BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ruang Lingkup Etnobotani
1. Definisi Etnobotani
Etnobotani berasal dari kata "etnologi" kajian mengenai budaya, dan
"botani" kajian mengenai tumbuhan. Maka Etnobotani merupakan ilmu yang
mempelajari tentang hubungan manusia dengan tumbuhan (Walujo, 1935,
dalam Munawaroh, 2012). Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari tentang
pemanfaatan berbagai macam tumbuhan secara tradisonal oleh masyarakat
pedalaman, seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya etnobotani
berkembang menjadi cabang ilmu yang interdisipliner mempelajari hubungan
manusia dengan alam sekitarnya (Habibah, 2012).
Sedangkan menurut Suryadarma (2008) dalam Munawaroh (2012)
mengatakan bahwa etnobotani memanfaatkan nilai-nilai pengetahuan
masyarakat tradisional dalam penggunaan tumbuhan secara praktis. Dalam
hal tersebut telah terjadi hubungan saling mengisi, yang memanfaatkan
keunikan-keunikan nilai pengetahuan tradisional dalam memahami
kebudayaan dan pemanfaatan tumbuhan sebagai obat secara praktis.
Menurut Soekarno dan Riswan (1992) dalam Permatasari (2013), Suatu
cabang Ilmu yang sangat kompleks, dan dalam pelaksanaanya membutuhkan
pendekatan terpadu dari banyak disiplin ilmu diantaranya ilmu taksonomi,
ekologi, geografi tumbuhan, kehutanan, pertanian sejarah, antropologi dan
ilmu lain. Berbeda dengan pendapat Yatias (2015), bahwasanya Etnobotani
adalah Cabang ilmu pengetahuan yang mendalami persepsi serta konsepsi
masyarakat tentang sumber daya nabati beserta lingkungannya.
Dari beberapa pendapat diatas mengenai pengertian etnobotani maka dapat
diambil kesimpulan bahwa etnobotani adalah Suatu Ilmu yang mempelajari
tentang hubungan manusia dengan lingkungan, khususunya dengan tumbuh-
tumbuhan. Sehingga hubungan tersebut menghasilkan sebuah pengetahuan
lokal masyarakat dan diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke
generasi berikutnya.

2. Sejarah Perkembangan Etnobotani
Etnobotani pertamakali dikemukakan oleh Harsberger pada tahun 1895 di
Pennsylvania dalam seuah seminar oleh para ahli Arkeologi yang membahas
tentang cara-cara memanfaatkan tumbuhan oleh masyarakat primitif, seperti
ditemukannya penggunaan beberapa tanaman oleh masyarakat Indian
Amerika (Amerindiens) (Friedbreg and Claudine, 1995 dalam Permatasari,
2013). Akan tetapi pengetahuan tentang etnobotani telah dikenal lama
sebelum itu. Sekitar tahun 77M, dokter bedah yang bernama Dioscorides
mempublikasikan sebuah katalog yang berjudul “de Materia Medica” berisi
tentang ± 600 jenis tumbuhan Mediterania. Selain itu dalam Katalog tersebut
berisi tentang cara-cara pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat oleh
orang Yunani.
Sejarah ilmu etnobotani di Indonesia diketahui sebelum Abad ke 18,
dengan ditemukannya fosil di tanah Jawa berupa Lumpang, Alu dan Pipisan
yang terbuat dari batu, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ramuan
untuk kesehatan telah dimulai sejak zaman Mesoneolitikum. Penggunaan
ramuan untuk pengobatan tercantum di prasasti sejak abad 5M antara lain
relief di Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Candi Penataran sekitar
abad 8-9M. Selain itu ditemukannya Usada Bali yang merupakan uraian
penggunaan jamu yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, Sansekerta dan
Bahasa Bali di daun lontar pada tahun 991-1016 M (Andriati dan Wahyudi,
2016).
Bukti lainnya yang menunjukkan berkembangnya etnobotani adalah
ditemukannya Buku yang berjudul Herbarie Amboinense yang ditulis oleh
Rhumpius. Buku tersebut mengilustrasikan flora di Indonesia bagian timur
yaitu Ambon dan sekitarnya yang keberadannya memiliki manfaat
(Anggraeni, 2013).
B. Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Studi Etnobotani
1. Peran Etnobotani dalam Masyarakat
Etnobotani merupakan cabang ilmu yang interdispliner, ditunjukkan
dengan adanya hubungan manusia dengan tumbuhan lingkungan sekitarnya.
Sehingga membentuk sebuah kebudayaan yang tersermin dalam kehidupan

sehari-hari. Etnobotani telah menggabungkan pengetahuan lokal masyarakat
dengan alam yang memajukan taraf hidup masyarakat dalam kemandirian.
Misalnya kemandirian dalam bidang pangan, masyarakat pedesaan telah
memanfaatkan tanaman sebagai sumber makanan, dalam bidang kesehatan
dibuktikan dengan adanya pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional.
Selain itu dalambidang pendidikan etnobotani dapat dimanfaatkan sebagai
sumber belajar, yaitu dengan dibuatnya herbarium tanaman obat. Dimana
herbarium sendiri adalah kumpulan dari spesimen-spesimen tanaman yang
sudah kering dan telah disimpan.

2. Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan masyarakat atau biasa disebut dengan Indigenous knowledge
bisa dikatakan sebagai sebuah kultur dalam masyarakat yang menyangkut
tentang pengetahuan lokal, pengetahuan asli serta nilai-nilai tradisional.
Pewarisannya dengan lisan, melalui upacara keagamaan seperti ritual adat
istiadat yang berada dalam bidang kehidupan yang praktis (Suryadarma, 2008
dalam Munawaroh, 2012). Sedang menurut UNESCO, pengetahuan lokal
masyarakat adalah dunia orang-orang asli yang memiliki pengetahuan luas
mengenai lingkungan tempat tinggalnya berdasarkan pada kehidupan alamiah
sejak berabad-abad tahun lamanya. Kehidupan dari ketidakpunyaan
pengetahuan sampai mampu memanfaatkan kekayaan alam yang beragam
seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, dan memfungsikan ekosistem
lingkungan dengan berbagai macam teknik-teknik yang detial. Tidak jarang
pemanfaatannya tersebut digunakan sebagai sumber makanan, obat-
obatan,minyak, material pembangunan ataupun produk lainnya, dimana
segala pengetahuan maupun persepsi merka merupakan elemen penting
dalam membentuk identitas kebudayaan.
Pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dikembangkan
masyarakat pribumi/asli yang akan menghasilkan karya-karya intelektual
berdasarkan tradisi yang berkembang dimasyarakat itu sendiri (Hawin M,
2009 dalam Bahri S, 2014). Pada akhirnya pengetahuan masyarakat tersebut
akan mengarah pada kearifan lokal, menurut pandangan Mundardjito (1986)

dalam Brata (2016), bahwa kearifan lokal terbina secara komulatif, yang
terbentuk secara evolusioner, bersifat tidak abadi. Atas dasar itulah kearifan
lokal dapat dimaknai sebagai kebijakan manusia dalam suatu kelompok yang
berpegang teguh pada filosofi, nilai-nilai, etika, dan perilaku yang melembaga
secara tradisional dalam mengelola sumber daya alam, dan sumber daya
manusia untuk keberlangsungan hidup yang berkelanjutan. Pengetahuan lokal
masyarakat dalam memanfaatkan tanaman sebagai obat tradisional pada suatu
daerah sangat erat kaitannya dengan budaya masyarakat tersebut diwriskan
oleh nenek moyang secara turun-temurun sebagai usaha pemeliharaan dan
peningkatan taraf kesehatan. Sehingga harus dijaga kelestariannya, agar tidak
punah sehingga dapat berlanjut pada generasi berikutnya dan berkembang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat wilayah tertentu.

3. Kepercayaan Masyarakat
Manusia telah lama mengenal fungsi tumbuhan sebagai bahan dasar
obat-obatan dalam upaya menangani masalah kesehatan. Penemuan-
penemuan itu bukan berdasarkan prilaku yang rasional, tetapi karena
perasaan instinktif dan secara turun-temurun pengetahuan itu
dipertahankan dengan penuturan-penuturan secara lisan (Nurmalasari, et
al, 2012). Menurut Suryadarma (2008) dalam Holly (2015), hubungan
manusia dengan alam, tidak jarang menimbulkan kepercayaan terhadap
kekuatan besar diluar alam itu sendiri yang biasa dikenal dengan Mitos
atupun Mitologi. Melalui Mitologi inilah akhirnya muncul dua sosok manusia
diantaranya manusia imanen yang telah memiliki kesadaran akan akal
budinya, serta manusia deterministik yaitu manusia yang percaya akan hukum
sebab-akibat (Kausalitas).
Mitologi atau kepercayaan masyarakat yang muncul akibat adanya
hubungan manusia dengan lingkungannya, telah memunculkan keunikan
variasi cara hidup dalam memanfaatkan lingkungan. Dimana
keanekaragaman tumbuh-tumbuhan tersebut berkaitan dengan
keanekaragaman masyarakat yang melahirkan bermacam-macam budaya
yang unik. Mitologi yang berkembang di Indonesia tersebut akhirnya

memberikan sebutan bahwa bumi Indonesia telah menjadi Ibu atas segala apa
yang hidup diatasnya dengan berbagai macam penghormatan kepada hutan,
tanah yang menjadi legenda, serta mitologi tumbuhan sebagai pelindung
untuk manusia. Menghancurkanhutan berarti sama halnya dengan
menghancuran pelindung manusia (Suryadharma, 2008, dalam Holy, 2015).
C. Tinjauan Tanaman Obat
1. Pengertian Tanaman Obat
Tanaman atau bagian dari organ tanaman yang digunakan sebagai bahan
baku pembuatan obat tradisonal atau jamu, tumbuhan atau bagian tumbuhan
yang diekstraksi dan digunakan sebagai obat tradisional (Siswanto, 1997,
dalam Qomarus Z, 2009). Sedangkan menurut Putri (2016), tanaman obat
adalah segala spesies tanaman yang dipercaya oleh masyarakat memiliki
khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahanbaku pembuatan obat
tradisional. Pernyataan tersebut juga telah dikemukakan oleh Kartosapoetra
(1994) dalam Munawaroh (2012), bahwa tanaman obat adalah tumbuhan
yang dimanfaatkan sebagai obat, baik yang sengaja ditanam maupun yang
tumbuh secara liar. Tumbuhan tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai
bahan sdasar pembuatan obat tradisonal atau jamu yang diramu sebagai
penyembuhan penyakit, serta sebagaibahan yang masih alami ataupun murni
yang belum diolah.
2. Bagian Tanaman yang Digunakan sebagai Obat
Di Indonesia pemanfaatan tanaman menjadi obat tradisional telah
mengalami peningkatan yang sangat pesat, bagian tanaman yang digunakan
obat disebut Simplisia. Adapun bagian-bagian yang digunakan sebagai obat
tersebut menurut Widyastuti (2004) dalam Munawaroh (2012) adalah (1)
Kulit (cortex) , (2) Kayu (lignum), (3) Daun (folium), (4) Bunga (flos), (5)
Akar (Radix), (6) Umbi (bulbus),(7) Rimpang (rhizoma), (8) Buah (fructus),
(9) Kulit Buah (perikarpium), (10) Biji (semen).
D. Tinjauan Obat Tradisional
1. Definisi Obat Tradisional
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan pada pasal satu yang berbunyi “Obat tradional adalah bahan atau

ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat” (Supardi S, dkk , 2011).
Andareto (2015) mendifinisikan obat tradisional adalah tanamn atau bagian
tanaman yang digunakan sebagai pemberi aroma, perasa, atau untuk
pengobatan. Saat ini obattradisional cakupannya lebih luas, karena telah dapat
digunakan pada binatang ataupun organisme untuk tujuan pengobatan.
Selain itu Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional
(KOTRANAS) antara lain disebutkan bahwa penggunaan obat tradisional di
Indonesia telah menjadi bagian dari budaya bangsa dan banyak dimanfaatkan
masyarakat sejak berabad-abad yang lalu. Mengingat hal tersebut dan
menyadari bahwa Indonesia sebagai Megabiodiversity tanaman obat di dunia,
maka ditetapkan KOTRANAS sebagai acuan bagi semua pihak yang terkait
di dalamnya. Tidak lain tujuan KOTRANAS adalah mendorong pemanfaatan
sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan yang
digunakan dalam upaya peningkatan taraf kesehatan masyarakat (Supardi S,
dkk, 2011).

2. Jenis-jenis Obat Tradisonal
Dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor:
Hk.00.05.4.2411 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan
Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia antara lain disebutkan obat
tradisional berdasarkan tingkat pembuktian khasiatnya dapat dikelompokkan
menjadi jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.
Jamu menurut Wasito (2011),merupakan ramuan-ramuan yang berasal dari
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, atau campuran dari bahan tersebut
yang secara turun-temurun telah digunakan unntuk pengobatan melalui
pengalaman. Menurut BPOM (2004), jamu juga harus memenuhi kriteria:
aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan
berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Obat Herbal Terstandar adalah sediaan yang berasal dari alam yang
sudah terbukti khasiat dan keamannnya, yang diuji secara ilmiah dan
terstandarisasi. Obat herbal bersandast juga harus memenuhi kriteria: aman
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim kasiat dibuktikan secara
ilmiah/pra klinik, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
(BPOM, 2004).
Fitofarmaka adalah sediaan obat yang berasal dari alam, yang telah teruji
secara klinis terhada hewan, juga telah teruji klinis untuk manusia dengan
bahan baku yang terstandarisasi (Wasito, 2011). Dan Fitofarmaka juga harus
memenuhi kriteria: aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim
khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik.

3. Sediaan Obat Tradisional
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia
661/Menkes/SK/VII/1994 berisi tentang persyaratan Obat Tradisional
terdapat macam-macam bentuk sediaan obat tradisional, diantaranya :
a. Rajangan
Merupakan sediaan obat tradisonal yang berupa potongan simplisia,
campuran simplisia, ataupun campuran simplisia dengan sediaan galenik.
Dalam penggunaannya dilakukan dengan cara dididihkan dan diseduh
dengan air panas.
b. Pil
Merupakan sediaan padat yang berbentuk bulat, dengan bahan bakunya
berupa sediaan gelanik, serbuk simplisia atau campurannya.
c. Serbuk
Sediaan obat tradisoonal berupa butiran dengan derjat halus yang cocok,
dan bahan dasarnya berupa simlisia sediaan gelanik atau campurannya.
d. Kapsul
Sediaan obat tradisional yang terbungkus cangkang lunak maupun keras,
terbuat dari sediaan galenik dengan ataupun tanpa bahan campuran.
e. Tablet

Termasuk sediaan obat tradisional padat dibebuat secara kempa cetak,
berbentuk tabung pipih, silindris, atau lainnya. Dengan permukaan rata
atau cembung, terbuat dari sediaan galenik dengan ataupun tidak ada
bahan tambahan.
f. Koyo
Sediaan obat tradisonal yang ditempelkan pada anggota tubuh, berbahan
dasar serbuk simplisia dengan dilapisi kain yang khusus.
g. Cairaan obat dalam
Merupakan sediaan obat tradisional berupa larutan emulsi atau suspensi
dalam air. Dengan bahan baku berupa sediaan galenik atau serbuk
simplisia dan digunakan sebagai obat dalam.
h. Krim atau salep
Merupakan sediaan setangah padat yang musdah dioleskan, berbahan
sediaan gelanik yang larut dan terdispersi homogen. sediaan obat ini hanya
digunakan sebagai obat luar.
i. Parem
Merupakan sedian pasta, padat, atau dengan bubuk yang digunakan
dengan cara melumurkan pada tangan dan kaki atau pada bagian tubuh
lainnya. Obat tradisonal yang bahan dasarnya berupa serbuk simlpisia atau
sediaan galenik.
j. Tapel
Merupakan sediaan obat tradisional yang sama dengan Parem, jika pada
Parem bisa digunakan pada seluruh bagian tubuh, berbeda dengan Tapel
hanya digunakan pada perut.
k. Pilis
Termasuk sediaan obat dalam bentuk pasta, atau padat yang digunakan di
dahi dengan cara dioleskan.
l. Jenang atau Dodol
Termasuk sediaan padat, bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan
gelanik atau campurannya.

m. Pastiles
Merupakan sediaan padat obat tradisional yang berbentuk pipih, biasanya
berbentuk segi empat, bahan dasarnya berupa sediaan gelanik, atau
campuran diantara keduanya.

Sedangkan menurut Wasito (2011), sediaan obat tradisional dibagi
menjadi tiga yaitu betuk sediaan padat, sediaan cair, dan sediaan semi padat.
a. Sediaan Padat merupakan bentuk sediaan obat tradisional dalam bentuk
rajangan, berupa potongan-potongan bahan alamiah yang dipergunakan
sebagai obat tradisional sebelum diolah (Simplisia), bisa berupa campuran
simlisia, ataupun campuran simplisia dengan bahan galenik. pada bahan
padat ini penggunaanya dilakukan dengan cara perebusan atau pendidihan
dengan air hangat. Selain dalam bentuk rajangan, sedian obat tradisional
dalam bentuk pdat bisa berupa serbuk maupun pil.
b. Sedian Cair merupakan bentuk obat tradisional yang berbentuk cair dalam
penyajiannya, yang digunakan sebagai obat luar maupun dalam. Sebagai
obat luar sedian cair obat tradisional berupalarutan emulsi atau suspensi
yang berasal dari simplisia, dan galenik. Sedangkan sediaan cair obat
tradisional yang digunakan sebagai obat dalam berupa serbuk simlpisia.
c. Sediaan semi padat merupakan sediaan obat tradisonal yang berbentuk
krim. Sediaan obat tradisional berbentuk semi padat ini biasanya
digunakan untuk pengobatan luar, salah satu contohnya adalah salep
dengan cara dioleskan dibagian tubuh yang diingin kan.

4. Cara Pembuatan Obat Tradisional
Cara-cara pembuatan obat tradisional yang berkembang dimasyarakat
sangatlah bermacam-macam, hal tersebut selalu disesuakan berdasarkan jenis
penyakitnya. Menurut Latief (2009) dalam bukunya menjelaskan cara
pembuatan obat tradisional sebagai berikut:

a. Dicampur, ditumbuk, direbus, kemudian diambil sarinya
b. Dicampur, ditumbuk, kemudian diambil sarinya

c. Dicampur, ditumbuk, kemudian dikeringkan
d. Dicampur, dipotong-potong, kemudian dikeringkan
e. Tanpa dicampur dan langsung digunakan.

5. Aturan Penggunaan Obat Tradisional
Penggunaan obat tradisional dalam mengatasi penyakit memiliki efek
samping yang relatif lebih keciljika digunakan dengan cara yang tepat dan
memperhatikan beberapa turan penggunaan oabat tradisional dibawah ini :
a. Kebenaran Bahan
Tanaman obat yang ada di indonesisa sangatlah beragam, hal tersebut
menyebabkan sulit untuk dibedakan. Kebenaran bahan menentukan
tercapai-tidaknya efek terapi yang diinginkan. Sebagai contoh tanaman
Lempuyang emprit (Zingiber amaricans) memiliki warna kuning dengan
rasa yang pahit dan memiliki bentuk yang relative lebih kecil yang
khasiat sebagai penambah nafsu makan. Sedangkan Lempuyang wangi
(Zingiber aromaticum) yang memiliki aroma harum berwarna agak putih,
berkhasiat sebagai pelangsing, Tidak seperti Lempuyang emprit
(Zingiber amaricans).
b. Ketepatan Dosis
Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik yang tidak bisa
dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus dipatuhi saat
mengkonsumsi, seperti halnya resep dari dokter. Misalnya tanaman
Dringo (Acorus calamus), yang berkhasiat untuk mengobati stres. Dringo
(Acorus calamus) memiliki kandungan senyawa bioaktif asaron dengan
struktur kimia mirip golongan amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis
rendah, Dringo (Acorus calamus) memang dapat menjadi obat penenag
dan memberikan rasa releks pada otot terhadap sistem saraf pusat.
Namun, jika digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek
sebaliknya, yakni meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y, et
al., 2003) . Asaron Dringo (Acorus calamus), juga merupakan senyawa
alami yang potensial sebagai pemicu timbulnya kanker, apalagi jika
tanaman ini digunakan dalam waktu lama.

c. Ketepatan waktu Penggunaan
Kunyit (Curcuma domestica) diketahui memiliki manfaat untuk
mengurangi nyeri pada perempuan yang sedang haid, dan telah turun-
temurun dikonsumsi dalam ramuan jamu kunir asam yang baik
dikonsumsi saat datang bulan. Akan tetapi jika ramun kunyit (Curcuma
domestica) tersebut dikonsumsi sejak gadis, saat berumah tangga akan
sulit mendapatkan keturunan. Selain itu juga akan menyebabkan
keguguran pada janin, jika dikonsumsi saat masa-masa awal kehamilan.
Hal ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu penggunaan obat
tradisional menentukan tercapai-tidaknya efek yang diinginkan.
d. Ketepatan cara penggunaan
Satu tanaman obat dapat memiliki beberapa zat aktif yang berkhasiat di
dalamnya. Masing-masing zat berkhasiat tersebut kemungkinan
membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam setiap penggunaannya.
Sebagai contoh daun Kecubung (Datura metel) jika penggunaannya
dengan dihisap seperti rokok, maka bersifat bronkodilator dan digunakan
sebagai obat asma. Namun jika diminum dan diseduh dapat
menyebabkan mabuk bahkan keracunan.
E. Herbarium
1. Definisi Herbarium
Herbarium berasal dari dua kata yaitu “hortus dan botanicus”, artinya
kebun botani yang dikeringkan. Secara sederhana yang dimaksud herbarium
adalah koleksi spesimen yang telah dikeringkan, biasanya disusun
berdasarkan sistim klasifikasi (Zulfahmi dan Rosmaina, 2013).
Herbarium adalah suatu spesimen dapat berupa tubuh tumbuhan yang
lengkap, terdoro dati akar, batang, daun, bunga, buah dan biji untuk
tumbuhan Spermatophyta. Sedangkan untuk tumbuhan Cryptogamae berupa
spora. Spesimen yang digunakan untuk studi morfologi dan taksonomi dapat
berupa tumbuhan segar maupun tumbuhan yang diawetkan (Tjitrosoepomo,
2009).
Sedangkan menurut Murni, dkk (2015), Herbarium merupakan sebuah
tempat yang berfungsi untuk menyimpan spesimen tumbuhan, baik yang

basah maupun yang kering. Selain sebagai tempat penyimpanan Herbarium
juga telah digunakan dalam studi yang berkaitan dengan tumbuhan terutama
dalam tatanam dan klasifikasi.
Pengertian Herbarium lainnya adalah spesimen atau koleksi tumbuhan,
baik koleksi dalam bentuk kering maupun basah. Dimana spesimen yang
kering telah lebih dulu dikeringkan dan dipres lalu ditempel pada kertas
(kertas mounting), setelah itu diberikan label yang berisi keterangan penting
menggenai tumbuhan tersebut. Sedangkan spesimen basah adalah koleksi
tumbuhan yang diawetkan dengan menggunakan larutan FAA ataupun
alkohol. Berdasarkan Index Herbariorum (1990) dalam Murni, dkk (2015),
bahwa tercatat sekitar 272.800.926 spesimen telah tersimpan di 2639
herbarium yang tersebar di 147 negara.
2. Fungsi Herbarium
Herbarium memiliki beberapa fungsi diantaranya:
a. Sebagai media dalam kegiatan pembelajaran Biologi, Pembelajaran
berbasis lingkungan dengan memanfaatkan spesimen herbarium yang
berasal dari lingkungan akan sangat membantu pemahaman biologi
siswa, selain itu siswa akan lebih antusias dan fokus dalam pembelajaran
(Murni, dkk , 2015).
b. Sebagai pusat referensi atau sumber utama untuk identifikasi tumbuhan
bagi para ahli ekologi, taksonomi, , pecinta alam, para petugas yang
bergerak dalam konservasi alam dan petugas yang menangani jenis
tumbuhan langka (Zulfahmi dan Rosmaina, 2013).
c. Sebagai dokumentasi; merupakan koleksi yang mempunyai nilai sejarah,
seperti tipe dari taksa baru, contoh penemuan baru, tumbuhan yang
mempunyai nilai ekonomi dan lain-lain.
d. Sebagai pusat penyimpanan data; ahli kimia memanfaatkannya untuk
mempelajari alkaloid, ahli farmasi menggunakan untuk mencari bahan
ramuan untuk obat kanker, dan sebagainya.
3. Cara pembuatan Herabirum
Dalam pembuatan spesimen Herbarium kering dilakukan dengan
beberapa tahap menurut Murni, dkk (2015), diantaranya:

a. Penyediaan bahan dan alat yang diperlukan, seperti alat tulis, kamera,
gunting, pisau, kantong plastik,kertas label, alat untuk pengepresanyaitu
dengan kardus atau triplek , Tali, dan kertas manila yang digunakan untuk
penempelan tanaman (mounting).
b. Pengambilan organ tumbuhan yang akan dijadikan spesimen. Organ yang
akan digunakan sebagai spesimen, bagian pentingnya tidak boleh
terpotong ataupun terpisah dari bentuk aslinya. setelah dilakukan
pengambilan organ tumbuha tersebut, selanjutnya adalah menyiapkan
tempat untuk meletakkan spesimen sementara kedalam kantong plastik,
dan diberi nomor spesimen, keterangan nama daerah tumbuhan
(vernacular name), lokasi spesimen ditemukan, serta tanggal
ditemukannya spesimen tersebut.
c. Pengepresan dan pengeringan
Satu persatu spesimen diletakkan pada lipatan koran dengan posisi yang
rapi, kegiatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang pada setiap
spesimen. Setelah itu barulah dilakukan pengepresan dengan
menggunakan kardus ataupun triplek dengan menali setiap ujungnya
dengan kuat dan rapat. Terakhir spesimen siapuntuk dikeringkan dibawah
sinar matahari secara langsung ataupun dengan panas oven.
d. Penempelan (Mounting)
Setelah spesimen dikeringkan, selanjutnya dilakukan tahap penempelan di
kertas mounting seperti kertas manila ataupun sejenisnya dengan bantuan
lem, perekat (solasi), ataupun dijahit menggunakan benang, dan diletakkan
dengan posisi yang rapi.
e. Pemberian Label
Spesimen dilengkapi dengan label herbarium yang berisi keterangna
penting tentang morfologi tanaman. Label dibuat dengan kertas yang
berkualitas baik, serta biasanya diletakkan disamping kanan bawah. Semua
spesimen dikelompokkan berdasarkan famili maupun tingkat taksonnya,
sehingga spesimen herbarium tersebut dapat digunakan sebagai
materialilmiah dalam sebuah penelitian ataupun pembelajan.

F. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai pengetahuan serta pemanfaatan tanaman sebagai obat
tradisonal oleh masyarakat telah banyak dilakukan di Indonesia, diantaranya
dalam penelitian Qomarus Z (2009) dengan judul Etnobotani Tumbuhan Obat
di Kabupaten Pamekasan-Madura Provinsi Jawa Timur. Adapun dalam
penelitiannya telah ditemukan 116 spesies tumbuhan yang digunakan
masyarakat Pamekasan sebagai bahan dasar pembuatan obat tradisonal,
dengan di dominasi oleh fanilia Zingiberceae seperti Koempferia
angustifolia, Koempferia galangga, Boesenbergia pandurata, Zingiber
officinale, Curcuma domestica, Curcuma aeruginosa, dan Curcuma
xanthorrahiza. Tumbuhan-tumbuhan tersebut diperoleh dengan cara membeli
24%, budidaya 31%, dan hidup liar 45%. Dan pemanfaatan tumbuhan sebagai
obat tradisonal oleh masyarakat Pamekasan menempati prosentasi tertinggi
dengan 35%.
Selain itu Anis Nur Laily (2017) tepatnya di Kecamatan Nguter
Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Dimana dalam peneLitiannya dijelaskan
bahwa terdapat 24 famili dari 39 spesies yang menyususn pembuatan 12 jenis
jamu gendong. Tumbuhan yang memiliki prosentase tertinggi adalah kunyit
dengan 10,45%, lalu prosentase tertinggi organ tumbuhan yang dimanfaatkan
sebagai bahan dasar pembuatan jamu gendong adalah rimpang dengan 30,88
%. Dan penggolahan tumbuhan sebagai obat tradisional yang memperoleh
adalah prosentase tertinggi adalah dengan cara merebus, yaitu sebesar 33,04
%.
Penelitian etnobotani lainnya telah dilakukan pada masyarakat di Desa
Baruga Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur oleh Irmawati (2016),
yang mana ditemukan 40 spesis tumbuhan dimanfaatkan sebagai bahan
pengobatan yang dikelompokan dalam 30 famili. Adapun tumbuhan yang
biasa dimanfaatkan masyarakat dalam membuat obat tradisonal yaitu, Pare
(Momordica charantia), Keji beling (Strobilanthes), Jahe (Zingiber
officinale), Jambu biji (Psidium guajava), Kencur (Kaempferia galanga),
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia), Sirih (Piper betle L), Mengkudu
(Morinda citrifolia L), Seledri (Apium graviolens), Bandotan (Ageratum

conyzoides), Miana (Iresine), Sirsak (Kaempferia galanga), Cocor bebek
(Kalanchoe blossfeldiana), Kumis kucing (Orthosiphon aristatus), alang-
alang (Imperata cylindrica L), Ceplukan (Physalis angulata L) , Mahkota
dewa (Phaleria macrocarpa), Delima (Punica sp), pepaya (Carica
papaya), Kelapa (Cocos nucifera), Asam jawa (Tamarindus indica),
Alpokat (Persea americana), belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), Bayam
merah (Celosia argentea), Jarong (Stachytarpheta mutabilis), kemangi
(Ocimum basilicum), suruhan (peperomia pellucida L), Bawang putih
(Allium sativum), Pinang (Areca catechu), sidaguri (Sida rhombifolia),
Kelor (Moringa oleifera), Gandarusa (Justicia gendarussa), Mangkokan
(Nothopanax scutellarium), Tapak dara (Catharantus roseus (L) G.Don),
Sambiloto (Androgroraphis), Pala 96 (Myristica fragrans), Jarak pagar
(Jatropha curcas L ), Kunyit (Curcuma domestica). Sedang bagian-bagian
tanaman yang dimanfaatkan yaitu ada 7 bagian tanaman yang digunakan
sebagai bahan pengobatan tradisional yaitu rimpang, akar, batang, daun,
bunga, buah,dan umbi lapis.

G. Gambaran umum Desa Bumiayu
1. Kondisi Geografi
Berdasarkan dokumen Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro tahun (2018),
Bumiayu merupakan salah satu Desa dari 25 (dua puluh lima) desa yang
berada di Kecamatan Baureno, tepatnya di Kabupaten Bojonegoro. Memiliki
tiga Dusun yaitu, Tambakrame, Panasan dan dusun Bumiayu dan berjumlah 5
Rw dan 12 Rt. Desa Bumiayu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten
Bojonegoro paling timur dengan perbatasan wilayah sebagai berikut:
Utara : Desa Kedungrejo
Timur : Kecamatan Babat, Kab Lamongan
Selatan : Kecamatan Kepohbaru
Barat : Desa Kauman
Secara geografis berada pada koordinat 6o 59' sampai 7o 37' Lintang
Selatan dan 112o 25' sampai 112o 09' Bujur Timur , dengan jarak + 110km
dari ibu kota Provinsi. Sedang jika dengan Kecamatan Baureno sendiri

berjarak 6,5 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 19 menit, lalu
jarak dengan Kabupaten Bojonegoro 31,5 km, dapat ditempuh dengan waktu
sekitar 55menit. Dengan luas wilayah 1,91 km
2
atau sekitar 191 hektar
dengan spesifikasi lahan sawah sebesar 165 hektar dan bangunan atau
pekarangan seluas 26 hektar. Dengan Memiliki intensitas curah hujan yang
cukup tinggi yaitu 1252 mm/tahun dan suhu maksimal mencapai 30
0
C.
Beriklim tropis, dimana musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai
dengan bulan April, sedang pada musim kemarau terjadi pada bulan April
akhir sampai bulan Juli akhir.
Kondisi geografis tersebut membuat desa Bumiayu sangat berpotensi
untuk ditumbuhi berbagai macam jenis tanaman. Selain padi yang digunakan
masyarakat sebagai sumber makanan, ada beberapa jenis tanaman yang hidup
di Desa Bumiayu yang letaknya sangat dekat dengan sungai Bengawan
Solo,tanaman tersebut adalah Jagung (Zea Mays), Singkong atau Ketela
pohon (Ipomea batatas), Cabai (Capsicum Frutescens), Kedelai (Glycine
max), Kacang Hijau (Vigna Radiata), Sirih (Piper batle ) Kelor (Moringa
oleifera ), Binahong (Anredera cordifolia), Ketela rambat (Manihot
esculenta), Mengkudu (Morinda citrifolia), Jambu biji (Psidium Guajava),
Pepaya (Carica papaya), Pisang (Musa paradisiaca L.musa), Mangga
(Mangifera Indica), Jeruk nipis (Citrus Aurantifolia) , Jahe (Zingiber
officinale) Kencur (Kaempferia galanga), Kunyit (Curcuma longa),
Lengkuas (Alpinia Galanga.
2. Kondisi Topografi
Keadaan Topografi desa Bumiayu pada bagian selatan didominasi oleh
keadaan tanah yang berbukit, sedangkan pada bagian utara merupakan
dataran rendah yang berada di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo yang
merupakan daerah yang subur sehingga sangat berpotensi untuk pertumbuhan
berbagai jenis tanaman. Namun tak jarang pula desa Bumiayu menjadi
langganan banjir saat musim hujan tiba. Hal ini disebabkan karena letak desa
Bumiayu sangat dekat dengan sungai Bengawan Solo. Berkebalikan dengan
musim hujan, pada musim kemarau masyarakat Bimiayu justru
memanfaatkan air Bengawan Solo untuk mengairi persawahanannya.

3. Kondisi Demografi
Secara umum gambaran masyarakat desa Bumiayu dapat diklasifikasikan
berdasarkan beberapa hal, diantaranya: berdasarkana jenis kelamin, usia,
tingkat pendidikan dan juga Agama. Jumlah penduduk di desa Bumiayu
berjumlah 3.028 jiwa dengan spesifikasi jumlah perempuan : 1.763 jiwa dan
laki-laki : 1.265 jiwa. Masyarakat desa Bumiayu didominasi oleh usia
produktif yaitu usia 15 tahun sampai 60 tahun, yang masih sekolah maupun
yang telah memiliki pekerjaan. Sedang pada tingkat pendidikan terakhir
masyarakat desa Bumiayu adalah SLTP sederajat, untuk yang pendidikan
terakhirnya sarjana masih sangat sedikit,halini disebabkan kurangnya
kesadaran masayarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi generasi
penerusnya. Dan 100% masyarakat Bumiayu beragama islam agamis,
terbukti dengan adanya 14 mushola dan tiga masjid besar. Selain itu banyak
kegatan keagamaan yang gelar, diantaranya khataman Al-qur’an, Yasinan
Diba’an, tahlilan , Manakiban, dan masih banyak lagi.

4. Kondisi Sosial Ekonomi
Desa Bumiayu keadaan perekoniannya telah ditunjang oleh pertanian,
dimana hampir sepanjang tahun lahan sawah sekitar 165 hektar ditanami padi
dengan jumlah produksi panen 2.697 ton/tahun. Selain ditanami padi,
persawahan masyarakat desa bumiayu juga ditanami jagung dengan jumlah
produksi panenmencapai 100ton/tahun. Selain pertanian beberapa msayarakat
desa Bumiayu juga telah berprofesi sebagai pedagang, pengrajin kayu,
pengusaha krupuk, pengusaha tempe, pengusaha anyaman, mebel, dan usaha
penggilihan gabah.
Ada sekitar 575 jiwa bermata pencaharian sebagai seorang petani
maupun buruh tani, angka tersebut paling tinggi dibanding jumlah pekerjaan
lain. Yang mana masyarakat yang berprofesi sebagai pegawai negeri
sebanyak 8 orang, peternak sebanyak 84 jiwa, pedagang ada 17 jiwa,
pengusaha industri rumah tangga sekitar 6 jiwa , jasa angkutan/sopir
sebanyak 5orang, dan buruh bangunan berjumlah 9 jiwa.

5. Kondisi Sosial Budaya
Seni budaya merupakan hasil karya, karsa dan cipta manusia yang telah
ada sejak zaman dahulu dan tetap dijaga kelesatriannya. Desa Bumiayu masih
sangat kental dengan budaya-budaya warisan leluhur seperti masih
melaksanakan seni budaya Ludruk, Campursari,dan Tayub ( tarian yang
dilakukan oleh penari perempuan dengan diiringi gamelan jawa). Selain itu
desa Bumiayu juga telah memiliki ritual budaya, hal tersebut terbukti dengan
adanya acara Slametan; slametan tiron (hari lahir), slametan tingkeban
(syukuran kehamilan), brokohan (syukuran melahirkan), wiwit (syukuran atas
hasil pertanian dengan membuat makanan khusus dengan sayur daun
mengkudu ditaburi parutan kelapa yang udah dibumbui) , malem suroan
(menyambut tahun baru), sepasaran (syukuran anak bayi yang sudah berusia
40 hari ataupun pengantin yang usiapernikahnnya sudah 40hari).
Serta ada juga kegiatan yang bernama kirab tumpeng, dimana acara
tersebut dialaksanakan untuk menyambut datangnya bulan suci ramadhan dan
serangkaian dari acra sedekah bumi, namun untuk tiga tahun terakhir ini
sengaja dikemas dalam acara kirab tumpeng. Filosofi kirab tumpeng sendiri
adalah orang hidup harus seperti tumpeng, maksudnya sebagai manusia
hendaknya hidup harus saling gotong royong kepada sesama. Tumpeng
tersebut ditata menyerupai bentuk piramidasegitiga dengan kumpulan dari
bermacam-macam sayuran dan buah-buahan.
Selain melestarikan budaya leluhur dalam hal “Slametan” dengan
berbagai macam nama dan ritual, Desa Bumiayu juga masih merawat tradisi
dalam memanfaatkan tanaman sebagai obat tradisional. Hal ini dibuktikan
dengan adanya aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan tanaman sebagi
obat tradisional. Contohnya seperti Dukun Beranak yang masih
memanfaatkan tanaman sebagai obat pasca melahirkan, serta masih adanya
penjual jamu gendong hampir diseluruh Dusun yang berada di Desa
Bumiayu. Selain itu dalam observasi awal dengan masyarakat Desa Bumiayu,
telah ditemukan beberapa jenis tanaman yang dipercaya mampu
menyembuhkan penyakit, tanaman tersebut diantaranya:

a. Daun sirih (Piper batle ) yang dipercaya masyarakat mampu mengobati
keputihan dan juga sakit mat
b. Daun kelor (Moringa oleifera )mampu mengobati penyakit asam urat
c. Daun binahong (Anredera cordifolia) dipercaya mampu melancarkan
haid, obat sakit perut, menyembuhkan wasir dan membersihkan jerawat
d. Daun ketela rambat (Manihot esculenta) mampu menurunkan tekanan
darah tinggidan memperlancar buang air besar (BAB)
e. Daun ketela pohon (Ipomea batatas) berkahisiat untuk memperlancar
pencernaan
f. Buah mengkudu (Morinda citrifolia) mampu mengurangi encok
g. Jambu biji (Psidium Guajava) dipercaya sebagai obat diare, dan
menurunkan panas pada penderita demam berdarah
h. Pepaya (Carica papaya) ; daunnya bermanfaat untuk meningkatkan
tekanan darah,sedang buahnya bermanfaat untuk memperlancar
pencernaan
i. Pisang (Musa paradisiaca L.musa) ;daunnya berkhasiat untuk meredakan
luka bakar,dan buahnya mampu untuk diet dan memperlancar pencernaan
j. Jeruk nipis dimanfaatkan untuk obat sariawan dan tenggorokan sakit
k. Jahe (Zingiber officinale) mampu menghangatkan tubuh
l. Kencur (Kaempferia galanga)dipercaya mampu menambah nafsu makan
m. Kunyit (Curcuma longa) dimanfaatkan sebagai obat nyeri haid,
mengeringkan luka, dan menurunkan panas