| 45 |
Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.6, No.1 Juni 2015, hlm. 45–55
E-mail: [email protected]
Website: www.jchunmer.wordpress.com
ORIENTASI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
DAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN
DALAM PELESTARIAN FUNGSI HUTAN
H. JONI
Notaris di Sampit, Dosen di Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin,
Kalimantan Selatan dan di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Habaring Hurung Sampit,
Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, serta Kandidat Doktor Kehutanan
Universitas Mulawarman Samarinda, Kaltim
E-mail: joni.sampit.yahoo.co.id
Abstract
Interaction among the people around forest becomes an important part in managing forest with environment as
the principle, striving for forest conservation. To support the policy in managing forest in the future, it is
needed various policies that are directed to decentralization and deconcentration of resources management
(forest) done by seat of government and local government. Another effort is by making effective the friendship
in managing forest resources between people and government based on the principles of justice, conservation,
democracy, and transparency. It becomes an important part in the framework of forest management having
people as a base. The development with environment perspective in forestry sector needs improvement and the
urgency strengthens the realization toward surroundings that should have come earlier than the businessmen
of HPH as the activity doers, so the government and people can be more effective in building and watching.
Key Words: Forest Function Conservation, Forest Management, People Around Forest
Abstrak
Interaksi antara masyarakat sekitar hutan menjadi bagian penting dalam pengelolaaan hutan berbasis
lingkungan, menuju pelestarian hutan. Guna mendukung kebijakan dalam pengelolaan hutan di masa yang
akan datang, diperlukan berbagai kebijakan yang arahnya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi pengelolaan
sumber daya (hutan) antara pemerintah pusat dan daerah. Demikian juga lebih diefektifkan kerjasama
(kemitraan) dalam pengelolaan sumber daya hutan antara rakyat dengan pemerintah yang didasarkan pada
prinsip-prinsip keadilan, kelestarian, demokratis dan transparansi. Hal ini menjadi bagian penting dalam
kerangka pengelolaaan hutan berbasis masyarakat. Demi tercapainya pembangunan berwawasan lingkungan
di sektor kehutanan, memerlukan pengembangan dan urgensinya memperkuat kesadaran terhadap lingkungan
seharusnya datang terlebih dahulu dari para pengusaha HPH sebagai pelaku kegiatan, sehingga pemerintah
dan masyarakat dapat lebih efektif melakukan pembinaan dan pengawasan.
Kata Kunci: Masyarakat Sekitar Hutan, Pelestarian Fungsi Hutan, Pengelolaan Hutan
ISSN: 2356-4962

Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.6, No.1 Juni 2015: 45–55
| 46 |
Menelaah orientasi masyarakat, yang arahnya ada-
lah peran serta masyarakat (public participation,
public involvement) dapat dipahami serta didefi-
nisikan secara berbeda-beda. Perbedaan pendefi-
nisian dan pemahaman peran serta masyarakat da-
pat terjadi karena berbicara tentang peran serta
sesungguhnya akan berbicara tentang distribution
of power (distribusi kekuasaan) dari negara kepada
rakyat. Dari sisi power holder (pemerintah), ada
kehendak tentunya agar peran serta masyarakat
ini sedapat mungkin tidak menggerogoti ke-
kuasaannya. Kehendak yang kuat ini jelas akan
mempengaruhi produk dari kebijaksanaan publik
dalam suatu negara.
Pada sisi lain kekuatan-kekuatan pro- demo-
krasi (dalam konteks saat ini mungkin lebih tepat:
“pro reformasi) menginginkan agar peran serta
masyarakat merupakan proses pendistribusian
kekuasaan agar negara (khususnya pemerintah)
tidak dominan (karena kalau terlalu dominan tidak
akan ada mekanisme check and balance). Kekuasaan
yang tanpa batas dapat mengakibatkan penyalah-
gunaan kekuasaan (abuse of power). Dari keinginan
yang bertolak belakang ini dapat dibayangkan bah-
wa berbicara mengenai peran serta masyarakat
akan terjadi tarik-menarik kepentingan dan bukan
merupakan wilayah yang steril dari persoalan
politik (Samodra (ed), 1991, 19).
Menyadari bahwa peran serta masyarakat
erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, bebe-
rapa pakar politik, ilmu soSial lainnya, hukum,
perencanaan dan lingkungan hidup mendifisini-
sikan peran serta masyarakat secara kategoris
seperti: Sydney Verba (1972), yang memilah peran
serta masyarakat menjadi pseudo participation atau
partial participation di satu sisi, dengan democratic
participation atau influence participation dan full par-
ticipation di sisi lain. Kategori yang pertama meng-
gambarkan peran serta masyarakat yang tidak
lebih dari sekedar mobilisasi masyarakat untuk
mendukung program-program yang telah dite-
tapkan oleh pemerinah secara sepihak. Sedangkan
yang kedua, merupakan proses peran serta masya-
rakat yang memberikan peluang bagi masyarakat
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang
menyangkut hajat hidup masyarakat itu sendiri
(Verba, 1999, 2).
Berdasarkan pemilahan jenis peran serta
masyarakat sebagaimana tersebut diatas, kiranya
akan menjadi jelas dimana suatu negara yang tidak
atau kurang demokratis, akan tumbuh subur jenis
peran serta yang bersifat psedo, non partisipasi
akan tumbuh subur dan demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu dalam makalah ini mengasumsikan
bahwa peran masyarakat yang hakiki yaitu peran
yang benar-enar menempatkan masyarakat sebagai
pihak yang turut menentukan kebijakan dalam hal
ini pelestarian fungsi hutan (Verba, 1999, 4).
Dewasa ini, peran serta masyarakat di Indo-
nesia khususnya dalam pelestarian fungsi hutan
menjadi sangat penting.untuk dikemukakan tidak
saja karena arus reformasi yang selama ini telah
manaikkan posisi tawar masyarakat sipil terhadap
negara yang selama 30 tahun lebih berada dibawah
bayang-bayang kekuasaan negara yang otoriter.
Tetapi yang lebih esensial adalah bahwa masya-
rakat memang memiliki peran didalam penentuan
kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di
daerahnya.
Selain itu hak untuk berperan serta meru-
pakan salah satu wujud dari pengakuan terhadap
hak-hak publik untuk mengatur penyelenggaraan
negara (hak politik) dan hak-hak untuk turut
menikmati kekayaan alam (hak ekonomi). Hak –
hak ini selain diakui dalam beberapa ketentuan
perundangan yang ada, juga telah ditegaskan
didalam deklarasi Rio de Janeiro (hasil KTT bumi)
tentang demokratisasi di dalam pengamilan ke-
putusan (prinsip ke-10) dan peran serta masyarakat
dalam penerapan prinsip pembangunan ber-
kelanjutan (prinsip 19,21 dan 22). Lebih dari itu
keterlibatan masyarakat merupakan ukuran ada
tidaknya aksesibilitas masyarakat dalam suatu
system politik yang demokratis.

Orientasi Masyarakat Sekitar Hutan dan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pelestarian Fungsi Hutan
H. Joni
| 47 |
Dalam konteks kebijakan penyelenggaraan
negara, peran masyarakat selalu diperdebatkan
tidak saja karena ada kebutuhan politis, dalam
artian untuk memenuhi standar prosedur kebijakan
legitimate, tetapi juga karena dinamika masyarakat
memang menghendaki adanya perluasan peran se-
cara terus menerus sesuai konteks perubahan so-
cial yang terjadi. Karena itu, menjadi sangat naïf
pemenuhan tuntutan kebutuhan peran masyarakat
selalu disederhanakan menjadi soal “penyampaian
informasi” atau “sosialisasi” terhadap suatu
kebijakan belaka (Ismail, 1999, 2).
Lalu bagaimanakah peran serta masyarakat
dalam pelestarian fungsi hutan ? secara yuridis
formal, terdapat berbagai ketentuan perundang-
undangan yang mengatur tentang peran serta
masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan ter-
sebut. Hal ini menjadi kajian yang memerlukan
elaborasi lebih lanjut.
Pengaturan Hukum Kehutanan
Secara hierarkhis, landasan hukum peran
serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
hidup dapat dilihat pada ketentuan Undang
Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Pasal 6 (1) menyatakan: Setiap
orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menang-
gulangi pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup (Hardjasoemantri, 1997, 9).
Di dalam penjelasan pasal 6 (1) dinyatakan
bahwa kewajiban setiap orang sebagaimana di-
maksud pada ayat ini tidak terlepas dari kedu-
dukannya sebagai anggota masyarakat yang men-
cerminkan harkat manusia sebagai individu dan
makhluk sosial. Kewajiban tersebut mengandung
makna bahwa setiap orang turut berperan serta
dalam upaya memelihara lingkungan hidup. Ter-
masuk dalam konteks ini tentunya adalah kewa-
jiban setiap orang untuk turut menjaga kelestarian
fungsi hutan.
Selanjutnya dalam pasal 7 (1) Undang
Undang No. 23/1997 menegaskan bahwa masyara-
kat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-
luasnya untuk berperan serta dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Sebagaimana dinyatakan dalam
ayat (2), peran masyarakat itu dapat dilakukan de-
ngan cara (Hardjasoemantri, 1997, 34): 1) Mening-
katkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan
kemitraan. Karena kemandirian dan keberdayaan
masyarakat merupakan prasyarat untuk menum-
buhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku
dalam pengelolaan lingkungan hidup bersama
dengan pemerintah dan pelaku pembangunan lain-
nya; 2) Menumbuhkemangkan kemampuan dan
kepeloporan masyarakat. Karena hal ini akan me-
ningkatkan efektifitas peran masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup; 3) Menumbuhkan
ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial. Karena dengan begitu diharap-
kan akan semakin menurunkan kemungkinan ter-
jadinya dampak negatif; 4) Memberikan saran
pendapat; 5) Menyampaikan informasi dan / atau
menyampaikan laporan.
Apa yang dikemukakan di atas merupakan
ketentuan yang bersifat umum tentang peran serta
masyarakat dalam menjaga dan melestarikan ling-
kungan yang sesungguhnya dapat dianalogkan
juga dengan menjaga dan melestarikan fungsi hutan
sebagai bagian dari unsur lingkungan hidup.
Secara khusus, peran serta masyarakat dalam
masalah kehutanan ini diatur dalam Undang
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
beserta peraturan pelaksanaannya. Dalam kon-
sideran huruf C Undang Undang tersebut dinya-
takan bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan
dan berwawasan mendunia, harus menampung
dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat
dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang
berdasarkan pada norma hukum nasional (Hardja-
soemantri, 1997, 39).
Selanjutnya pada bagian Batang tubuh Undang
Undang ini soal peran serta masyarakat mendapat-

Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.6, No.1 Juni 2015: 45–55
| 48 |
kan tempat khusus yaitu Bab IX dan Bab X. Bab IX
memberikan tempat untuk keberadaan masyarakat
hukum adat dalam kaitannya dengan soal hutan.
Pasal 67 ayat (1) menyatakan: Masyarakat hukum
adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya berhak: a) melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang
bersangkutan; b) melakukan kegiatan pengelolaan
hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang undang; dan
c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka me-
ningkatkan kesejahteraannya. (2).Pengukuhan
keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)
ditetapkan oleh Peraturan Daerah. (3).Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagaimana peran serta masyarakat secara
umum dalam soal kehutanan ini, diatur dalam
Batang tubuh UU No. 41/1999 Bab X. Pasal 68, 69
dan 70. Pasal 68: (1). Masyarakat berhak menikmati
kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2). Selain hak sebagaimana dimaksud ayat (1).
masyarakat dapat: a) memanfaatkan hutan dan
hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. b) b. mengetahui ren-
cana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan,
dan informasi kehutanan. c) c. memberi informasi
serta pertimbangan dalam pembangunan ke-
hutanan dan d) melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan pembangunan kehutanan baik lang-
sung maupun tidak langsung. (3). Masyarakat di
dalam dan disekitar hutan berhak memperoleh
kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan
sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan
hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undang-
an yang berlaku. (4). Setiap orang berhak memper-
oleh kompensasi hilangnya hak atas tanah miliknya
sebagai akiat dari adanya penetapan kawasan hutan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Lebih jauh peran serta masyarakat diatur
dalam pasal Pasal 69: (1) Masyarakat berkewajiban
untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan
hutan dari gangguan dan kerusakan. (2) Dalam
melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat
meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan
kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain
atau pemerintah;
Ketentuan lain yang mengatur peran serta
masyarakat tertuang pada pasal 70: (1) Masyarakat
turut berperan serta dalam pembangunan di bi-
dang kehutanan. (2) Pemerintah wajib mendorong
peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan
di bidang kehutanan yang berdayaguna dan ber-
hasil guna. (3) Dalam rangka meningkatkan peran
serta masyarakat, pemerintah dan pemerintah
daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati ke-
hutanan. (4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Selain pasal-pasal yang dikemukakan diatas,
terdapat pasal-pasal lain yang memberikan kewe-
nangan atas peran serta masyarakat dalam
pengelolaan hutan, seperti pasal 34, dimana dinya-
takan bahwa untuk pengelolaan kawasan hutan
untuk tujuan khusus dapat diberikan kepada
masyarakat adat. Demikian pula pemanfaatan
hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat
yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya, seba-
gaimana dinyatakan dalam pasal 37.
Selanjutnya, untuk menjamin pelaksanaan
perlindungan hutan yang sebaik-baiknya,
masyarakat diikutsertakan dalam upaya
perlindungan hutan sebagaimana ditegaskan pada
pasal 48 ayat (5).
Untuk kegiatan-kegiatan dibidang penlitian
dan pengembangan kehutanan, UU NO. 41/1999
memberikan tempat untuk peran serta masyarakat
pada pasal 53 ayat (3) bahwa: penyelenggaraan
penelitian dan pengembangan kehutanan dila-
kukan oleh pemerintah dan dapat bekerjasama de-
ngan perguruan tinggi, dunia usaha dan masyarakat.

Orientasi Masyarakat Sekitar Hutan dan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pelestarian Fungsi Hutan
H. Joni
| 49 |
Demikian juga untuk publikasi hasil pene-
litian dan pengembangan kehutanan serta
mengembangkan system informasi dan pelayanan
hasil penelitian/ pengembangan kehutanan,
masyarakat bersama-sama pemerintah dan dunia
usaha memegang peran penting di dalamnya,
sebagaimana di nyatakan dalam pasal 54 ayat (1).
Adapun peran serta masyarakat dalam hal
pendidikan dan latihan kehutanan serta penyuluh-
an kehutanan, diatur dalam pasal 55 ayat (3) serta
pasal 56 ayatn (1) dan (2). Untuk aspek pengawasan
kehutanan, peran serta masyarakat diatur dalam
pasal 60 ayat (2), pasal 62 dan pasal 64. Bagaimana
kalau terjadi kerusakan hutan sebagai akibat per-
buatan pemegang ijin pemanfaatan hutan ?,
Di dalam hal ini sebagaimana diatur dalam
pasal 71 ayat (1), masyarakat berhak mengajukan
gugatan perwakilan ke Pengadilan dan atau mela-
porkan ke penegak hukum terhadap kerusakan
hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tersebut terbatas pada tuntutan ter-
hadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
demikian sebagaimana dinyatakan dalam ayat (2).
Tentang Hak Pengusahaan Hutan oleh
Pemegang HPH
Dahulu bayangan orang Indonesia tentang
hutan alam tropika di Indonesia banyak dihantui
oleh sejumlah makhluk halus serba menakutkan
serta masih banyaknya berkeliaran satwa buas.
Gambaran keadaan hutan yang demikian itu
mengakibatkan penduduk kurang berani mengusik
keberadaan hutan. Untuk menebang satu biji
pohon saja, acapkali harus diiringi dengan upacara
sakral, sebagai salah satu syarat (berdasarkan
kepercayaan yang mereka yakini) agar kegiatan
penebangan pohon itu tidak menimbulkan
malapetaka atau mendatangkan bala.
Namun sejak dikumandangkannya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1967 yang kemudian diper-
baharui terakhir dengan Undang Undang No. 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, gambaran manusia
tentang hutan berbalik menjadi lain, yang mana
hutan dengan nilai kekayaan yang terkandung
didalamnya seolah merupakan “tambang emas”
berupa kekayaan aneka jenis pohon yang bernilai
cukup tinggi (Sunarno, 1988, 34).
Sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 6
ayat (1), bahwa hutan memiliki tiga fungsi utama
yaitu: fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi
produksi dimana fungsi-fungsi tersebut ditetapkan
oleh Pemerintah, maka pemerintah juga mengatur
bagaimana memanfaatkan fungsi-fungsi hutan ter-
sebut. Pasal 26 ayat (2) mengatur tentang peman-
faatan hutan lindung yang dilaksanakan melalui
pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, ijin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pe-
mungutan hasil hutan bukan kayu (Sunarno, 1988,
23).
Untuk izin usaha pemanfaatan kawasan, da-
pat diberikan kepada perorangan dan koperasi.
Izin pemanfaatan jasa lingkungan, dapat diberikan
kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik
swasta nasional dan juga badan usaha milik negara
atau milik daerah. Sementara khusus pemungutan
hasil hutan bukan kayu dikawasan hutan lindung
dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi
(Hardjasoemantri, 1997, 43).
Untuk pemanfaatan hutan produksi, telah di-
atur dalam pasal 28 dan 29. Pemanfaatan hutan
produksi itu dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu. Sebagaimana
pemanfaatan hutan lindung, pemanfaatan hutan
produksi ini juga dilakukan melalui pemberian izin
usaha pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu, izin pemanfaatan hutan bukan kayu, izin pe-
mungutan hasil hutan kayu dan izin pemungutan
hasil hutan bukan kayu.

Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.6, No.1 Juni 2015: 45–55
| 50 |
Izin pemanfaatan kawasan hutan dan pe-
mungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu di
hutan produksi dapat diberikan kepada perorang-
an dan koperasi. Sementara untuk izin pemanfaat-
an jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu dan
hasil hutan kayu di hutan produksi, dapat diberi-
kan kepada perorangan,koperasi, badan usaha
milik swasta Indonesia dan dan badan usaha milik
negara/daerah.
Pengusahaan hutan merupakan salah satu
kegiatan dalam pembangunan hutan. Di samping
pengusahaan hutan, kegiatan pembangunan hutan
terdiri dari: pengelolaan daerah aliran sungai
(DAS), rehabilitasi lahan kritis, reboisasi, pem-
bangunan kebun binatang, pembangunan taman
safari dan sebagainya. Pengusahaan hutan (HPH)
sendiri, selama ini dikenal ada beberapa macam
seperti pengusahaan hutan tanaman industri
(HPHTI), pengusahaan hutan sagu (HPH sagu),
pengusahaan hutan bambu (HPH Bambu) dan
sebagainya (Soenarno, 1988, 25).
Pengusahaan hutan merupakan sektor yang
melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam sehingga jika ditinjau dari segi pendapatan,
hadirnya pengusaha HPH sungguh merupakan hal
yang sangat menggembirakan karena dengan
adanya perkembangan HPH tersebut sektor kehu-
tanan telah mampu menempatkan kedudukannya
sebagai pemasok devisa negara domor dua setelah
minyak dan gas bumi.
Adanya kegiatan pengusahaan hutan, juga
mendatangkan manfaat tidak saja bagi pemegang
ijin HPH-nya sendiri tetapi juga bagi pemerintah
dan masyarakat. Adapun kegunaan bagi peng-
usaha HPH adalah sebagai berikut: 1) Mengusaha-
kan kayu secara berkesinambungan dengan jenis-
jenis yang memenuhi syarat sesuai ketentuan sistem
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI.). dalam hal
ini melaksanakan pembangunan hutan dengan jalan
melaksanakan penanaman kembali pada areal-ar-
eal kosong/ rusak/ bekas penebangan atau mela-
kukan pemeliharaan pada areal bekas penebangan
sesuai ketentuan TPTI; 2) Menyediakan bibit untuk
kegiatan penanaman dan pengayaan dengan jalam
membangun persemaian yang mantap, sehingga
bibit yang tersedia dalam jumlah cukup dan
kualitas baik; dan 3) Melaksanakan kegiatan pem-
binaan masyarakat melalui Pembinaan Desa Hutan
(PMDH) kepada desa-desa yang termasuk dalam
areal HPH pengusaha yang bersangkutan.
Dengan hadirnya HPH, masyarakat juga da-
pat memetik keuntungan, antara lain: 1) Mening-
katkan peluang berusaha dan bekerja, karena
adanya kegiatan pengusahaan hutan; 2) Mening-
katkan aksesibilitas jalan, karena adanya jalan
HPH; 3) Meningkatkan pendapatan masyarakat,
karena sarana perekonomian lokal akan mening-
kat, misalnya adanya pasar, berkembangnya
warung-warung/ toko-toko dan adanya ojek.
Adapun bagi Pemerintah sendiri, hadirnya
HPH juga akan mendatangkan manfaat, yaitu: 1)
Membantu Pemerintah dalam mengelola sumber-
daya hutan, sehingga akan meningkatkan penda-
patan daerah; 2) Membantu pemerintah dalam
mempercepat pengembangan suatu wilayah se-
tempat.
Akan tetapi disisi lain, pengusahaan hutan
juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Agar kerusakan yang terjadi tidak semakin parah
maka pemanfaatan sumber daya hutan haruslah
berwawasan lingkungan, sehingga diharapkan
adanya kesinambungan dalam pemanfaatan hutan
dalam jangka panjang. Artinya, kebijaksanaan
pembangunan hutan sangat diperlukan dan
pemanfaatannya harus dilakukan guna menunjang
ekonomi nasional tanpa harus melupakan eko-
sistem hutan itu sendiri.
Untuk mengendalikan kerusakan hutan dan
lingkungan kawasan hutan, Pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan dalam sektor kehutanan
yang dituangkan dalam Rencana Umum Kehutanan
(RUK) yang dipergunakan sebagai dasar dalam
penyusunan rencana-rencana kehutanan dan meru-
pakan pedoman pembangunan kehutanan serta se-

Orientasi Masyarakat Sekitar Hutan dan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pelestarian Fungsi Hutan
H. Joni
| 51 |
bagai alat komunikasi di dalam jajaran sektor
kehutanan sendiri dan juga dengan sektor lain.
Kebijakan yang ditempuh adalah dengan
membagi kawasan hutan berdasarkan fungsinya
yang dituangkan dalam bentuk Rencana Peng-
ukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) atau
lebih dikenal dengan Tata Guna Hutan Kese-
pakatan (TGHK). Ketentuan ini dalam pelaksa-
naannya dipaduserasikan dengan Peta Tata Ruang
Wilayah Propinsi (RTRWP) yang kemudian dikenal
dengan Peta Tata Guna Hutan (TGH), yang meru-
pakan padu serasi antara TGHK dan RTRWP.
Di dalam rangka pengelolaan hutan produksi
Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan
dan Perkebunan juga telah menetapkan kebijakan
untuk menerapkan sistim silvikultur Tebang Pilih
Indonesia sejak tahun 1973 yang kemudian disem-
purnakan dengan sistem Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI) tahun 1989, kemudian direvisi
lagi pada tahun 1993 yang lalu.
Di dalam sistem ini harus memperhatikan
asas-asas kelestarian hutan yang mencakup: keles-
tarian produksi, penyelamatan tanah dan air, per-
lindungan plasma nuftah, teknik silvikultur yang
sesuai dengan kondisi lingkungan, komposisi dan
struktur hutan, sifat tumbuh dan jenis-jenis pohon.
Masih dalam konteks dengan kebijaksanaan
pengusahaan hutan, Pemerintah membebankan
kepada pemegang HPH agar berperan lebih nyata
dalam pembinaan masyarakat di dalam dan dise-
kitar hutan dengan melaksanakan program Pem-
binaan Masyarakat Desa Hutan. Maksudnya ada-
lah upaya untuk membantu meningkatkan kesejah-
teraan masyarakat yang berada di dalam dan
disekitar hutan selain meningkatkan kualitas
sumber daya hutan.
Dari serangkaian ketentuan yang mengatur
tentang keharusan melestarikan fungsi hutan
sebagaimana tersebut diatas, kita bisa menyimpul-
kan betapa strategisnya peran serta pengusaha
HPH dalam melestarikan fungsi hutan. Secara yu-
ridis formal, Pemerintah telah mengeluarkan banyak
sekali ketentuan yang terkait erat upaya pelestari-
an fungsi hutan yang berkaitan erat pula dengan
peran serta pemegang HPH dalam pelestarian
fungsi hutan.
Di samping ketentuan-ketentuan yang telah
disinggung diatas, secara hierarkhis, ketentuan
tentang peran serta pengusaha HPH dalam
pelestarian fungsi lingkungan dapat dirujuk pada
Undang Undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dinyatakan dalam pasal 15
ayat (1) bahwa Setiap rencana usaha dan /atau
kegiatanyang kemungkinan dapat menimbulkan
dampak dampak besar dan penting terhadap ling-
kungan hidup, wajib memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL ini
merupakan instrumen perencanaan untuk menilai
kelayakan suatu usaha apakah layak secara ling-
kungan, sehingga pertimbangannya tidak semata-
mata berdasarkan kelayakan ekonomi atau teknis
belaka.
AMDAL ini juga menjadi persyaratan per-
ijinan, sehingga suatu kegiatan termasuk pengusa-
haan, yang menurut persyaratan wajib AMDAL,
tetapi ia tidak menyusun AMDAL maka ijinnya
tidak boleh dikeluarkan.
Ketentuan tentang rencana usaha dan/ atau
kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15 ayat (1), serta tata cara
penyusunan penilaian AMDAL ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Adapun Peraturan
Pemerintah dimaksud adalam No. 27/1999 tentang
AMDAL.
Khusus bidang Kehutanan dan Perkebunan,
dalam rangka meminimalkan adanya dampak ling-
kungan yang terjadi akibat kegiatan pengusahaan
hutan Pemerintah telah mengeluarkan Surat Men-
teri Kehutanan dan Perkebunan No. 602/Kpts-II/
1998 jo No. 622/Kpts-II/1999 tentang AMDAL,
UKL-UPL Pembangunan Kehutanan dan Perke-
bunan. Dengan adanya peraturan ini diharapkan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengusa-

Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.6, No.1 Juni 2015: 45–55
| 52 |
haan hutan yang diduga akan menimbulkan dam-
pak negatif harus sedini mungkin dicegah. Peng-
usahaan hutan harus disesuaikan dengan daya
dukung sumberdaya alam terutama sumberdaya
hutan dan kelestariannya dapat terjamin.
Dengan demikian peran serta pengusaha
HPH dalam melestarikan fungsi hutan sesungguh-
nya telah terwadahi dengan kewajiban menyusun
AMDAL atau UKL-UPL. Karena dalam dokumen
AMDAL sendiri disamping memuat ANDAL
(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) juga ter-
dapat dokumen yang disebut dengan RKL (Ren-
cana Kelola Lingkungan) dan RPL (Rencana Peman-
tauan Lingkungan). Oleh karena itu dalam penyu-
sunan dokumen AMDAL bidang pengusahaan
hutan, terkait erat beberapa ketentuan dalam
perlindungan fungsi hutan yang bersifat hirarkhis,
mulai yang tertinggi yaitu Undang Undang sampai
kepada teknis turunannya yang terbawah yaitu
berupa Keputusan / Edaran Direktur Jenderal.
Serangkaian ketentuan perundang-undang-
an tersebut diatas menjadi dasar bagi setiap peme-
gang izin HPH untuk melaksanakan kewajibannya
dalam melestarikan fungsi hutan. Bagaimana
sesungguhnya peran serta secara riil pemegang izin
HPH dalam melestarikan fungsi hutan, sebagai-
mana tertuang dalam dokumen AMDAL atau UKL-
UPL, haruslah diketahui terlebih dahulu aktifitas
atau kegiatan apa saja yang dilakukan oleh peme-
gang izin HPH itu dalam pelaksanaan aktifitas
pengusahaan hutan.
Mencermati lebih lanjut, rencana kegiatan
HPH yang dilakukan oleh pemegang izin HPH
akan terdiri dari beberapa tahapan kegiatan, yaitu:
Rencana Pemanfaatan Hutan: Pembukaan wilayah
hutan; Pembuatan Base camp/kemah induk; Tim-
ber crusing; Penebangan; Penyaradan kayu dari
blok tebangan ke Tempat Pengumpulan; Pengang-
kutan Kayu dari TPK ke Logpond; Pembuatan TPn,
TPK, Logpond dan dermaga; Kegiatan pembagian
batang, pengulitan dan pengawetan kayu; kegiatan
perakitan dan pengangkutan kayu dari sungai
Dari rangkaian kegiatan-kegiatan tersebut
di atas tentu ada kegiatan yang menimbulkan dam-
pak terhadap lingkungan hutan. Paling tidak ke-
giatan pembuatan jalan angkutan dan rencana
penebangan dan penyaradan menimbulkan dam-
pak terhadap ekosistem hutan. Dalam kegiatan
pembuatan jalan angkutan akan membuka wilayah
hutan sehingga akan menyebabkan banyak tim-
bulnya dampak penting seperti erosi, sedimentasi,
perubahan permeabilitas tanah, perubahan kan-
dungan COD, BOD5 dan menurunnya keaneka-
ragaman biota perairan.
Di dalam rencana pembinaan hutan, peme-
gang izin HPH akan melakukan kegiatan pem-
binaan yang meliputi: pemeliharaan tegakan sisa;
pembuatan persemaian atau pengumpulan anakan;
penanaman atau tanaman perkayaan; dan pemeli-
haraan tahap I dan pemeliharaan lanjutan.
Dari beberapa kegiatan pada tahap pem-
binaan hutan ini, kemungkinan dampak muncul
dari aktifitas pembebasan tegakan, pemeliharaan
tegakan, penanaman dan pengayaan.
Untuk kegiatan dalam rangka perlindungan
dan pengamanan hutan meliputi: penanggulangan
kebakaran; pengamanan terhadap pencurian hasil
hutan dan penebangan liar; pencegahan dan
penanggulangan perladangan berpindah; pence-
gahan dan penanggulangan perambah hutan; dan
pencegahan erosi.
Untuk kegiatan lainnya dalam rangka pelak-
sanaan pengusahaan hutan (HPH) meliputi
kegiatan-kegiatan seperti: mobilisasi peralatan dan
material; penyerapan tenaga kerja; pembangunan
sarana dan prasarana sosial baik bagi karyawan
maupun masyarakat sekitarnya dan program pem-
binaan masyarakat desa hutan (PMDH).
Dari tahap kegiatan ini maka yang secara
mendasar mempengaruhi perubahan lingkungan
adalah rencana kegiatan penyerapan tenaga kerja
dan rencana program pembinaan masyarakat desa.
Kegiatan penyerapan tenaga kerja meliputi
kegiatan penerimaan dan pengadaan tenaga kerja

Orientasi Masyarakat Sekitar Hutan dan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pelestarian Fungsi Hutan
H. Joni
| 53 |
baik local maupun dari luar daerah, hal ini akibat
adanya kegiatan pembangunan base camp dan
penebangan. Pengadaan tenaga kerja diperkirakan
akan menimbulkan dampak kepada sub komponen
sosial ekonomi dan budaya.
Akibat kegiatan ini terlihat perubahan ter-
hadap sub komponen sosial ekonomi dan budaya
antara lain: terjadi pertumbuhan penduduk, per-
ubahan kesempatan kerja, perubahan pendapatan,
tatanan kelembagaan, perubahan persepsi masya-
rakat dan sebagainya.
Dari rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan
pengusahaan hutan beserta dampak lingkungan
yang ditimbulkan sebagaimana dikemukakan di-
atas, dapat disimpulkan bahwa dampak yang tim-
bul terhadap lingkungan secara garis besar dapat
dimasukkan kedalam tiga kategori, yaitu dampak
terhadap komponen fisik kimia, komponen biotic
dan komponen sosial ekonomi budaya.
Berdasarkan tiga komponen lingkungan
yang terkena dampak tersebut diatas yaitu (kom-
ponen fisik kimia, biologi dan sosial ekonomi
budaya) maka seorang pengusaha HPH harus
mengupayakan untuk melakukan suatu tindakan-
tindakan dalam rangka pengelolaan lingkungan
baik dengan mencegah, mengendalikan maupun
menanggulangi dampak yang timbul tersebut.
Peluang untuk Berperan Sertanya
Masyarakat dan Pemegang HPH dalam
Pelestarian Fungsi Hutan
Sebagaimana diketahui, Undang Undang
No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah satu dari
beberapa perundang-undangan yang dihasilkan
pada masa pemerintah transisi dibawah Presiden
BJ. Habibie. Undang Undang ini lahir sebagai
jawaban atas keberadaan Undang Undang No. 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan yang dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan
dan tuntutan perkembangan keadaan.
Dengan diberlakukannya Undang Undang
No. 41/1999 maka segera akan disusul beberapa
peraturan pelaksanaan baik berupa Peraturan
Pemerintah maupun ketentuan pelaksanaan lain-
nya. Paling tidak ada sebanyak 19 pasal dari Undang
Undang ini yang masih memerlukan peraturan
pelaksanaan yang diserahkan kepada Pemerintah
Pusat (Indonesian Center for Environmental Law,
1999).
Masalah yang kiranya mendasar adalah
tidak bisa dipahaminya oleh warga masyarakat
adat, bahwa mereka telah menguasai dan hidup
atas tanah dan kekayaan alamnya secara turun-
temurun (bahkan jauh sebelum Negara Republik
Indonesia diproklamasikan), mendapat kenyataan
bahwa tanah dan kekayaan alamnya dikuasai oleh
pihak lain tanpa pernah memperoleh ijin dari
mereka. Tak pelak lagi sebagaimana pernah dike-
mukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto (1997,
4) bahwa dilihat dari perspektif perceptual dan per-
spektif konseptual para warga komunitgas local,
usaha-usaha pembangunan yang diprakarsai oleh
pusat dan dilaksanakan oleh orang-orang yang da-
tang mewakili pemerintah pusat (negara) itu benar-
benar merupakan suatu tindakan “memasuki
wilayah pertuanan orang tanpa ijin”.
Praktik pelanggaran kedaulatan Masyarakat
Adat atas kawasan hutan oleh pemerintah pusat
maupun oleh perusahaan-perusahaan penanam
Modal Besar dibidang Kehutanan akan tetap ber-
langsung sekiranya Undang Undang No. 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan tetap diberlakukan tanpa
adanya suatu perbaikan terutama yang menyang-
kut kedudukan Masyarakat Adat.
Pastinya, dalam Undang Undang No. 41 Tahun
1999 tidak ada tempat yang memadai bagi ke-
daulatan masyarakat hukum adat atas teritori dan
kekayaannya. Konsep lama sebagaimana terkan-
dung dalam Unang Undang No. 5 Tahun 1967
sepenuhnya masih dianut atau sama sekali tidak
ada perubahan berarti. Bahkan menurut Noer
Fauzi (2002, 23), Ketua Badan Pelaksana Konsor-

Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.6, No.1 Juni 2015: 45–55
| 54 |
sium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan bah-
wa Kedudukan hukum Masyarakat Hukum Adat
dibawah dari peraturan pemerintah (government
regulation). Kalimat “pengakuan” sebagaimana
terkandung dalam Undang Undang tersebut,
merupakan suatu siasat kata-kata untuk suatu mak-
sud sesungguhnya yakni pembatasan (kalau tidak
mau disebut penindasan).
Serangkaian fakta-fakta yang menyangkut
kedudukan Hukum Masyarakat Hukum Adat di
bidang Kehutanan tersebut tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan konsep Hak Menguasai Negara.
Tidak ada konsepsi politik hukum (political legal
concept) yang paling berpengaruh dalam soal
kehutanan dewasa ini seberpengaruh konsep Hak
Menguasai dari Negara (HMN). HMN adalah hak
tertinggi yang dikenakan terhadap tanah melebihi
hak apapun juga.
Perumus Undang Undang Kehutanan agak-
nya mendasarkan diri pada pasal 33 Undang
Undang Dasar 1945 ayat 3 yang menyatakan
bahwa: “ Bumi air dan kekayaan alam yang ter-
kandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “. Dalam
berbagai peraturan termasuk bidang Kehutanan,
HMN yang paling dominan dan bermasalah adalah
hak yang dipegang oleh pemerintah pusat untuk
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan tanah dan
kekayaan alam termasuk hutan.
Walhasil konsep pengakuan hukum Masya-
rakat Hukum Adat atas sumber-sumber agraria
dalah pengakuan bersyarat yang praktisnya tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kelom-
pok masyarakat adat akan jaminan penghargaan
dan perlindungan hukum yang utuh. Pengakuan
bersyarat yang ditawarkan oleh pembuat Undang
Undang itu mendapatkan dasar dari konsep politik
hukum HMN. Namun konsep “menguasai” yang
terdapat dalam HMN bila dianalisa secara kritis
ternyata terlepas melampaui konsep “menguasai”
yang terdapat dalam pasal 33 ayat (3) Undang
Undang Dasar 1945 yang sehari-hari dijadikan
sebagai payung pelindung dan pembenar.
Penutup
Guna mendukung kebijakan dalam pengelo-
laan hutan di masa yang akan datang, diperlukan
berbagai kebijakan yang arahnya adalah sesentra-
lisasi dan dekonsentrasi pengelolaan sumber daya
(hutan) antara pemerintah pusat dan daerah.
Demikian juga lebih diefektifkan kerjasama (kemi-
traan) dalam pengelolaan sumber daya hutan
antara rakyat dengan pemerintah yang didasarkan
pada prinsip-prinsip keadilan, kelestarian, demo-
kratis dan transparansi.
Demi tercapainya pembangunan berwawas-
an di sektor kehutanan, memerlujkan pengem-
bangan dan urgensinya memperkuat kesadaran
terhadap lingkungan seharusnya datang terlebih
dahulu dari para pengusaha HPH sebagai pelaku
kegiatan, sehingga pemerintah dan masyarakat
cukup melakukan pembinaan dan pengawasan.
Daftar Pustaka
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1989, Laporan Hasil
Pengkajian Hukum Lingkungan, BPHN, Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesdnadi, 1995, “Kemitraan Dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Simposium sehari
FH-UNPAK, Bogor.
———————-, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Ismail, Suwiryo, Desember 1999, “Memperkuat Peran Serta
Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Hidup di Daerah”, Makalah disam-
paikan pada Pelatihan Eksekutif Penyusunan
Program Pengendalian Dampak Lingkungan
Kerjasama ProLH-BAPEDAL, Jakarta.
Kartodiharjo, Hariadi, 2002, Masalah Kebijakan Pengelo-
laan Hutan Alam Produksi. Pustaka Latin, Bogor.
Keraf, A Sonny, 2001, Pembangunan Berkelanjutan atau
Berkelanjutan Ekologi? Dalam Erman Rajagukguk
& Ridwan Khairandy (ED), Hukum dan Lingkungan

Orientasi Masyarakat Sekitar Hutan dan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pelestarian Fungsi Hutan
H. Joni
| 55 |
Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof.Dr.Koesnadi
Hardjasoemantri SH.LLM, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Khor, Martin, 2002, Globalisasi dan Krisis Pembangunan
Berkelanjutan, Cindalaras Pustaka Rakyat Cerdas,
Yogyakarta.
Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan pembangunan,
1988, Hari Depan Kita Bersama, PT. Gramedia,
Jakarta.
M. Husein, Harun, 1992, Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,
Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta.
Manik, Karden Eddy Sontang, 2003, Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta.
Mitchell, Bruce & Dkk, 2000, Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Mudakir, Darul, 2000, Peranserta Masyarakat Pada Kawasan
Publik, Metrika, Bandung.
Pitoyo, Djoko, 1999, Hutan Kemasyarakatan Sebagai Aset
Sosial, Metrika, Bandung.
Prayitno, 1998, Manajemen Kehutanan Berbasis
Kemasyarakatan, Alam Lestari, Jakarta.
Purwacaraka, Purnadi dalam Soerjono Soekanto, 1974,
Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia, Cet. Keempat, Universi-
tas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Santosa, Achmad dan Sulaiman N. Sembiring, 1997, Hak
Gugat Organisasi Lingkungan, ICEL, Jakarta.
Sastrawijaya, Tresna, A., 1997, Pencemaran Lingkungan,
PT.Rineka Cipta, Jakarta.
Sihite, Tumpak, 2000, Aspek Politis Pada Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Penyuluh, Medan.
Silalahi, Daud, M., 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem
Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni,
Bandung.
Soemarsono, 1998, “Kebijakan Departemen Kehutanan dan
Perkebunan dalam Pengelolaan Pembangunan Yang
Berwawasan Lingkungan”, Makalah Disampaikan
Pada rapat Kerja Pemantapan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah.
Soemarwoto, Otto, 1991, Indonesia Dalam Kancah Isu
Lingkungan Global, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Soenarno (et.al), 2002, Sistem Tebang Pilih Indonesia dan
Kemungkinan Terapan Model Jalur Cell di Hutan
Tropika, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan Departemen Kehutanan, Jakarta.
Soerjani, Mohammad, 2000, Perkembangan Kependudukan
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Yayasan
Institut Pendidikan dan Pengembangan
Lingkungan Hidup, Jakarta.
Soerjani, Muhammad, 1997, Pembangunan dan Lingkungan
Meniti Gagasan dan Pelaksanaan Sustainable Devel-
opment, Yayasan Institut Pendidikan dan
Pengembangan Lingkungan Hidup, Jakarta.
Subagyo, Joko, P., 1999, Hukum Lingkungan Masalah dan
Penanggulangannya, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Sundari Rangkuti, Siti, 1996, Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga Uni-
versity Press, Surabaya.
Tunggal, Arif Djohan, 1998, Peraturan Perundang-
Undangan Lingkungan Hidup, Buku 1. Harvarindo,
Jakarta.
Verba, Sydney, sebagaimana dikutip oleh Achmad
Santoso, 1999, “Peran Masyarakat dan Keterbukaan
Informasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”,
Makalah disampaikan pada Pelatihan Eksekutif
Penyusunan Program Pengendalian Dampak
Lingkungan Kerjasama ProLH-BAPEDAL,
Jakarta.
Wibawa, Samodra (ed), 1991, Pembangunan Berkelanjutan
Konsep dan Kasus, PT.Tiara Wacana Yogyakarta.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1997, Komunitas Lokal versus
Negara Bangsa, Perbedaan Konsep tentang Makna
Lingkungan Hidup, Makalah ringkas pada diskusi
Bertemakan: “ Hubungan Negara-Masyarakat
Dalam Pengelolaan Lingkungan”, yang
diselenggarakan YLBHI, Jakarta.