabatan Ketua Jurusan
Filsafat di Universitas Kairo. Aktifitas di dunia akademik tersebut
ditunjang dengan aktifitasnya di organisasi masyarakat. Tercatat,
Hanafi aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat
Mesir. Ia menjadi anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan
Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan
Masyarakat Filsafat Arab.
Sebagai seorang intelektual Hassan Hanafi mempunyai karya
yang cukup banyak. Beberapa di antaranya adalah Dirasat Islamiyyah,
al-Turats wa al-Tajdid, al-Yasar al-Islami, Min al-Aqidah ila Al-Tsaurah,
Religion, Ideologi and Development,  Islam in the Modern World.
2.Pemikiran Teologi
Dari judul-judul di atas tampak bahwa Hassan Hanafi, salah
seorang teolog kontemporer yang sangat risau terhadap kemandulan
teologi untuk kemanusiaan memberikan kritik tajam terhadap
teologi. Menurutnya, teologi harus segera diadakan rekonstruksi.
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi, ia menegaskan
perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem
kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial-
politik yang terjadi. Teologi tradisional lahir dalam konteks sejarah
ketika inti keIslaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan,
diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi
seperti itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan
untuk memelihara kemurniannya. Karena itu, kerangka konseptual

92Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik
harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari
kebudayaan modern.
Hassan Hanafi ingin meletakan teologi Islam pada tempat yang
sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci yang tidak
boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja. Namun teologi
adalah ilmu kemanusiaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan
klasifikasi secara historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam.
Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan
duniawi dengan memenuhi harapan dunia muslim terhadap
kebebasan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan
dan mobilisasi massa. Teologi baru itu harus mengarahkan sasarannya
pada manusia sebagai tujuan. Itulah sebabnya, ia mengidealkan
aqidah sebagai alat untuk melakukan perjuangan. Inilah yang
tercermin dalam karyanya yang berjudul Min al-Aqidah ila al-Tsaurah
dan gerakan Islam Kiri.
Dalam sebuah kesempatan wawancara
38
Hassan Hanafi
menjelaskan proyek besarnya yang bertumpu pada tiga concern
utama. Pertama, rekonstruksi teks yang dilahirkan dari peradaban
masa lalu. Msyarakat Islam mempunyai tradisi lama yang selalu dan
tetap hidup. Pada saat yang sama mereka berada di era modern yang
serba baru. Mereka berusaha untuk berubah, untuk tidak dikuasai dan
bebas. Sementara tradisi lama sudah tidak cocok lagi. Rekonstruksi
teks artinya membangun kembali ilmu-ilmu tradisional seperti
filsafat, teologi, fiqih, tafsir, al-Qur’an dan hadits, dengan menganggap
peninggalan tersebut sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan bersifat
historis, agar dengan begitu dapat mengapresiasikan modernitas.
Padahal, menurut pengakuannya, ia tidak menemukan alternatif
yang lebih baik dalam tradisi Asy’ariyah, Mu’tazilah, Averoisme, atau
Malikiyah.
Kedua, tentang budaya-budaya asing, terutama budaya Barat.
Masyarakat berhadapan dengan Barat dan kemudian terserap
didalamnya tanpa disadari. Akibatnya, mereka menjadi korban mitos
”budaya universal” yang dipropagandakan dan terus didominasi oleh
media Barat Yang menjadikan inferio. Untuk itu harus ada proses
38
Ulumul Qur’an, No 5 & 6 Tahun 1991, hlm. 122-124

Ragam Pemikiran Teologi Islam 93
dekolonasi diri dan membuat satu level peradaban yang sama.
Ketiga adalah masalah sikap terhadap realitas atau dunia nyata.
Pada sikap pertama dan kedua, saya concern terhadap tradisi dan
modernitas sebagai warisan budaya (cultural legacy). Karena warisan
tersebut dimuat di dalam teks, maka saya berinteraksi dengan teks.
ketika mengahadapi realitas saya selalu menghubungkannya dengan
teks. Oleh karenanya yang dibutuhkan sekarang adalah adalah
mentrasformasikan realitas ke dalam teks.
Untuk mewujudkan keinginannya bahwa teologi menjadi
instrumen yang revoluioner, Hassan Hanafi menegaskan sikapnya
terhadap bangunan teologi yang sudah ada. Terhadap Asyarisyah ia
menjaga jarak karena kelompok ini dinilai menjadi ideologi kekuasaan.
Sebasliknya, mendekat ke Mutazilah karena memperjuangkan
kebebasan akal. Demikian pula terhadap Khawarij, ia mengadopsi
ajaran bahwa perbuatan sebagai refleksi iman dan juga terhadap
Syiah yang dari pengalaman revolusi Iran telah menunjukkan
keberhasilannya.
Ada lima prinsip yang diyakininya untuk membangun keyakinnya.
Prinsip-prinsip tersebut adalah
a. Kemaslahatan manusia yang menjadi esensi al-Quran dan sunnah
b. Kebebasan manusia sebagai entitas yang otonom
c. Menolak tasawuf (menyelamatkan diri sendiri tanpa diikuti orang
lain adalah egoisme; kesucian jiwa tanpa kesucian dunia adalah naif
dan destruksi),
d. Tujuan akhir adalah pencerahan menyeluruh yang berbasis pada
kebudayaan dan kesadaran historis bukan kekuasaan,
e. Bertumpu pada realitas (bukan pada teks keagamaan).
Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi
sekurang-kurangnya dilatar belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut:
a. Adanya ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global
antara berbagai ideologi yang hendak berebut pengaruh.
b. Teologi yang bukan semata penting pada sisi teoritis, akan tetapi
juga pada kepentingan praktis untuk mewujudkan ideologi sebagai
gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan praktis ideologi

94Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Islam (dalam teologi) adalah memecahkan problem-problem
kemanusiaan riil
c. Cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat
memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban
manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana
tentang kemanusiaan, baik secara eksistensial, kognitif, maupun
kesejahteraan.
Berdasarkan latrar belakang ini, kemudian Hassan Hanafi
menjelaskan mengenai hal-hal dan konsep-konsep mendasar dalam
teologi. Ia melakukan reinterpretasi tema-tema pokok dalam teologi
yang berkaitan dengan zat Tuhan, tauhid dan sifat-sifat Tuhan.
Dalam kaitannya dengan zat Tuhan, Hassan Hanafi menolak
rumusan teologi yang diberikan oleh para perumus teologi klasik bahwa
teologi adalah ilmu yang berobyek zat Tuhan karena tidak mungkin
zat Tuhan menjadi obyek kajian ilmu. Rumusan teologi yang seperti
itu mengandung suatu kontradiksi. Tuhan adalah zat yang mutlak;
sedangkan ilmu adalah sebuah cara pandang yang relatif. Karena itu,
mendiskusikan tentang Tuhan dengan cara pandang manusia berarti
menyeret-Nya ke batas-batas relativitas manusia. melainkan sesuatu
yang menggerakkan, tujuan segala pengejawantahan.
39
Ia meyakini
bahwa semua penggambaran tentang Tuhan, sebagaimana dalam
al-Quran dan sunnah, pada hakekatnya adalah penggambaran yang
mengantarkan manusia untuk membentuk citra diri manusia yang
ideal.
Tauhid, menurut Hassan Hanafi, bukan berarti sifat dari sebuah
dzat (Tuhan) atau sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam
angan belaka. Tauhid sesungguhnya adalah sebuah konsep yang
lebih mengarah ke tindakan nyata. Penafian maupun penetapan
sebagaimana yang tercermin dalam kalimat la ilaha illa Allah tidak
akan mempunyai arti apa-apa kecuali dengan ditampakkan ke
dalam dunia nyata yaitu aktivitas rril. Dengan demikian dalam
konteks kemanusiaan yang lebih konkrit, tauhid adalah upaya pada
kesatuan social masyarakat. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan
39
Baca: Hassan Hanafi, min al-Aqidah ila al-Tsawrah: al-Muqaddimah al-Nazhariyah
(Kairo: Maktabah Madbuli,.t.th).

Ragam Pemikiran Teologi Islam 95
tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan
masyarakat maju dan berkembang.
Sebagai langkah konkret mengenai penggambaran itu, Hassan
Hanafi juga memberikan perspektif baru mengenai sifat-sfat Allah. Sifat
Wujud, bagi Hassan Hanafi bukanlah menjelaskan mengenai wujud
Tuhan karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Keberadaan-Nya
tidak tergantung pada keberadaan yang lain. Tanpa yang lain, Tuhan
tetap wujud karena Tuhan tidak diadakan oleh pihak lain. Dengan
demikian, wujud adalah tajribah wujudiyyah pada manusia. Dengan
kata lain, wujud merupakan eksistensi humanistik yang didasari oleh
pengalaman.
Sifat Qidam (dahulu) yang banyak dipahami oleh masyarakat
sebagai dahulu tanpa permulaan, oleh Hassan Hanafi dipahami
sebagai pengalaman akan berbagai kegiatan yang berdimensi
kesejahteraan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di
dalam lintasan sejarah. Dengan demikian, bagi Hassan Hanafi qidam
adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejahteran yang dapat
untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga
dengan demikian tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan
kesalahan.
Sifat berikut adalah baqa’ (kekal). Selama ini sifat baqa dipahami
Allah bersifat kekal tanpa akhir. Hassan HAnafi memahami sifat ini
sebagai pengalaman kemanusiaan yang berupaya agar bagaimana
manusia bisa membuat dirinya tidak cepat rusak. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara melakukuan berbagai aktivitas konstruktif
yang bisa meningkatkan daya tahan tubuh dan menjaga kelestarian
lingkungan, baik pikiran maupun perbuatan, dan meninggalkan
kegiatan yang merusak diri dan lingkungan. Dengan kata lain, baqa
adalah ajaran bagi manusia untuk senantiasa menjaga kelestarian
lingkungan dan alam, juga agar manusia menghasilkan karya
monumental yang bersifat abadi.
Melalui sifat mukhalafah li al-hawadits (berbeda dengan yang
lainnya), dan qiyam binafsih (berdiri sendiri) Hassan Hanafi mengajak
untuk membangun rasa percaya diri. Baginya, sifat ini adalah tuntutan
agar manusia berusaha dengan sangat seriusuntuk menunjukan

96Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
eksistensinya secara mandiri. Kemandirian itu ditopang oleh adanya
sebuah karakter untuk berani tampil beda. Manusia tidak boleh
mengekor begitu saja kepada pemikiran dan budaya orang lain. Oleh
karena itu, melalui qiyam binafsih manusia harus memiliki titik pijak
yang kokoh. Kekokohan titik piajk ini dieprlukan sebagai dasar untuk
melakukan berbagai gerakan yang aktif dan kreatif yang dilakukan
secara terencana untuk tujuan akhir yang telah dicanangkan
sebelumnya.
Demikian pula sifat wahdaniyah (keesaan). Sifat ini sesungguhnya
menunjuk kepada kesatuan eksperimentasi kemanusiaan, bukan
merujuk pada keesaan Tuhan dalam rangka pensucian Tuhan dari
kemenduaan (syirik). Wahdaniyah tidak lain merupakan pengalaman
umum kemanusiaan tentang kesatuan-kesatuan seperti tujuan, nasib,
tanah air, budaya dan kemanusiaan. Hal ini juga menunjuk kepada
karekteristik kemanusiaan yang merupakan kesatuan pribadi
utuh manusia yang jauh dari perilaku dualistic, seperti hipokrit,
kemunafikan ataupun perilaku oportunistik.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 97
ASGHAR ALI ENGINEER
1.Riwayat Hidup
Asghar Ali Enginer lahir pada 10 Maret 1940 di Kalkuta, India,
dari pasangan Syaikh Qurban Husain dan Maryam. Ia adalah seorang
insinyur sipil. Berbeda dengan para pemikir kontemporer lain yang
sebagian besar mendapatkan pendidikan di luar negeri, pendidikan
formalnya ditempuh di India. Setelah menamatkan pendidikan dasar
dan menengah, ia melanjutkan pendidikan tinggi dalam disiplin ilmu
teknik di universitas Vikram, India. Pendidikan tingginya dimulai pada
tahun 1956. enam tahun kemudian, 1962, ia berhasil menyelesaikan
dan mengondol gelar sarjana teknik sipil (B.Sc. Eng.) selepas dari
pendidikan tinggi, ia menggeluti profesi sebagai insinyur sipil dalam
waktu yang cukup lama sebelum akhirnya dengan sangat serius
melakukan penulisan tentang berbagai aspek dalam Islam.
Sekalipun Asghar tidak pernah mengikuti pendidikan formal
dalam disiplin ilmu keIslaman, namun latar belakang keluarganya
mengantarkan dirinya menjadi seorang pemikir-reformis Islam.
Pendidikan keagamaan tradisional diberikan secara langsung
oleh orang tuanya sejak kecil. Ayahnya, seorang ulama syiah,
mengajarkannya bahasa Arab secara intensif dan mengenalkannya
pada berbagai khazanah pemikiran Islam, klasik maupun modern.
Selain bahasa Urdu dan bahasa Arab, ia juga menguasai dengan
baik bahasa Inggris dan bahasa Persi. Dengan bekal ini, walaupun
tetap memenuhi dunia teknik, akhirnya ia mengembangkan
dan memusatkan perhatiannya terhadap penulisan karya-karya
keagamaan Islam. Penguasaan bahasanya ini juga menjadikannya
mampu menjelajah karya-karya orisinil keagamaan baik yang berasal
dari kalangan muslim maupun non-muslim.
Kapasitasnya sebagai reformis maupun sebagai aktivis sangat
diakui. Dalam pemikiran, ia membuktikannya dengan mengalirnya
berbagai karya dan keterlibatan pada berbagai kelompok-kelompok
ilmiah, karya-karya ilmiahnya telah mencapai jumlah yang cukup
banyak dan tersebar di berbagai kawasan akademis. Terbukti beberapa
karnyanya diterbitkan di Amerika, seperti The Islamic State, di

98Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
London, seperti Women Right in Islam, di Malaysia, seperti The Origin
and Development of Islam, dan sebagainya. Sedangkan keterlibatan
di berbagai kelompok ilmiahnya tidak sebatas menjadi anggota pasif,
tetapi memberikan peran penting dengan menempatkan dirinya pada
posisi sebagai pimpinan.
Dalam aktivitasnya, Asghar adalah seorang Da’i, pimpinan sekte
Syi’ah Islamiyyah, daudi Bohras, di India. Untuk diakui sebagai
Da’i tidaklah mudah. Da’i harus memenuhi 94 kualifikasi yang
dikelompokkan dalam empat bagaian. Keempat kualifikasi tersebut
adalah kualifikasi pendidikan: kualifikasi administrative; kualifikasi
moral dan teoritikal; kualifikasi keluarga dan kepribadian. Yang
menarik adalah diantara kualifikasi seorang Da’I harus tampil
sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan
kezaliman. Bagiannya, harus ada keseimbangan antara refleksi dan
aksi. Ia dengan sangat gigih memperjuangkan dan menyuarakan
pembebasan, suatu tema yang menjadi ruh pada setiap karyanya,
seperti hak asasi manusia, hak-hak perempuan, pembelaan rakyat
tertindas, perdamaian etnis dan agama, rehabilitasi rakyat tertindas,
rehabilitasi lingkungan dan sebagainya. Itulah sebabnya ia banyak
terlibat bahkan memimpin organisasi yang memberikan banyak
perhatian kepada upaya advokasi sosial. Banyak pihak yang merasa
terancam dengan berbagai kegiatannya. Ia telah coba dibunuh dua
kali, yaitu di Kalkuta pada 8 november 1977 dan di Heiderabad pada
26 desember 1977.
Untuk menyalurkan idealismenya, Asghar terlibat secara intensif
dalam berbagai organisasi. Ia pernah tercatat sebagai Wakil Presiden
People’s Union for Civil Liberties, Ketua Vikas Adhyayan Kendra (Centre
for Devlopment Studies), Ketua Committee for Communal Harmony,
Ketua Centre for Study of Society and Secularism, Sekretaris Jendral
Central Board of Dawoodi Bohra Community dan Konvenor Asia
Muslims’ Action Network
2.Pemikrian Teologi
Sebagai seorang pemikir-reformis, lebih-lebih dalam kapasitasnya
sebagai Director of Islamic Studies di Bombay dan mantan anggota

Ragam Pemikiran Teologi Islam 99
Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru di Delhi, Asghar Ali
sangat intens menuangkan pemikir-pemikirannya di berbagai forum
ilmiah baik perkuliahan, seminar, lokakarya, maupun symposium di
berbagai Negara: Amerika Serikat, Kanada, Swiss, Thailand, Indonesia,
Sri Lanka, Philipina, Malaysia, Yaman, Mesir, Hongkong, Republik Asia
Tengah, Prancis dan Jerman adalah negara-negara tempat Asghar
pernah memberikan kuliah dan ceramah.
Ia juga sangat rajin mensosialisasikan gagasannya melalui
berbagai penerbitan, dalam dan luar negeri. Tidak kurang dari 40 judul
buku, baik sebagai penulis maupun penyuting, telah diterbitkannya.
Selain itu, ia juga sangat rajin menuangkan ide-idenya di berbagai
jurnal dan harian seperti Islam and The Modern Age; Religion and
Society; Theravada, Jeevandhara, Progressive, al-Mushir, Times of
India, Indian Express, The Hindu, Daily, Telegraph dan sebagainya.
Dengan memaparkan keterkaitan antara konsep keagamaan
yang kemudian berkembang dengan aspek kesejarahannya, Asghar
sebenarnya hendak mengatakan bahwa agama tidak lain sesungguhnya
adalah sebuah fenomena. Al-Qur’an sendiri, sebagai sumber agama
Islam, selalu berangkat dari kesadaran sejarah. Al-Qur’an tidak
mengabaikan determinasi sejarah.
40
Karena pendekatannya bersifat
kesejarahan tentu saja ia sangat memperhatikan aspek-aspek
ruang dan waktu. Walaupun demikian, di samping sangat historis,
pada hakekatnya al-Qur’an mengandung nilai-nilai transhistoris.
Ia melihat bahwa agama harus dilihat dalam konteks sosiologis,
sebagaimana juga harus dipandang dalam konteks filosofis.
41
Itulah
sebabnya, ia tidak sepakat dengan para teolog abad pertengahan
yang memusatkan kajiannya pada konsep akhirat. Baginya hal itu
merupakan reduksi agama menjadi murni oleh spiritual yang tidak
mempunyai muatan kemasyarakatan. Pemahaman terhadap agama
dengan tanpa mengikutsertakan kerangka sosiologis adalah sesuatu
yang amat naï �f karena tidak ada sebuah konsep yang lahir dalam
ruang hampa budaya.
40
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim (Yogyakarta:LkiS,
1993), hlm. 2.
41
Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology (New Delhi: Sterling Publishers
Pvt. Ltd., 1990), hlm. 20.

100Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Berdasarkan pada pandangannya tentang agama ini, Asghar
menyatakan bahwa teologi sesungguhnya berakar pada situasi
tertentu. Ia lebih jauh menegaska bahwa teologi tidak akan berarti
apa-apa jika tidak berdasarkan kontekstualitas dan normativitas. Jika
tidak konstektual maka teologi tidak bisa dipake oleh masyarakat yang
hidup dalam waktu dan tempat tertentu. Demikian pula, jika tidak
normative, teologi akan gagal member inspirasi bagi kemanusiaan
Dengan kata lain, teologi sesungguhnya adalah respons terhadap
situasi yang berubah.
Teologi yang digagas oleh Asghar Ali disebutnya sebagai Teologi
Pembebasan Islam. Teologi ini adalah teologi yang meletakkan
tekanan barat pada kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi dan
menolak keras penindasan, penganiayaan dan eksploitasi manusia
oleh manusia. Nampak konsep kebebasan menjadi unsur dasar
Teologi Pembebasan Islam. Pembebasan adalah data khas Islam.
42

Kebebasan untuk memilih dan kebebasan untuk keluar untuk menuju
kondisi kehidupan yang lebih baik dan juga untuk menghubungkan
diri dengan kondisi yang berubah-ubah secara berarti. Teologi
Pembebasan Islam memberikan kepada manusia kebebasan ini untuk
melampui situasi kekiniannya dalam rangka mengaktualisasikan
potensi-potensi kehidupan yang baru dalam kerangka kerja sejarah.
Ada beberapa ciri yang membedakan Teologi Pembebasan
Islam dengan sistem teologi lain.
43
Pertama, berangkat dari realitas
kekinian, di dunia ini, kemudian baru kehidupan akhirat. Karakteristik
ini merupakan faktor pembeda dengan teologi klasik yang amat
fundamental. Ada upaya untuk merombak sumber sekaligus obyek
teologi. Jika selama ini teologi diarahkan kepada segala sesuatu yang
berbau ukrawi sehingga terkesan melangit, maka Teologi Pembebasan
Islam berusaha untuk membumikan sehingga terkesan akrab dengan
wacana pemikiran manusia.
Kedua, teologi ini tiak akan mendukung status quo, bahkan
akan selalu menjadi antitesis kemapanan, baik yang bersifat politik
42
Muhammad Arkoun, Nalar Islam dan Malar Modern; Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru, terj. Rahayu Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 175.
43
Asghar Ali Engineer, Liberation, hlm. 1.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 101
maupun keagamaan. Kemapanan jika tidak selalu dikontrol maka
akan cenderung menjadi otoriter.
Ketiga, ia akan menjadi ispirator ideologis bagi masa tertindas
(mustadh’afun) untuk menghadapi penindas ( mustakbirun).
Secara psikologis, masa tertindas adalah bagian masyarakat yang
selalu mengalami beban mental. Dalam kondisi demikian mereka
memerlukan wahana katarsis untuk menyalurkan ketertekanan dan
gejolak yang selalu dipendam.
Keempat, teologi ini menekankan adanya pengakuan terhadap
perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas
spiritual-material kehidupan manusia dengan penyusunan kembali
tatanan sosial sekarang ini menjadi tatanan yang tidak eksploitatif,
adil dan egaliter.
Untuk membentuk Teologi Pembebasan Islam dengan ciri-ciri
tersebut, Asghar Ali mengusulkan beberapa langkah. Pertama, belajar
kembali dengan semangat profetik dan liberasi kenabian Muhammad
di Makkah. Bagi Ashgar, historisitas eksistensial Muhammad dan
perjuangannya merupakan fakta yang dengan jelas menujukkan
bahwa ia adalah seorang revolusioner, baik perkataan maupun
tindakannya. Muhammad adalah seorang pembebas.
44

Kedua, belajar dari teologi-teologi revolusioner, baik dalam
ide maupun aktivitas, yang pernah ada dalam sejarah Islam. Dari
Mu’tazilah, bisa diambil pokok-pokok pikiran kebebasannya; dari
Ismailiyah diambil sintesanya atas pemikiran Islam dan Yunani
sehingga menjadi suatu teologi yang progresif dan revolusioner pada
masa rezim Abbasiyah, dari Qaramithah diambil komitmen terhadap
revolusi dan berjuang terus melakukan penentangan terus menerus
terhadap rezim yang menindas; dari Khawarij yang anti kemapanan
dapat dikembangkan doktrin demokrasi dan sosialisme agama yang
didasari oleh keadilan kolektif.
Ketiga, melakukan interpretasi kembali kepada ayat-ayat dalam
sinaran sosial-historis, sekalipun formulasi al-Qur’an lebih bersifat
teologis. Dalam konteks ini, Ashgar mencoba melakukan reinterpretasi
44
Asghar Ali Engineer, “Muhammad as Liberator” dalam Liberation, hlm. 28-37.

102Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
terhadap istilah-istilah kunci dalam al-Qur’an yang berbeda dengan
pemahaman kita selama ini.
Beberapa kata kunci dalam teologi yang direinterpretasi oleh
Ashgar adalah tauhid, syirk, iman, kufr dan adil.
Tauhid berakar dari kata wahada yang berarti sendiri, satu dan
kesatuan yang terpadu.
45
Dalam pengertian terminologinya, sejauh
berkenaan dengan teologi yang ada selama ini, tauhid mengacu
kepada keesaan Allah. Tauhid, dengan demikian, secara tepat
menggambarkan dirinya sebagai konsep “pondasi, pusat dan akhir
dari keseluruhan tradisi Islam.
Ashgar Ali berpendapat tauhid harus dipahami tidak semata-
mata dalam pengertian teologis melainkan harus dipahami dalam
kerangka pengertian sosiologis. Secara sosiologis, tauhid harus
diinterpretasikan sebagai kesatuan seluruh manusia dalam segala hal.
46

Tuhan esa maka kreasi-Nya pun esa. Tauhid menyatukan manusia
dengan alam yang melengkapi ciptaan tuhan. Keesaan tuhan berarti
keesaan kehidupan yang tidak ada pemisahan antara spiritualitas
dan matrealitas, antara kehidupan dan kegamaan. Tauhid merupakan
pandangan hidup tentang kesatuan universal, suatu kesatuan antara
tiga unsur; Tuhan, manusia, dan alam.
Suatu masyarakat tauhid jelas tidak akan membenarkan
diskriminasi dalam bentuk apapun, entah itu didasarkan pada ras,
agama, kasta maupun kelas. Kesatuan manusia merupakan refleksi
kesatuan Tuhan. Kesatuan tuhan mengharuskan kesatuan masyarakat
dengan sempurna, dan masyarakat demikian tidak mentolerir
perbedaan dalam bentuk apapun, bahkan pembedaan kelas sekalipun.
Untuk itu agar idealitas masyrakat yang demikian dapat tercapai perlu
membentuk masyarakat tanpa kelas (classless society).
47

Masyarakat tanpa kelas adalah masyarakat dengan kesatuan yang
sempurna. Kesempurnaan itu sendiri adalah essensi dan hakekat
45
Lihat: Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab
(Beirut: Dar al-Shadir, Jilid 3, 1992), hlm. 446-453.
46
Asghar Ali Engineer, “Islam-the Ultimate Vision” dalam al-Mushir. No. 36, 1994, hlm.
117
47
Asghar Ali Engineer, “On Developing Liberation Theology” dalam Islam and the
Modern Age No. 13, 1982, hlm. 118.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 103
dari semua pekerjaan Tuhan. Ashgar, merujuk pada Imam Raghib
al-Ashfani, mendifinisikan Rubbubiyah, salah satu jenis tauhid dan
oleh karenanya Tuhan disebut Rabb al-‘alamin, sebagai pengambilan
sesuatu mulai tahap-tahap pertumbuhan yang berbeda hingga
mencapai tahap kesempurnaan.
48
Jadi, Tuhan sebagai Rabb al-‘Alamin
menjamin pertumbuhan alam semesta akan mencapai kesempurnaan
dengan melalui tahap-tahap yang berbeda. Artinya bahwa alam,
sebagai karya tuhan, sekalipun sempurna tidak diciptakan dalam
keadaan sempurna begitu saja melainkan harus melalui proses yang
mananilai-nilainya telah ditetapkan. Di sini perlu adanya kesatuan
manusia untuk mewujudkannya, melalui kesatuan manusia yang tak
terpecah-pecah, potensi yang telah diberikan untuk bekerja secara
kreatif dan menghasikan perubahan yang progresif akan mampu
menuntut alam ke jalan sempurna. Jelaslah, hal ini tidak bisa dicapai
hanya lewat akal semata-mata, tanpa disertai iman, karena akal itu
bebas niali. Itulah sebabnya, alam semesta menurut konsep al-Qur’an
bersifat teleologis, berorientasi pertumbuhan (growth oriented) dan
ditakdirkan untuk berkembang menuju ke kesempurnaan.
Kesempurnaan, sebagaimana dikehendaki oleh tauhid, tidak
akan dapat terlaksana manakala masih merajalela adanya syirik. Oleh
karenanya, syirik dikutuk keras oleh al-Qur’an. Sepanjang perumusan
teologi klasik dan pertengahan, syirik dipahami sebagai penyekutuan
Tuhan. Ada dua ciri utama dalam sikap syirik. Pertama, menganggap
Tuhan mempunyai syarīk atau teman. Kedua, menganggap Tuhan
mempunyai andād atau rival. Dalam pandangan Asghar, di samping
harus dipahami secara demikian, juga mesti diletakkan dalam
prespektif hubungan-hubungan sosial. Syarīk dan andād merupakan
dua konsep yang secara akan menggiring munculnya dualisme
kekuasaan, kekuatan, kecintaan, dan sebgainya. Pada gilirannya
dualisme ini akan memunculkan struktur sosial yang terpecah.
Satu pihak menguasai pihak lain. Akibatnya terjadilah eksploitasi
dan penindasam. Ada yang lebih dicintai, bisa berupa harta yang
mengakibatkan adanya penumpukan kekayaan pada segelintir
orang, bisa berupa kekuasaan sehingga terjadi hegemoni politik
48
Ibid, hlm. 36.

104Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
dan sebagainya, ketimbang sesama manuisa. Dalam masyarakat
syirk, manusia diasumsikan dalam bentuk yang berbeda. Mereka
tidak pernah secara benar-benar mendapatkan kebebasannya,
selalu berada dalam keterasingan dengan dirinya sendiri sehingga
menolak kemungkinan-kemungkinan mengembangkan diri.
49

Dalam masyarakat yang demikian kesempurnaan tidak akan bisa
terwujudkan dengan baik.
Selain tauhid, konsep lain yang patut mendapat perhatian adalah
tentang iman sebab pembicaraan teologis meniscayakan pembicaraan
tentang iman. Iman yang biasanya dipahami hanya sebatas sikap
percaya kepada Allah. Dalam penilaian Asghar pemahaman seperti
ini tidaklah keliru. Tetapi pemahamn demikian dianggap terlalu
formalistik sehingga tidak menyentuh essensi dan aspek terpenting
keimanan. Baginya, iman harus fungsional. Untuk itu pemahaman atas
iman harus didasarkan pada kerelaan menerima kredo dan kerasulan
Muhammad dengan berbagai implikasinya.
Bagi Asghar, iman tidak hanya sekedar pengertian teologis, tetapi
juga pengertian sosiologis. Keduanya tak bisa dipisahkan sebab jika
dipisahkan berarti iman akan kehilangan makna hakikinya.. Seseorang
tidak bisa disebut mukmin, jika hanya percaya. Untuk itu seorang
mukmin harus berusaha menegakkan perdamaian dan kemanan,
mempunyai kepercayaan diri dalam seluruh niali-nilai kehidupan.
Iman juga harus percaya pada kebaikan akhir yang menopang
keman,usiaan sepanjang perjuangannya untuk mengantarkan menuju
masyarakat yang adil.
Salah satu segi yang paling fundamental tentang iman adalah
iman bi al-ghaib. Asghar memberikan pengertian lain dalam hal ini.
Ghaib, menurut Asghar, pada hakekatnya menunjuk kepada potensi-
potensi dan kemungkinan-kemungkinan untuk perbaikan manusia
yang tersembunyi dari pandangan kita, baik terdapat pada diri
manusia maupun alam, dan hanya Tuhan, pencipta kemungkinan-
kemungkinan ini, yang ‘ālim al-ghaib (yang mengetahui segala
yang ghaib).
50
Jadi, īmān bi al-ghaib merupakan iman terhadap
49
Asghar Ali Engineer, Liberation, hlm. 118.
50
Asghar Ali Engineer, Liberation, hlm. 10.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 105
kemungkinan-kemungkinan masa depan yang tak terkira banyaknya,
yang menjadi inspirasi umat manusia. Iman bahwa Tuhan melalui
manusia sebagai wakil-Nya merupakan penciptaan kemungkinan-
kemungkinan tersebut.
Dengan demikian, kita melihat iman merupakan suatu yang
sentral dalam pemikiran apapun, kalau sistem pemikiran itu ingin
menjadi sistem pemikiran yang bermakna. Tanpa iman, ia akan tinggal
sebagai pendapat yang kosong.
Lawan dari sikap iman adalah kufr. Seperti halnya iman, kufr juga
sering disalahartikan. Kata tersebut selalu dipahami dengan pengertian
yang tidak sejalan dengan termenologi al-Qur’an. Dalam pandangan
Asghar, sesungguhnya kata kufr dalam al-Qur’an merupakan istilah
fungsional, bukan formal. Dalam khazanah pemikiran teologis, yang
secara literal adalah menyembunyikan, menutupi, secara formal
biasanya dipahami sebagai suatu sikap tidak percaya kepada Tuhan.
Namun jika kita mengkaji lebih mendalam dan teliti Kitab Suci al-
Qur’an ternyata hasil itu tidaklah sepenuhnya demikian.
Penelusuran terhadap sejarah dan adanya teks-teks al-Qur’an
yang seperti itu, mengantarkan Asghar pada kesimpulan bahwa
kufr adalah perilaku tidak percaya dan menutupi misis revolusioner
Muhammad. Orang kafir yang sesungguhnya adalah orang yang
arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan
perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma’ruf,
tetapi sebaliknya membela yang munkar. Dengan demikian sangat
jelas bahwa kafir dalam pengertian yang sebenarnya adalah orang-
orang yang memupuk kekayaan dan menimbulkan terus-menerus
ketidakadilan serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan.
Dengan demikian, kita melihat bahwa perintah al-
Qur’an menentang pemusatan kekayaan yang mengakibatkan
ketidakseimbangan struktur sosial, yang penuh dengan ketegangan
dan konflik. Sistem ini juga membuat orang-orang kaya lupa
akan dorongan moral dan spiritual yang merupakan esensi bagi
pertumbuhan masyarakat yang kreatif. ‘
Asghar juga menekankan keadilan dalam aplikasinya di dunia
nyata. Keadilan merupakan proses sejarah manusia dan bukan

106Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
merupakan ketentuan dan kehendak Allah. Meski begitu keadilan ini
pada esensinya adalah manifestasi dari adanya doktrin tauhid dan
iman..
Kata adil berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang
yang membuatnya lurus.
51
Jika dikaitkan dengan usaha untuk
mengopreasionalkannya dalam masyarakat, maka keadilan berarti
“dibayarkannya atau diberikannya hak seseorang”.
Salah satu problem penting sekarang ini menurut Asghar Ali
adalah masalah ekonomi karena kita hidup pada masyarakat industri
yang fondasi dasarnya adalah ekonomi. Menurut Asghar, kunci
dalam bidang ekonomi agar bisa tercipta ekonomi yang adil dan
bebas dari eksploitasi adalah keadilan dan kebijakan (al-‘adl wa al-
ihsan).
52
Prinsip ini harus tetap berlaku dalam setiap bentuk produksi
dan perdagangan. Namun konsep ini tidak bisa direalisasikan jika
ada penumpukkan kekayaan, sebab penumpukan mengakibatkan
ketidaksimbangan struktur sosial, penuh dengan ketegangan dan
konflik. Kondisi seperti ini juga membuat orang lupa akan dorongan
moral dan spiritual yang merupakan esensi untuk pertumbuhan
masyarakat yang kreatif..
Konsep kunci lain yang digunakan Asghar untuk mengeksplanasi
Teologi Pembebasan Islam adalah jihad. Hampir bisa dipastikan
bahwa istilah ini merupakan salah satu konsep Islam yang paling
disalahpahami. Jihad sering diasosiasikan dengan laskar Muslim yang
dengan garang menaklukkan wilayah lain. Untuk membersihkan kesan
itu harus didefinisikan ulang secara simpatik. Secara literal, akar kata
jihād adalah jahada yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh,
mengerahkan segala kemampuan diri, memanfaatkan tenaga dan
kekaayaan
53
yang secara tepat melukiskan usaha maksimal yang
dialakukan untuk melawan yang keliru. Kata-kata jihād dalam al-
Quran sering diikuti dengan kata “di jalan Allah” dan dengan “dengan
51
Ibnu Manzhūr, Lisān al-Arab, Jilid II, hlm. 430.
52
Asghar Ali Engineer. Islam, hlm. 46.
53
Ibn Manzhūr, Lisān al-`Arab, jilid 3, hlm. 133-135. Beberapa penulis memahami
kata jihād sebagai perjuangan. Baca: Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia al-
Munawwir (tanpa kota: tanpa pnerbit, tanpa tahun), hlm. 234. Sementara Munawar ahmad
Anees mendefinisikan sebagai perjuangan terus menerus ke arah yang lebih baik, ke arah
pembangunan, ke arah peningkatan. Baca: Ziauddin Sardar dan Merryl W. Davies , Wajah-
wajah Islam (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 107.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 107
kekayaanmu dan jiwamu.”
Dalam hal ini ada kesalahan serius mengenai pemahaman
konsep Islam tentang jihād. Pada dasarnya ada tiga kerangka yang
ditawarkan oleh al-Quran berkenaan dengan jihad. Pertama, konsep
dan ide tersebut berasal selama perlawanan kekuatan-kekuatan
jahat, perjuangan untuk kebenaran. Kedua, jihad membentuk satu
cara untuk emansipasi kelompok-kelompok tertindas. Ketiga, tujuan
yang ingin dicapai adalah memapankan persamaan tatanan sosial.
Oleh karena itu, dalam pandangan Asghar, jihad tidak dibenarkan
untuk menyebarkan Islam secara paksa, atau untuk menjajah dan
memperbudak orang lain. Apalagi dengan menjarah dan merusak
kota. Jihad, dimaksudkan hanya unyuk menegakkan keadilan dan
perang harus dilakukan sampai semua bentuk penindasan berakhir.
Al-Qur’an mengizinkan penggunaan kekerasan dalam perjuangannya
melawan kezaliman dan ketidakadilan. Barangkali dari sini, jihad
merupakan perwujudan apa yang disebut oleh Asghar sebagai teori
liberative violence. Sebenarnya , pembalasan terhadap penindasan
dan kezhaliman dianggap sebagai sebuah kebajikan. Jihad dalam
Islam dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi kepentingan
orang tertindas, orang yang dilemahkan atau bertahan dari agresi.
Itulah sebabnya, bagi Asghar iman tanpa jihad adalah sikap hidup
yang tidak komplit. Manusia, lagi-lagi mengalami kepribadian yang
terpecah.
Dengan demikian jihad bisa dipahami sebagai instrument
untuk transendensi diri, mengaktualisasikan dan memanifestasikan
keimanan dalam idealitas masyarakat tauhid menuju tatanan social
yang baru dan adil. Di sini terkandung pengertian bahwa hubungan
antara yang supernatural dan yang natural semakin dipikirkan
dalam rangka kesatuannya. Suatu kesadaran akan adanya panggilan
keselamatan kemanusiaan yang satu, yang hidup di dunia yang
satu, yang memungkinkan manusia melewati baatas-batas agama,
ideologi, kebudayaan, ras, baik disadari atau tidak. Konsekuensi
yang terkandung dari pemahaman seperti ini adalah penempaatan
seluruh aktifitas manusia dalam rangka keselamatan bersama, yang
dihubungkan langsung dengan motivasi dalam setiap perjuangan
pembebasan kaum tertindas.

108Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
NURCHOLISH MADJID
1. Riwayat Hidup
Nurcholish Madjid lahir pada 17 Maret 1939 di desa Mojoanyar,
Jombang, Jawa Timur. “Pendidikan dasarnya diperoleh melalui pendidikan
tradisional NU, yang memungkinkannya untuk memperdalam ilmunya
dengan sastra klasik. Semasa remaja, ia mengenyam pendidikan di
Pesantren Gontor, santri yang berwawasan modern. Di pesantren ini,
Nurcholish mulai berkenalan dengan ide-ide modernisme.
Setelah menimba ilmu di Gontor, ia masuk Fakultas Adab IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Sebagai mahasiswa ia aktif di HMI, sebuah organisasi kemahasiswaan
independen, tetapi lebih banyak terlibat dalam pemikiran modernis.
Itupun selama dua periode berturut-turut menjabat sebagai presiden
PBHMI, yaitu dari tahun 1966-1969 dan 1969-1971. Di lembaga ini,
Nurcholish merasa memiliki tempat yang tepat untuk memulai karir
reformasinya, mengingat HMI cenderung modernis, berpikiran terbuka,
dan mudah beradaptasi dengan segala bentuk pemikiran. Kemudian ia
juga menjadi Wakil Sekretaris Jenderal IIFSO (Federasi Internasional
Mahasiswa Muslim); Direktur Utama Majalah Mimbar Jakarta (1971-
197 ); direktur LSIK Jakarta (1973-1976); direktur Institut Etika Islam
Samanhudi di Jakarta (197 -1992); Rekan Eisenhower (1990).
Setelah beberapa tahun menjadi dosen di almamaternya (1972-
1976), Nurcholish melanjutkan studi master dan doktoral dalam
pemikiran Islam di University of Chicago, di bawah arahan Fazlurrahman
neoklasik Islam yang terkenal. Di bawah arahannya, Nurcholish menulis
tesis doktoralnya tentang Ibnu Taimiyah tentang Kalam dan Falsafa:
Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam (198 4). Pemikiran-pemikiran
Ibnu Taimiyah tampaknya mendapat tempat khusus dalam pemikiran
Nurcholish, bahkan di banyak tempat kutipan-kutipan pemikiran
Taymiyyah muncul dalam tulisan-tulisannya.
Selain menjadi dosen di Pascasarjana IAIN Jakarta, Nurcholish
aktif mengikuti konferensi di berbagai forum konferensi, baik
nasional maupun internasional. Pada tahun 1991-1992, ia

Ragam Pemikiran Teologi Islam 109
menjadi profesor tamu di McGill University, Montreal Canada.
Nurcholish diangkat sebagai Guru Besar dan Guru Besar IAIN
Jakarta (1998) dan Senior Research Specialist (APU) LIPI (1999).
Sejak 1986, bersama beberapa temannya di ibu kota, ia mendirikan Yayasan
Wakaf Paramadina dan menjadi rektor Universitas Paramadina Mulya,
dengan kegiatan sebagai ketua gerakan elit intelektual Muslim Indonesia.
Berkat organisasi ini, sejumlah karya Nurcholish telah diterbitkan.
Sebagian besar tulisannya merupakan antologi artikel dari Klub Kajian
Agama (KKA) Paramadina yang berlangsung setiap bulan. Namun karya-
karya tersebut dapat menjadi sebuah buku yang utuh, karena materi mata
kuliah KKA memang sengaja dipersiapkan dari awal untuk dijadikan
sebuah buku.
a. Khazanah Intelektual Islam
b. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan
c. Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan
d. Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan
e. Pintu-pintu Menuju Tuhan
f. Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia
g. Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah
h. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia
i. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam Dalam Kehidupan
Masyarakat
j. Perjalanan Religius Umrah dan Haji
k. Bilik-bilik Pesantren
l. Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer
m. Kaki Langit Peradaban Islam
n. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi

110Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Berdasar prestasi yang diraihnya ini, mendorong John L.
Esposito memasukkannya ke dalam ensiklopedinya.:
54
Nurcholish
diduduksejajarkan dengan para pemikir Islam lainnya seperti
Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Arkoun, Sayyed Hossein Nasr, Ali Shari’ati.
2. Pemikiran Teologi
Dari berbagai buku yang ditulis oleh Nurcolish Madjid, tampak nyata
bahwa proyek besar yang hendak diwujudkan adalah Islam Peradaban,
sebuah model Islam yang sesuai dengan era yang sedang berjalan dengan
tetap kokoh berdiri di atas nilai-nilai dasar Islam. Proyek besarnya ini
berakar pada tiga agenda besar yaitu Keislaman, Ke-Indonesiaan, dan
Kemoderanan. Ia ingin memberikan kontribusi secara nyata bagi
Indonesia dan Islam supaya menjadi lebih modern tanpa kehilangan
jatidirinya. Dalam menjelaskan agenda-agenda tersebut ada dua kata
yang menjadi kunci utama yang digunakan untuk merealisasikan aganda
besa itu. Dua kata terrsebut adalah modernisasi dan sekularisasi. Dua
kata kunci penting dalam pemkiran Islam Nurcholish Madjid. Sayangnya
dua kata ini seringkali disalahpahami oleh berbagai pihak sehingga
terjadi banyak penolakan dari berbagai pihak.
Modernisasi, bagi Nurcholish, adalah rasionalisasi, bukan
westernisasi. Berangkat dari sini, modernisasi bisa dipahami sebagai
proses perombakan pola pikir dan tata kerja yang tidak rasional,
dan menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja baru Pentingnya
modernisasi, bagi Nurcholish, adalah agar pemikiran umat Islam sejalan
dengan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Jadi
sesuatu yang disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan
bersesuaian dengan hukumhukum alam. Sikap modern sesungguhnya
adalah mutiara yang hilang dari Islam yang kemudian di pungut oleh
Barat. Menurutnya, modernitas Barat itu sebenarnya diletakkan oleh
peradaban Islam –yang telah ditransfer ke daratan Eropa melalui
berbagai persentuhan baik dalam pengembangan ilmu, politik maupun
sosialnya.
Sementara itu, gagasan sekularisasi, diarahkan Nurcholish agar terjadi
54
Lihat: John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Islamic Modern World (New
York-Oxford: Oxford University Press, vol. 3, 1995), hlm. 254-5

Ragam Pemikiran Teologi Islam 111
perubahan cara beragama lama dan kesannya sangat mensakralkan
mitos-mitos yang sesungguhnya itu bukan ajaran Islam. Dengan kata lain,
sekularisasi adalah dehumanisasi, yaitu proses emansipasi dari objek-
objek yang tidak benar-benar sakral, tetapi dianggap sakral. Jelas bahwa
melalui sekularisasi, Nurcholish ingin mendefinisikan etika dan etika
Islam, dan mengkodifikasikan apa yang disebut nilai-nilai duniawi dan
membebaskan manusia dari kecenderungan untuk mengagungkannya.
Dari semua struktur pemikiran Islam Nurcholish, bila kembali ke
sumbernya yang terdalam, selalu berangkat dari konsep tauhid, yang
menurutnya memiliki efek pembebasan. Tauhid, dalam pemikiran
Nurcholish, merupakan pusat yang perlu ditransformasikan ke dalam
bentuk kehidupan sosial umat Islam yang lebih praktis dan aplikatif.
55

Dalam kalimat tauhid, ada dua cara untuk mengungkapkannya,
yaitu negatif dan afirmatif. Pengangkatan (al-nafyu) tercermin dalam
ungkapan tidak ada tuhan (la ilaha) yang berarti pembebasan manusia
dari objek palsu dan mistis, yaitu sikap tuhan terhadap sesuatu.
Penegasan (al-itsbat) tercermin dalam ungkapan selain Allah (illa Allah)
yang berarti bahwa satu-satunya yang berhak disembah adalah Allah,
Tuhan yang benar. Melalui sabda tauhid, ia menjelaskan kewajiban
manusia untuk dibebaskan dari segala yang menahan dan mengikat
manusia, dan setelah memperoleh syarat tersebut, ia harus benar-
benar dipenuhi dengan iman, yaitu berserah diri kepada Tuhan atau
Allah semata. Dapat juga dipahami bahwa Nurcholish sedang berusaha
mensucikan atau menyucikan iman kepada Tuhan. Pemurnian ini
menghasilkan dua gerakan (1) melanggar keyakinan yang salah; (2)
pemusatan keyakinan hanya pada Kebenaran Mutlak (Allah). Konsep
unik ini, selain melahirkan pembebasan individu, juga melahirkan
pembebasan sosial, yakni sikap tirani. Dari perspektif ini, konsep
demokrasi dan keadilan sosial merupakan praktik yang harus diterapkan
dalam kehidupan masyarakat. Apalagi dalam rangka menerapkan ajaran
tauhid, Nurcholish mempopulerkan gagasannya dengan mengutip
banyak pemikir, tidak hanya tokoh Muslim, tetapi juga mengambil
55
Penjelasan mengenai aspek keimanan ini dipaparkan secara menarik dalam karya
Nurcholish MAdjid. Selanjutnya baca: Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992).

112Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
gagasan komunisme dari Karl Marx. Jenis mekanisme ini tidak lebih dari
tujuan agar masyarakat mengerti bahwa tak ada yang laya disakralkan
kecuali Tuhan. Implikasi tauhid ini, jelas Nurcholish, adalah “Bolshevisme
plus Allah”, yang berarti perspektif Islam tentang dunia dan problem-
problem yang dikandungnya mirip dengan pandangan komunis, kecuali
bahwa Islam mengatakan bahwa ada “pandangan dunia dalam hubungan
antara alam. dan Tuhan sedemikian rupa. Artinya, kepercayaan kepada
Tuhan mendasari pandangan alam, dan bukan sebaliknya, seperti dalam
doktrin materialisme dialektis.
56
Gagasannya mengenai tauhid juga merupakan landasan tentang
elaborasi semangat kerja dari perspektif Islam. Etos kerja dan disiplin
tinggi harus berdasarkan pada dasar nilai kerja, yang oleh Nurcholish
disebut dengan niat (komitmen), yang tentu saja berkaitan erat dengan
sistem nilai (value system). Bagi seorang muslim, niat atau komitmen
kerja itu harus selalu ditransendenkan pada Tuhan. Dengan demikian
mengerjakan sesuatu adalah demi mencari ridla Tuhan sehingga
berimplikasi tidak boleh melakukannya dengan sembrono, seenaknya,
dan tidak terprogram. Kerja harus diniati dengan ikhlas dan ikhsan
(mengerjakan secara optimal). Etos kerja, bagi Nurcholish, yang perlu
tumbuh bagi kaum Muslim, agar Indonesia menjadi bangsa yang maju
dan memiliki kualitas SDM yang tinggi di masa depan.
57
Satu hal penting yang dibahas dalam teologi adalah mengenai
eskatologi. Dalam hal ini Nurcholish Madjid berbeda pendekatan dengan
para pemikira lain. Nurcholish mengungkapkan konsep eskatologisnya
dengan pendekatan rasional, historis dan sosiologis. Hal ini berbeda sekali
dengan pendekatan yang lazim digunakan masyarakat Islam Indonesia
yang lebih menitik beratkan pada pendekatan doktrinal, terutama dalam
hal konsep dunia dan akhirat sehingga semuanya menjadi serba hitam
putih.
56
Dalam tulisan yang berjudul “Efek Pemebebasan Semangat Tawhid: Telaah tentang
Hakekat dan Martabat Manusia Merdeka karena Iman”dalam Nurcholish MAdjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, hlm. 72-92
57Nurcholish Madjid, “Masalah Etos Kerja di Indonesia dan Kemungkinan
Pengembangan dari Sudut Pandangan Ajaran Islam” dalam Nurcholish MAdjid, Islam Doktrin
dan Peradaban, hlm. 410-425.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 113
Dalam kaitannya dengan urusan dunia, Nurcholish terlebih dahulu
memilah dua klasifikasi yaitu peran taqdir dan peran sunnatullah. Dalam
hal ini, ia menegaskan satu hal yang harus dipahami oleh setiap muslim
adalah bahwa yang diajarkan oleh Islam bukanlah kehidupan duniawi
dan ukhrawi yang dikotomis. Keduanya tidak terpisah dan bertentangan.
Islam justru mengajarkan bahwa antara keduanya itu hanya berbeda
namun merupakan kesinambungan atau kontinuitas. Keduanya
dipersatukan dalam satu hukum ketentuan Tuhan yang mengatur
lingkungan hidup duniawi ini serta pola kehidupan manusia itu sendiri
secara tetap dan tidak berubah-ubah, yaitu hukum ketentuan Tuhan atau
taqdî�r. Menurutnya, istilah taqdî�r dalam al-Qur’an ialah hukum ketentuan
yang telah ditetapkan Tuhan untuk mengatur pola perjalanan dan
tingkah laku alam ciptaan-Nya, khususnya alam material. Misalnya taqdî �r
pola perjalanan atau peredaran matahari, taqdî �r untuk pola perjalanan
rembulan dan matahari, yang memungkinkan manusia menjadikan
keduanya itu sebagai dasar perhitungan waktu yang pasti. Dari pengertian
taqdî�r ini, menurutnya tidak lain padanan atau ekuivalensi istilah sehari-
hari hukum alam. Taqdir itu sebebnarnya adalah pola-pola sistemik yang
tak berubah yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Oleh karenanya, untuk
mendapatkan kesuksesan dalam kehidupan duniawi ini, sudah barang
pasti manusia dituntut untuk memahami hukum ketentuan Allah bagi
lingkungan sekelilingnya, yaitu alam. Implikasi pemahaman semacam itu
pada akhirnya menghasilkan ilmu pengetahuan yang dapat diterapkan
secara nyata dalam bentuk teknologi, baik dulu yang kuno maupun
modern.
Namun, menurut Nurcholish, hidup di dunia ini tidak cukup hanya
dengan memiliki ilmu karena ilmu bukanlah jaminan kebahagiaan yang
sejati dan abadi. Manusia benar-benar membutuhkan lebih dari sains.
Ini hanyalah ajaran moral dari Tuhan yang jika diikuti akan mencegah
kemungkinan terjerumus ke arah kehidupan yang salah. Arah atau arah
hidup Allah itulah yang akan membebaskan manusia dari rasa takut atau
cemas.
Perlu ditegaskan bahwa, menurut Nurcholish, nasib tidak dalam
artian banyak yang menganggapnya bisa disamakan dengan fatalisme,

114Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
yakni pengertian pasrah saja dan tidak berusaha lagi karena segala
sesuatu sudah diberikan. Takdir pada hakikatnya adalah ajaran bahwa
manusia harus mengembalikan segalanya kepada Tuhan, agar manusia
bisa tenang karena siap menerima hasil apapun. Tentu saja, semua ini
berlaku ketika sesuatu telah terjadi. Jadi jika itu semua terjadi, maka itu
takdir. Namun, jika sesuatu belum terjadi, maka tentu ada kewajiban
untuk berusaha berdasarkan perintah Allah.
Lebih lanjut mengenai sunnatullah, Nurcholish menjelaskan bahwa
sunnatullah mencakup ajaran moral atau agama yang diturunkan oleh
Tuhan kepada para nabi dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad
SAW. Oleh karena itu, manusia harus memahami dan bertindak sesuai
dengan peraturan ini, untuk keselamatan dan kebahagiaan yang lebih
lengkap. Hanya saja sebenarnya apa yang dijelaskan secara eksplisit
dalam agama hanya bersifat umum, umum dan esensial. Bahkan jika
ada penjelasan rinci, itu adalah sesuatu yang berhubungan langsung
dengan sifat manusia, dan cenderung diabaikan, jika tidak dilupakan.
Beberapa contoh berkaitan dengan perzinahan, pencurian, pembagian
warisan, perkawinan, dll. Sedangkan sunnatullah dalam bentuknya yang
utuh, yang telah melibatkan seluruh aspek kehidupan sosial manusia
sepanjang sejarah, tidak dijelaskan oleh Tuhan. Karena kehidupan
manusia itu sendiri bersifat dinamis, maka otak manusia tidak akan
mampu merespon pemahamannya sekaligus. Karena sunnatullah telah
memanifestasikan dirinya sepanjang sejarah manusia, adalah mungkin
untuk menambah pengetahuannya tentang peraturan-peraturan Allah
yang dia simpulkan dari ajaran agama. Cara yang harus dilakukan adalah
dengan memperhatikan dan memahami serta menarik kesimpulan
induktif tentang gejala-gejala prasejarah manusia. Oleh karena itu,
berarti memotivasi manusia untuk menggunakan seluruh potensi akal
yang ada di dalam dirinya untuk memahami hukum-hukum Tuhan yang
ada di alam semesta (kawniyah).
Pandangan lain mengenai eskatologi yang penting dari Nurcholish
Madjid adalah mengenai hari kiamat. Dalam hal ini, ia memberikan
penafsiran yang cukup arif. Nurcholish tidak menafsirkan tentang
peristiwa kiamat itu sendiri atau deskripsi tentang kehidupan di akhirat,

Ragam Pemikiran Teologi Islam 115
melainkan lebih ditekankan kepada hikmah terhadap kepercayaan
hari kiamat. Menurutnya Kiamat yang berarti kebangkitan merupakan
peristiwa hancurnya alam semesta, kemudian manusia seluruhnya akan
dibangkitkan dari alam kubur. Keimanan kepada adanya kiamat dan hari
kemudian (al-yawm al-âkhir), menyangkut masalah kebenaran intrinsik,
yaitu kebenaran bahwa kiamat memang pasti akan tiba dan hari akhirat
pasti akan dialami umat manusia. Akan tapi pada hakekatnya hikmahnya
yang utama mengenai ajaran itu adalah pendidikan dan peringatan
bahwa segala sesuatu yang dikerjakan manusia dalam hidup ini, baik
ataupun buruk, pasti harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Manusia pasti akan merasakan akibatnya, baik berupa kebahagiaan
maupun kesengsaraan.
Model pertanggungjawaban pada waktu kiamat dan hari kemudian
yang paling perlu disadari oleh manusia ialah dimensinya yang mutlak
dan individual. Semuanya bersifat pasti dan tidak ada pihak lain satsu
pun yang akan ikut bertanggungjawab atas apa yang akan diterimanya.
Kehidupan di akhirat juga tidak lagi mengikuti hukumhukum alam dan
sejarah kehidupan duniawi. Semua itu tentu saja dimaksudkan agar
manusia tidak menjalani hidup ini secara serampangan dan seenaknya
sendiri serta tidak lagi peduli kepada ukuran dan pertimbangan
moral. Setiap manusia sudah barang pasti harus mengembangkan
dirinya sebagai perorangan yang penuh tanggung jawab, yang berani
dengan jujur mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Setiap
tanggung jawab dijalankan secara mandiri dan tanpa ketergantungan,
apalagi mengandalkan orang lain. Dengan cara ini, ia akan matang dan
berkembang menjadi karakter yang kuat, yang pada akhirnya akan
menjadi elemen yang kuat dalam membangun komunitas.
Melalui uraian tersebut dapat dipahami bahwa Nurcholish sedang
berusaha membangun masyarakat dengan konstruksi moralitas atau
akhlak mulia. Nurcholish menekankan bahwa keyakinan akan adanya
Pengadilan Terakhir dan Masa Depan dengan pengalaman hidup yang
kekal dalam suka maupun duka merupakan salah satu landasan hidup
yang benar, yaitu hidup yang dipenuhi dengan akhlak mulia yang
memadai. Jika Nabi saw. dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi

116Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
hanya diutus untuk menyempurnakan berbagai keutamaan akhlak, maka
salah satu tafsir kata tersebut adalah bahwa tujuan utama agama bagi
kehidupan manusia di muka bumi adalah untuk menciptakan kehidupan
yang berbudi luhur dan bermoral.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 117
ABDURRAHMAN WAHID
1.Riwayat Hidup
Abdurrahman Wahid terlahir dengan nama Abdurrahman Addakhil,
58

yang berarti Abdurrahamn Sang Penakluk. Nama ini diberikan oleh
ayahnya, Wahid Hasyim, dengan harapan agar anaknya kelak menjadi
penakluk seperti Abdurrahman Addakhil yang telah menaklukkan
Spanyol di bawah kekuasaan Islam dan memberikan warna bagi
kehidupan Eropa untuk masa-masa berikutnya.
59
Namun demikian nama
ini pada akhirnya lebih dikenal dengan nama Abdurrahman Wahid.
Ia adalah putra pertama Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama, dari
enam (6) bersaudara yang terlahir di Denanyar Jombang Jawa Timur
pada 7 September 1940. Namun demikian, banyak yang mengira bahwa
kelahirannya adalah 4 Agustus. Ia sendiri memang sering merayakan
kelahirannya pada tanggal itu. Bahkan ketika menjadi presiden pun
ia merayakan ulang tahunnya pada Jumat, 4 Agustus 2000 bersama
keluarga, kolega, teman dan sahabat di Istana Bogor. Sebagian besar
yang hadir tidak menyadari bahwa pada hari itu bukanlah hari lahirnyaj.
Sebenarnya ia dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan menurut
kalender hijriyah. Sehingga kelahirannya yang benar adalah 4 Sya’ban
1940, bertepatan dengan tanggal 7 September 1940.
60

Abdurrahman Wahid adalah seorang darah biru. Ayahnya, Abdul
Wahid Hasyim adalah Menteri Agama pada masa kepresidenan Soekarno.
Kakeknya, baik dari jalur ayah maupun ibunya, semuanya adalah
ulama-ulama besar dan tokoh di organisasi massa Islam terbesar yaitu
Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia. Dari pihak ayah, kakeknya adalah
Kyai Hasyim Asya’ri dan dari pihak ibu, Hj. Sholehah, adalah Kyai Bisri
Syansuri.
61
Abdurrahman Wahid tergolong seorang santri dan priyayi
sekaligus sehingga ia menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat
58
Tim INCReS, Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan
Abdurrahman Wahid. (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2000), hlm. 4.
59
Philip K. Hitti, History of t the Arabs, Edisi X, (London: Macmillan Student Editio,
1950), hlm. 509.
60
Greg Barton, Abdurrahman Wahid: The Authorized Biography of Abdurrahman
Wahid. Diterjemahkan oleh Lie Hua dengan judul Biografi Abdurrahman Wahid. (Cet. I; LKiS
Group: Yogyakarta, 2011), hlm. 1.
61
Al-Zastrouw Ng, Abdurrahman Wahid: Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas
Tindakan dan Pernyataan Abdurrahman Wahid (Cet. 1; Erlangga: Jakarta, 1999), hlm. 13

118Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Jawa.
62
Keluarga Abdurrahman Wahid meyakini bahwa mereka masih
keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur, yakni Ki Ageng
Tarub I dan Joko Tingkir. Nama yang disebut terakhir ini adalah tokoh
legendaris, putera Brawijaya VI, yang dianggap sebagai orang yang
memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa.
Sedangkan puteranya, Pangeran Benawa, justru dikenang sebagai orang
pertama yang meninggalkan kenikmatan dan hiruk pikuk kerajaan untuk
mengejar kehidupan spiritual sufisme.
63

Semasa kecil Abdurrahman Wahid memilih tinggal bersama
kakeknya, bukan bersama ayahnya. Melalui kakeknya yang kyai besar
ia belajar membaca al-Qur’an. Sebagaimana diketahui bahwa kakeknya
adalah seorang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan pada masa itu
sehingga kakeknya itu banyak menerima tamu dari berbagai kalangan,
baik tokoh-tokoh politik nasional maupun orang-orang penting lainya.
Oleh karena itu dari sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah mengenal
tokoh-tokoh besar di Indonesia.
Ketika Wahid Hasyim diangkat sebagai Menteri Agama, Abdurrahman
Wahid pun harus pindah ke Jakarta. Ia menyelesaikan sekolah dasarnya
di Jakarta. Mengetahui potensi yang dimiliki oleh anaknya, Wahid Hasyim
mengirim Abdurrahman Wahid untuk mengikuti les privat Bahasa
Belanda agar ia lebih berkembang. Les privatnya ini di bawah asuhan
Willem Buhl, seorang Jerman muallaf dan kemudian mengubah namanya
menjadi Iskandar. Agar menarik, Buhl menerapkan metode yang tidak
biasa yaitu menyajikan musik klasik Barat yang biasa dinikmati oleh orang
dewasa.
64
Metode ini bukan saja agar Abdurrahman Wahid betah karena
ada unsur hiburannya, tetapi juga untuk memudahkan menghafalkan
kosakata. Metode Buhl mengenai musik klasik Barat ini pada akhirnya
sedikit banyak mempengaruhi minatnya akan budaya Barat.
Pasca menamatkan pendidikan dasar, Abdurrahman Wahid
meneruskan ke tingkat lanjutan pertama. Awalnya ia sekolah di Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Tanah Abang. Namun ia tidak
lama di sekolah ini. Setlah satu tahun, ia pindah ke SMEP Gowongan,
Yogyakarta. Sebagaimana keluarga besarnya, sekalipun ia sekolah
62
Tim INCReS,Beyond the Syimbols, hlm. 4
63
Greg Barton, Abdurrahman Wahid: The Authorized Biography.., hlm. 27.
64
Tim INCReS, Beyond the Symbols. 40

Ragam Pemikiran Teologi Islam 119
di SMEP, namun ia diharuskan tinggal di Pondok Pesantren Kyai Ali
Maksum Krapyak, Yogyakarta. Karena merasa tidak nyaman hidup dalam
lingkungan pesantren, ia meminta kepada ibunya untuk memindahkan
nya tinggal di kota. Akhirnya, ia tinggal di rumah seorang pimpinan
lokal Muhamadiyah sekaligus seorang yang berpengaruh di SMEP
Yogyakarta yaitu Junaidi. Keberadaannya di Yogyakarta menjadikan
aktivitasnya menjadi padat. Setelah sholat subuh, Abdurrahman Wahid
mengaji pada Kyai Ali Maksum, dilanjutkan dengan sekolah di SMEP dan
pada malam hari ia berdiskusi secara intensif dengan Haji Junaedi dan
anggota Muhammadiyah lainnya.
65
Keikutsertaannya dalam diskusi di
Muhammadiyah yang nota bene adalah organisasi modernis tersebut,
tentu saja menjadi tambahan wawasan tersendiri bagi Abdurrahman
Wahid mengenai diskursus kajian-kajian keislaman. Di SMEP, ia juga
bertemu dengan Rufi’ah, guru bahasa Inggris yang banyak menempanya
dalam penguasaan bahasa Inggris,
66
Persentuhannya dengann berbagai
pihak yang beragam ini, menjadikan semangat membaca, menulis dan
diskusi Abdurrahaman Wahid menjadi sudah terbangun sejak kecil.
Setamatnya dari SMEP, Abdurrahman Wahid pindah ke Magelang,
tepatnya ke Asrama Pendidikan Islam di Tegalrejo yang doiasuh oleh Kyai
Chudori, salah satu pemuka NU. Figur Kyai Chudori adalah sososk yang
sangat saleh sekaligus humanis yang sangat membentuk kepribadian
Abdurrahman Wahid pada sisi yang lain dari kehidupannya yaitu kehidupan
sufistik. Kyai inilah yang memperkenalkannya dengan ritus-ritus sufi dan
praktik-praktik ritual mistik. Kyai Chudori juga memberikan bimbingan
mistik dengan mengajaknya melakukan ziarah ke makam keramat para
wali. Sebagai pecinta dan penikmat buku, tidak seperti umumnya santri
masuk ke pesantren, Abdurrahman Wahid membawa seluruh koleksi
buku yang dimilikinya. Apa yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid
menjadikan santri-santri lain menjadi terheran-heran. Kesempatan yang
didapatnya sewaktu tinggal di Yogyakarta, benar-benar dimanfaatkan
secara baik dengan membaca dan berdikusi. Itulah sebabnya, pada saat
itu Abdurrahman Wahid telah mempunyai kemampuan untuk berbicara
di hadapan orang banyak, bahkan dengan gaya humor yang sangat baik
sehingga para pendengar tidak merasa bosan.
65
Tim INCReS, Beyond the Symbols hlm. 8-9.
66
Tim INCReS, Beyond the Symbols. 41

120Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Demikian pula, pada waktu belajar di pesantren milik Kyai Bisri
Syansuri di Denanyar, Jombang, bakat dan kepintaran Abdurrahman
Wahid tampak berkembang dengan sangat bagus. Ia berhasil
menyelesaikan pendidikan pesantren di sana dalam waktu hanya dua
tahun dari yang mestinya ditempuh dalam waktu empat tahun. Seteklah
berhasil menamatkan di pesantren kakeknya, pada 1959, ia pindah ke
Pesantren Tambakberas di Jombang. Di Tambakberas, Selain melanjutkan
pendidikan, ia juga mendapat pekerjaan pertamanya sebagai guru. Ia juga
diangkat sebagai direktur Madrasah .
Setelah keluar dari Pondok Pesantren Tambak Beras, Abdurrahman
Wahid kembali menuntut ilmu di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta
dan tinggal di rumah Kyai Ali Ma’shum. Di Pesantren ia dianggap
sebagai murid yang sangat baik. Namun, pembelajarannya yang sangat
mengandalkan daya ingat itu tidak menjadi tantangan bagi Abdurrahman
Wahid yang daya ingatnya sangat kuat. Inilah sebabnya ia dikenal malas
dan kurang disiplin dalam sekolah.
67
Di pihak lain, ketika tinggal di
Yogyakarta justru kepekaannya terhadap budaya dan kesenian semakin
terasah, Ia begitu tertarik pada wayang kulit, sebuah kesenian yang tidak
begitu familiar di dunia pesantren.. Ia bahkan melampiaskan hobinya
untuk nonton wayang kulit setiap dua atau tiga kali seminggu, sekalipun
menempuh jarak yang jauh. Ketertarikannya pada budaya dan kesenian
memberikan pengaruh tersendiri bagi jalan kehidupannya. Salah satunya
adalah mengantarkannya menjadi penulis untuk majalah sastra “Horizon”
dan majalah kebudayaan “Budaya Jaya”.
68

Walaupun dikenal sebagai santri yang malas secara formal, tetapi
Abdurrahman Wahid tetap diakui sebagai santri yang sangat cerdas. Pada
usia 22 tahun, ia telah berhasil mengkhatamkan beberapa kitab standar
pesantren. Ia dinilai telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang alim
sehingga pada 1963 ia menempuh Pendidikan di Universitas Kairo pada
Department of Higher Islamic and Arabic seteleh mendapatkan beasiswa
dari Departemen Agama.
69
Sebagaimana layaknya mahasiswa baru, ia
begitu bersemangat dalam menempuh studinya di al-Azhar. Namun lama
67
Greg Barton, Abdurrahman Wahid: The Authorized, hlm. 52.
68
Ali Masykur Musa, op. cit., hlm. 6.
69
Tim INCReS, Beyond the Symbols., hlm. 14.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 121
kelamaan ia merasa tak puas karena tidak memberikan sesuatu yang
baru bagi dahaga intelektualnya. Dari sisi materi, apa yang didapatkan
adalah pengulangan karena semasa di pesantren ia telah melewati materi
yang diajarkan oleh al-Azhar. Bahkan, ia sudah memiliki sertifikat yang
menunjukkan bahwa ia telah lulus berbagai studi seperti fiqih, teologi,
dan mata pelajaran terkait lainnya. Karena studi-studi ini berbasis pada
referensi berbasa Arab, bisa dipastikan bahwa kualifikasi Bahasa Arab
Abdurrahman Wahid pun adalah baik. Sayang sekali dia tidak memiliki
bukti bahwa dia lulus kursus bahasa Arab dasar
70
. sehingga ia tidak
bisa masuk universitas dan harus menerima kenyataan bahwa ia harus
berada di aliyah (semacam sekolah persiapan).
Abdurrahaman Wahid begitu kecewa dengan keadaan tersebut.
Akhirnya ia lebih memilih sebagai penikmat hidup ketimbang sebagai
pelajar yang sungguh-sungguh. Sebagai pelampiasannya, ia lebih memilih
menonton film-film Eropa dan Amerika, musik klasik, dan sepakbola.
Intelektualitasnya di asah di luar dengan terlibat di berbagai aktiitas. Ia
memilih Asosiasi Pelajar Indonesia di Mesir sebagai tempatnya untuk
menempa diri. Dia menjadi editor untuk majalah asosiasi. Pada tahun
196 ia dinyatakan berhasil lulus kursus bahasa Arab. Sebagai siswa
yang sangat baik dengan penguasaan bahasa asing yang baik ia bekerja
di Kedutaan Besar Indonesia. Pekerjaan yang dipercayakan kepadanya
ternyata memberikan berkah baginya. Melalui pekerjaannya itu, ia bisa
mendapatkan uang tambahan untuk pergi ke bioskop dan tentu saja untuk
membeli berbagai buku bacaan untuk mencurahkan minat membacanya.
Melihat iklim di al-Azhar, Abdurrahman Wahid betul-betul merasa
tidak akan berkembang di sana. Ia pun memantapkan hati untuk pindah
dari Universitas al-Azhar, Mesir ke Universitas Baghdad, Irak. Tahun 1966,
ia tercatat sebagai mahasiswa di Department of Religion di Universitas
Baghdad Irak sampai dengan 1970. Di Universitas Baghdad ini, ia merasa
mendapatkan rangsangan intelektual yang kuat yang belum pernah
didapatkannya selama di Mesir. Ia secara tegas mengatakan bahwa di
Baghdad mulai terlatih berfikir secara sistematis. Berbeda dengan ketika
berada di Mesir, Di Baghdad, komunitas Arab-Muslim klasik sebenarnya
dikaji secara empiris dengan pisau metodologis dan analisis tajam yang
70
Greg Barton, Abdurrahman Wahid: The Authorized , hlm. 88.

122Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
mampu menangkap dinamika yang terjadi. Kondisi demikian menjadikan
Abdurrahman mendapatkan Kembali gairah intelektualnya yang hilang.
Di lingkungan barunya, Abdurrahman Wahid banyak membaca buku-
buku sosiologi fenomenal seperti Emile Durkheim. Ia juga bersentuhan
dengan buku-buku besar karya para orientalis. Itu juga terkena buku-
buku besar orientalis. Perpustakaan universitas yang penuh dengan
buku-buku tentang Indonesia juga menarik perhatiannya. Di Universitas
Bagdad, ia ditugaskan untuk meneliti asal-usul sejarah Islam di
Indonesia.
71
Hampir seperti Kairo, Bagdad memiliki pesona tersendiri.
Di Baghdad, ia berziarah ke banyak makam bersejarah yang penting bagi
dunia Muslim. Ketika dia memiliki waktu luang di akhir pekan, dia sering
memutuskan untuk mengunjungi kuburan dan tinggal di kuburan selama
sehari untuk berdoa.
72

Abdurrahman lulus dari Universitas Bagdad pada tahun 1970.
Setelah itu ia memutuskan untuk pergi ke Belanda untuk melanjutkan
studinya di Universitas Leiden. Tapi, sekali lagi, dia menemui kekecewaan
yang luar biasa. Pendidikan yang diterimanya di Universitas Baghdad
tidak diakui oleh Universitas Leiden. Dari Belanda, Abdurrahman Wahid
secara sukarela melakukan perjalanan ke Jerman dan Prancis untuk
mendapatkan lebih banyak pengalaman sebelum kembali ke Indonesia
pada tahun 1971.
73
Sekalipun Abdurrahman Wahid merasa kecewa
karena bisa memperoleh kualifikasi formal studi di Eropa, namun
pengalaman kunjungannya ke beberapa negara di Eropa memberikan
kesan tersendiri karena dengan begitu ia bisa mengenal budaya Barat
dengan baik. Bisa ke Barat adalah cita-cita yang ia inginkan bertahun-
tahun sebelumnya. Sejak masih di Yogyakarta, ia telah melakukan studi
mengenai pemikiran Barat.
74

Setelah berada kembali di Indonesia, Abdurrahman Wahid menapaki
karir sebagai seorang. Pada tahun 1971, mengembangkan karir di bidang
Pendidikan dengan menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin, Universitas
Hasyim Asy’ari, Jombang yang berdiri pada 1969. Ia dipercaya untuk
mengajar bidang teologi dan beberapa ilmu-ilmu agama lainnya.
71
Tim INCReS, Beyond the Symbols., hlm. 17.
72
Greg Barton, Abdurrahman Wahid: The Authorized, hlm. 106.
73
Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap., hlm. 8.
74
Greg Barton, Abdurrahman Wahid: The Authorized., hlm. 112

Ragam Pemikiran Teologi Islam 123
Kemudian pada 1974, Abdurrahman Wahid diberikan amanah sebagai
sekertaris Pesantren Tebuireng, Jombang. Tentu saja pekerjaan-pekerjaan
ini membutuhkan perhatian yang serius. Ia berhasil mengemban tugas-
tugas itu dengan baik. Dalam waktu bersamaan dengan melaksanakan
tugas-tugas tersebut, Abdurrahman Wahid mulai menyumbangkan
berbagai tulisan di beberapa, majalah, jurnal dan surat kabar.
75

Sebagai seorang intelektual sekaligus aktivis, Abdurrahman Wahid
telah banyak melahirkan berbagai tulisan mengenai beragam wacana.
Secara garis besar tulisan-tulisan tersebut dapat dikelompokan
menjadi tujuh tema pokok yang merupakan gagasan besar dan menjadi
perhatiannya, yaitu:
a. Pandangan Dunia Pesantren.
b. Pribumisasi Islam.
c. Keharusan demokrasi.
d. Finalitas, Negara-bangsa Pancasila
e. Pluralisme Agama
f. Humanitarianisme universal, dan
g. Antropologi Kyai.
76
2. Pemikiran Teologi
Kehadiran Abdurrahman Wahid di belantara pemikiran Islam
Indonesia bersamaan dengan saat berlangsungnya perubahan-perubahan
sosial-ekonomi yang berjalan dengan cepat dan melahirkan berbagai
varian pemikiraan. Sebut saja substansialisme, formalism, spiritualisme
dan sebagainya. Berbagai macam varian ini merupakan pandangan yang
berbeda dari berbagai kelompok dan tokoh yang menginterpretasi secara
berbeda persoalan yang dihadirkan oleh arus modernisasi di Indonesia.
Sebagaian kelompok berangapan bahwa globalisasi merupakan model
baru penjajahan Barat yang juga membawa sejumlah ajaran dan
pemikiran yang tidak sesuai untuk konteks Indonesia. Sementara itu
kelompok lainnya, , tentu saja mempunyai pemahaman yang berbeda.
Kelompok kedua ini berusaaha mengapresiasi segala pemikiran untuk
75
Al-Zastrouw Ng, Abdurrahman Wahid., hlm. 28.
76
Tim INCReS,Beyond the Syimbols., hlm. 37.

124Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
menjawab perubahan-perubahan zaman yang terus bergulir. Apa yang
dirumuskan pada masa lalu, menurut mereka, tidak tepat lagi untuk
digunakan karena semua sudah berubah, Berbagai perubahan pemikiran
ini pada gilirannya melahirkan karakteristikyang khas mengenai
pemikiran teologi Islam di Indonesia.
Perkembangan pemikiran teologi yang terjadi tidak bisa dilepaskan
dari dua arus utama pemikiran teologi yang menghiasi khazanah
pemikiran yang sudah berkembang jauh sebelumnya, yaitu tradisionalis
dan modernis. Kenyataan riil mengenai kondisi social dan politik di
Indonesia juga memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi
dinamika pemikiran teologi Islam. Sebagaimana diketahui Bersama
bawa aliran teologi dominan yang dipraktekkan sejak perkembangan
awal Islam di Indonesia adalah teologi Asy’ariyah. Aliran ini merupakan
arus utama mazhab teologi, Aliran teologi tersebut tidak hanya di anut di
Indonesia, bahkan diikuti mayoritas muslim di dunia.
77
Di Indonesia, teologi Asy’ariyah mengalami pertumbuhan,
perkembangan dan kematangan lewat ulama-ulama yang belajar di
Timur Tengah. Sekembalinya mereka dari belajar di sana, mereka kembali
ke Indonesia dan menindalanjutinya dengan melakukan kegiatan dakwah
dan pengajaran. Teologi Asy’ariyah mematahkan paham Mu’tazilah yang
menitikebratkan pada kebebasan berpikir dan memberikan porsi
yang sedikit kepada wahyu. Corak teologinya ditengarai lebih banyak
menyerah kepada takdir, mudah menyerah dan kurang kesungguhan
dalam berusaha. Karakteristik demikian cocok dengan kehidupan
pada umumnya masyarakat di Indonesia yang lebih mengutamakan
ketenangan, sehingga aliran ini mendapatkan banyak pengikut. Karena
demikian massif teologi ini dianut di Indonesaia, maka muncul tuduhan
bahwa Asy’ariyah adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas
keterbelakangan yang terjadi pada masyarakat muslim di Indonesia Lebih-
lebih fakta empiris menunjukkan bahwa ajaran-ajaran tasawuf yang juga
diikuti oleh masyarakat Islam Indonesia lebih banyak menonjolkan sikap
asketisme dan pengunduran diri dari aktivitas sosial yang mendorong
untuk bersikap menyerah dan pasrah.
77
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme
hingga Postmodernisme {Jakarta: Paradigma, 1996), hlm. 44

Ragam Pemikiran Teologi Islam 125
Bisa jadi kesimpulan ini benar, namun jika diteliti dengan seksama
terdapat gejala dan aktivitas lain di tengah-tengah dominasi teologi
Asy’ariyah. Sebut saja misalnya Abd al-Shamad al-Palimbani, ulama dan
pelaku tasawuf, yangmenekankan keutamaan jihad melawan penjajah
Belanda yang tengah mengancam keberadaan kaum muslim. Demikian
juga Diponegoro yang memunculkan perang Jawa (1825- 1830). Contoh-
contoh tadi menunjukkan adanya serangkaian pergeseran teologis yang
terjadi di Indonesia. Secara nyata, tokoh-tokoh tersebut berpegang pada
teologi Asy’ariyah, namun pada tataran praktik dan pemikiran keagamaan
menunjukkan adanya perbedaan. Dengan demikian, pada akhirnya tidak
hanya satu aliran teologi yang dianut di Indonesia, tetapi ada teologi lain
dengan perbedaan substansi pemikiran. Keadaaan demikian memicu
terjadinya ketegangan teologis yang semakin memperkaya khazanah dan
dinamika Islam di Indonesia.
Khazanah pemikiran teologis dalam rentang sejarah di Indonesia
diurai Azyumardi ke dalam beberpa beberapa tipologi. Penggolongan
ini dalam kenyataannya tidaklah berlaku secara konsisten, namun ada
karakter dari beberapa tipologi yang memiliki keterkaitan. Namun,
penggolongan ini penting dilakukan untuk mencari substansi pemikiran
masing-masing pandangan teologis yang menjadi penguatannya, yaitu
modernisme, transformatif, inklusivisme, fundamentalisme, dan neo-
tradisionalisme.
78
Pertama, teologi modernisme. Kemunculan teologi
modernisme didorong oleh motivasi untuk memodernisasi atau
memajukan kaum muslim. Secara langsung atau tidak, teologi modernisme
diilhami oleh konteks yang kuat dengan program modernisasi yang
dilancarkan pemerintahan orde baru. Teologi modernisme pada
intinya berargumen bahwa modernisasi dan pembangunan umat Islam
Indonesia harus dimulai dari pembaruan teologis dan aspek-aspek
pemikiran lainnya. Kedua, teologi transformasi. Dalam batas tertentu,
teologis transformatif dapat dikatakan bagian dari teologi modernism,
dalam pengertian bahwa teologi transformatif ingin mewujudkan
transformasi masyarakat muslim sehingga dapat mencapai kemajuan.
Sebaliknya teologi transformatif memandang bahwa pembaruan itu
harus dimulai dari masyarakat paling bawah (grassroots). Ketiga., teologi
78
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam., hlm. 52-54

126Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
inklusivisme. Teologi inklusivisme dalam segi-segi tertentu tumpang
tindih dengan teologi modernisme. Teologi inklusivisme ini dapat pula
disebut sebagai teologi kerukunan keagamaan, baik di dalam satu agama
tertentu maupun antara satu agama dengan lainnya. Tema sentral dari
teologi ini ialah pengembangan paham dan kehidupan keagamaan yang
inklusif, toleran dan respek terhadap pluralisme keagamaan, sehingga
para penganut berbagai aliran keagamaan atau agama-agama dapat
hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence). Keempat,
teologi fundamentalisme. Teologi fundentalisme (kontemporer) atau
neo-fundamentalisme untuk membedakannya dengan fundamentalisme
klasik seperti gerakan Wahabi. Teologi ini muncul sebagai reaksi
terhadap teologi modernisme yang dipandang telah mengorbankan
Islam untuk kepentingan modernisasi yang oleh mereka dianggap
nyaris identik dengan westernisasi. Sistem teologi fundamentalisme
khas Indonesia sebenarnya belum terumuskan secara komprehensif dan
rinci. Karena itu, para pendukung teologi fundamentalis berkembang
di timur tengah. Sebagian besar pedukung teologi fundamentalisme ini
adalah kalangan mahasiswa dan anak muda yang membentuk kelompok-
kelompok eksklusif (usrah) di bawah pimpinan imam atau amir. Kelima.
teologi neotradisionalisme. Teologi neotradisionalisme muncul dan
berkembang sedikit banyak sebagai reaksi terhadap teologi modernisasi
yang dipandang telah mendorong terjadinya despiritualisasi Islam.
Salah satu tema pokok teologi neotradisionalisme ialah kembali kepada
kekayaan warisan spiritual Islam tradisional, khususnya tasawuf dan
syariah. Berbeda dengan teologi fundamentalisme yang cenderung
menolak warisan tradisi Islam yang dipandang bercampur bid’ah
dan khurafat. Sebagaimana dengan teologi fundamentalisme, teologi
neotradisionalisme juga belum terumuskan secara komprehensif, meski
dari kepenganutan semakin populer di kalangan tertentu masyarakat
muslim Indonesia. Karakteristik dari masing-masing tipologi yang
diajukan oleh Azra memiliki konsekuensi dalam penerapannya di
Indonesia. banyaknya agama dan perbedaan kebudayaan yang dianut
oleh masyarakat Indonesia yang plural akan memberikan pengaruh yang
besar terhadap konsep teologis yang tepat.
Membincang tentang perkembangan pemikiran teologi di Indonesia,
terasa kurang sempurna tanpa melibatkan ide-ide segar yang dilontarkan

Ragam Pemikiran Teologi Islam 127
oleh Abdurrahman Wahid. Ia adalah pribadi yang multi wajah. Ia bukan
hanya dikenal sebagai ulama, melainkan juga budayawan, penulis,
cendekiawan, politisi dan humoris. Banyak kalangan menilai bahwa ia
adalah seorang guru bangsa, pendekar pluralisme, tokoh demokrasi,
pembela kaum tertindas dan kaum minoritas. Statusnya yang demikian
menunjukkan bahwa Abdurrahman Wahid begitu penting. Apa yang
dilakukan, dibicarakan dan dipikirkan menjadi bahan perbincangan
masyarakat di berbagai kalangan.
79

Dalam konteks pemikiran teologi Islam, Abdurrahman Wahid
berangkat dari tradisionalisme sunni dengan berbagai kearifannya.
Dari sini kemudian ia berusaha untuk melakukan kontekstualisasi
pemikirannya tersebut. Itu sebabnya apa yang dilakukannya kemudian
melahirkan corak pemikirannya yang inklusif. Yang menjadi fokus
perhatian adalah bagaimana mendorong masyarakat untuk lebih banyak
berbicara substansi ketimbang formalitas ajaran Islam. Itu sebabnya, ia
begitu peduli terhadap penyelesaian beragam persoalan yang melanda
di Indonesia. Baginya, penekanan makna agama tidak dapat dilepaskan
dari sisi kemanusiaannya. Untuk mewujudkan keberadaannya sebagai
seorang penganut agama yang baik, meyakini kebenaran ajaran
agama saja tidaklah memadai Keyakinan itu harus dibarengi dengan
penghormatan dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Ia yakin
bahwa agama apapun selalu memosisikan aspek-aspek kemanusiaan
sebagai prasyarat membangun hubungan yang kondusif dalam bingkai
pluralitas. Menurutnya, selama umat beragama yakin dengan kebenaran
ajaran agamanya masing-masing dan mereka berpegang teguh serta
mendahulukan kepada perikemanusiaan, maka semuanya akan berjalan
tanpa ada masalah apapun.
80

Keyakinan Abdurrahman Wahid yang seperti itu didasarkan pada
keyakinan bahwa Islam sesungguhnya merupakan agama awal sekaligus
agama terakhir. Artinya Islam adalah sebuah proses pengulangan
sekaligus penyempurnaan ajaran semua Nabi yang pernah ada yang selalu
menekankan pada aspek tauhid dengan berbagai implikasinya. Itulah
sebabnya Islam menunjukkan dirinya sebagai pandangan hidup yang
79
Al-Zastrouw Ng, Abdurrahman Wahid., hlm. 2
80
Listiyono Santoso, Teologi Politik Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2004),
hlm. 102.

128Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
universal dan menempatkannya sebagai agama utama. Klaim demikian,
tidak pernah dilakukan oleh agama lain sebelum Islam, yang membedakan
Islam dari agama lain dan menjadikannya spesifik. Abdurrahman Wahid
meyakini “tidak ada agama lain yang dapat menyamai Islam sebagai
agama yang universal.”
81
Ada banyak sekali manifestasi penting dari
universalitas Islam. Bagian terpentingnya adalah dalam ajaran-ajarannya
yang mewujud dalam berbagai aspek seperti hukum (fikih), teologi
(tauhid), etika (akhlak). Demikian pula ajaran yang menekankan sikap
hidup yang menekankan kepedulian kepada unsur-unsur kemanusiaan
(al-insaniyyah), seperti prinsip persamaan di depan hukum, perlindungan
masyarakat dari kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak yang lemah
dan menderita kekurangan.
82

Meskipun sebagai seorang intelektual, Abdurrahman Wahid
tidak hanya berhenti pada wacana intelektual, ketika wacana tak
berdaya lagi menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi bangsa
Indonesia.
83
Orientasi ke-Islaman sebagai perwujudan dari keyakinan
tauhid menurutnya adalah kepentingan masyarakat kecil pada berbagai
persoalan kehidupan nyata. Hal itu dapat dibuktikan dengan memahami
secara sungguh-sungguh mengenai posisi kesejahteraan umum dalam
Islam. Dengan demikian, ajaran agama mesti betul-betul menjadi
sumber etik dan moral. Pandangan humanistik etik yang disampaikan
nya menjadi bagian tak terpisahkan yang niscaya dari keberagamaan
manusia. Melalui cara pandangnya itu, eIa juga menkankan kepada
semua penganut agama untuk bersikap humanis, menghormati
dan menjunjung tingginilai-nilai kemanusiaan. Pandangannya ini
disandarkan pada keyakinan bahwa Tuhan saja menghormati manusia
sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran.
84
Dari pemaparan ini tampak
sekali bahwa konsistensi Abdurrahman Wahid memperjuangkan nilai-
nilai kemanusiaan yang terdapat di dalam ajaran Islam yang relevan
untuk menghadapi perubahan-perubahan besar dari waktu ke waktu.
Sebagai sebuah jalan hidup, Islam diyakini oleh Abdurrahman Wahid
bisa belajar dan saling mengambil makna dari berbagai ideologi non-
81
Abdurrahman Wahid & Hasim Wahid, Islam dalam Cita dan Fakta (Jakarta: Panca
Gemilang Indah, 1983), hlm. 9-20.
82
Nurcholis Madjid, Islam Universal (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 1.
83
Djohan Effendi dalam INCReS, Beyond The Symbols, hlm. 54.
84
Djohan Effend dalam INCReS, Beyond The Symbols., hlm. 62.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 129
agama, bahkan juga n dari agama lain. Khusus untuk kasus di Indonesia
mungkin akan tetap sebagai masalah yang rumit jika perdebatan masih
didominasi oleh cara pandang hitam putih, benar salah dan sebagainya.
Perdebatan demikian ini pada akhirnya akan mengakibatkan
munculnya gesekan karena saling memaksakan defenisi antara satu
dengan kelompok yang lain. Pengalaman keberagamaan Islam yang
dialaminya pastilah berbeda dengan pengalaman orang lain. Pemahaman
keagamaannya berakar kuat pada pengalaman intelektual semenjak ia
ditempa dengan sangat intensif di pesantren dan keterlibatannya dengan
Gerakan-gerakan keagamaan, dari yang radikal hingga nasionalisme
Arab serta sosialisme Arab (al-isytirakiyyah al-‘arabiyyah) di Baghdad.
Ada dua kesimpulan yang bisa ditangkap dari pengembaraan yang
demikian panjang dalam proses intelektual Abdurrahman Wahid yakni
pengalaman pribadi yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami
orang lain, sementara mungkin saja pengalamannya punya kesamaan
dengan orang lain yang punya pengembaraan sendiri.
85

Secara menarik kerangka yang terdapat pada Abdurrahman
Wahid bisa dijelaskan sebagai dialektika antara “Islamku”, Islam Anda”
dan “Islam Kita.” Islam Abdurrahman Wahid adalah Islam khas yang
diistilahkannya dengan “Islamku”. Inklusivitas Abdurrahman Wahid
menjadikan “Islamku”tidak membatasi “Islam Anda”, yaitu Islam yang
berbeda dari yang dipahaminya. “Islam Anda” adalah merupakan apresiasi
dan refleksi seseorang terhadap tradisionalisme atau ritual keagamaan
yang hidup dalam masyarakat. Tradisionalisme yang berkembang
dan ada di masyarakat menurut sudah seharusnya dihargai sebagai
“kebenaran” yang lahir dari keyakinan. Misalnya, praktik-praktik tahlilan,
talqin, tarekat, tawasul dan yang sejenis pada umumnya dilakukan oleh
kelompok muslim tradisional. Masyarakat Islam Jawa perdusunan yang
tidak berinteraksi dan terpengaruh oleh gerakan Wahabisme sangat
kuat mengadopsi adat istiadat local seperti itu, yang mereka yakini hal
tersebut tidak berbenturan dengan ajaran Islam.
86
Adapun “Islam Kita” lebih merupakan turunan atas keprihatinan
terhadap masa depan Islam yang didasarkan pada kepentingan bersama
85
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi (Cet. II; Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 66
86
Faisal Ismail, Islam: Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah (Cet. I; Yogyakarta: Adi
Wacana, 1999), hlm. 71

130Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
semua kaum muslimin. Visi tentang “Islam Kita” pada hakekatnya
adalah konsep integrative antara “Islamku” dan “Islam Anda” serta
menyangkut kaum muslimin seluruhnya. Untuk mewujudkan adanya
“Islam Kita” bukanlah pekerjaan yang mudah karena pengalaman yang
memola dan meproses “Islamku” biasanya berbeda dengan pengalaman
yang membentuk “Islam Anda”. Jadi, persoalan paling asasi dalam
pembentukan melahirkan “Islam Kita” adalah masih bercokol dan
kuatnya cengkeraman kecenderungan untuk memaksakan konsep “Islam
Kita” menurut tafsiran sendiri-sendiri. Walaupun begitu, bukan berarti
tidak bisa. Menurut Abdurrahman Wahid, monopoli tafsir kebenaran
seperti ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi. Satu hal
yang harus menjadi rujukan bersama adalah bahwa Islam merupakan
keyakinan yang menebar kasih saying. Oleh karenanya, secara mendasar
Islam pasti toleran dan menghargai perbedaan. Demikian pula, Islam
adalah keyakinan yang egaliter, sebuah keyakinan yang bisa dipastikan
tidak mendukung perlakuan yang lalim atas nama apapun. Islam
dalam pandangan Abdurrahman Wahid adalah Islam yang mengakui
bahwa dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara, bahkan
status muslim dan non-muslim pun setara.
87
Ini adalah tauhid sebagai
wujud dari kesatuan kemanusiaan. Apa yang diyakininya ini bukan
sebuah jargon kosong tanpa makna, melainkan benar-benar mewujud
dalam kesehariannya dengan cara mengakomodir semua kepentingan
masyarakat tanpa membeda-bedakan apap pun latar belakangnya .
Tampak sekali bahwa cara pandang mengenai pluralisme yang
dibangun oleh Abdurrahman Wahid adalah refleksi atas tauhid yang sangat
diyakininya. Keragaman yang terjadi sesunguhnya adalah merupakan
manifestasi dari keesaan Tuhan. Oleh karenanya Islam mengajarkan
bagaimana seharusnya mengyikapi pluralism tersebut. Sebagaimana
yang dijelaskan di dalam Q.S Hud (11): 118-119. Ayat ini menegaskan
bahwa pluralitas adalah sebuah keniscaan karena Tuhan memanag
mengehendaki demikian. Tentu jika Tuhan menghendaki semuanya
menjadi satu sangatlah mudah, tetapi tidak demikian kenyataannya. Jadi
ayat ini mengindikasikan betapa pentingnya memaklumi keragaman
sebagai ketetapan atau fitrah dari Tuhan. Penciptaan manusia dengan
87
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid, (Cet. II; Yogyakarta:
LKiS, 2010), hlm. xxxi.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 131
segala perbedaan-perbedaan yang menyertainya merupakan keniscayaan
dan sekaligus menjadi ujian manusia dalam menyikapi keragamanya.
Apa yang diyakini oleh Abdurrahman Wahid ini mendapat
kesesuaiannya dari berbagai pihak . Ramundo Panikar meletakkan
pluralisme sebagai “bentuk pemahaman moderasi yang bertujuan
mewujudkan komunikasi untuk menjembatani jurang ketidaktahuan
dan kesalahpahaman timbal-balik antara budaya yang berbeda dan
membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan pandangan mereka
dalam bahasanya masing-masing.
88
Dengan demikian, pluralism tidak
saja mempresentasikan kemajemukan dalam kehidupan social yang
berbeda-beda, tapi juga penegasan bahwa dengan segala keperbedaannya
itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Hal ini sebagaimana
yang dinyatakan Asghar Ali Engginer pada dasarnya tujuan pluralisme
adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan
(equality), dan keadilan sosial (social justice).
89

Dalam catatan sejarah, isu pluralisme agama tidak dapat dielakkan.
Keberadaan tiga agama besar yang merupakan agama samawi yaitu
Yahudi, Kristen dan Islam merupakan penggambaran nyata. al-Qur’an
dalam berbagai ayatnya banyak menyinggung mengenai pluralism.
Al-Qur’an jelas mengakui adanya orang-orang saleh di dalam kaum
tersebut, seperti halnya mengakui keberadaan orang yang beriman di
dalam Islam. Pengakuan al-Qur’an terhadap pluralisme ini menegaskan
penerimaana al-Qur’an terhadap agama-agama selain Islam, untuk hidup
berdampingan dan saling menghargai satu dengan lainnya. Jelas sekali
bahwa ketiga agama tersebut, dan agama-agama lainnya keberadaannya
eksistensinya diakui oleh Islam.
Ada dua aspek sangat penting yang ditekankan dalam pluralisme,
yaitu: 1) kesatuan manusia (unity of mankind), dan 2) keadilan di semua
aspek kehidupan. Berkaitan dengan kesatuan kemanusiaan sduah cukup
panjang dibicarakan di depan. Keadilan adalah suatu kondisi dimana
seseorang bisa berada dalam jarak yang sama dan tidak berat sebelah.
Oleh karenanya keadilan harus diikuti oleh pembebasan golongan
masyarakat bawah yang tak berdaya, kaum minoritas dan termarjinalkan,
88
Sudiarjo, Dialog Intra Religious (Cet. I; Yogyakarta: Kanisus, 1994), hlm. 33-34
89
Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 33

132Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
serta tidak menutup ruang-ruang politik terhadap kelompok lain. Sisi
pertengahan serta keseimbangan yang dapat memelihara hubungan
antara “kemajemukan, perbedaan, dan pluralitas” dan “faktor kesamaan,
pengikat, dan kesatuan”. Sementara itu, disintegrasi dan kacau-balau
ditimbulkan oleh “sikap ekstrem memusuhi dan menyempal” yang
tidak mengakui dan tidak memiliki faktor pemersatu. Juga oleh sikap
“penyeragaman” yang mengingkari kekhasan dan perbedaan yaitu “sikap
ekstrem represif dan otoriter” yang menafikan perbedaan masing-masing
pihak dan keunikannya.
90

Apa yang dipaparkan oleh Abdurrahman Wahid, juga diberikan
gambaran secara menarik oleh Alwi Shihab, yaitu:
a. Pluralisme bukan semata menunjuk pada kenyataan adanya
kemajemukan, namun juga kepada keterlibatan secara ungguh-
sungguh terhadap realitas majemuk tersebut.
b. Pluralisme berbeda dengan kosmopolitanisme. Pluralism seperti
yang telah ditegaskan pada poin 1), sedangkan kosmopolitanisme
berlawanan dengan itu. Kosmopolitanisme menunjuk pada realitas
keanekaragaman di suatu lokasi, namun persinggungan positif yang
ada sangat terbatas dan bahkan tidak ada.
c. Pluralisme bukan relativisme. Relativisme merupakan sebuah
doktrin bahwa semua agama sama, hanya didasari pada kebenaran
agama walaupun berbeda-beda satu sama lain tetapi harus diterima.
Relativisme tidak mengenal adanya kebenaran universal yang ada pada
agama.
d. Pluralisme juga bukan sinkretisme, sebuah paham yang untuk
melahirkan sebuah agama baru dengan cara menggabungkan unsur-
unsur tertentu dari beberapa agama menjadi satu integralitas dalam
agama baru.
91

90
Muhammad Imarah, al-Islam wa-Ta’addudiyah: al-Ikhtilaf wat-Tanawwu fi Ithaaril-
Wihdah, (Terj) Abdul Hayyie Al-Kattanie dengan judul Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan
Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 1997), hlm. 10.
91
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,
1997), hlm. 41-42.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 133
Pemaparan di atas, merupakan sedikit bukti bahwa pemikiran
Abdurrahman Wahid juga diamini oleh para pemikir yang lain. Konsep
pluralismenya didasarkan pada pemahaman keagamaannya yang
sangat kental. Baginya, agama selalu meniscayakan adanya dua dimensi
secara bersamaan. Keduanya adalah dimensi ketuhanan yang sacral dan
mutlak. Dimensi ini kemudian melahirkan sistem keimanan dan tata cara
peribadatan yang telah ditentukan. Dimensi lain adalah dimensi kultural
yang melahirkan berbagai simbol dan ritus. Sebagai sistem keyakinan
yang memuat dimensi ketuhanan, agama merupakan faktor tunggal
yang menyatukan umat pemeluknya dalam satu dogma yang mutlak
kebenarannya. Namun sebagai dimensi kultural, agama memiliki derajat
pluralitas yang cukup tinggi.
92
Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa
kendati agama mengandung ajaran tunggal, namun karena mengingat
agama dipahami oleh umat dengan berbagai latar belakang berbeda,
maka dalam pelaksanaan dan praktiknya menjadi beragam.
Dari pemikiran Abdurrahman Wahid yang demikian ini, ia sering,
dicaci, dihujat dan dicap sebagai pemikir sekuler oleh orang-orang yang
tidak sependapat dengannya. Ia sangat jarang terlihat memosisikan
diri sebagai penganut Islam yang membela agamanya secara sungguh-
sungguh, bahkan dianggap sebagai pengkhianat Islam, apalagi ia juga
sering menyatakan “Tuhan tidak perlu dibela.” Sekalipun ia mendapatkan
perlakuan seperti itu, namun komitmen Abdurrahman Wahid menjadi
pembela pluralisme di Indonesia merupakan sebuah konsekuensi
pemahaman yang harus diperjuangkan secara konsisten di Indonesia.
93

Abdurrahman Wahid memang begitu konsisten memperjuangkan
pluralism di Indonesia. Hal ini terlihat dengan gamblang dalam
pembelaannya terhadap kelompok minoritas, khususnya etnis Cina dan
kaum non-muslim. Ada banyak kasus yang menggambarkan hal ini. Salah
satunya Ketika ia merespons kasus Arswendo Atmowiloto yang dinilai
oleh umat muslim Indonesia telah melakukan penghinaan terhadap
Nabi Muhammad SAW karena menempatka nabi pada urutan ke-11
di bawah tokoh Indonesia dan dunia. Terhadap kasus itu masyarakat
secara spontan masyarakat bereaksi keras dengan menuntut pencabutan
92
Al-Zastrouw Ng, Abdurrahman Wahid, hlm. 268.
93
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid (Cet. II; Yogyakarta,
2010), hlm. xxix. 98

134Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
SIUPP tabloid Monitor. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya,
Abdurrahman Wahid menegaskan ketidaksetujuannya dengan
pencabutan SIUPP apapun. Ia menyarankan untuk menyelesaikan secara
hukum ke pengadilan. Menurutnya membawa kasus it uke pengadilan
adalah bentuk penyelesaian paling bijak. Ia mencontohkan sikap Bung
Karno yang pernah dihukum oleh pemerintah kolonial, tapi kemudian
membela diri dengan membuat pledoi dalam Indonesia Menggugat.
Itulah yang seharusnya menjadi pegangan hidup bangsa Indonesia
saat ini.
94
Abdurrahman Wahid hanya menginginkan umat muslim
ini mendewasakan diri dalam memandang agama mereka sendiri,
melakukan Tindakan-tindakan yang konstruktif, perluasan cakrawala
umat, pembinaan moralitas sehingga meraih kesetimbangan optimal
emosi dan rasio.
Apa yang dinyatakan Abdurrahman Wahid di atas, sesungguhnya
ingin menyampaikan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Indonesia merupakan negara hukum sehingga apapun permasalahan
yang timbul sebaiknya diselesaikan secara hukum melalui pengadilan,
bukan dengan penyelesaian secara sepihak karena alasan keyakinan,
apalagi dengan alasan sewenang-wenang. Ia ingin memberikan pelajaran
kepada masyarakat muslim agar menampilkan kesan pada masyarakat
minoritas bahwa Islam adalah agama penebar kasih sayang yang
toleran, menghargai perbedaan, egaliter, dan secara fundamental tidak
mendukung perlakuan yang sewenang-wenang karena alasan kelas,
suku, ras, dan keyakinan atau hal lain.
Dari sana bisa dipahami bahwa pluralisme yang diusung
Abdurrahman Wahid bukan pluralisme teologis yang menyamakan
semua agama, melainkan semata perbedaan ritual formal keagamaan
bukan merupakan substansi yang perlu dipersoalkan dalam interaksi
sosial. Ia lebih menitikberatkan pada pluralisme social. Asumsi
yang dipakai adalah bahwa pesan kemanusiaan semua agama pada
hakekatnya tidaka berbeda. Pengertian pluralisme yang demikian ini
yang memungkinkan menyisihkan berbagai perbedaan serta mendorong
terbukanya dialog dengan pihak lain untuk mencegah munculnya konflik,
serta mengapresiasi sesama manusia sekalipun berbeda keimanan.
94
Wawancara Wartawan Editor dengan Abdurrahman Wahid dengan judul “Kasus
Monitor Yang Marah Cuma Sedikit” dalam Tabayyun Gus Dur (Cet. I; LKiS, 1998), hlm. 63.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 135
Sebagai seorang Muslim yang taat dan pendukung setia ajaran Islam,
Abdurrahman Wahid menawarkan ruang yang sangat terbuka untuk
dialog antaragama. Sikap dialogis ini diekspresikan dalam dua cabang
kehidupan beragama. Pertama, Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa
perbedaan agama yang sesungguhnya adalah perbedaan pada tataran
kemanusiaan. Dia ingin memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang
berhak mengambil peran Tuhan. Melalui konsep tauhid, harus diyakini
bahwa satu-satunya hakim yang dapat memutuskan apakah seseorang
akan masuk Surga atau Neraka adalah Tuhan sendiri.
95
Hanya Tuhan
yang berkuasa dan tahu apa yang tidak bisa dilakukan manusia. Hanya
Tuhan yang berhak menentukan siapa yang bersalah atau tidak bersalah
di kemudian hari. Tidak seorang pun, bahkan orang beragama atau orang
suci sekalipun, dapat menghakimi siapa pun di dunia ini. Kedua, pluralisme
Abdurrahman Wahid berada di ranah realitas. Ia melihat sesuatu yang
lebih esensial dalam hubungan antaragama yang dilandasi toleransi
dan langkah-langkah konkrit. Hal ini ditunjukkan dengan sikapnya yang
terbuka terhadap pemeluk agama lain dan kelompok Muslim yang tidak
sesuai dengan pemikirannya. Sementara yang terakhir ini juga sangat
terkait dengan kelompok sekuler yang tidak terlalu mempersoalkan
doktrin atau dogma agama, ini adalah perkembangan lain. Jelas bahwa
dasar pemikiran Abdurrahman Wahid adalah keyakinannya pada tauhid
(yang mutlak harus Tuhan, tidak ada yang lain, bahkan pemahaman
agama) yang menjadi dasar kokoh pandangannya tentang pluralisme.
Tidak heran Franz Magnis Suseno menyebut Abdurrahman Wahid
seratus persen nasionalis Indonesia dengan visi kemanusiaan universal.
Dia terlihat baik dalam situasi apa pun, tetapi selalu serius dan sopan
dan terus-menerus memperhatikan nasib rakyatnya. Ini sangat terbuka
untuk semua etnis minoritas, yang tertindas dan korban pelanggaran
hak asasi manusia.
96
Sikap menghargai keberagaman di Indonesia
diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan agama
Kong Hu Chu sebagai sikap penghargaan terhadap HAM, sebuah langkah
menuju kemerdekaan dari kaum Tionghoa di Indonesia.
97
Perjuangannya
95
Tim InCRes, Beyond the Symbols, hlm. 108.
96
Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Abdurrahman Wahid (Cet. I; Erlangga:
Jakarta, 2010), hlm. 122.
97
Tim INCReS, Beyond the Symbols, hlm. 113.

136Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
membela kepercayaan Kong Hu Chu di Indonesia bukan tanpa alasan.
Perjuangan ini dilancarkan sebagai upaya penghapusan diskriminasi
di bidang sosial, budaya atau politik, dimulai dengan perjuangan
penghapusan diskriminasi agama.
Sikap berani Abdurrahman Wahid melawan arus ini sering
disalahpahami oleh para pengkritiknya. Pembelaan Abdurrahman
Wahid tidak hanya karena alasan moral dan humanistik mengenai
pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia di Indonesia,
seperti kebebasan berpendapat dan berkelompok, tetapi juga akumulasi
pengetahuan tentang Islam atau agama..
98
Sikap pluralistiknya yang
diwujudkan dalam bentuk bersikap ramah terhadap agama minoritas,
namun sebaliknya, sering bersikap keras terhadap agama yang dianutnya
merupakan salah satu sikap yang paling sering disalahpahami oleh umat
Islam. Berbagi sudut pandang ini, Frans Magnis Suseno mengamati:justru
karena Abdurrahman Wahid begitu mantap dalam agamanya. Karena
itu, ia tidak perlu defensif dan tidak takut bahwa agamanya dirugikan
kalau ia terbuka terhadap mereka yang berbeda.
99
Dia sangat percaya
diri dengan keislamannya, dia sangat bersahabat dengan keislamannya.
Abdurrahman Wahid menjelaskan dengan sangat jelas esensi ajaran dan
bukan hanya atribut formal yang tidak menunjukkan keberadaan Islam
sesuai dengan konteks dan budaya Indonesia. Melalui pemahamannya
yang mendalam, lahirlah corak religius. sangat fleksibel. Di tangannya,
Islam telah menjadi agama yang fleksibel dan tidak kaku. Ia dapat
dengan mudah menerima pemikiran-pemikiran berbagai kelompok di
luar pemikiran Islam yang dipahaminya atau pemahaman teologis yang
berada di luar cakrawala pemikiran Islam. Namun yang ditekankan
oleh Abdurrahman Wahid adalah sikap berdialog yang menghargai
keberadaan agama lain yang hidup di Indonesia.
. Tujuan yang hendak dicapai oleh Abdurrahman Wahid adalah
untuk membawa perubahan model keagamaan masyarakat di Indonesia,
menuju inklusi dan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Hal ini dipicu
oleh obsesinya untuk menghindari Islam sebagai agama akhirat, sehingga
98
Benny Susetyo, “Pembelaan Abdurrahman Wahid Adalah Manifestasi Imannya,”
dalam jurnal Tashwirul Afkar, edisi No. 30 Tahun 2010 (Jakarta: LAKSPEDAM NU, 2010),
hlm. 109.
99
Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap, hlm. 22

Ragam Pemikiran Teologi Islam 137
dipandang sebagai agama yang mandek, mandek, dan beku tanpa peran
aktif dalam memberikan solusi fungsional terhadap masalah-masalah
sosial. Jelas bahwa Abdurrahman Wahid menginginkan munculnya
semangat kritis dan transformatif pemahaman keagamaan, bukan
sekadar bentuk simbolis yang tidak bermakna; Suatu perjanjian juga
tidak bersifat final dan tidak perlu dijelaskan. Menyadari harapan
tersebut, ia menyadari bahwa ia menghadapi kendala besar. Dalam
masyarakat berkembang yang heterogen seperti Indonesia, sulit untuk
mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara faktor-faktor
yang berbeda. Kalaupun tidak ada kesalahpahaman mendasar antara
faktor-faktor tersebut, setidaknya saling pengertian yang dicapai hanya
sebatas nominal.
100
Harapan dari sikap pluralistik pada hakikatnya adalah adanya
keselarasan antara berbagai perbedaan yang ada. Abdurrahman Wahid
diawali dengan kerukunan antar pemeluk agama. Baru disadari bahwa
kerukunan yang terjalin antarumat beragama juga tidak memiliki
ketahanan yang kuat terhadap berbagai tekanan yang datang dari
perkembangan politik, ekonomi dan budaya. Harmoni atau harmoni
adalah suatu kondisi rapuh yang sewaktu-waktu dapat runtuh jika tidak
diperkuat oleh berbagai media. Abdurrahman Wahid mengistilahkannya
dengan ungkapan dari masa Perang Dingin antara negaranegara adikuasa
dahulu: hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence).
101

Harmoni dalam pandangan ini tidak akan bertahan lama. Kondisi
demikian sewaktuwaktu dapat mencapai titik puncak konflik yang akan
sangat berat diselesaikan melalui model negosiasi apapun. Kemiskinan,
ketidakadilan dan belum meratanya pendidikan di Indonesia menjadi
aspek yang sangat penting untuk diantisipasi sebagai peubah yang
dapat memicu konflik horizontal. Maka, keragaman yang ada dan bisa
diterima dengan penuh kesadaran serta dengan dikuatkannya berbagai
penopang menjadi modal besar yang dapat menjadi tambahan kekuatan
untuk melahirkan masyarakat sipil. Fakta bahwa Islam mempromosikan
toleransi dan apresiasi terhadap pluralisme terlihat dengan menerima
100
Abdurrahman Wahid, Abdurrahman Wahid Menjawab Perubahan Zaman (Cet. I;
Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 15
101
Abdurrahman Wahid, Abdurrahman Wahid Menjawab, hlm. 104

138Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Pancasila sebagai upaya untuk menyatukan berbagai kelompok dan
agama yang datang bersama dalam kerangka penderitaan bersama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika Abdurrahman Wahid mempromosikan pemahaman
tentang apa yang disebut sifat manusia yang pluralistik.
Secara historis, dalam pertumbuhan dan perkembangan Islam di
Indonesia ternyata bertemu dengan berbagai tradisi dan adat yang telah
mapan. Para pembawa Islam pada waktu itu benar-benar bisa bertindak
bijak dengan tidak menolak semua tradisi yang telah ada sejak pra-Islam
karena memang tidak bertentangan dengan Islam. Adapun tradisi yang
bertentangan; kemudian dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tradisi
itu tetap bisa berjalan, akan tetapi isinya telah mengalami perubahan.
Bahkan kenyataannya dapat diinternalisasikan menjadi ciri khas dari
fenomena Islam.
102
Dalam konteks Islam di Indonesia, tradisi keagamaan
lokal pada hakekatnya adalah hasil interaksi Islam dengan budaya lokal.
Dengan kata lain, terjadinya pluralitas budaya penganut agama yang sama
tidak mungkin dihindari ketika agama tersebut menyebar ke wilayah
begitu luas dengan latar belakang kultural budaya lokal. Kuat atau
lemahnya akar budaya yang telah ada sebelumnya dengan sendirinya
akan sangat menentukan terhadap seberapa kuat ajaran agama yang
universal mencapai realitas sosial budaya.
103

Nilai-nilai budaya merupakan konsepkonsep mengenai apa yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai
hal yang d anggap bernilai, berharga dan penting bagi kehidupan,
sehingga berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan
oritensasi bagi kehidupan masyarakat.
104
Nilainilai budaya tersebut
terwarisi secara turun temurun pada setiap generasi. Begitu pun agama
dengan berbagai fungsi yang ditonjolkan dalam mengawal kehidupan
masyarakat. Keduanya, baik budaya maupun agama tidak dapat
menghindari penyesuaian sejarah. Dalam konteks Indonesia, agama dan
102
Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Amin Rais
tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 140.
103
M. Bambang Pranowo, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib
(Cet. II; Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 43.
104Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Cet. I; Jakarta: Aksara Baru, 1989),
hlm. 190.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 139
budaya kemudian saling bersalaman, menciptakan apa yang kemudian
disebut Islam Indonesia.
Antara “keIslaman” dan “keindonesiaan” pada awalnya merupakan
suatu hal yang berbeda. Keduanya adalah entitas yang independen,
tak berhubungan satu sama lain. Keaslian Indonesia yang terdiri dari
bermacam-macam etnis dengan unsur budaya lokal yang begitu kaya dan
indah adalah sebuah entitas tersendiri yang tidak mungkin dilepas begitu
saja. Sekalipun keduanya berbeda, sesungguhnya keduanya bisa saling
menyapa bahkan menyatu Sementara itu, keaslian Islam adalah Arab
dengan ragam kebudayaan yang menyertainya juga entitas tersendiri.
Hanya saja, harus diakui ada fenomena romantisisisme pada sebagain
kalangan dengan menghidupkan Islam sebagaimana pada originalitas
atau keasliannya dengan berbagai ragam budaya yang menempel padanya
sehingga melahirkan Islam yang bercorak ke-Arab-araban. Fenomena
tampilnya budaya ke-Arab-araban di Indonesia membuat Abdurrahman
Wahid memperkenalkan konsep Pribumisasi Islam.
105

Arabisasi, sebagaimana yang dilakukan beberapa pihak,
meniscayakan adanya proses identifikasi diri dengan budaya Timur
Tengah sehingga rentan bagi tercerabutnya masyarakat Indonesia dari
akar budayanya sendiri. Untuk meredam hal tersebut, maka pribumisasi
yang dilontarkan Abdurrahman Wahid berusaha menjadikan agama dan
budaya tidak saling mengalahkan antara satu dan lainnya, melainkan
berusaha mempertemukan sehingga tidak ada pertentangan di antara
keduanya.
106
Pribumisasi Islam adalah langkah cerdas yang terinspirasi
oleh strategi dakwah Walisongo sekitar abad ke-15 dan ke-16, khususnya
di Pulau Jawa.
107
Dalam menyebarkan ajaran Islam di mana pada
masanya tradisi dan budaya yang ada ditengarai banyak bertentangan
dengan Islam Walisongo menggunakan pendekatan sufistik. Pendekatan
ini dikenal sangat toleran terhadap tradisi lokal dan bahkan berusaha
memasukkan nilai-nilainya dalam Islam yang khas keindonesiaan, bukan
kearab-araban. Saah satu conthnya adalah Sunan Bonang yang berhasil
mengubah gamelan Jawa yang pada awal perkembangan Islam di Jawa
105
Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Komplesitas Global (Cet. I; Jakarta, 2005), hlm. 224.
106
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama., hlm. 111.
107
Amin Haedari , dkk, Masa Depan, hlm. 225.

140Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
sangat kental dengan estetika Hindu menjadi bernuansa zikir yang
mendorong kecintaan (mahabbah) pada kehidupan ukhrawi.
108

Pada apa yang dilakukan oleh walisongo dan para penyebar Islam
awal terdapat sebuah kenyataan munculnya berbagai bentuk, adat
dan sajian tradisional dengan mempertahankan hakikat keaslian di
hadapan tantangan modernitas,
109
tanpa mengubah sifat nilai-nilai yang
terkandung dalam adat dan tradisi tersebut. Namun belakangan ini
banyak ditemukan umat Islam di Indonesia yang menggunakan identitas
Arab untuk mengukuhkan identitasnya sebagai Muslim, seolah-olah
Islam adalah Arab dan orang Arab adalah guru Muslim. Untuk menjadi
seorang Muslim harus menggunakan identitas atau campuran Arab
seperti orang Arab, mulai dari cara berbicara orang Arab, berjenggot
dan lebat, mengenakan gaun, menutup wajah hingga cara makan orang
Arab sebagai model ‘Islam. . Jika model Islam ini diikuti, maka yang akan
terjadi adalah Arabisasi, Arabisasi dunia.
110

Upaya Arabisasi sangat merugikan perkembangan Islam. Jika
Islam di-Arabkan, ini tentu saja berarti bahwa Islam bersifat lokal,
temporal, dan politis. Jika Islam bersifat lokal, temporal dan politis,
tentu bertentangan dengan misi utama Islam itu sendiri yaitu rahmatan
lil ‘alamin..
111
Ide pribumisasi Islam Abdurrahman Wahid sebenarnya
merupakan upaya untuk memahami Islam dalam konteksnya. Sejak awal,
Abdurrahman Wahid tidak menggunakan Islam sebagai pengganti, tetapi
berusaha agar ajaran agama terserap oleh budaya lokal dalam setting
lokalnya. Bagi Abdurrahman Wahid, manusia tidak bisa beragama tanpa
budaya. Kebudayaan merupakan ciptaan manusia yang dapat menjadi
wujud ekspresi keagamaan. Tapi, tentu saja, agama bukanlah budaya.
Diantara keduanya terdapat tumpang tindih dan saling melengkapi,
namun tetap ada perbedaan.
112
Oleh karena itu, memadukan nilai-nilai
Islam dan budaya budaya di Indonesia bukanlah usaha yang sulit dan
108
Amin Haedar, Masa Depan, hlm. 107
109
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi (Cet. II; Jakarta: The Wahid Institute, 2006) hlm. 262.
110
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, hlm. 262.
111Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Depok:
Desantara, 2001), hlm. 32.
112
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im
Shaleh (Ed), Islam Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 81.

Ragam Pemikiran Teologi Islam 141
sia-sia. Abdurrahman Wahid melihat agama dan budaya sebagai dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Agama diturunkan dari
wahyu, sehingga cenderung permanen, sedangkan kebudayaan adalah
ciptaan manusia, sehingga perkembangannya mengikuti waktu dan
cenderung berubah. Perbedaan ini tidak menutup kemungkinan untuk
mengekspresikan kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Karena
itu, penggabungan nilai-nilai keIslaman dan kultur budaya di Indonesia
bukanlah sesuatu yang sulit dan upaya yang sia-sia. Abdurrahman Wahid
berpandangan bahwa, agama dan budaya bagaikan dusa sisi mata uang
logam yang tidak bisa dipisahkan. Agama bersumberkan wahyu yang
bersifat normatif sehingga cenderung menjadi permanen, sedangkan
budaya merupakan ciptaan manusia sehingga perkembangannya
mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini
tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam
bentuk budaya.
113

Abdurrahman Wahid tidak bermaksud mengubah hakikat ajaran
Islam yang menyangkut inti teologi akidah dan ritual resmi, melainkan
hanya mengubah ekspresi kehidupan beragama Islam. Ini adalah sesuatu
yang banyak orang salah paham. Islam harus tetap Islam dimanapun
ia berada. Namun bukan berarti segala sesuatu harus disamakan
dengan penampilan. Di sini, menurut Abdurrahman Wahid, harus
ada titik temu antara Islam dan budaya.
114
Lebih lanjut Abdurrahman
Wahid menyatakan: Tumpang tindih antara agama dan budaya akan
terjadi terus-menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya
kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya
memungkinkan adanya persambungan antar berbagai kelompok atas
dasar persamaan. Upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama bukan
karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya, sebab
kalau manusia dibiarkan pada fitrah rasionalnya, ketegangan seperti itu
akan reda dengan sendirinya. Sebagai contoh redanya semangat Ulama
dalam mempersoalakan rambut gondrong.
115

Pribumisasi Islam adalah suatu keharusan, bukan ketergantungan pada
Islam oleh budaya lokal. Dalam esensi Islam harus dipertahankan esensi
113
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara..., hlm. 117.
114
Tim INCReS, Beyond the Symbols, hlm. 44.
115
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Agama...., hlm. 118

142Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Islam. Oleh karena itu, pahami, pertimbangkan kebutuhan lokal dengan
merumuskan hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri, tanpa
meninggalkan standar untuk kebaikan budaya, tetapi menjaga standar
ini sesuai dengan kebutuhan budaya dengan memanfaatkan peluang
yang ditawarkan oleh perbedaan pemahaman teks, sekaligus berperan
untuk ushul fiqh dan qawa’id alfiqh. Di sini, pengungkapan pandangan
Abdurrahman Wahid harus dipahami dengan mempertimbangkan
faktor kontekstual, termasuk persepsi hukum dan rasa keadilan.
Sebagai sebuah gagasan baru, konsep Indianisasi Islam Abdurrahman
Wahid memicu kontroversi di kalangan umat Islam di Indonesia,
bahkan banyak tokoh PBB yang mempertanyakannya. Idenya yang
paling kontroversial dan sering diperdebatkan adalah salam. Dalam
keterangannya, ia menyamakan kalimat assalamu’alaikum dengan ahlan
wa sahlan atau shabahul kiar yang bisa diganti dengan “halo” atau “apa
kabar”. Sambutan ini, menurut Abdurrahman Wahid, mengandung
dua ekspresi, di satu sisi sebagai representasi budaya adat dan di sisi
lain sebagai representasi ajaran agama resmi. Proses identifikasi ini
menunjukkan dengan sangat jelas bahwa bentuk ekspresi normatif atau
formal dan bentuk budaya belum tentu cocok. Misalnya dalam shalat,
kata assalamu’alaikum tidak bisa diganti karena merupakan bentuk
normatif, tetapi wacana budaya bisa. Misalnya sapaan atau sapaan.
Namun, pernyataan ini membuat marah umat Islam di Indonesia,
termasuk komunitas NU sendiri. Pernyataan kontroversial ini membuat
sebanyak 200 kyai berkumpul di Pondok Pesantren Darul Tauhid untuk
mengujinya.
Dalil-dalil yang digunakan oleh Abdurrahman Wahid untuk
mempertahankan gagasan pembatalan ini adalah sebagai berikut: a.
Alasan historisnya adalah ketidakpedulian terhadap Islam merupakan
bagian dari sejarah Islam, baik di negara asalnya maupun di negara lain,
termasuk Indonesia. NS. Proses lokalisasi Islam erat kaitannya dengan
fiqh dan adat. Di antara kaidah-kaidah fiqh dikenal, misalnya al’adah
muhakkamah (adat menjadi hukum). Menemukan titik temu antara
agama dan tradisi atau budaya lokal juga mendapat tanggapan dari
Frans Magnis Suseno yang menyatakan: ide mempertemukan agama dan
tradisi lokal harus dinilai dari sudut Islam secara teologis, dimana saya

Ragam Pemikiran Teologi Islam 143
tentu tidak bisa masuk. Tetapi dalam pandangan saya, sebuah agama
yang berasal dari Allah tidak pernah identik dengan sebuah budaya;
agama itu universal. Andaikata Islam untuk orang Arab, tentu budaya lain
tidak cocok. Tetapi dalam pandangan Islam sendiri, Islam tidak hanya
untuk orang-orang Arab dan kenyataannya barangkali 70% orang Islam
sedunia bukan orang Arab. Dengan demikian, dalam pandangan saya,
Islam itu sebetulnya sebagaimana yang dikehendaki Allah dan utusan-
Nya Nabi Muhammad sangat pragmatis dan tentu tidak sempit. Agama
Islam seharusnya tidak perlu membuat orang meninggalkan budayanya
sendiri. Kalau budaya penyembahan berhala, tentu harus ditinggalkan.
Tetapi, yang dimaksud Abdurrahman Wahid barangkali: kalau orang
Arab menjadi Islam, dia tetap orang Arab; kalau orang Persia, ya tetap
orang persia, begitupun orang Melayu dan orang Jawa.
116
Gagasan Abdurrahman Wahid terkait pernyataan kontroversinya ini
sebenarnya ingin memperlihatkan bahwa Islam sebagai sebuah agama
yang apresiatif terhadap konteks lokal dengan tetap menjaga realitas
kebudayaan. Abdurrahman Wahid dengan tegas menolak satu Islam
dalam ekspresi kebudaayaan, seperti simbol atau identitas kebudayaan
Arab. Penyeragaman yang terjadi bukan hanya akan mematikan
kreativitas kebudayaan umat, tetapi juga membuat Islam teralienasi dari
arus utama kebudayaan nasional. Bahaya dari proses arabisasi adalah
tercerabutnya akar budaya.. Terlihat bahwa Abdurrahman Wahid ingin
mencoba melepaskan paket ajaran Islam yang sampai ke Indonesia dari
unsur lokal Arab, untuk kemudian diganti dengan unsur lokal Indonesia.
Artinya, Abdurrahman Wahid membedakan Islam dan Indonesia sebagai
dua entitas yang independen dan mandiri: Masyarakat Adat Indonesia
terdiri dari komunitas yang berbeda dengan unsur budaya lokal yang
kaya dan indah. Untuk memungkinkan. Sedangkan ciri khas Islam adalah
bahasa Arab dengan banyak budaya yang melekat padanya. Artinya Islam
di Indonesia bukanlah Islam yang bercorak Arab sepenuhnya, melainkan
Islam berwatak Indonesia, jenis Islam yang terintegrasi secara unik ke
dalam budaya Indonesia. Dalam arti, bukan untuk memformalkan Islam
secara simbolis dengan syariat Islam, tetapi untuk menghormati budaya
lokal.
116
Tim INCReS, Beyond the Symbols, hlm. 113.

144Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag

Penutup 145
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas bisa ditarik beberapa kesimpulan
1. Teologi Islam sesungguhnya merupakan konstruksi keilmuan
yang berusaha untuk merepons persoalan yang berkembang
pada masanya. Lebih-lebih berkaitan dengan kebradaan manusia
di hadapan Tuahn. Apakah manusia adalah pribadi yang otonom
yang mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri
ataukah sebaliknya, manusia adalah pribadi yang ditentukan
sepenuhnya oleh Tuhan. Apakah kebaikan dan keburukan
bisa diketahui melalui akal bebas manusia ataukah sebaliknya,
ditentukan oleh wahyu Tuhan. Apakah ketika seorang muslim
melakukan doa besar maka secara otomatis dia menjadi kafir
ataukah tetap sebagai muslim. Persoalan-persoalan ini coba
dijawab oleh teologi Islam pada waktu itu. Hanya saja, seiring
dengan perkembangan waktu yang terus bergulir, persoalan-
persoalan seperti ini sudah bukan lagi menjadi persoalan pokok.
Manusia lebih dihadapkan pada persoalan kehidupan nyata
kemanusiaan. Akibatnya teologi yang dirumuskan pada masa lalu
tersebut tidak cukup memadai untuk kebutuhan zaman kini. Para
teolog dituntut untuk memberikan rumusan baru sebagai respons
persoalan-persoalan kemanusiaan mutakhir. Pada akhirnya para
teolog tersebut mengusulkan sebuah pemahaman baru yang
merekonstruksi teologi yang telah ada yang lebih berdimensi
kemanusiaan yang diderivasi dari sumber otoritataif Islam
dan karakteristik ketuhanan, agar bisa menyelesaikan problem
aktual-eksistensial manusia.

146Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
2. Ada demikian banyak ragam pemikiran teologi Islam modern,
baik bercorak pemurnian maupun pemutakhiran. Secara
keseluruhannya dimaksudkan sebagai sebuah rekonstruksi yang
dilakukan oleh para teolog. Upaya ini dilakukan melalui proses
reinterpretasi terhadap berbagai terma dalam teologi namun
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang beragam
yang merupakan perpaduan dari khazanah keilmuan Islam klasik
maupun berasal dari Barat. Beberapa terma yang menjadi konsep
kunci dalam teologi yang mendapatkan sentuhan reinterpretasi
misalnya iman, kufr, tauhid, syirik, sifat-sifat Allah, taqdir, dan
sebagainya. Konsep-konsep ini secara sebagan besar dimaknai
secara kemanusiaan sehingga diharpakn menjadi lebih akrab
dengan kehidupan nyata. Teologi Islam menjadi sebuah ilmu yang
benar-benar mempunyai daya dorong fungsional untuk manusia.
B. Saran-saran
Dengan hadirnya berbagai ragam pemikiran teologi Islam
sebagai hasil dialog dengan problematika kehidupan, ada beberapa
hal yang layak diperhatikan:
1. Apa yang dilakukan oleh para pemikir teologi Islam modern mer-
upakan Langkah cerdas untuk mendekatkan teologi dengan problem
nyata kehidupan manusia dalam rangka merespon persoalan aktual
eksistensial. Sebagai sebuahterobosan awal yang berusaha mendo-
brak kebekuan, kekurangan pasti ada. Karena itu, perlu ditindak lan-
juti oleh teolog sesudahnya untuk mencapai penyempurnaan kon-
septual dengan harapan dapat memberikan kontribusi dan warna
baru teologis klasik
2. Secara akademis, pemikiran-pemikiran teologis baru perlu mendapa-
tkan ruang diskusi yang lebih serius. Humanisasi teologi sebagai
strategi untuk memberikan tekanan supaya tidak melangit perlu
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Ini, mungkin bisa me-
masukkan ke dalam kurikulum teologi. Bukan berarti kurikulum yang
ada saat sekarang dihapuskan sema sekali, melainkan memberikan
porsi yang sama besar dengan bentuk teologi yang lain.

Daftar Pustaka 147
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ari, Abu al-Hasan, al-Ibanah ’an Ushul al-Diyanah, Kairo:
Idarah al-Muniriyyah, tth.
--------, Ushul Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah, Kairo: Dār al-`Ulūm, tt.
Abbas, Nukman Al-Asy`ari (874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia
dan Takdir Tuhan (Jakarta; Penerbit Erlangga, 2006.
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas,
Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 1996.
Abduh, Muhammad.,. Risalah Tauhid, Cet. IX, Terj. Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
Al-Adawiy, Ibrahim Ahmad, Rasyid Ridha al-Imam al-Mujahid , Mesir:
al Muassasah al Misriyyah al-Ammah, t.th.
Ahmed, Akbar S.. Postmodernisme and Islam: Predicament and
Promise (terj. M. Sirozi, BAndung: Mizan, 1992.
Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Timur
Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995.
--------, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali
Perss. 1987.
Ali, Fachry dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Band-
ung: Mizan, 1986.

148Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Amin, Nasihun, Paradigma Teologi Politik Sunni Melacak Abu al-Hasan
al-Asy’ari sebagai Pemikir Politik Islam , Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.
Amin, M. Masyhur, Teologi Pembangunan Paradigma Baru Pemikiran
Islam, Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1989.
Anwar, M. Syafi’i dan Munawar-Rahman, “Nurcholish Madjid Men-
jawab: Menatap Islam Masa Depan”, dalam Ulumul Qur’an,
No.1. vol.V. 1994
Arkoun,Muhammad, Nalar Islam dan Malar Modern; Berbagai
Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu Hidayat, Jakarta: INIS,
1994.
-------, Tarikhiyyat al-Fikr al-Arabi al-Islami, Bairut: Markaz al-Inma
al-Qoumi, 1988.
Ali, Asghar , Islam and Liberation Theology, New Delhi: Sterling
Publisher,s Pvt. Ltd, 1990.
--------, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim Yogyakarta:LkiS,
1993.
--------, , Islam and Liberation Theology, New Delhi: Sterling Publishers
Pvt. Ltd., 1990.
--------, “Islam-the Ultimate Vision” dalam al-Mushir. No. 36, 1994,
hlm. 117
--------, “On Developing Liberation Theology” dalam Islam and the
Modern Age No. 13, 1982, hlm. 118.
Asmuni, HM. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan
Pembahatuan dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1996.

Daftar Pustaka 149
Atali, Jacques, Milenium. Winners and Losers in the Coming World
Order. terj. Emmy Noor Hariati , Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme,
Modernisme hingga Postmodernisme Jakarta: Paradigma,
1996.
--------, Azra, Azyumardi dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru
van Hoeve, vol. 1, 2002.
Barton, Greg, The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal
Movement of Islamic Thought in Indonesia, trans. Nanang Tah-
qiq, Jakarta: Paramadina, 1999.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought Style; A
Social Perspective, Boston: G.K. Hall and Co., 1981.
Al-Bagdadi,`Abd al Qahir bin Thahir bin Muhammad, al-Farq bain al-
Firaq, Kairo: Maktabah Muhammad `Ali Subaih wa Auladuhu,
tt..
Baihaqi, Imam, Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan dan Reinterpretasi,
Yogyakarta: LKiS, 2000.
Al-Buraey, Muhammad A, Administrative Development: an Islamic
Persepective terj. M. Nashir Budiman. , Jakarta: Rajawali, 1986.
Budiman, Arief, “Dimensi Sosial Ekonomi Konflik” dalam Th.
Sumartana, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta:
Dian/Interfidei, tth.
Doniach, N.S., The Oxford English and Arabic Dictionary of Current
Usage, Oxford: The Clarendon Press, 1987.
Donohue, John J., DAN John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan;
Ensiklopedi Masalah-Masalah, cet. V, Terj. Jakarta: Raja
Grafindo, 1995.

150Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Edward, Paul (ed.). The Encyclopaedia of Philosophy , New York: Mac-
millan Publishing, vol 3-4, 1967.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic
World , New York –Oxford: Oxford University Press,Vol.1- 4,
1995
--------, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas, Bandung: Mizan, 1996.
--------, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, New York : Columbia
University Press, 1983.
Farida, Umma, “Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi tentang Tauhid, Sains,
dan Seni” dalam Fikrah, Vol.2, No.2, Desember, STAIN Kudus,
2014.
Mansour Fakih, “Teologi yang Membebaskan Kritik terhadap
Developmentalisme” dalam Ulumul Quran no. 3, vol. VI, th.
1995.
Fukuyama,Francis, Trust: The Social Virtues and the Creation of
Prosperity (London: Hamish Hamilton, 1995.
Gazalba, Sidi, Modernisasi Dalam Persoalan, bagaimana sikap Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Gellner, Ernest, Postmodernism: Reason and Religion, London : 1992.
Gruneboum, G.E. Von , Classical Islam A History 600 A.D. –1258 A.L.
Chicago: Aldine Publishing Company, 1970.
--------, , Medieval Islam, Chicago: The University of Chicago Press,
1956
Hanafi, Hassan, min al-Aqidah ila al-Tsawrah: al-Muqaddimah al-
Nazhariyah, Kairo: Maktabah Madbuli,.t.th.

Daftar Pustaka 151
--------, From Faith to Revolution, Cordoba, Spain, 1985.
Hasyim,Umar., Apakah Anda Termasuk Golongan Ahl al-Sunnah wa al-
Jamah , Surabaya: Bina Ilmu, 1986
Hartshorne, Charles dan William Reese, Philosophers Speak of God,
(Chicago-London : The University of Chicago Press, 1976.
Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1983.
Hastings, James, Encyclopaedia of Religion and Ethics, New York:
Charlers Scribner`s Sons, vol. 12. tth.
Honderich, Ted (ed.), The Oxford Companion to Philosophy, New York:
Oxford University Press, 1995.

Hourani, George F, . Ethical, Presupposion Of The Quran” dalam The
Muslm Word, Vol. LXX No. 2 April 1980.
Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age . London: Oxford
University Press, 1962.
Iqbal, Mohammad. The Reconstruction Religious Thought in Islam.
New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
--------, Metafisika Persia: Suatu Sumbangan untuk Sejarah Filsafat
Islam, terj. Joebaar Ayoeb, Bandung: Mizan, 1995.
Ismail, Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998.
Jamilah, Mariam, Para Mujahid Agung, Bandung: Mizan, 1964.
Jabali, Fu’ad The Companions of the Prophet: A Study of Geographical
Distribution and Political Alignment, Canada: Institute of
Islamic Studies University Montreal, 1990.

152Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Al-Jabbar, al-Qadhi ‘Abd, S yarh Ushul al-Khamsah, KAiro: Maktabqah
Wahbah, 1965.
Al-Jabiri, M. `Abid, Bunyat al-`Aql al-`Arabī, Beirut: al-Markaz al-
Tsaqafi al-`Arabi, 1993.
Kuhn, Thomas, The Structure of Scientific Revolution di bawah
judul ”Introduction: A Role for History” dan “The Priority of
Paradigms”. Chicago: University of Chicago Press, 1974.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Bandung : Mizan, 1991
--------, . Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Benteng Budaya, 2001.
Lubis, A. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh Suatu
Studi Perbandingan. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan ,
Jakarta: Paramadina, 1992.
--------, Islam, Kemoderanan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,
1988.
--------, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
--------, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1996
Ibn Manzhur, Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukrim, Lisan
al-‘Arab, Beirut: Dar al-Shadir, Jilid 3, 1992.
Madkour, I. Aliran dan Teori Filsafat Islam, cet.I. Jakarta : Bumi Aksara,
995).

Daftar Pustaka 153
Macdonald, Duncan B, . Development of Muslim Theology, Jurisprudence
and Constitusional Theory (New York: Charles Scribner’s Sons,
1903.
Mc. Guire, Meredith B. , Religion: The Social Context (California:
Wadsworth Publishing Company, 1981.
McCarthy, Richard J. The Theology of al-Ash’ari, Beirut: Imprimerie
Catholique, 1953.
Moleong, L.J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007.
Munawar-Rachman, Budhy (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994.
--------, Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Mod-
ernisme Islam Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an, No.3, Vol. VI,
1995.
Munawwir,Warson, Kamus Arab Indonesia al-Munawwir, tanpa kota:
tanpa pnerbit, tanpa tahun.
Nasution. Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
--------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta:
UI-Press,1987.
--------, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Cet. V. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
--------, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, Universitas
Indonesia, 1974.
Nata, Abuddin Metodologi Studi Islam , Jakarta: Rajawali Press, 2O11.
Al-Nasysyar, `Ali Sami dan `Ammar Jam`i al-Thalibi, `Aqaid al-Salaf,
Iskandariyah: al-Ma`arif, 1971.

154Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Nawawi, R.S. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat, cet. I. Jakarta: Paramadina, 2002.
Al-Naisaburi, Abu `Abd Allah al-Hakim al-Mustadrak `ala al-Shahihain,
jilid 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Qardawi, Yusuf, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-
Banna, terj. Bustami Abdul Ghani,Jakarta: Bulan Bintang.
Radiana, Aan dan Abdul Munir Almarhum, “Analisa Linguistik dalam
al-Qur’an”, dalam al-Hikmah, No. 17 Vol. VII tahun 1996.
Rais, M. Amin, Cakrawala Islam (antara Cita dan Fakta) Bandung:
Mizan, 1991.
Rahman,Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago: The University of Chicago Press,, 1993.
Rasjidi, H.M., Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Seku-
larisasi, Jakarta : Bulan Bintang, 1972.
Ridha, Rasyid, al -Wahyu al-Muhammadi, Mesir: Maktabah al-
Qahirah, 1960
----------, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al- Manar. Jakarta:
Erlangga, 2006.
Rusli, Ris’an, Pemikiran Teologi Islam Modern, , Depok: Prenadamedia
Group, 2018.
Rahnema ,Ali , Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mirza, 1999.
Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986.
Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam
Islam, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 1995.

Daftar Pustaka 155
Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, tth.
Sardar, Ziauddin dan Merryl W. Davies , Wajah-wajah Islam, Bandung:
Mizan, 1992.
Sharif, M.M. History of Islamic Philosophy, Germany: Otto Harrasowitz
Weisbaden, 1963.
Shihab Quraish, Studi Kritis Tafsir al-Manar, Jakarta Pustaka
Hidayah. 1994.
Shubhi, Ahmad Mahmud, fi `Ilm al-Kalam, Kairo: Dar al-Kutub al-
Jami`ah, 1969
Slamet Sutrisno (ed), Tugas Filsafat Dalam Perkembangan Budaya,
Yogyakarta: Lebirti 1986
Sunardi, St., “Dialog: Cara Baru Beragama” dalam Th. Sumartana,
Dialog Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/
Interfidei, tt.
Vallely, Paul, dan Ian Linden. “Doing Battle with Globalisa-
tion: Are We Masters or Servants?” dalam The Tablet,
9 Agustus, 1997.
-----------, “Doing Battle with Globalisation: The Tide can be Tamed”
dalam The Tablet, 9 Agustus, 1997
Watt, W . Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought,
Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973.
--------, , Islamic Philosophy and Theology, Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1962.
--------, , Studi Islam Klasik Wacana Kritik Sejarah, terj. Sukoyo dkk.,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

156Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag
Wolfson, Harry Austin, The Philosophy of Kalam, England: Harvard
University Press, 1976.
Zahrah, Muhammad Ahmad Abu, al-Madzahib al-Islamiyyah, Kairo:
al-Maktabah al-Adab, tt.

Tentang Penulis 157
TENTANG PENULIS
N
asihun Amin, dilahirkan di Jepara pada 1 Juli
1968. Pendidikan dasar dan menengahnya, baik
umum maupun agama, diselesaikan di Jepara dari SD
Al-Islam Jepara merangkap Madrasah Diniyah Ula,
SMPN I Jepara merangkap Madrasah Diniyah Wustha
dan SMAN Jepara jurusan A1 (Fisik) merangkap ngaji
di beberapa kyai. Jenjang S1 diselesaikan di Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo Semarang, sedangkan S2 dan S3
diselesaikan di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sehari-hari bertugas sebagai dosen di Fakultas Ushuluddin dan
Humaniora UIN Walisongo Semarang dan aktif di berbagai kegiatan
kemasyarakatan. Beberapa buku yang telah ditulisnya adalah Mengeja
Tradisi Merajut Masa Depan, Walisongo ataukah Walisana? Tafsir Baru
terhadap Sejarah Walisongo, Dari Teologi menuju Teoantropologi, Sejarah
Perkembangan Pemikiran Islam, Paradigma Teologi Politik Sunni, Melacak
Abu al-Hasan al-Asyari sebagai Pemikir Politik Islam, Teologi Islam
Transformnatif. Sebagai direktur (2006-2009) Lembaga Pengembangan
Keagamaan dan Kemasyarakatan (LPK2) bersama dengan rekan-
rekannya ikut mengasuh rubrik Tasawuf Interaktif di harian Suara
Merdeka.
Sebagai seorang dosen, penulis juga mengikuti berbagai pelatihan.
Di antaranya pernah mengikuti Pelatihan Fungsional Tenaga Peneliti
di DEPAG RI selama 2 bulan dan Training Social Work kerjasama IAIN
Walisongo dengan McGill University, Canada. Mengikuti kursus Higher
Education Management di University Teknologi Malaysia dan di
University of Queensland, Australia.
Bersama istri tercinta, Nurul Rosyidah, dan kedua anaknya, Roudya
Farha Perennia dan Isyna Aziza Mufida, penulis menempati rumah
mungil di kawasan perbukitan Ngaliyan Semarang, tepatnya Perum
Griya Lestari A3-4A Ngaliyan.
Untuk kepentingan korespondensi penulis bisa dihubungi di
[email protected] dan [email protected]