SUWENDI
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
Kementerian Agama RI
Tahun 2016
RELASI AGAMA DAN NEGARA

(1)
RELASI AGAMA DAN NEGARA
PERSPEKTIF ISLAM

Hubungan Agama-Negara Perspektif
Islam
Setidaknya ada 3 relasi
antara Agama dan Negara
Integralistik
Simbiotik
Sekularistik

Pola Integralistik
Hubungan agama dan negara merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
dua lembaga yang menyatu (integrated).
Negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga negara. Pemerintahan
negara diselenggara kan atas dasar kedaulatan
Tuhan, kare na memang kedaulatan itu berada
di tangan Tuhan (teokratis). Konsekuensinya,
aturan negara harus dijalankan menurut
hukum-hukum Tuhan.

Pola Integralistik…
Paradigma integralistik di atas kemudian memunculkan
kelompok pendukung “negara agama” atau dalam konteks ini
“negara Islam”. Paradigma ini banyak dianut kelompok Syiah
dengan doktrin imamahnya. Selain itu, juga dianut kelompok
fundamentalis Islam yang menekankan totalitas Islam.
Tokoh dengan paradigma ini yang cukup dikenal adalah Al-
Maududi (1903-1979 M). Bagi Al-Maududi, syari’at tidak
mengenal pemisahan antara agama dan negara. Syari’at
adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi
seluruh tatanan kemasyarakatan. Sehingga menurutnya,
Islam harus dibangun di atas perundang-undangan syari’ah
yang dibawa Nabi dari Tuhan dan harus diterapkan dalam
kondisi apapun.

Pola Simbiotik
Hubungan agama dan negara itu saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik.
Agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan
mengembang kan agama. Demikian
sebaliknya, negara juga memerlukan
agama karena dapat membantu negara
dalam pembinaan moral dan etika.

Pola Simbiotik…
Paradigma simbiotik dianut tokoh Ibnu Taimiyah (1263-1328
M), tokoh Sunni salafi yang mengatakan: “agama dan negara
benar-benar berkelindan; tanpa kekuasan negara yang
bersifat memaksa agama dalam keadaan bahaya. Dan negara
tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi
yang tiranik.” Antara agama dan negara merupakan dua entitas
yang berbeda, tetapi saling membutuhkan dan tidak dapat
dipisahkan.
Demikian halnya pemikiran al-Mawardi (975-1059 M), yang
menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah)
merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna
memelihara agama dan pengaturan dunia. Pemeliharaan
agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas
yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik.

Pola Sekularistik
Ada pemisahan antara agama dan
negara. Agama dan negara merupakan
dua bentuk yang berbeda, punya
garapan masing-masing, sehingga
keberadaannya harus dipisah kan. Dari
pemahaman yang dikotomis ini, maka
hukum positif yang berlaku adalah
hukum yang betul-betul berasal dari
kesepakatan manusia.

Pola Sekularistik…
Paradigma sekularistik digunakan oleh Ali Abdul Raziq
(1888-1966 M), yang pada tahun 1925, menerbitkan
sebuah risalah yang pada intinya menyatakan bahwa
Islam tidak mempunyai kaitan apa pun dengan sistem
pemerintahan kekhalifahan. Juga dinyatakan, kekhalifahan
Khulafaur Rasyidin bukanlah sebuah sistem politik
keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang
duniawi.
Bagi Abdur Raziq, pembentukan negara tidak disarankan
oleh agama (syari’at) melainkan berdasarkan
pertimbangan akal umat. Paradigma ini dianut kemudian
oleh para pendukung “negara sekuler,” yang benar-benar
memisahkan urusan agama dari negara.

(2)
GAGAL FAHAM ATAS RELASI AGAMA DAN NEGARA
PERSPEKTIF ISLAM

Islam-Indonesia memiliki karakteristik yang khas. Dengan
struktur masyarakat, budaya, bahasa, dan agama yang plural,
Islam tampil dengan sejuk, damai, toleran, dan menjunjung
tinggi perbedaan. Islam menghargai semua keragaman dan
menjadikannya sebagai kekuatan dalam membangun
kebersamaan.
Relasi agama dan negara yang dianut oleh Indonesia adalah
Simbiotik. Relasi agama-negara dengan menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara, menjadi pilihan yang tepat dalam
memperkokoh agama dan negara sekaligus. Kepentingan
agama dijamin dan difasilitasi oleh negara, dan Negara pun
didukung dan dibina atas dasar agama.
Relasi ini menjadikan Indonesia semakin harmonis dan menjadi
prototipe dunia-Islam yang dibanggakan.
Karakteristik Indonesia yang Khas

Dalam konteks 3 tipologi relasi agama-negara di atas,
radikalisme menurut sejumlah kajian muncul dari kelompok
yang memperjuangkan aliran pertama, yakni aliran
formalistik.
Negara Islam yang menganut aliran formalistik ini di
antaranya Saudi Arabia, Iran, dan Afghanistan.
Bagi kelompok formalistik ini, negara harus dibangun atas
dasar agama secara formal dalam seluruh tatanan
kehidupan, termasuk ketatanegaraan.
Dalam konteks radikalisme di Indonesia, gerakan ini
mengingkari Pancasila sebagai dasar negara, demokrasi
sebagai pilar bernegara, dan nasionalisme sebagai prinsip
kebangsaan.
Radikalisme vs Nasionalisme

KartosuwiryoSukarnoSemaun
HOS Tjokroaminoto

NII VS NKRI
1. LEGITIMASI PERJUANGAN PENEGAKKAN SYARIAT ISLAM
2. NII ADALAH NEGARA YANG SAH SECARA POLITIK
3. NII MERUPAKAN MADINAH INDONESIA
NEGARA ISLAM INDONESIA
DULU HINGGA KINI
NEGARA ISLAM INDONESIA
SM. KARTOSOEWIRJO
DI ACEH
DI SULAWESI
DI KALIMANTAN
ORDE LAMA
ANTI PENJAJAHAN
ANTI KOMUNISME
ORDE BARU
ANTI
PANCASILA
RING USROH
KOMANDEMEN WILAYAH I-IX
ORDE
REFORMASI
ANTI PANCASILA
ANTI DEMOKRASI
STRUKTURAL
NON STRUKTURAL

Indonesia adalah negara agamis
“Indonesia bukan negara agama, dan bukan
negara sekuler.” Kalimat ini sangat tidak pas. Jika
”Indonesia bukan negara agama” maka telah
mendegradasikan posisi ”Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 Ayat 1
UUD 1945). Jika ”Indonesia bukan negara
sekuler” maka tidak cukup kuat sebagaimana
juga kurang eksplisit untuk memposisikan
”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar
negara. Oleh karenanya, Indonesia adalah
negara agamis.

Bukti Negara Agamis
Pertama, di dalam konstitusi setidaknya terdapat tujuh ketentuan yang memper
tegas bahwa Indonesia adalah negara agamis, yakni:
Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya.
Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah
Mahkamah Agung.
Pasal 28J UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.
Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 31 ayat 3 UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyeleng garakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia…”.
Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Bukti Negara Agamis…
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis diakui melalui
pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit
mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Perbankan
Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau melalui
pembentukan UU yang secara implisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan,
seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
lain sebagainya.
Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menaf
sirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa Indo nesia
adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang Pengu jian
UU Peradilan Agama terhadap UUD, Mahkamah Konstitusi berpan dangan
bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang
melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya
masing-masing.”

Pemilu dalam Lintasan Sejarah Islam
Nabi Muhammad (571-632)
Periode Mekkah (12 tahun): 611-623
Periode Madinah (10 tahun): 623-632
Khulafaurrasyidin
Abu Bakar (632-634)
Dibaiat oleh Muhajirin dan Anshar di Tsaqifah, Madinah
Umar bin Khatab (634-644)
Dicalonkan oleh Abu Bakar
Utsman bin ‘Affan(644-656)
Dimusyawarahkan enam sahabat
Kebijakan nepotis Utsman sehingga menggantikan para gubernur yang ada dengan para keluarganya
Gubernur Damaskus dipimpin keluarga Utsman, Muawiyah.
Gubernur Mesir, Amr bin Ibn ‘Ash, diganti oleh Ibn Abi Sarh
Kebijakan ini menimbulkan gejolak:
500 pemberontak Mesir menuju Madinah
Utsman wafat terbunuh dalam pemberontakan tersebut.
Muhammad, anak angkat Ali, merupakan salah satu pimpinan pemerontah tsb.

Pemilu dalam Lintasan Sejarah
Islam…
Ali bin Abi Thalib (656-661)
Ketika Ali diangkat menjadi khalifah terjadi tantangan:
Thalhah dan Zubeir dari Mekkah, yang disokong Aisyah. Thalhah dan Zuber
terbunuh, Aisyah kembali ke Mekkah.
Muawiyah, gubernur Damaskus, tidak mengakui Ali menjadi khalifah,
sehingga terjadilah perang Siffin, Irak.
Perang Siffin:
Tentara Ali dapat mendesak Muawiyah, sehingga kelompok Mu’awiyah yang diwakili Amr bin ‘Ash
mengangkat Alquran sebagai tanda berdamai.
Para Imam di kelompok Ali mendesak untuk menerima perundingan damai tsb.
Berdasarkan sejarah di atas, tidak ada sistem kenegaraan tertentu yang tunggal.

Ayat dalam Al-Quran
Prof. Abdul Wahab Khallaf dalam kitab ‘Ilm Ushul
al-Fiqh:
Jumlah ayat 6.360 ayat
Hukum 5,8% 368 ayat
Ibadah shalat, puasa, haji, zakat, dll140 ayat
Hukum keluarga 70 ayat
Perdagangan 70 ayat
Kriminal 30 ayat
Relasi Islam-non Islam 25 ayat
Pengadilan 13 ayat
Hubungan kaya-miskin 10 ayat
Kenegaraan 10 ayat
94,2% ayat Al-Quran kurang mendapatkan apresiasi.

(3)
GAGAL FAHAM ATAS RELASI AGAMA DAN NEGARA
PERSPEKTIF KONSTITUSI

Hubungan Agama-Negara Perspektif
Konstitusi
PASAL 29 Ayat (1) UUD 1945, yakni “Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, termasuk
penempatan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai sila pertama dalam Pancasila.
Ini memiliki makna:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan
kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan
persaudaraan di antara komponen bangsa.
Kedua, sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau
causa prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusya waratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam
kehidupan berbang sa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari
rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan
negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.

Hubungan Agama-Negara
Perspektif Konstitusi…
Ketiga, sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus
dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain
dalam Pancasila secara utuh. Sila-sila lain dalam
Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha
Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus
mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan
(persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa” harus dimaknai bahwa negara melarang
ajaran atau paham yang secara terang-terangan
menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti
komunisme dan atheisme.

Hubungan Agama-Negara
Perspektif Konstitusi…
Selain terkait Pasal 29 Ayat (1) di atas, ihwal
relasi agama-negara di konsitusi juga terlihat
jelas dari Pasal 29 Ayat (2), yakni: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu.” Ayat ini menunjukkan secara tegas tugas
penjaminan oleh negara atas pemelukan agama
dan ibadat agama.

Terima Kasih