Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2023), 10(1), 96-113 e-ISSN: 2580-1228
DOI: 10.24854/jpu440 p-ISSN: 2088-4230


96
Handling Editor: Karel Karsten Himawan, Faculty of Psychology, Universitas Pelita Harapan, Indonesia

This open access article is licensed under Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use,
distribution, and reproduction, provided the original work is properly cited.
PENGARUH RELIGIOSITAS DAN SIKAP PERAN GENDER
SEXISM TERHADAP KECENDERUNGAN PERILAKU
KEKERASAN OLEH SUAMI

Vany Aprilia & Anisia Kumala Masyhadi
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jalan Limau II, RT.3/RW.3, Kramat Pela, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12130, Indonesia

Korespondensi: [email protected]

THE CONTRIBUTION OF RELIGIOSITY AND SEXISM GENDER ROLE
ON INTIMATE PARTNER VIOLENCE AMONG MARRIED MEN
Manuscript type: Original Research


Abstract
Trends on intimate partner violence demonstrate a consistent increase over the year, including
in Indonesia. This study aims to determine the contribution of religiosity and gender role
attitudes of sexism on the tendency of violent behavior in couples in Indonesia. Participants
were 102 men (Mage = 33; SD = 8.245) who were married for at least one year. Data were
analyzed using multiple regression technique. The results showed that religiosity significantly
reduces the tendency of intimate partner violence, while sexist attitude, which favours men to
be superior to women, significantly increases the tendency of husbands performing intimate
partner violence. This study informs that religiosity can be a protective factor of domestic
violence, while sexism gender role attitude is the risk factor. The study highlighted the
potential benefit of strategic campaigns to penetrate an egalitarian gender role attitude, while
respecting the cultural richness around gender, in the society as one of the strategies to flatten
the male violence curve in domestic settings.

Article history:
Received 18 January 2021
Received in revised form 8 June 2021
Accepted 9 September 2021
Available online 21 August 2022

Keywords:
intimate partner violence
religiosity
sexism gender role attitude

Abstrak
Kasus kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya menunjukkan tren kenaikan setiap tahunnya,
termasuk di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh religiositas dan sikap peran gender
sexism terhadap kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan di Indonesia. Sampel dalam penelitian ini
adalah 102 laki-laki (Musia = 33; SD = 8.245) yang telah menikah minimal satu tahun. Teknik analisis data dalam
penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Hasil menunjukkan bahwa religiositas secara signifikan
dapat menurunkan kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan, sedangkan sikap peran gender sexism,
yang menganggap laki-laki lebih superior daripada perempuan, secara signifikan dapat meningkatkan
kecenderungan perilaku kekerasan terhadap istri. Penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa religiositas
dapat menjadi faktor pelindung dari kekerasan, sedangkan sikap peran gender sexism bisa menjadi faktor risiko.
Oleh karenanya, penting untuk melakukan pengarusutamaan terhadap sikap peran gender yang lebih egalitarian
dengan tetap mengapresiasi pemaknaan budaya seputar gender, sebagai salah satu strategi untuk menurunkan
prevalensi kekerasan domestik terutama oleh lelaki.

Kata Kunci: kekerasan terhadap pasangan, religiositas, sikap peran gender sexism



Dampak dan Implikasi dalam Konteks Ulayat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki menikah di Indonesia
terhadap pasangannya merupakan dampak dari sikap peran gender sexism pada laki-laki. Sikap peran gender ini menjadi faktor
pemicu terjadinya kekerasan, sementara religiositas menjadi faktor yang dapat menghambat laki-laki melakukan kekerasan terhadap
perempuan. Studi ini menekankan pada pentingnya dilakukan dengan upaya pengutamaan nilai atau ajaran agama yang penuh
nuansa keadilan, kasih sayang, dan kesetaraan gender dengan tidak memandang laki-laki sebagai pihak yang memiliki otoritas lebih
tinggi dan menjustifikasi kekerasan yang dilakukan pada pasangannya.

Aprilia & Masyhadi

97
PENDAHULUAN

Berbagai kasus kekerasan terhadap pasangan, khususnya yang dilakukan oleh laki-laki kepada
perempuan, merupakan masalah internasional dan terjadi di semua negara (Watts & Zimmerman,
2002). Secara spesifik, kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan dikategorikan sebagai salah
satu masalah internasional yang penting (Garcia-Moreno dkk., 2006; World Health Organization
[WHO], 2013) karena berkaitan dengan isu kesehatan masyarakat, kebijakan sosial, dan hak asasi
manusia (Devries dkk., 2013).
Kasus kekerasan terhadap pasangan di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ([Komnas Perempuan], 2021)
menyebutkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di berbagai provinsi di
Indonesia. Pada tahun 2017 angka kasus kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi ditempati oleh
DKI Jakarta (1,999 kasus), kemudian disusul dengan Jawa Timur (1,536 kasus), dan Jawa Barat
(1,460 kasus). Berdasarkan jumlah kasus, pada tahun 2017 kasus yang dilaporkan mengalami
peningkatan sebesar 74% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan jumlah kasus pada tahun 2017
sebanyak 348,446 kasus. Berdasarkan ranah kekerasan yang terjadi, dilaporkan angka tertinggi ialah
kasus KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang termasuk dalam ranah personal (71%),
meliputi kekerasan fisik, seksual, psikis, dan kekerasan ekonomi (Komnas Perempuan, 2018). Data
tersebut menunjukkan bahwa fenomena kasus kekerasan terhadap pasangan, khususnya yang
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, masih menjadi fenomena yang memprihatinkan di
Indonesia. Oleh karena itu, penelitian tentang faktor pemicu kekerasan terhadap pasangan di
Indonesia menjadi penting untuk dilakukan, agar dapat memberikan kontribusi, terutama pada
intervensi yang perlu dilakukan.
WHO (2010) mendefinisikan kekerasan terhadap pasangan sebagai sebuah perilaku dalam
hubungan yang berdampak pada kerugian fisik, seksual, maupun psikologis, seperti kekerasan yang
menyerang fisik, paksaan seksual, pelecehan psikologis, dan tindakan mengendalikan (bersikap
otoriter dan mengontrol). Bentuk kekerasan yang paling umum terjadi adalah kekerasan terhadap
perempuan yang dilakukan oleh seorang suami atau pasangan lelaki. Berbagai bentuk tindak
kekerasan yang dilakukan oleh pasangan dapat dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tertentu (faktor
risiko). Hasil penelitian melaporkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah dan pengangguran
memiliki pengaruh terhadap peningkatan risiko terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh laki-
laki (Renzetti dkk., 2017). Terdapat dua aspek yang dapat menjadi faktor pemicu terjadinya tindak

Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2023), 10(1), 96-113

98
kekerasan terhadap pasangan, yaitu aspek objektif dan subjektif. Kondisi objektif adalah kondisi di
mana seseorang menganggur, memiliki penghasilan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
keluarganya, atau dengan kata lain mengalami kesulitan ekonomi. Selanjutnya, perasaan subjektif
yang berarti adanya rasa kecemasan atau kekhawatiran dengan kondisi finansial atau adanya
kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan (Benson dkk., 2003).
Beberapa penelitian terdahulu mencoba untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang dapat
memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan serta faktor penghambat laki-laki untuk melakukan
kekerasan terhadap perempuan. Salah satu faktor yang cukup banyak dibahas pada studi terdahulu
adalah religiositas. Beberapa studi mencoba untuk mengaitkan antara religiositas dengan
kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan atau yang biasa disebut intimate partner violence
(IPV). Beberapa dari studi tersebut menunjukkan bahwa religiositas dapat mengurangi prevalensi
individu melakukan tindakan kekerasan terhadap pasangan. Penelitian yang dilakukan oleh Ellison
dkk. (1999) menunjukkan bahwa religiositas yang ditunjukkan dengan komitmen atau mematuhi
nilai-nilai agama berperan dalam memenuhi kebutuhan akan perkembangan pribadi dan orientasi
keluarga sehingga dapat menjadi fondasi untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah
tangga. Sejalan dengan hal tersebut, Ellison dan Anderson (2001) juga mengungkapkan bahwa
komitmen terhadap nilai luhur agama merupakan faktor utama yang dapat membantu meminimalisasi
tindakan kekerasan terhadap pasangan. Lebih spesifik dikatakan bahwa seringnya seseorang
menghadiri tempat ibadah dapat memungkinkan berkurangnya tindak kekerasan terhadap
pasangannya. Hubungan kedua variabel ini dapat dijelaskan bahwa dengan semakin sering
menghadiri tempat ibadah, seseorang akan semakin memiliki integrasi dan dukungan sosial, yang
berperan penting dalam memelihara kesehatan mentalnya. Hal ini akan mengurangi kecenderungan
seseorang memunculkan perilaku agresif, terutama di dalam rumahnya.
Namun, penjelasan di atas bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Levitt
dan Ware (2006) yang menyatakan bahwa religiositas dapat mengarahkan individu untuk menyetujui
kekerasan dalam hubungan intim. Senada dengan itu, Alfitri (2020) juga mengungkapkan bahwa
dalam konteks Indonesia, fenomena kekerasan terhadap pasangan dalam rumah tangga juga
diperparah oleh beberapa faktor, di antaranya: budaya patriarki dan pemahaman agama yang bias.
Hal ini disebabkan karena adanya aturan dalam agama yang mengajarkan para perempuan untuk
selalu tunduk dan mematuhi suami. Oleh sebab itulah dinyatakan bahwa religiositas dapat
mengarahkan individu, terutama laki-laki untuk menyetujui tindakan kekerasan terhadap pasangan.

Aprilia & Masyhadi

99
Penelitian lain oleh Kim (2018) menjelaskan bahwa ketika keyakinan agama dan tingkat
religiositas yang dimiliki antar pasangan berbeda, maka terjadinya peningkatan konflik di dalam
hubungan tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim (2018) mengindikasikan bahwa
perbedaan keyakinan agama dan tingkat religiositas antar pasangan berhubungan positif dengan
peningkatan kerentanan terhadap tindakan kekerasan pada pasangan.
Berdasarkan hasil beberapa studi yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa hubungan
antara religiositas dengan kekerasan pada pasangan tidak konsisten. Hingga saat ini, belum ada
kesimpulan yang konklusif mengenai hubungan keduanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
religiositas menjadi faktor pencegah, tetapi terdapat beberapa penelitian lain, salah satunya adalah
penelitian Todhunter dan Deaton (2010) yang menyatakan bahwa religiositas justru menjadi faktor
pendorong tindak kekerasan. Perbedaan hasil ini salah satunya disebabkan oleh beragamnya definisi
religiositas yang digunakan dalam studi dan pengukuran yang berbeda-beda. Sebagian besar riset
tentang religiositas dan kekerasan pada pasangan hanya memfokuskan pada satu dimensi religiositas
saja, misalnya dimensi praktis, dimensi keterlibatan pada organisasi keagamaan atau dimensi lainnya,
sehingga hasil penelitian belum menunjukkan temuan-temuan yang konklusif.
Oleh karena itu, peneliti ingin menggunakan konsep religiositas yang lebih komprehensif,
yakni meliputi keyakinan atau keimanan, praktik ibadah, dan juga implementasi nilai-nilai agama
dalam kehidupan sehari-hari. Konsep ini digunakan oleh Worthington dkk. (2003) dengan
pengukuran yang disebut komitmen beragama (religious commitment). Secara operasional, komitmen
beragama didefinisikan sebagai tingkatan sejauh mana seseorang menganut nilai-nilai agama,
kepercayaan dan praktiknya, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, Curtis dan Ellison (2002) menemukan bahwa peningkatan konflik pada pasangan
terjadi karena adanya keyakinan dalam keagamaan yang berhubungan dengan sikap peran gender,
yaitu keyakinan untuk menempatkan laki-laki sebagai pihak yang dominan dan perempuan sebagai
pihak yang subordinat. Dalam hal ini, sikap peran gender menjadi faktor penting yang diindikasikan
memiliki pengaruh terhadap peningkatan tindak kekerasan terhadap pasangan. Sikap peran gender
merupakan keyakinan individu tentang peran yang tepat dari laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat, termasuk peran mereka dalam keluarga (Davis & Greenstein, 2009). Menurut García-
Cueto dkk. (2015), sikap peran gender bergantung pada sikap dan kepercayaan seseorang, tetapi pada
saat yang bersamaan juga memfasilitasi pembentukan stereotip yang akan memunculkan tindak
kekerasan dalam hubungan dengan pasangan.

Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2023), 10(1), 96-113

100
Sikap peran gender dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu transenden dan sexism. Sikap
peran gender transenden diartikan sebagai sebuah sikap yang dinilai membela atau mendukung
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan (García-Cueto dkk., 2015). Sementara itu, sikap
peran gender sexism sendiri adalah sebuah keyakinan subjektif mengenai keunggulan salah satu
gender dan adanya suatu bentuk perilaku untuk mempertahankan keunggulan tersebut (O’Neil, 1981).
Ketidakseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan membuat laki-laki berada di posisi
yang diistimewakan daripada perempuan, sehingga berdampak pada timbulnya sistem patriarki yang
dipengaruhi oleh peran gender (Walby & Bagguley, 1989).
Davis dan Greenstein (2009) menyatakan bahwa sikap peran gender yang lebih egaliter
(transenden) pada diri individu akan menyatakan dukungan yang lebih rendah terhadap patriarki
sebagai sistem sosial, sedangkan sikap gender yang lebih tradisional (sexism) akan lebih kuat dalam
mendukung prinsip-prinsip sistem patriarki. Pernyataan tersebut didukung dengan adanya hasil
penelitian yang menyatakan bahwa laki-laki yang sangat patuh terhadap norma-norma gender
maskulin tradisional (sexism) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melakukan tindak kekerasan
dan pelecehan terhadap pasangan perempuannya (Reidy dkk., 2014).
Sampai saat ini, perkembangan budaya patriarki di Indonesia masih terlihat dalam tatanan
masyarakat. Budaya patriarki sendiri banyak ditemukan dalam berbagai aspek dan ruang lingkup,
seperti pendidikan, ekonomi, hukum, hingga politik. Budaya patriarki di Indonesia mengartikan
posisi laki-laki sebagai pihak yang kuat dan cenderung memiliki kebebasan untuk melakukan apapun
terhadap perempuan (Hayati dkk., 2014; Sakina & Siti, 2017). Beberapa bentuk budaya patriarki yang
masih melekat pada masyarakat Indonesia sampai saat ini, seperti perempuan dituntut untuk selalu
mematuhi laki-laki (Alfitri, 2020; Himawan, 2020). Adanya pemikiran tersebut mengakibatkan
terjadinya konflik dalam rumah tangga yang berujung pada tindakan kekerasan terhadap pasangan
(Asmarany, 2013). Masih ada anggapan masyarakat yang meyakini bahwa pendidikan tinggi yang
diperoleh perempuan hanya ditujukan agar mereka lebih mampu dalam mendidik anak-anaknya
(Nauly, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh religiositas dan sikap peran gender
sexism terhadap kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan pada laki-laki di Indonesia.
Penelitian ini terbuka untuk semua pemeluk agama atau tidak dibatasi pada agama tertentu karena
pada pengukuran variabel juga tidak dibatasi pada ajaran agama tertentu, melainkan secara umum
atau universal. Selain itu, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius dan

Aprilia & Masyhadi

101
menjadikan agama sebagai identitas penting bagi hidupnya (Himawan dkk., 2022), sehingga studi
terkait religiositas dan hubungannya dengan fenomena sosial menjadi penting.

METODE

Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah laki-laki yang sudah menikah dengan minimal usia
pernikahan lebih dari 1 tahun, masih tinggal bersama dengan pasangan, serta berada di wilayah
Jabodetabek. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik aksidental dengan melalui dua cara. Cara
pertama, peneliti melakukan penyebaran kuesioner melalui Google Form dengan melampirkan
kriteria subjek yang dibutuhkan. Cara kedua, peneliti memberikan kuesioner secara langsung kepada
responden yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Peneliti memberikan kesempatan kepada
pertisipan untuk mengisi kuesioner yang telah diberikan dalam bentuk cetak dan kemudian
menyerahkan kembali kepada peneliti setelah selesai pengisian. Kedua cara tersebut digunakan untuk
memudahkan dan mengoptimalkan pengambilan data. Diasumsikan bahwa penggunaan kedua media
tersebut tidak mempengaruhi hasil karena keduanya menggunakan dua instrumen yang sama.
Responden yang berhasil mengisi kuesioner adalah 102 responden, sebanyak 60.78% (n = 62)
didapatkan secara daring dan 39.22% lainnya menggunakan pengisian kuisioner bentuk cetak.

Desain
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif. Berdasarkan jenis penelitiannya,
penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian ex post facto field study. Varibel dependen dalam
penelitian ini adalah kekerasan terhadap pasangan intim, sedangkan varibel independennya adalah
religiositas dan sikap peran gender sexism.

Prosedur
Studi ini menggunakan alat ukur yang dikembangkan dengan Bahasa Inggris, sehingga
peneliti mengawali dengan proses penerjemahan alat ukur sebelum melakukan survei. Peneliti
terlebih dahulu mengadaptasi kuesioner dari ketiga variabel yang digunakan ke dalam Bahasa
Indonesia. Setelah itu, peneliti melakukan uji coba terhadap alat ukur untuk mendapatkan alat ukur
yang reliabel dan valid. Survei disebarkan melalui dua cara, yaitu secara daring (menggunakan
Google Form) dan dalam bentuk cetak yang disebarkan di beberapa tempat secara umum di wilayah

Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2023), 10(1), 96-113

102
Jabodetabek. Rekrutmen untuk responden studi dilakukan dengan memasang iklan di beberapa
platform media sosial (termasuk Facebook dan Instagram) dan menyertakan tautan berisi instrumen
penelitian. Bagi mereka yang memenuhi kriteria responden dapat langsung mengisi tautan tersebut.
Untuk rekrutmen secara tatap muka, peneliti membagikan instrumen kepada calon responden yang
memenuhi kriteria di daerah sekitar tempat tinggal, lalu partisipan yang mengisi kuisioner secara
lengkap mengembalikannya kepada peneliti. Sebelum pengisian kuisioner, peneliti menjelaskan
secara singkat tujuan penelitian dan informasi terkait aspek etik dari penelitian ini. Tersedia apresiasi
berupa voucher elektronik senilai Rp 50.000,00 bagi 15 orang yang diundi oleh peneliti. Pengambilan
data dilakukan dalam rentang bulan Februari 2020 sampai dengan April 2020.

Instrumen
Religiositas diukur menggunakan skala pengukuran The Religious Commitment Inventory –
10 (RCI-10) yang dikembangkan oleh Worthington dkk. (2003). RCI-10 berisi 10 butir yang
mengukur intensitas komitmen beragama dengan menggunakan skala Likert lima pilihan (1 = Sangat
Tidak Sesuai; 5 = Sangat Sesuai) yang dipilih partisipan berdasarkan kesesuaian dengan pernyataan
yang diberikan. Contoh bunyi pada butirnya, yaitu: “Keyakinan agama memengaruhi semua urusan
dalam hidup saya”, “Saya menghabiskan waktu untuk mencoba memahami dan memperdalam
keimanan pada diri saya”, “Agama sangat penting bagi saya, karena agama menjawab banyak
pertanyaan tentang makna hidup”, dan “Saya merasa senang jika saya ikut terlibat dalam kegiatan
keagamaan”. Nilai Cronbach’s Alpha untuk skala ini adalah .93. Semakin tinggi skor RCI
mengindikasikan semakin kuat komitmen religiositas seseorang.
Sikap peran gender sexism diukur menggunakan skala pengukuran The Gender Role Attitudes
Scale (GRAS) yang dikembangkan oleh García-Cueto dkk. (2015). Skala ini dikembangkan dengan
tujuan untuk menilai sikap peran gender seseorang. Skala GRAS memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi
keluarga, keterkaitan sosial, dan pekerjaan. Alat ukur ini berisi 20 butir yang teridiri dari 14 butir
favourable dan 6 butir unfavourable, menggunakan skala Likert lima pilihan (1 = Sangat Tidak
Setuju; 5 = Sangat Setuju) yang dipilih partisipan berdasarkan kesesuaian dengan pernyataan-
pernyataan yang diberikan. Contoh bunyi butir pada dimensi keluarga adalah “Suami bertanggung
jawab atas keluarga sehingga istri harus menaatinya”. Contoh bunyi butir pada dimensi pekerjaan,
yaitu “Laki-laki harus menduduki jabatan yang paling bertanggung jawab”. Kemudian, contoh butir
pada dimensi sosial adalah “Saya pikir lebih buruk jika melihat laki-laki menangis daripada melihat
perempuan menangis” dan “Seorang perempuan tidak boleh menentang pasangannya (laki-laki)”.

Aprilia & Masyhadi

103
Nilai Cronbach’s Alpha untuk skala ini adalah .90. Semakin tinggi skor GRAS menunjukkan semakin
tinggi pula sikap peran gender sexism pada seseorang, yang artinya orang tersebut semakin sexist.
Kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan diukur menggunakan skala pengukuran
Conflict Tactics Scales (CTS2) yang telah direvisi oleh Straus dkk. (1996). Skala ini digunakan untuk
mengukur kecenderungan perilaku kekerasan terhadap pasangan, baik dalam bentuk kekerasan fisik,
seksual, psikologis, maupun perilaku mengendalikan. Skala ini terbagi ke dalam lima dimensi, yaitu
dimensi negosiasi, agresi psikologis, serangan fisik, pemaksaan seksual, dan cedera. Total butir CTS2
adalah 78 butir, yaitu 39 butir ditujukan untuk menilai tindak kekerasan yang dilakukan oleh
responden terhadap pasangannya, serta 39 butir lainnya ditujukan untuk menilai perilaku kekerasan
yang dilakukan oleh pasangan terhadap responden berdasarkan perspektif responden. Pada penelitian
ini, peneliti menggunakan 39 butir yang digunakan untuk menilai tindak kekerasan yang dilakukan
oleh partisipan terhadap pasangannya dengan menggunakan skala Likert lima pilihan (1 = Sangat
Tidak Sesuai; 5 = Sangat Sesuai) yang dipilih berdasarkan kesesuaian pernyataan dengan diri
partisipan, terdiri dari 33 butir favourable dan 6 butir unfavourable. Contoh bunyi butir pada dimensi
agresi psikologis, yaitu “Saya pernah menghina atau memaki pasangan saya” dan “Saya pernah
menyebut pasangan saya gemuk atau jelek”. Contoh bunyi butir pada dimensi serangan fisik adalah
“Saya pernah meninju atau memukul pasangan saya dengan sesuatu yang bisa menyakitinya”,
sedangkan contoh bunyi butir pada dimensi pemaksaan seksual adalah “Saya pernah menggunakan
ancaman untuk membuat pasangan saya mau berhubungan seks”. Nilai Cronbach’s Alpha untuk
skala ini adalah .89. Semakin tinggi skor seseorang pada CTS2, maka semakin tinggi kecenderungan
seseorang tersebut untuk melakukan kekerasan kepada pasangan.

Teknik Analisis
Pada penelitian ini, analisis statistik yang digunakan adalah regresi linear, untuk mengetahui
pengaruh religiositas dan sikap peran gender sexism terhadap kecenderungan perilaku kekerasan pada
pasangan (IPV). Data yang diperoleh dari ketiga alat ukur dalam penelitian ini diolah menggunakan
SPSS (Statistical Package for Social Science) for Windows versi 23.

Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2023), 10(1), 96-113

104
HASIL

Karakteristik Demografis Partisipan
Sebanyak 95.09% (N = 97) partisipan pada penelitian ini adalah laki-laki yang berusia kurang
dari 50 tahun dan hanya 4.91% (5 orang) laki-laki yang berusia lebih dari 50 tahun. Mayoritas agama
yang dianut oleh partisipan ialah Islam. Berdasarkan data pendidikan terakhir yang diperoleh,
sebanyak 59.81% partisipan memiliki pendidikan akhir pada tingkat SMA atau SMK. Sebanyak
41.17% partisipan berada pada usia pernikahan lebih dari 7 tahun. Mengenai penghasilan yang
diperoleh partisipan saat ini, mayoritas (62.36%) berpenghasilan kurang dari 5 juta. Tabel 1 di bawah
ini memaparkan gambaran keadaan demografis partisipan penelitian berdasarkan data diri yang
diperoleh melalui kuesioner penelitian.

Tabel 1.
Gambaran Demografis Partisipan Penelitian
Karakteristik Partisipan Data Frekuensi Persentase
Usia
< 50 tahun
> 50 tahun
97
5
95.09%
4.91 %
Agama
Islam
Kristen/Katolik
Hindu
Budha
92
7
2
1
90.2%
6.86 %
1.96%
.98%
Pendidikan Terakhir
SMA/SMK
D1
D3
S1
S2
61
1
5
29
6
59.81%
.98%
4.9%
27.45%
6.86%
Usia Pernikahan
1-2 tahun
3-4 tahun
5-6 tahun
> 7 tahun
31
16
13
42
37.27%
11.76%
9.8%
41.17%
Penghasilan
< 5 Juta
5-10 Juta
10-15 Juta
> 15 juta
63
25
3
11
62.36%
24.5%
2.94%
10.2%

Uji Normalitas dan Uji Korelasi Antar Variabel Penelitian
Sebelum melakukan analisis regresi ganda, dilakukan uji normalitas dengan Kolmogorov
Smirnov dan hasil uji tersebut menunjukkan distribusi data normal, r = .045; p > .05, sehingga dapat
dilanjutkan untuk uji regresi. Selain itu, dilakukan uji korelasi terlebih dahulu sebagai syarat
dilakukannya analisis regresi. Dari uji korelasi yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa terdapat
hubungan negatif yang signifikan antara religiositas dan kecenderungan perilaku kekerasan pada

Aprilia & Masyhadi

105
pasangan, r = -.198; p < .05, dan terdapat hubungan positif signifikan antara sikap peran gender
sexism dan kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan, r = -.236; p < .05. Sementara itu,
hubungan antara religiositas dan sikap peran gender sexism terlihat tidak signifikan, r = .012; p > .05.
Tabel 2 merangkum korelasi antar variabel studi.

Tabel 2.
Matriks Korelasi Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi Variabel (N = 102)
Variabel 1 2 3 Mean Std. Deviation
Religiositas - 62.80 17.712
Sikap Peran Gender Sexism .012 - 40.16 7.182
Kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan -.198
*
.236
*
- 55.47 17.033
Catatan:
*
= Signifikan pada level .05;
**
= Signifikan pada level .01;
***
= Signifikan pada level .001

Uji Hipotesis
Hasil uji regresi berganda (pada Tabel 3) menunjukkan bahwa religiositas dan sikap peran
gender sexism memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecenderungan perilaku kekerasan
pada pasangan, R
2
= .096, F = 5.263, p = .014. Dengan kata lain, laki-laki dengan tingkat religiositas
yang tinggi dan sikap yang mengapresiasi kesetaraan gender cenderung lebih tidak melakukan
tindakan kekerasan terhadap pasangannya.

Tabel 3.
Regresi Berganda
Variabel Β SE β t Sig.
(Constant)
Religiositas
Sikap Peran Gender Sexism
68.947
-.496
.248
11.022
.236
.099

-.201
.239
6.255
-2.103
2.496
.000
.038
.014
Catatan: R
2
= .096; adjusted R
2
= .078

Lebih lanjut, religiositas diketahui merupakan determinan yang lebih kuat, B = -.496; p = .038,
dibandingkan dengan sikap peran gender sexism, B = .248; p = .014, dalam memprediksi perilaku
kekerasan lelaki terhadap pasangannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa religiositas
merupakan determinan yang lebih kuat dalam menurunkan perilaku kekerasan terhadap pasangan,
dibandingkan sikap peran gender sexism.

Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2023), 10(1), 96-113

106
DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh religiositas dan sikap peran gender sexism
terhadap perilaku kekerasan pada pasangan pada laki-laki yang sudah menikah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa religiositas dan sikap peran gender sexism memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap
istrinya, tetapi dengan arah pengaruh yang berbeda. Religiositas berpengaruh negatif terhadap
kerentanan perilaku kekerasan, sedangkan sikap yang memandang gender setara berpengaruh positif
terhadap kecenderungan kekerasan pada pasangan.
Pada penelitian ini, hasil yang ditunjukkan mendukung hasil penelitian sebelumnya, yang
menyatakan bahwa religiositas dapat menghambat tindak kekerasan (Ellison & Anderson, 2001;
Ellison dkk., 1999), dan justru bertolak belakang dengan penelitian lain yang menjelaskan bahwa
religiositas menjadi faktor pendukung kekerasan (Daoud dkk., 2017; Kim, 2018). Temuan studi ini
menegaskan bahwa religiositas menjadi faktor utama dalam mengurangi kemungkinan terjadinya
kekerasan terhadap pasangan (Ellison & Anderson, 2001) karena dapat membantu seseorang dalam
mengelola stres (Kasberger, 2002), serta memberikan kesempatan untuk melakukan strategi yang
positif dalam mengatasi stres (Rammohan dkk., 2002). Dalam konteks terjadinya konflik pada
pasangan, religiositas dapat membantu dalam menghadapi konflik (Lambert & Dollahite, 2006), baik
pada fase pencegahan munculnya masalah, fase resolusi konflik jika konflik sudah terlanjur terjadi,
maupun fase rekonsiliasi ketika pasangan berhasil menyelesaikan konflik.
Di sisi lain, sikap peran gender yang menganggap bahwa laki-laki lebih superior daripada
perempuan, menunjukkan perannya dalam menambah kerentanan terhadap kekerasan pada pasangan.
Hal ini menguatkan beberapa literatur dari riset terdahulu yang mengeksplorasi hubungan antara
kekerasan suami terhadap istri dengan budaya patriarki (Alfitri, 2020; Conroy, 2014; Hayati dkk.,
2014; Kposowa & Ezzat, 2019). Kekerasan lebih rentan terjadi pada masyarakat yang memandang
bahwa laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Dalam konteks budaya Indonesia, sikap terhadap
peran gender ini tidak dapat dilepaskan dengan penalaran religiusnya, mengingat masyarakatnya yang
memandang identitas agama sebagai identitas sosial yang penting. Mempertimbangkan mayoritas
partisipan beragama Islam, dalam ajaran Islam terdapat beberapa pemikiran yang seolah-olah
memposisikan lelaki lebih tinggi daripada perempuan (Alfitri, 2020; Umar, 2002). Hal ini kemudian
dipahami dengan, misalnya, seorang laki-laki meyakini bahwa dalam agamanya laki-laki adalah
sosok yang harus lebih dominan, sementara istri adalah sosok yang harus patuh kepada suami.

Aprilia & Masyhadi

107
Interpretasi lainnya adalah ketika masyarakat meyakini pandangan bahwa agama memang
membenarkan adanya kekuasaan penuh laki-laki atas perempuan (Asmarany, 2013; Ghafournia,
2017), sehingga membuat hubungan menjadi tidak setara (Renner & Whitney, 2010).
Hal lain yang juga menarik dari hasil studi ini adalah peran dari variabel religiositas maupun
sikap peran gender sexism terhadap kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan yang tidak
terlalu besar. Hal ini menunjukkan bahwa pada masyarakat Indonesia, kedua variabel tidak menjadi
variabel dominan yang memengaruhi perilaku kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap
perempuan, serta dimungkinkan adanya variabel lain yang lebih berperan, seperti stres karena tekanan
ekonomi, strategi mengatasi masalah yang kurang efektif, maupun kemampuan kontrol diri yang
rendah. Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan menguji variabel-
variabel tersebut.
Penelitian ini memiliki kontribusi yang baik dalam menjelaskan peran religiositas dan sikap
peran gender sexism. Namun, terdapat limitasi dari penelitian ini yaitu pada pengambilan data survei
dengan jumlah yang relatif kecil membuat hasil yang diperoleh tidak bisa menggambarkan analisis
kausalitas yang konklusif. Di sisi lain, variabel yang diteliti merupakan variabel dengan social
desirability yang cukup tinggi, sehingga mungkin saja responden mengalami bias pada saat pengisian
kuisioner. Selanjutnya, pada salah satu butir alat ukur komitmen keagamaan, peneliti menerjemahkan
buku keagamaan dengan kata hadist, sehingga kurang relevan untuk responden yang bukan beragama
Islam.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa religiositas dan
sikap peran gender sexism memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecenderungan laki-laki
melakukan kekerasan terhadap pasangan. Namun, jenis pengaruh dari kedua variabel berbeda.
Religiositas memiliki pengaruh negatif terhadap kecenderungan untuk melakukan kekerasan,
sehingga religiositas dapat berperan sebagai pencegah atau penghambat terjadinya kekerasan.
Sementara itu, sikap peran gender sexism memiliki pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan
kemungkinan seorang laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan.
Perilaku gender mayoritas masyarakat Indonesia masih bercorak patriarki, sehingga sikap
peran gender sexism perlu mendapatkan perhatian lebih untuk bisa bergeser menjadi sikap peran

Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2023), 10(1), 96-113

108
gender yang lebih egaliter. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya pengarusutamaan ajaran agama
yang bercorak adil dan egaliter, sehingga terjadi keadilan dan kesetaraan pada masyarakat Indonesia.
Sejatinya ajaran agama yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan gender juga menjadi bagian
dari jati diri dan budaya bangsa Indonesia, yang menekankan harmoni, termasuk di dalam konteks
keluarga. Implementasi terhadap hal ini diharapkan dapat diikuti dengan indeks kesetaraan gender di
Indonesia yang berangsur-angsur dapat meningkat dari peringkat 101 (dari 156 negara), sebagaimana
dilaporkan oleh The Global Gender Gap Index pada tahun 2021 (World Economic Forum, 2021).

Saran Teoretis
Kekerasan merupakan suatu perilaku yang kompleks dan sensitif, sehingga ada baiknya
penelitian-penelitian selanjutnya tidak hanya menggunakan pengukuran berdasarkan self-report saja
untuk mengukur kecenderungan perilaku kekerasan pada pasangan, tetapi juga menambahkan data
pendukung lainnya yang dapat memperkuat bukti tindakan kekerasan terhadap pasangan, misalnya
pengakuan pasangan (istri) atau anggota keluarga lain. Penelitian semacam ini dapat dilakukan
dengan pendekatan kualitatif.

Saran Praktis
Studi ini menjelaskan bahwa religiositas merupakan faktor penghambat kekerasan, sementara
sikap peran gender sexism justru menambah kerentanan terhadap terjadinya kekerasan. Pada
masyarakat Indonesia, laki-laki yang religius tidak menjadi rentan untuk melakukan kekerasan
terhadap perempuan, tetapi justru memproteksi diri dari hal tersebut. Sementara itu, sikap peran
gender sexism berpotensi meningkatkan kerentanan laki-laki melakukan kekerasan. Oleh karena itu,
pengarusutamaan pemikiran atau interpretasi agama yang ramah terhadap perempuan, menjunjung
kesetaraan dan kesalingan pada pasangan, serta menghindarkan agama untuk melegitimasi kekerasan
terhadap perempuan menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi para tokoh agama
dan tokoh masyarakat.
Sikap peran gender yang egaliter menjadi sangat penting dan dapat ditanamkan sebelum
menjalani pernikahan, baik melalui sosialisasi maupun pengajaran nilai-nilai agama yang mendukung
nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bagi kaum beragama, juga sebaiknya dapat
memaknai keberagamaan yang tidak hanya pada tataran kognitif atau pengetahuan saja, tetapi juga
dapat mengimplementasikan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam
menjalin relasi dengan pasangan.

Aprilia & Masyhadi

109
ASPEK ETIK STUDI
Pernyataan Etik
Seluruh prosedur yang dilakukan pada studi ini telah sesuai dengan Deklarasi Helsinki tahun 1964 dan segala
adendumnya atau dengan standar etika yang relevan. Aspek etik dari studi ini telah dievaluasi secara internal
oleh Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Pernyataan kesediaan berpartisipasi
dari seluruh partisipan telah diperoleh.

Konflik Kepentingan
Para penulis menyatakan tidak memiliki konflik kepentingan.

Ketersediaan Data
Data yang digunakan dalam studi ini tidak dapat diakses publik karena sesuai dengan informasi yang disepakati
dengan partisipan. Data penelitian hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian ini saja dan tidak
disebarkan kepada pihak ketiga.


REFERENSI

Alfitri. (2020). Protecting women from domestic violence: Islam, family law, and the State in
Indonesia. Studia Islamika, 27(2), 273-307. https://doi.org/10.36712/sdi.v27i2.9408
Asmarany, A. I. (2013). Bias gender sebagai prediktor kekerasan dalam rumah tangga. Jurnal
Psikologi, 35(1), 1–20. https://doi.org/10.22146/jpsi.7096
Benson, M. L., Fox, G. L., DeMaris, A., & Van Wyk, J. (2003). Neighborhood disadvantage,
individual economic distress and violence against women in intimate relationships. Journal
of Quantitative Criminology, 19(3), 207–235. https://doi.org/10.1023/A:1024930208331
Conroy, A. A. (2014). Gender, power, and intimate partner violence: A study on couples from rural
Malawi. Journal of Interpersonal Violence , 29(5), 866–888.
https://doi.org/10.1177/0886260513505907
Curtis, K. T., & Ellison, C. G. (2002). Religious heterogamy and marital conflict. Journal of Family
Issues, 23(4), 551–576. https://doi.org/10.1177/0192513x02023004005
Daoud, N., Sergienko, R., & Shoham-Vardi, I. (2017). Intimate partner violence prevalence,
recurrence, types, and risk factors among Arab, and Jewish immigrant and nonimmigrant
women of childbearing age in Israel. Journal of Interpersonal Violence, 35(15-16), 2869–
2896. https://doi.org/10.1177/0886260517705665
Davis, S. N., & Greenstein, T. N. (2009). Gender ideology: Components, predictors, and

Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2023), 10(1), 96-113

110
consequences. Annual Review of Sociology, 35(1), 87–105. https://doi.org/10.1146/annurev-
soc-070308-115920
Devries, K. M., Mak, J. Y. T., García-Moreno, C., Petzold, M., Child, J. C., Falder, G., Lim, S.,
Bacchus, L. J., Engell, R. E., Rosenfeld, L., Pallitto, C., Vos, T., Abrahams, N., & Watts, C.
H. (2013). The global prevalence of intimate partner violence against women. Science,
340(6140), 1527–1528. https://doi.org/10.1126/science.1240937
Ellison, C. G., & Anderson, K. L. (2001). Religious involvement and domestic violence among U.S.
couples. Journal for the Scientific Study of Religion, 40(2), 269–286.
https://doi.org/10.1111/0021-8294.00055
Ellison, C. G., Bartkowski, J. P., & Kristin, L. (1999). Are there religious variations in domestic
violence?. Journal of Family Issues , 20(1), 87–113.
https://doi.org/10.1177/019251399020001005
García-Cueto, E., Rodríguez-Díaz, F. J., Bringas-Molleda, C., López-Cepero, J., Paíno-Quesada, S.,
& Rodríguez-Franco, L. (2015). Development of the Gender Role Attitudes Scale (GRAS)
amongst young Spanish people. International Journal of Clinical and Health Psychology
(IJCHP), 15(1), 61–68. https://doi.org/10.1016/j.ijchp.2014.10.004
Garcia-Moreno, C., Jansen, H. A., Ellsberg, M., Heise, L., & Watts, C. H. (2006). Prevalence of
intimate partner violence: findings from the WHO multi-country study on women's health and
domestic violence. Lancet (London, England), 368(9543), 1260–1269.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(06)69523-8
Ghafournia, N. (2017). Muslim women and domestic violence: Developing a framework for social
work practice. Journal of Religion and Spirituality in Social Work, 36(1–2), 146–163.
https://doi.org/10.1080/15426432.2017.1313150
Hayati, E. N., Emmelin, M., & Eriksson, M. (2014). “We no longer live in the old days”: A qualitative
study on the role of masculinity and religion for men’s views on violence within marriage in
rural Java, Indonesia. BMC Women’s Health, 14(1), 58. https://doi.org/10.1186/1472-6874-
14-58
Himawan, K. K. (2020). The single's struggle: Discovering involuntary singleness in Indonesia
through gender and religious perspectives. The Family Journal, 28(4), 379-389.
https://doi.org/10.1177/1066480720950419
Himawan, K. K., Martoyo, I., Himawan, E. M., Aditya, Y., & Suwartono, C. (2022). Religion and
well-being in Indonesia: Exploring the role of religion in a society where being atheist is not

Aprilia & Masyhadi

111
an option. Religion, Brain & Behavior . Advance online publication.
https://doi.org/10.1080/2153599X.2022.2070266
Kasberger, E. R. (2002, April 27-28). A correlational study of post-divorce adjustment and religious
coping strategies in young adults of divorced families [Undergraduate Research Symposium].
Second Annual Undergraduate Research Symposium CHARIS Institute of Wisconsin
Lutheran College, Milwaukee, WI 53226.
https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.424.7706&rep=rep1&type=pdf
Kim, C. (2018). Religion, religious heterogeneity, and intimate partner violence among Korean
immigrant women. Journal of Interpersonal Violence, 36(3-4), NP2228-2247NP.
https://doi.org/10.1177/0886260518757224
Kposowa, A. J., & Aly Ezzat, D. (2019). Religiosity, conservatism, and acceptability of anti-female
spousal violence in Egypt. Journal of Interpersonal Violence, 34(12), 2525–2550.
https://doi.org/10.1177/0886260516660976
Lambert, N. M., & Dollahite, D. C. (2006). How religiosity helps couples prevent, resolve, and
overcome marital conflict. Family Relations, 55(4), 439–449. https://doi.org/10.1111/j.1741-
3729.2006.00413.x
Levitt, H. M., & Ware, K. (2006). “Anything with two heads is a monster”: Religious leaders’
perspectives on marital equality and domestic violence. Violence Against Women, 12(12),
1169–1190. https://doi.org/10.1177/1077801206293546
Nauly, M. (2002). Konflik peran gender pada laki-laki: Teori dan pendekatan empirik [Artikel tidak
dipublikasikan, Universitas Sumatera Utara]. USU Digital Library .
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3502
O’Neil, J. M. (1981). Patterns of gender role conflict and strain: Sexism and fear of femininity in
men’s lives. The Personnel and Guidance Journal , 60(4), 203–210.
https://doi.org/10.1002/j.2164-4918.1981.tb00282.x
Komnas Perempuan. (2018). CATAHU 2018: Tergerusnya ruang aman perempuan dalam pusaran
politik populisme. Catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2017.
https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2018-tergerusnya-ruang-
aman-perempuan-dalam-pusaran-politik-populisme-catatan-kekerasan-terhadap-perempuan-
tahun-2017
Komnas Perempuan. (2021). CATAHU 2021: Perempuan dalam himpitan pandemi; Lonjakan
kekerasan seksual, kekerasan siber, perkawinan anak dan keterbatasan penanganan di

Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology (2023), 10(1), 96-113

112
tengah Covid-19. Catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2020 .
https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2021-perempuan-dalam-
himpitan-pandemi-lonjakan-kekerasan-seksual-kekerasan-siber-perkawinan-anak-dan-
keterbatasan-penanganan-di-tengah-covid-19
Rammohan, A., Rao, K., & Subbakrishna, D. K. (2002). Religious coping and psychological
wellbeing in carers of relatives with schizophrenia. Acta Psychiatrica Scandinavica, 105(5),
356–362. https://doi.org/10.1034/j.1600-0447.2002.1o149.x
Reidy, D. E., Berke, D. S., Gentile, B., & Zeichner, A. (2014). Man enough? Masculine discrepancy
stress and intimate partner violence. Personality and Individual Differences, 68, 160–164.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2014.04.021
Renner, L. M., & Whitney, S. D. (2010). Examining symmetry in intimate partner violence among
young adults using socio-demographic characteristics. Journal of Family Violence, 25(2), 91–
106. https://doi.org/10.1007/s10896-009-9273-0
Renzetti, C. M., DeWall, C. N., Messer, A., & Pond, R. (2017). By the grace of God: Religiosity,
religious self-regulation, and perpetration of intimate partner violence. Journal of Family
Issues, 38(14), 1974–1997. https://doi.org/10.1177/0192513X15576964
Sakina, A. I., & Siti, D. H. (2017). Menyoroti budaya patriarki di Indonesia. Share: Social Work
Journal, 7(1), 71–80. https://doi.org/10.24198/share.v7i1.13820
Straus, M. A., Hamby, S. L., Boney-McCoy, S., & Sugarman, D. B. (1996). The revised conflict
tactics scales (CTS2): Preliminary psychometric data. Journal of Family Issues, 17(3), 283–
316. https://doi.org/10.1177/019251396017003001
Todhunter, R. G., & Deaton, J. (2010). The relationship between religious and spiritual factors and
the perpetration of intimate personal violence. Journal of Family Violence, 25(8), 745–753.
https://doi.org/10.1007/s10896-010-9332-6
Umar, N. (2002). Qur’an untuk perempuan. Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan Kayu
(TUK).
Walby, S., & Bagguley, P. (1989). Gender restructuring: Five labour-markets compared. Environment
and Planning D: Society and Space, 7(3), 277–292. https://doi.org/10.1068/d070277
Watts, C., & Zimmerman, C. (2002). Violence against women: Global scope and magnitude. The
Lancet, 359(9313), 1232–1237. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(02)08221-1
World Economic Forum. (2021, Maret 31). Global Gender Gap Report 2021.
https://www.weforum.org/reports/ab6795a1-960c-42b2-b3d5-587eccda6023

Aprilia & Masyhadi

113
World Health Organization. (2010). Preventing intimate partner and sexual violence against women:
Taking action and generating evidence. Author.
https://www.who.int/reproductivehealth/publications/violence/9789241564007/en/
World Health Organization. (2013). Responding to intimate partner violence and sexual violence
against women: Clinical and policy recommendations . Author.
https://www.who.int/reproductivehealth/publications/violence/9789241548595/en/
Worthington, E. L., Jr., Wade, N. G., Hight, T. L., Ripley, J. S., McCullough, M. E., Berry, J. W.,
Schmitt, M. M., Berry, J. T., Bursley, K. H., & O’Connor, L. (2003). The Religious
Commitment Inventory–10: Development, refinement, and validation of a brief scale for
research and counseling. Journal of Counseling Psychology, 50(1), 84–96.
https://doi.org/10.1037/0022-0167.50.1.84