Didukung oleh
Global Development Network
Serial Working Paper
Mereformasi Penelitian
di Indonesia:
Kebijakan dan Praktik
Dr. Inaya Rakhmani dan
Fajri Siregar
Working Paper No. 92
Februari 2016
Diterjemahkan oleh

Global Development Network (GDN) adalah sebuah Organisasi Publik Internasional yang
mempromosikan ilmu sosial di negara-negara berkembang dan transisi. GDN memberdayakan
peneliti lokal dengan memberikan akses kepada sumber daya finansial, pelayanan informasi,
pelatihan, dan mentoring serta kepada jaringan global peneliti pembangunan. Melalui berbagai
projek, GDN berkontribusi terhadap produksi pengetahuan yang relevan untuk kebijakan mengenai
isu-isu pembangunan utama, dan bagi interaksi antara peneliti lokal, sejawat global mereka, para
pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan pembangunan lainnya. Dibentuk pada tahun
1999, kantor pusat GDN berlokasi di New Delhi, India dengan kantor cabang di Washington DC, AS.
Penelitian ini didanai oleh GDN, dilaksanakan bersama oleh Pusat Kajian Komunikasi, Universitas
Indonesia (Puskakom UI) dan the Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), melalui
kolaborasi dengan Asia Research Centre, Murdoch University, Australia (ARC).
Laporan Penelitian ini disiapkan sebagai bagian dari proyek “Doing Research” Tahap Awal.
Proyek “Doing Research” adalah inisiatif dari GDN untuk mengembangkan pemahaman yang
lebih komprehensif terkait faktor-faktor yang mempengaruhi organisasi penelitian ilmu sosial,
kualitasnya, kuantitasnya dan relevansinya bagi negara-negara berkembang. Laporan ini adalah
bagian dari serial studi kasus awal yang menyelidiki kondisi penelitian di 11 negara transisi dan
berkembang. Informasi lebih lanjut bisa ditemukan di www.gdn.int/dr.
© GDN, 2016

iiGDN Working Paper Series
Kata Pengantar KSI
Mereformasi Penelitian di Indonesia: Kebijakan dan Praktik
Publikasi ini mengangkat kinerja penelitian bidang ilmu sosial dan humaniora di Indonesia
yang dilihat dari sisi kualitas dan produktivitas penelitian di perguruan tinggi negeri yang
dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik kelembagaan di tataran makro
(kebijakan), meso (praktik kelembagaan) dan mikro (perilaku penelitian).
Sebuah ekonomi berbasis pengetahuan memerlukan sektor pengetahuan yang sehat dan
tenaga kerja yang terampil. Jalan menuju ekonomi berpenghasilan tinggi bersandar pada
sistem pendidikan yang kuat, investasi dalam penelitian dan pengembangan, dan
kemampuan menangani berbagai permasalahan yang menyangkut pertumbuhan maupun
ketimpangan ekonomi, infrastruktur, inovasi dan reformasi pasar tenaga kerja. Transisi
ekonomi yang dialami negara-negara Asia Timur seperti Singapura, Jepang dan Korea dari
negara berpendapatan menengah menjadi berpenghasilan tinggi didasarkan pada
kemampuan mereka merintis teknologi dari meniru dan mengimpor teknologi asing menjadi
berinovasi menghasilkan teknologi mereka sendiri.
Universitas merupakan bagian penting dari ekosistem sektor pengetahuan yang tidak saja
memproduksi pengetahuan tapi juga mengaplikasikan pengetahuan melalui pengajaran pada
mahasiswa. Banyak dari mahasiswa ini yang akan menjadi pengambil kebijakan di masa
depan. Hal ini memposisikan universitas menjadi aktor penting dalam sektor pengetahuan:
tidak saja dari sisi penghasil pengetahuan (supply) tapi juga membangun kapasitas pengguna
pengetahuan (demand).
Dilihat dari sumber daya manusia, data tahun 2009 dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
menyatakan bahwa sekitar 60% peneliti di Indonesia berada di universitas dibandingkan
dengan lembaga penelitian pemerintah atau swasta. Demikian pula, hampir 80% populasi
Indonesia berpendidikan doktor berada di universitas. Kondisi ini menunjukkan bahwa betapa
pentingnya tata kelola penelitian di universitas untuk bisa menghasilkan pengetahuan yang
terdepan dan yang dapat menjawab tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini
maupun masa depan.
Knowledge Sector Initiative (KSI) mendukung publikasi “Mereformasi Penelitian di Indonesia:
Kebijakan dan Praktik” yang diterjemahkan dari tulisan aslinya berjudul “Reforming Research
in Indonesia: Policies and Practices” agar dapat menjangkau dan menjadi rujukan bagi tidak
saja akademisi namun juga pengambil kebijakan di Indonesia dan pemangku kepentingan
yang terkait. Publikasi yang ditulis oleh akademisi dan peneliti muda Indonesia ini diharapkan
bisa menjadi pelopor bergulirnya budaya pemikiran kritis untuk kemajuan keunggulan
penelitian di Indonesia. Upaya ini tentunya tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua kelompok,
namun membutuhkan jumlah massa yang mencukupi (critical mass) dari berbagai tingkatan
agar bisa membuat perubahan yang lebih baik.
Budiati Prasetiamartati
Knowledge Sector Initiative

GDN Working Paper Series iii
Mereformasi Penelitian di Indonesia: Kebijakan dan Praktik
Dr. Inaya Rakhmani* Fajri Siregar**
ABSTRAK
Mekanisme pasar lebih bebas yang telah memengaruhi pendidikan tinggi di seluruh dunia telah
direspon oleh negara-negara Asia dengan berbagai upaya meningkatkan daya saing nasional.
Pemerintah Indonesia, yang memimpin ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan negara dengan
populasi keempat terbesar di dunia, telah menanggapinya dengan memberikan kebebasan
institusional yang lebih tinggi bagi universitas negeri – terutama dalam menentukan jumlah
penerimaan mahasiswa dan agenda penelitiannya. Namun, kajian ini menunjukkan bahwa
model birokratis dan peran teknokratis sempit yang dibentuk pada rezim otoritarian masih
membatasi produktivitas penelitian sosial serta pemikiran kritis di antara peneliti Indonesia.
Kesenjangan antara kebijakan yang lebih terbuka dengan model institusional tertutup
universitas negeri di Indonesia telah menghasilkan “insularitas” (insularity) akademis, sebuah
kondisi di mana mayoritas peneliti Indonesia kekurangan mobilitas akademis dan interaksi
dengan sejawat internasional, serta memutuskan menetap di institusi mereka sendiri. Sebagai
konsekuensi, “insularitas” ini telah mengkerdilkan penelitian dasar, mencegah kerja sama inter-
institusional jangka panjang antara penelitian universitas dan pengambilan kebijakan
pemerintah, serta juga memperparah kesenjangan antara universitas negeri yang berlokasi di
pulau Jawa yang lebih maju dibanding pulau-pulau lainnya. Kondisi ini tidak hanya telah
menahan pengembangan budaya penilaian sejawat yang sangat dibutuhkan dan absen dalam
kesarjanaan Indonesia, tapi juga akan terus merongrong daya saing regional universitas negeri
Indonesia dalam pasar pendidikan tinggi.
Kata kunci
Institusi Pendidikan Tinggi, Penelitian Sosial, Indonesia, Birokrasi Universitas Negeri, “Insularitas
Akademis” (Academic Insularity)
UCAPAN TERIMA KASIH
Tim peneliti ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan dari semua fasilitator di masing-
masing universitas dan semua informan kunci, Rinaldi Camil, Ayip Fahmi, dan Maharani Karlina
CH karena telah mengoordinasikan survei, Haikal Lasabuda karena telah menganalisis data
survei, seluruh enumerator, tim entri data dan penyunting serta peninjau atas komentar dan
kontribusinya yang bermanfaat.
* Inaya Rakhmani, Pusat Kajian Komunikasi, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia (Puskakom UI), Indonesia. Seluruh korespondensi ditujukan ke [email protected].
** Fajri Siregar, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Indonesia. Seluruh korespondensi ditujukan ke
[email protected].

ivGDN Working Paper Series
Ringkasan Eksekutif
Sudah jamak diketahui bahwa Indonesia terus tertinggal dari negara-negara tetangganya di
Asia Tenggara dalam hal publikasi internasional, terutama di bidang ilmu sosial dan humaniora
(Evers, 2003). Kendati sejumlah faktor memiliki andil dalam situasi ini, dari hambatan bahasa,
akses ke publikasi internasional yang terbatas, hingga konteks historis (Heryanto, 2011),
temuan baru-baru ini mengungkapkan bahwa permasalahan struktural yang ada di dalam
universitas negeri dan lembaga penelitian di Indonesia mungkin menjadi faktor utama (Hadiz
dan Dhakidae 2005; Guggenheim, 2012). Akibatnya, “Tak satu pun dari lembaga-lembaga di
Indonesia yang berjumlah 3.000 lebih itu, memiliki kedudukan terhormat di kancah
internasional, di mana universitas ternamanya hanya menempati posisi 201 dalam Peringkat
Universitas Dunia Times Higher Education (THE) di tahun 2009” (AusAID, 2013: 10). Terlepas dari
alokasi anggaran untuk penelitian dalam tahun-tahun terakhir yang telah ditingkatkan oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagian
besar masalah struktural ini tetap belum tertangani dan menghambat akademisi-akademisi
Indonesia untuk menjalankan peran yang signifikan, yakni sebagai aktor utama, dalam sektor
pengetahuan di negeri ini, dan dengan demikian, membatasi kontribusi mereka terhadap
pembangunan nasional.
Berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hasil penelitian telah diambil
oleh universitas-universitas Indonesia. Sebagiannya telah dilaksanakan bersama dengan
berbagai kolaborator, termasuk donor internasional dan lembaga pendidikan dari negara-
negara dengan tradisi penelitian ilmu sosial yang lebih mapan. Meskipun demikian,
ketidaktepatan alokasi sumber daya yang masih terbatas dan sifat sporadis dari upaya-upaya
tersebut telah membuahkan hasil-hasil yang tidak konsisten. Program yang berhasil, menurut
hemat kami, tidak hanya harus memiliki dana yang memadai, tapi juga dibangun berdasarkan
pemahaman yang jelas tentang kelemahan yang ada dalam kapasitas penelitian, dan lebih
penting lagi, faktor-faktor mendasar yang membuat reformasi secara intrinsik sulit dilakukan.
Temuan empiris menunjukkan bahwa reformasi universitas negeri di Indonesia diarahkan
untuk menjawab permintaan pasar regional. Kebijakan makro yang ditetapkan pemerintah
memberikan otonomi kelembagaan yang lebih besar kepada universitas-universitas negeri.
Namun, model kelembagaan universitas negeri yang birokratis telah menghalangi reformasi
ini untuk benar-benar terwujud. Model ini menghambat pencairan dana penelitian yang
sebelumnya telah ditingkatkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, sementara promosi
dosen-dosen Indonesia terus saja dihubungkan dengan skema penilaian kinerja pegawai
negeri, ketimbang didasarkan pada kemampuan akademis.
Kondisi ini berujung pada pengembangan akademis yang tertutup, di mana akademisi
dipekerjakan melalui metode rekrutmen yang tertutup atau semi tertutup. Sebagian besar di
antara mereka memilih untuk bertahan di institusi asalnya ketika mengejar gelar yang lebih
tinggi. Ketertutupan (inbreeding) ini menghasilkan perilaku penelitian yang insular, di mana
universitas negeri lebih memedulikan agenda penelitian mereka sendiri, meskipun ada

GDN Working Paper Series v
kebijakan dan pendanaan untuk mendorong penelitian yang lebih kolaboratif antaruniversitas
dan organisasi. “Insularitas” ini telah merintangi munculnya penelitian dasar yang sangat
dibutuhkan dan krusial untuk menjelaskan pergeseran fundamental yang terjadi pada
masyarakat Indonesia. Kondisi keilmuan tetap memprihatinkan, terlepas dari produktivitas
penelitian universitas-universitas negeri di Jawa, yang berdampak jangka panjang pada
budaya berpikir kritis dan lemahnya pengaruh hasil penelitian terhadap kebijakan. Keadaan
ini telah mengurangi daya saing regional universitas-universitas negeri Indonesia di kancah
pendidikan tinggi, terutama di kawasan Asia Tenggara.
Di antara universitas-universitas negeri yang ada di Jawa, yang memiliki akses langsung lebih
besar ke donor internasional dan pendanaan penelitian dari pemerintah pusat, tata kelola
pemerintahan menjadi tema yang dominan dalam penelitian sosial yang tengah dilaksanakan.
Namun, pengaruh riset terhadap kebijakan lemah karena kondisi kesarjanaan ilmu sosial yang
tidak mumpuni. Terkait kondisi penelitian sosial ini, kami berpendapat bahwa dominasi tema
tata kelola pemerintahan tersebut terjadi lebih karena penelitian diarahkan untuk
mendapatkan pemasukan bagi universitas, dan bukan karena komitmen kelembagaan yang
sungguh-sungguh dari universitas negeri terhadap pembuatan kebijakan. Akibatnya,
penelitian dasar yang sangat diperlukan untuk mencegah terciptanya kebijakan yang tidak
tepat pun minim lantaran ketiadaan budaya penilaian sejawat (peer review) akibat hambatan
kelembagaan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan tinggi dan kebijakan kelembagaan harus
dirancang untuk memperkenalkan budaya penilaian sejawat yang kritis, yang bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan akademis dan pertukaran wawasan antar-disiplin dan
paradigma. Kebijakan ini harus mempertimbangkan daya saing regional yang terus
meningkat, dan diimplementasikan dengan dukungan kelembagaan yang secara tegas
mendorong keunggulan akademis melalui pembinaan budaya penilaian sejawat antara
akademisi Indonesia dan mitra internasional mereka.

viGDN Working Paper Series
Daftar Isi
Kata Pengantar KSI............................................................................................................................................
Ringkasan Eksekutif.......................................................................................................................................... v
Daftar Isi............................................................................................................................................................... vii
Daftar Tabel......................................................................................................................................................... ix
Daftar Gambar.................................................................................................................................................... xi
Daftar Boks.......................................................................................................................................................... xiii
Daftar Singkatan................................................................................................................................................ xv
I. Pendahuluan.............................................................................................................................................. 1
II. Kerangka Konseptual dan Metodologi..............................................................................................9
Metodologi.................................................................................................................................................. 11
Tingkat makro............................................................................................................................................ 12
Tingkat meso.............................................................................................................................................. 12
Tingkat mikro............................................................................................................................................. 13
Rancangan penelitian..............................................................................................................................14
Subjek analisis............................................................................................................................................ 14
Pengumpulan Data Kuantitatif.............................................................................................................16
Pengumpulan Data Kualitatif................................................................................................................
III. Pemetaan Lingkungan Penelitian Ilmu Sosial di Tingkat Makro................................................ 19
Pendanaan penelitian..............................................................................................................................26
Ketenagakerjaan. ...................................................................................................................................... 30
Manajemen keuangan.............................................................................................................................34
Publikasi ilmiah. ......................................................................................................................................... 36
IV. Kinerja Kelembagaan Penelitian Ilmu Sosial, Kapasitas Penelitian, dan Jangkauan
Penelitian..................................................................................................................................................... 39
Gambaran singkat studi kasus..............................................................................................................41
Universitas Indonesia...............................................................................................................................41
Institut Pertanian Bogor..........................................................................................................................41
Universitas Sumatera Utara...................................................................................................................42
Universitas Hasanuddin..........................................................................................................................43
Universitas Andalas.................................................................................................................................. 43

GDN Working Paper Series vii
Universitas Mulawarman........................................................................................................................44
Institut Teknologi Bandung...................................................................................................................45
Universitas Gadjah Mada........................................................................................................................46
Pendanaan penelitian..............................................................................................................................47
Ketenagakerjaan. ...................................................................................................................................... 48
Manajemen keuangan.............................................................................................................................51
Publikasi ilmiah. ......................................................................................................................................... 52
V. Perilaku dan Karakteristik Peneliti.......................................................................................................52
Gambaran singkat peneliti.....................................................................................................................52
Perilaku dan karakteristik.......................................................................................................................52
VI. Penelitian Ilmu Sosial dan Kaitannya ke Kebijakan........................................................................52
Kondisis kekinian: Tema dominan dan pengguna penelitian sosial. ........................................52
VII. Ringkasan Temuan. .................................................................................................................................... 52
Daftar Pustaka.................................................................................................................................................... 52
Lampiran.............................................................................................................................................................. 52
Lampiran 1.......................................................................................................................................................... 52
Lampiran 2.......................................................................................................................................................... 52

viiiGDN Working Paper Series
Daftar tabel
Tabel 1. Daftar Universitas BHMN Terdahulu............................................................................................23
Tabel 2. Perubahan Kelembagaan dan Kepemimpinan di Dikti......................................................... 26
Tabel 3. Garis Besar Skema Penelitian yang Didanai Dikti................................................................... 28
Tabel 4. Landasan Hukum Penilaian Kinerja Akademis......................................................................... 32
Table 5. Universitas dengan Kinerja Penelitian “Mandiri” Versi Dikti................................................. 40

GDN Working Paper Series ix
Daftar gambar
Gambar 1. Persentase Publikasi Penelitian oleh Peneliti Lokal.......................................................... 2
Gambar 2. Tujuan Penelitian, Pertanyaan Penelitian, dan Isu Kunci................................................. 4
Gambar 3. Model Analisis: Hierarki Penelitian Ilmu Sosial di Universitas Negeri di Indonesia. 9
Gambar 4. Peta Lokasi Sampel......................................................................................................................12
Gambar 5. Lingkungan Penelitian di Indonesia......................................................................................16
Gambar 6. Total Penerimaan Mahasiswa Baru (1972-2011)................................................................. 17
Gambar 7. Tonggak Penting Perkembangan PT di Indonesia............................................................. 19
Gambar 8. Jaringan Penelitian dan Institusi Asal.................................................................................... 37
Gambar 9. Jenis Penelitian dan Pendanaannya.......................................................................................37
Gambar 10. Klasifikasi Tenaga Kerja............................................................................................................38
Gambar 11. Status Ketenagakerjaan...........................................................................................................39
Gambar 12. Metode Rekrutmen...................................................................................................................39
Gambar 13. Gaji Bulanan. ...............................................................................................................................40
Gambar 14. Penghasilan Tambahan............................................................................................................40
Gambar 15. Jurnal Terindeks Scopus dengan Penilaian Sejawat....................................................... 42
Gambar 16. Jumlah Akademisi dengan Publikasi Terindeks Scopus................................................ 42
Gambar 17. Proporsi Gender.........................................................................................................................46
Gambar 18. Unit Kerja...................................................................................................................................... 46
Gambar 19. Distribusi Usia. ............................................................................................................................47
Gambar 20. Asal Gelar Tertinggi Diperoleh..............................................................................................48
Gambar 21. Lokasi Gelar Tertinggi Diperoleh..........................................................................................48
Gambar 22. Penggunaan Media Sosial untuk Profesional................................................................... 49
Gambar 23. Menduduki Banyak Jabatan Struktural di Kampus......................................................... 50
Gambar 24. Peluang Cuti dalam Tanggungan.........................................................................................50
Gambar 25. Distribusi Pekerjaan di 2014...................................................................................................51
Gambar 26. Jumlah Publikasi Non-Jurnal (2010-2014)......................................................................... 51
Gambar 27. Jurnal yang Telah Diteliti dan Terindeks Scopus.............................................................. 52
Gambar 28. Pemahaman Terhadap Indeks Kutipan...............................................................................53
Gambar 29. Informasi Indeks Kutipan Menurut Asal dan Lokasi Diperoleh................................... 53
Gambar 30. Jaringan Penelitian....................................................................................................................54

xGDN Working Paper Series
Gambar 31. Jaringan Penelitian Pemerintah............................................................................................54
Gambar 32. Jenis Penelitian Menurut Sumber Pendanaan................................................................. 55
Gambar 33. Jumlah Cendikiawan yang Menulis di Jurnal Terindeks Scopus Menurut Durasi
Penelitian...................................................................................................................................... 56
Gambar 34. Sub-Tema dalam Penelitian Tata Kelola Pemerintahan. ................................................58
Gambar 35. Penelitian Terkait Tata Kelola Pemerintahan..................................................................... 59
Gambar 36. Jaringan Penelitian Universitas Negeri di Jawa dan Luar Jawa. ..................................60
Gambar 37. Sumber Pendapatan Universitas Indonesia (1994-2006). ............................................. 61
Gambar 38. Gelar Tertinggi yang Diperoleh Berdasarkan Usia.......................................................... 70
Gambar 39. Status Ketenagakerjaan Responden....................................................................................71
Gambar 40. Metode Rekrutmen Menurut Lokasi Kampus................................................................... 71
Gambar 41. Metode Rekrutmen Menurut Gelar yang Diperoleh...................................................... 71

GDN Working Paper Series xi
Daftar Boks
Boks 1. Pencairan Dana yang Tidak Efektif...........................................................................................24
Boks 2. Isu-Isu Terkait Birokrasi Ketenagakerjaan..............................................................................27
Boks 3. Isu-Isu Keuangan Kunci dalam Penelitian Universitas....................................................... 28
Boks 4. Ketimpangan Kebijakan Penelitian dan Praktik................................................................... 29
Boks 5. Dampak Pencairan Dana yang Tidak Efektif.........................................................................38
Boks 6. Dampak Isu Ketenagakerjaan Terhadap Penelitian............................................................ 40
Boks 7. Isu-Isu Keuangan Kunci dalam Penelitian Universitas....................................................... 41
Boks 8. Dampak Kebijakan Penelitian dan Praktik.............................................................................43
Boks 9. Dampak Birokrasi Pendidikan Tinggi Terhadap Profil Peneliti . ......................................49
Boks 10. Dampak Indikator Kinerja Kunci Dikti .................................................................................54
Boks 11. Dampak Skema Pendanaan yang Ada Saat Ini.................................................................. 56
Boks 12. Kondisi Kebijakan Penelitian Terkini.....................................................................................62

xiiGDN Working Paper Series
Daftar singkatan
AIPI :Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
APBN :Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
BAN-PT :Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
BHMN :Badan Hukum Milik Negara
BHP :Badan Hukum Pendidikan
BLU :Badan Layanan Umum
BKN :Badan Kepegawaian Negara
BOPTN :Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri
BSNP :Badan Standar Nasional Pendidikan
BPS :Badan Pusat Statistik
Dikti :Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
DRPM :Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
PT :Perguruan Tinggi
Rp :Rupiah
IMHERE :Indonesia Managing Higher Education Relevance and Efficiency (Pengelolaan
Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi Indonesia)
LIPI :Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LPDP :Lembaga Pengelola Dana Pendidikan
LPPM :Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
LP2M :Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Kemenkeu :Kementerian Keuangan
KemenPAN-RB :Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Kemenristek :Kementerian Riset dan Teknologi
PP :Peraturan Pemerintah
PTN-BH :Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum

GDN Working Paper Series 1
I. Pendahuluan
Dalam dasawarsa terakhir, Indonesia dipuji-puji oleh banyak pihak sebagai negara dengan
ekonomi yang bertumbuh, didukung oleh perkembangan 75 juta warga kelas menengah (lihat
McKinsey, 2012; Basri, 2012). Indonesia mengalami demokratisasi sejak tahun 1998, setelah 32
tahun berada di bawah kepemimpinan otoriter Presiden Soeharto (1966 hingga 1998). Dengan
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2 persen pada tahun 2012 (Bank Dunia, 2014) Indonesia telah
lama pulih dari parahnya krisis keuangan Asia pada tahun 1997. Dalam lima tahun terakhir,
Indonesia merupakan salah satu negara anggota G-20 yang pertumbuhannya paling pesat.
Namun, pertumbuhan ekonomi ini diiringi pula dengan kesenjangan yang kian meningkat,
terutama kesenjangan antar-kelompok dan antara kota dan desa (Suryadarma et al., 2005, 2006)
serta antar-wilayah (Sakamoto, 2007). Kondisi ini semakin terlihat pada era demokratisasi (lihat
Yusuf, Sumner, dan Rum, 2013).
Secara signifikan, politik dalam negeri terus saja digerogoti oleh kapitalisme kroni yang diwarisi
dari rezim sebelumnya (lihat Robison dan Hadiz, 2004; Nordholt dan van Klinken, 2007; Aspinall
dan Fealy, 2003; Mietzner, 2012). Peninggalan rezim otoriter juga tampak jelas dari bagaimana
produksi pengetahuan dilembagakan sebagaimana terbukti dari kinerja, atau kurangnya kinerja,
Indonesia dalam bidang penelitian dan publikasi. Sudah jamak diketahui bahwa Indonesia terus
tertinggal dari negara-negara tetangganya di Asia Tenggara dalam hal publikasi internasional,
terutama di bidang ilmu sosial dan humaniora (Evers, 2003). Kinerja buruk di bidang ini
berhubungan dengan masalah-masalah struktural yang dihadapi oleh universitas-universitas
negeri dan lembaga-lembaga penelitian, di mana kebanyakan penelitian, sejak lama dilakukan
semata-mata untuk memberikan masukan teknokratik pada strategi pembangunan pemerintah
(Hadiz dan Dhakidae, 2005; Guggenheim, 2012). Hal ini telah “membatasi otonomi dan kebebasan
akademis” (Guggenheim, 2012, hal. 147), sehingga berkontribusi terhadap penindasan sistematis
terhadap pola pikir kritis secara berangsur. Akibatnya, “Tak satu pun dari lembaga-lembaga di
Indonesia yang berjumlah 3.000 lebih itu, memiliki kedudukan terhormat di kancah internasional.
Universitas ternamanya hanya menempati posisi 201 dalam Peringkat Universitas Dunia Times
Higher Education (THE) di tahun 2009” (AusAID, 2013, hal. 10). Peringkat ini menurun pada tahun
2014 ke peringkat 310. Secara signifikan, hanya 12% dari publikasi penelitian ilmu sosial dan
humaniora tentang Indonesia yang ditulis oleh peneliti di dalam negeri (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Persentase Publikasi Penelitian oleh Peneliti Lokal
Sumber: Suryadarma et al., 2011 dalam Guggenheim, 2012, hal. 144.
60
40
20
0
Indonesia
12
15
21
25
27 28
53
Filipina IndiaChina ThailandMalaysiaBrasil

2GDN Working Paper Series
Permasalahan-permasalahan terkait kapasitas penelitian, publikasi, dan pengajaran pada
lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Indonesia sudah lazim dan diidentifikasi dalam
penelitian sebelumnya.
1
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia hanya
memproduksi 13.047 dokumen ilmiah yang dipublikasikan selama periode 1996-2010, jauh di
bawah negara-negara tetangganya seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura, serta di bawah
negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita dan Indeks Pembangunan
Manusia yang lebih rendah, seperti Bangladesh, Kenya, dan Nigeria (Guggenheim, 2012, hal.
144). Khusus untuk ilmu sosial dan humaniora, kondisinya bahkan lebih parah. Hampir 90
persen artikel tentang Indonesia yang dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional ditulis oleh
mereka yang tidak tinggal di Indonesia, “sehingga menjadikan Indonesia salah satu negara
yang paling tidak efektif dalam menjelaskan dirinya sendiri pada dunia” (Reid, 2011).
Meskipun pemerintah dan donor internasional telah berinvestasi dalam pengembangan
kapasitas penelitian dengan memberikan beasiswa bagi akademisi Indonesia untuk belajar di
luar negeri, upaya ini belum cukup untuk menghapus dampak dari kebijakan masa lalu.
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pascademokratisasi telah berupaya mengatasi
permasalahan ini.
Pada tahun 2008, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, badan pengawas pendidikan tinggi di Indonesia, mengalokasikan dana Rp150
miliar (sekitar 13,7 juta dolar AS) untuk penelitian.
Porsi yang cukup besar dari anggaran ini (20 persen) dialokasikan untuk penelitian
manajemen bencana, bekerja sama dengan Kementerian Riset dan Teknologi waktu itu
(Kompas.com, 2008), mengindikasikan bahwa alokasi anggaran ini masih diperuntukkan bagi
agenda teknokratik. Pada tahun 2013, alokasi anggaran ini meningkat dramatis menjadi Rp2,7
triliun (sekitar 225 juta dolar AS), seiring peningkatan total anggaran yang dialokasikan untuk
pendidikan di APBN (kemenkeu.go.id, 2013).
2
Pada tahun 2014, kabinet baru di bawah
Presiden Joko Widodo mengintegrasikan Dikti dengan Kementerian Riset dan Teknologi, di
mana fungsi-fungsi Dikti dipadukan dengan agenda penelitian nasional.
3
Temuan dan
argumen dalam penelitian ini menunjukkan bahwa reorganisasi tersebut tidak akan
menghasilkan perubahan signifikan pada isu-isu mendasar yang terkait dengan budaya
berpikir kritis dan peningkatan jumlah publikasi internasional. Penelitian ini memberikan bukti
empiris bahwa masalahnya bukan terletak pada alokasi anggaran, melainkan pada bagaimana
anggaran tersebut dikelola melalui birokrasi pendidikan tinggi yang diarahkan untuk
mendukung daya saing ekonomi nasional (Rosser, 2015).
1 Guggenheim (2012) menyediakan peta ‘Sektor Pengetahuan’ Indonesia, di mana ia mencermati rintangan birokratis yang
telah menghambat kualitas dan produktivitas penelitian. Hadiz dan Dhakidae (2005) menyediakan pandangan investigatif
tentang alasan di balik hambatan-hambatan tersebut.
2 Lihat Satryo Brodjonegoro dan Michael P. Greene. (2012). Creating Indonesian Science Fund (Menciptakan Dana Ilmu
Pengetahuan Indonesia). Jakarta, Indonesia: AIPI, Bank Dunia, dan AusAid.
3 Dikti berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (1999-2010), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011-2014),
dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (2015 hingga sekarang). Perubahan ini berkaitan dengan politik
kabinet dan kurangnya agenda nasional demokratis yang jelas (Joesef, 2013).

GDN Working Paper Series 3
Oleh karena itu, sebagian besar permasalahan struktural yang menghalangi cendekiawan
Indonesia untuk memupuk budaya keunggulan akademis tetap tidak teratasi. Secara
paradoksal, desain teknokratik yang kuat justru membatasi kontribusi para akademisi
terhadap pembangunan nasional, lantaran struktur disiplin-disiplin ilmu yang terlalu birokratis
(Moeliodihardjo et al., 2000; Nizam, 2006; Wicaksono dan Friawan, 2013). Pemisahan disiplin
ilmu yang kaku dalam Perguruan Tinggi (PT) menyulitkan para akademisi untuk berinteraksi
dengan sejawatnya dari bidang keahlian lain. Sementara studi ini fokus pada PT, peran
teknokratik lembaga penelitian yang sempit terus “merongrong prasyarat kelembagaan yang
dibutuhkan oleh sektor pengetahuan yang sehat untuk berkembang” (Guggenheim, 2012, hal.
146), yang juga mempengaruhi instansi dan lembaga advokasi pelaku penelitian yang lain
(lihat Rakhmani, Siregar, Halim, 2017).
Lingkup kajian ini membahas penelitian yang dilakukan oleh universitas-universitas negeri
sebagai salah satu pemasok penelitian. PT tetap menjadi penyedia penelitian dan konsultasi
utama untuk pemerintah, donor internasional, dan perusahaan, jika dibandingkan dengan
instansi-instansi penelitian independen yang lain. Kendati Indonesia telah mengalami banyak
perubahan sejak 1998, warisan pendidikan tinggi yang birokratis, yang mencapai puncaknya
selama pemerintahan Orde Baru yang otoriter, masih sangat membebani universitas-
universitas di Indonesia.
Fakta bahwa akademisi Indonesia menikmati sejumlah kebebasan dan kemudahan baru—
seperti metode perekrutan yang lebih terbuka dan akses terhadap pendanaan penelitian
pendidikan tinggi secara langsung—tidak berarti bahwa mereka telah meningkatkan jumlah
produk-produk ilmiah dan kelimuwan mereka. Hal ini diindikasikan oleh kurangnya publikasi
internasional di bidang ilmu sosial dan humaniora. Kebijakan makro yang dikeluarkan Dikti
hanya sedikit memodifikasi model birokratis PT untuk menyesuaikan diri dengan mekanisme
pasar yang lebih bebas di kawasan Asia secara lebih baik lagi. ‘Harmonisasi’ antara pendidikan
tinggi di Asia Tenggara dengan komunitas ASEAN telah menjadi jargon di kalangan birokrat
universitas sejak tahun 2014; mereka lebih sibuk memikirkan mengenai pemeringkatan
universitas global yang patut dipertanyakan, ketimbang kegelisahan akan lebih bebasnya arus
jasa dan orang yang mesti diantisipasi.
Didorong oleh apa yang Mok (2008) istilahkan sebagai negara yang ‘memfasilitasi pasar’
atau ‘mengakselerasi pasar’, negara-negara ini telah menggabungkan elemen-elemen
kunci dari agenda neoliberal – yaitu membuka sektor pendidikan tinggi bagi peserta
asing dan peningkatan terbatas otonomi PT – dengan model statis pendidikan tinggi
yang sudah ada sebelumnya untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional.
Indonesia - mengesampingkan upaya-upaya terbaik para teknokrat dan mitra donor
mereka, justru terbukti memperlambat pasar akibat pengaruh politik lokal dalam
kebijakan pendidikan tinggi dan implementasinya (Rosser, 2015, hal. 21).
Dalam hal ini Indonesia juga menghadapi kekuatan agenda neoliberal yang sama dengan
Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Tiongkok (lihat Mok, 2008). Proses sosial yang terjadi di
setiap negara berbeda-beda. Di Indonesia, proses ini menciptakan semacam ketersekatan,

4GDN Working Paper Series
hasil dari simbiosis antara pendidikan tinggi yang terbirokratisasi, regulasi pendapatan
universitas atau otonomi universitas yang lebih liberal, dan pasar pendidikan tinggi yang lebih
bebas di Asia Tenggara. Dampaknya adalah penurunan kualitas pengetahuan secara sistematis
di universitas-universitas negeri dan lembaga pendidikan tinggi lainnya.
Dalam penelitian ini, kami menyelidiki kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik kelembagaan
yang saat ini memengaruhi kualitas dan produktivitas penelitian universitas-universitas negeri
di Indonesia. Temuan di kalangan universitas negeri terkemuka di Indonesia mengungkapkan
lemahnya manajemen dan kurangnya kerangka kerja yang layak untuk pengajaran dan
pelatihan bagi para peneliti sebagai hambatan yang krusial. Kami berargumen bahwa kunci
untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang miskinnya penelitian ilmu sosial
di Indonesia, terletak pada upaya mengatasi kesenjangan antara ambisi meningkatkan daya
saing nasional, kondisi tata kelola kelembagaan yang buruk, dan perilaku penelitian yang
dipengaruhi oleh birokratisasi pendidikan tinggi yang masih bertendensi sentralistik.
Bagian pertama dari laporan ini menjabarkan situasi yang melatarbelakangi dilakukannya
kajian ini. Penelitian yang buruk, sebagaimana diindikasikan oleh kurangnya publikasi,
merupakan isu kelembagaan yang disebabkan oleh birokratisasi pendidikan tinggi yang
merupakan warisan desain pemerintahan otoriter dan tersentralisasi di masa lalu. Struktur ini
bukan saja sudah ketinggalan jaman dalam era demokratisasi dan desentralisasi, namun juga
secara sistematis menghalangi peneliti dalam melakukan penelitian sosial yang berkualitas
Sumber: Penulis.
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengidentifikasi secara tepat kebijakan-kebijakan dan praktik-
praktik kelembagaan di tiga tataran (makro, meso, mikro) yang saat
ini menghambat kualitas dan produktivitas penelitian universitas-
universitas negeri di Indonesia.
PERTANYAAN PENELITIAN
Bagaimana kebijakan (makro), praktik kelembagaan (meso), dan perilaku
penelitian (mikro) menghambat kualitas dan produktivitas penelitian
universitas negeri di Indonesia.
ISU KUNCI
Kunci untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang miskinnya
penelitian ilmu sosial di Indonesia terletak pada upaya mengaitkan antara
ambisi untuk meningkatkan daya saing nasional dengan kondisi tata kelola
kelembagaan yang buruk, dan perilaku penelitian yang dipengaruhi oleh
birokratisasi pendidikan tinggi yang masih bertendensi sentralistik.
Gambar 2. Tujuan Penelitian, Pertanyaan Penelitian, dan Isu Kunci.

GDN Working Paper Series 5
selama periode transformasi yang penting ini. Bagian kedua dari laporan ini menyajikan
kerangka konseptual yang menempatkan temuan penelitian ini dalam debat teoretis yang
lebih luas terkait dampak agenda neoliberal terhadap pendidikan tinggi. Hal ini kemudian
diikuti dengan penjelasan tentang metodologi yang digunakan, yang terutama mengambil
posisi realis kritis dan secara seksama memilih berbagai metode sekaligus untuk memastikan
kesahihan temuan empiris dan analisisnya. Lingkungan ilmu sosial di tingkat makro di
Indonesia dipetakan di bagian tiga, yang memberikan gambaran umum posisi perguruan
tinggi pada umumnya, dan khususnya universitas negeri, dalam pembahasan ini. Perubahan
kebijakan negara, pendanaan, dan manajemen keuangan dalam universitas negeri yang
memengaruhi perencanaan penelitian sosial akan dijelaskan lebih lanjut.
Kajian terhadap delapan universitas negeri yang dipilih sebagai kasus dalam kajian ini
dielaborasi di bagian keempat dari laporan ini. Kami menguraikan bagaimana tekanan untuk
meliberalisasi pendidikan tinggi telah memengaruhi kinerja penelitian di universitas-
universitas negeri tersebut. Bagian kelima memaparkan hasil survei perilaku dan karakteristik
penelitian, yang mana, pertama-tama, menyajikan gambaran tentang siapa yang aktif
melakukan penelitian di universitas negeri. Kedua, bagian ini menyajikan bukti mengenai
bagaimana manajemen yang ada - terlepas dari kegiatan penelitian yang aktif - tidak mampu
berdampak pada publikasi internasional. Bagian keenam menyinggung potensi keterkaitan
antara penelitian dengan kebijakan. Kami menyimpulkan bahwa berdasarkan bukti empiris,
kebanyakan penelitian ditujukan untuk memenuhi agenda negara dan donor internasional
terkait tata kelola pemerintahan yang baik, dengan tingkat publikasi yang amat rendah.
Terbatasnya peran penelitian universitas negeri sebagai sekadar pemberi masukan teknokratik
terus berlanjut hingga hari ini, yang melanjutkan penindasan lama terhadap pemikiran kritis
di kalangan akademisi Indonesia. Kondisi ini telah melanggengkan tiadanya lembaga kritis
yang sangat penting dalam pencegahan kebijakan yang tidak tepat. Kondisi ini juga
menghalangi peluang lembaga-lembaga tersebut mendapatkan umpan balik yang sifatnya
langsung, sadar sejarah, dan kritis terhadap kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Oleh karena
itu, kami berargumen bahwa tanpa adanya rencana jangka panjang untuk mewujudkan
budaya penelitian yang dicapai melalui reformasi kelembagaan, kondisi tersebut akan tetap
berlanjut. Reformasi ini, berdasarkan bukti empiris, melibatkan kebijakan-kebijakan dan
praktik-praktik yang metodis dan konsisten di semua tingkatan (makro, meso, mikro).

6GDN Working Paper Series
II. Kerangka Konseptual dan Metodologi
Terdapat banyak karya kesarjanaan mengenai mereformasi birokrasi pendidikan tinggi
(Christensen, 2010; Pollitt dan Bouckaert, 2004; Boston et al., 1996) di tengah kebutuhan
internasionalisasi. Sebagian pakar mengaitkan secara langsung kebutuhan akan reformasi ini
dengan pertanyaan mendasar terkait produksi pengetahuan (Lyotard, 1991; Tyfield, 2011,
2013). Lyotard mengamati bahwa hubungan antara pemasok dan pengguna pengetahuan ini
mirip dengan hubungan antara produsen dan konsumen komoditas atau “komodifikasi”
(Lyotard, 1991, hal. 4-6). Diskusi terkait hubungan antara ilmu pengetahuan dan ekonomi
pasar memang telah ada sejak lama (Stehr, 1994; Callon, 1994). Jacob (2003) menekankan
pentingnya mengurai hubungan ini secara hati-hati. Dalam konteks Eropa Barat setelah
munculnya Uni Eropa, Jacob melihat, meningkatnya privatisasi di sektor pendidikan tinggi dan
berkurangnya otonomi peneliti adalah efek dari “komodifikasi” pengetahuan. Hal yang sama
terjadi saat kita mengurai kondisi-kondisi sosial yang menyebabkan langkanya penelitian ilmu
sosial di Indonesia. Proses tersebut memerlukan pemahaman mengenai internasionalisasi dan
privatisasi di sektor pendidikan tinggi yang terjadi di seluruh dunia. Lebih jauh lagi, kesadaran
ini tidak boleh mengabaikan dampak dari birokrasi tersentralisasi yang mengatur pendidikan
tinggi di Indonesia, yang merupakan warisan dari pemerintahan otoriter sebelumnya.
Arah dari reformasi universitas di Indonesia agaknya ditujukan untuk meningkatkan daya
saing regional. Kesadaran ini memang relevan ketika kita bicara mengenai transformasi
pendidikan tinggi di persimpangan sejarah munculnya mekanisme pasar yang lebih liberal
(Christensen et al. 2007; Mok, 2008; Christensen, 2010; Basset dan Maldonado-Maldonado,
2009). Dimulai pada 1980-an, tren transformasi pertama berfokus lebih besar pada pasar,
persaingan regional, dan privatisasi dalam kerangka kapitalisme pasar (lihat Christensen dan
Laegreid, 2001; Graf, 2009). Sebagaimana diamati oleh Chistensen:
Relasi kekuasaan yang berubah dalam universitas, di mana manajemen universitas
menjadi relatif lebih kuat, mendukung perkembangan ini, karena hal ini praktis
melegitimasi keberadaan, profesionalitas, dan pertumbuhan mereka, sementara
penekanan tradisional pada otonomi profesional-akademis melemah.
Banyak universitas juga lebih giat mencari sumber keuangan tambahan atau alternatif,
sehingga meningkatkan ketergantungan mereka pada pemangku kepentingan
eksternal, melemahkan otonomi tradisional yang disokong pendanaan publik yang
terjamin di mana kementerian superior ‘melindungi’ universitas dari pemangku
kepentingan lain. Budaya universitas yang berubah, dengan bertambahnya elemen
manajemen, melemahnya elemen profesional-akademis, dan tekanan lingkungan yang
semakin kuat juga mendasari berkurangnya otonomi nyata universitas (Christensen,
2010, hal. 515).
Temuan ini menunjukkan bahwa kondisi di Indonesia harus ditempatkan dalam konteks
pergeseran yang lebih luas terkait tuntutan akan reformasi universitas di tingkat global dan

GDN Working Paper Series 7
regional. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan otonomi
kelembagaan dan kemampuan mereka dalam merespons perubahan global ini. Meski
demikian, hampir tanpa pengecualian, penelitian terkait kegiatan dan produktivitas
keilmuwan di Indonesia selalu merujuk pada kurangnya sumber daya dan dukungan
infrastruktur di dalam universitas dan lembaga penelitian (Evers, 2003; Heryanto, 2011; Hadiz
dan Dhakidae, 2005; Suryadarma, et al., 2011; Guggenheim, 2012). Baru-baru ini, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) di Indonesia telah meningkatkan alokasi anggaran untuk
mendanai penelitian (lihat McCarthy dan Ibrahim, 2010), partisipasi dalam konferensi
internasional, dan mendorong pengajuan karya ilmiah ke jurnal internasional. Akan tetapi,
kebijakan ini belum membuahkan hasil yang diinginkan karena dibuat tanpa sepenuhnya
mempertimbangkan konteks kinerja akademis yang dilakukan selama lima belas tahun
terakhir. Kebijakan ini mengabaikan struktur organisasi dan manajemen universitas yang
diwarisi dari rezim sebelumnya, serta skema remunerasi dan metode rekrutmen yang ditata
ulang pasca-berlakunya undang-undang otonomi universitas. Inilah aspek-aspek yang hendak
diuraikan dalam studi ini.
Metodologi
Berangkat dari kerangka konseptual, tim peneliti telah merancang langkah-langkah penelitian
untuk membuktikan kesahihan asumsi-asumsi di atas. Kerangka tersebut
dioperasionalisasikan dalam tiga tingkatan analisis dengan mengombinasikan dan
mempergunakan indikator-indikator yang diperoleh melalui tinjauan literatur, terutama
dengan membongkar perubahan hubungan antara ilmu pengetahuan dan pasar (Suryadarma
et al., 2011; Stehr, 1994; Callon, 1994; Jacobs, 2003), yang telah mendorong munculnya
reformasi universitas (Christensen dan Laegreid, 2001; Christensen, 2010). Hal ini dicapai
dengan mengidentifikasi relasi kekuasaan dalam universitas-universitas di Indonesia yang
telah menghambat proses tersebut (Hadiz dan Dhakidae et al.; 2005). Penelitian ini juga
mengkaji struktur yang menopang relasi ini, serta praktik-praktik yang terbentuk olehnya.

8GDN Working Paper Series
Tingkat makro
Tingkat analisis pertama fokus pada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Dikti, yang
telah memengaruhi status hukum dan tata kelola universitas-universitas negeri di Indonesia
dalam periode 2004 hingga 2014 (pemerintahan Yudhoyono). Bagian ini menjelaskan
bagaimana politik global dan domestik, terutama integrasi ekonomi regional yang
mengurangi hambatan perdagangan, telah mendorong pemerintah Indonesia untuk lebih
berkonsentrasi pada persaingan global dan regional daripada reformasi birokrasi.
Landasan untuk analisis di tingkat makro mencakup data yang diperoleh dari kajian data
sekunder yang meninjau kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi dan penelitian selama dua
periode pemerintahan Yudhoyono (2004-2014). Kajian ini bertujuan untuk memetakan
kebijakan yang relevan dan menganalisis dampaknya terhadap situasi kekinian penelitian ilmu
sosial di Indonesia. Analisis ini juga mencakup analisis yang lebih historis guna memberikan
konteks bagi penelitian ini. Data primer dan sekunder juga dihimpun dari informan-informan
kunci di Dikti, Kementerian Pendidikan Nasional, serta Kementerian Riset dan Teknologi.
Tingkat meso
Tingkat analisis kedua mengkaji tanggapan rektorat, fakultas, serta unit-unit di universitas
negeri yang menyelenggarakan penelitian di universitas dalam menyikapi kebijakan Dikti.
Kajian terdahulu menemukan bahwa mereka dengan susah payah melaksanakan kebijakan
Dikti di tengah-tengah hambatan yang diakibatkan oleh struktur birokratis negara. Isu-isu
yang mereka hadapi di antaranya adalah struktur gaji akademis di universitas negeri yang
tidak berkorelasi dengan produktivitas penelitian, sistem kredit akademis (kum) yang sangat
MAKRO
Kebijakan negara
MESO
Praktik kelembagaan
MIKRO
Perilaku penelitian
Sumber: Penulis
Gambar 3. Model Analisis: Hierarki Penelitian Ilmu Sosial di
Universitas Negeri di Indonesia

GDN Working Paper Series 9
rumit yang dikembangkan oleh Dikti untuk menyesuaikan dengan peraturan Badan
Kepegawaian Negara (BKN), dan kurangnya mobilitas akademis antar-lembaga (Guggenheim,
2012, hal.169-170). Namun demikian, pengamatan penting ini belum didukung oleh bukti
empiris—sebuah celah yang hendak diisi oleh penelitian ini.
Analisis meso menyajikan penyelidikan yang lebih fokus pada kinerja universitas negeri yang
dikenal dengan universitas BHMN.
4
Selain itu, implikasi kebijakan negara terhadap kinerja
penelitian juga disoroti. Data untuk bagian ini dihimpun dari wawancara mendalam dengan
informan-informan kunci yang sengaja dipilih. Informan-informan kunci ini meliputi para
pemangku kepentingan dan penerima manfaat di universitas, yang mencakup para manajer
struktural dan mantan manajer struktural di rektorat, fakultas, dan unit penyelenggara
penelitian di masing-masing universitas. Tinjauan atas dokumen-dokumen manajemen
penelitian juga dilakukan untuk masing-masing universitas. Dokumen-dokumen ini terkait
dengan peta jalan penelitian universitas, indikator-indikator kinerja kunci untuk kapasitas
penelitian individual dan fakultas, serta tingkat publikasi para peneliti.
Tingkat mikro
Tingkat ketiga memeriksa kapasitas penelitian individual yang terdampak oleh manajemen
universitas. Temuan-temuan anekdotal, seperti yang tersaji di media massa, menunjukkan
bahwa strukturasi disiplin ilmu yang ada saat ini juga berkontribusi terhadap rendahnya
kualitas penelitian. Program-program studi secara kaku dipisahkan satu sama lain mengikuti
struktur birokratis, yang secara efektif melemahkan pemahaman antar-disiplin dan
multidisiplin atas isu-isu sosial. Namun demikian, dalam kasus ini, saat ini juga belum ada basis
empiris yang mendukung argumen yang kerap dilontarkan untuk merestrukturisasi disiplin-
disiplin di fakultas-fakultas ilmu sosial di Indonesia.
Data yang digunakan untuk analisis di tingkat mikro dihimpun melalui bantuan survei.
Kuesioner disebarkan ke universitas-universitas negeri yang dipilih, yang difokuskan pada
fakultas-fakultas ilmu sosial dan politik. Menganalisis kapasitas penelitian individual di
universitas negeri memberikan kesempatan untuk memahami reformasi pendidikan tinggi di
Indonesia dan menangkap keragaman serta kesamaan pengalaman masing-masing
universitas.
4 BHMN adalah universitas milik negara yang ditransformasikan dari unit pelayanan pemerintah menjadi badan hukum
otonom dengan dewan pengawas mereka sendiri. Perubahan ini terjadi pada tahun 1999, dan sejak saat itu, beberapa
universitas telah mengejar jalan yang berbeda-beda dalam mereformasi pelayanan dan pengaturan kelembagaan mereka.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian, dan meningkatkan daya saing regional dan
internasional universitas-universitas tersebut.

10GDN Working Paper Series
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan realis kritis (Bhaskar, 2008; Archer et al., 1998; Seale,
1999; Fairclough, 2005; Sarantakos, 2012) yang melihat struktur sebagai sesuatu yang
mendahului aktivitas manusia, namun hanya sebatas menyediakan basis materi untuk
mengambil tindakan. Kami mengumpulkan dan menggunakan angka-angka secara kritis,
menempatkannya sebagai instrumen pengetahuan yang dibangun oleh paradigma dan
sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu, kami memilih dengan seksama metode-metode
pengumpulan data yang paling baik dalam menjawab pertanyaan penelitian. Dengan
demikian, proyek ini menggunakan metode campuran dan mendayagunakan data kuantitatif
maupun kualitatif. Kami berangkat dari keyakinan bahwa polarisasi antara data primer
kualitatif dan kuantitatif bukan hanya tidak diperlukan, namun juga tidak produktif. Data
kuantitatif ditafsirkan secara kualitatif, dan data kualitatif dapat ditafsirkan dengan logika
numerik. Dalam penelitian ini, keduanya terkait erat satu sama lain.
Bukti empiris dikumpulkan di tiga tingkat: makro, meso, dan mikro. Metode ini berfungsi
sebagai alat untuk mengidentifikasi titik lemah utama di lingkungan penelitian dan tata
kelolanya di universitas-universitas negeri di Indonesia. Konsekuensinya, penelitian ini
dirancang untuk menangkap penelitian sosial dalam latar kesehariannya, dan pada akhirnya
menghasilkan analisis kritis yang menyeluruh dan komprehensif, yang metodenya dapat
diterapkan pada universitas-universitas negeri selain universitas-universitas yang dikaji dalam
penelitian ini.
Subjek analisis
Penelitian ini menganalisis faktor-faktor struktural dan individual yang berkontribusi terhadap
rendahnya kualitas penelitian ilmu sosial di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengumpulkan bukti empiris di tingkat makro, meso, dan mikro guna memperoleh
seperangkat data komprehensif yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan
penelitian. Tujuannya adalah untuk menentukan kebijakan dan praktik tertentu yang telah
memengaruhi kualitas dan produktivitas penelitian di universitas-universitas negeri di
Indonesia. Penelitian ini bersifat eksploratif dan berupaya menganalisis pola-pola pada tata
kelola universitas lokal.
Rencana awal adalah mengumpulkan bukti empiris dari sembilan universitas negeri yang
sengaja dipilih mengikuti urutan kronologis transisi masing-masing universitas menjadi BHMN
(Badan Hukum Milik Negara). Daftar universitas-universitas negeri terdahulu tersebut
mencakup Universitas Indonesia (Jawa Barat), Institut Teknologi Bandung (Jawa Barat),
Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Institut Pertanian Bogor (Jawa Barat), Universitas
Pendidikan Indonesia (Jawa Barat), Universitas Airlangga (Jawa Timur), Universitas Sumatera
Utara (Sumatera Utara), dan dua universitas negeri yang beroperasi di daerah yang berada di
bawah skema otonomi khusus (Universitas Syiah Kuala di Aceh dan Universitas Cenderawasih
di Papua Barat). Dua dari universitas negeri BHMN ini, yaitu IPB dan ITB, merupakan universitas
berbasis pertanian dan teknik yang juga melakukan penelitian ilmu sosial.

GDN Working Paper Series 11
Universitas negeri BHMN dipilih untuk melihat situasi kekinian berbagai kebijakan dan praktik
di universitas-universitas terkemuka. Sedangkan universitas negeri yang beroperasi di bawah
otonomi daerah khusus—Universitas Cenderawasih dan Universitas Syiah Kuala—awalnya
dipilih sebagai perbandingan untuk memperoleh pandangan yang lebih sensitif konteks
kinerja penelitian universitas negeri di seluruh Indonesia. Penyelidikan yang lebih mendalam
terhadap universitas-universitas ini akan mengungkapkan bagaimana status otonomi
administrasi khusus memengaruhi pelaksanaan kebijakan menteri di universitas negeri.
Namun demikian, setelah membaca lebih lanjut betapa spesifiknya konteks ini, terutama
menimbang pelaksanaan undang-undang otonomi yang berbeda, kami menarik kesimpulan
bahwa sampel dari Universitas Syiah Kuala dan Universitas Cendrawasih dapat mendistorsi
data. Pertanyaan penelitian akan dapat dijawab jika kita mengganti kedua universitas ini
dengan universitas di pulau-pulau lain, sehingga bisa menghindari bias di Jawa.
Tim peneliti menyesuaikan ulang sampel tersebut (lihat Gambar 4) dengan melibatkan
universitas negeri BHMN lain, yaitu Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan), dan universitas
negeri Badan Layanan Umum (BLU), yaitu Universitas Andalas (Sumatera Barat) dan Universitas
Mulawarman (Kalimantan Timur). Penyesuaian ulang ini mencerminkan sampel yang lebih
tersebar di pulau-pulau yang berbeda.
Pengumpulan data kuantitatif
Data kuantitatif diperoleh dari kuesioner yang disebarkan di delapan universitas negeri.
Menggunakan metode purposive sampling, kuesioner tersebut diserahkan kepada mereka
yang pernah melakukan penelitian dasar dan/atau terapan dalam lima tahun terakhir. Statistik
terkait kinerja akademis dan hasil evaluatif lainnya juga digunakan. Tujuannya untuk
menunjukkan jangkauan kinerja penelitian di seluruh universitas yang dipilih.
Sumber: Penulis.
Gambar 4. Peta Lokasi Sampel
Depok, Jawa Barat
Universitas Indonesia
Yogyakarta
Universitas Gajah Mada
Bandung, Jawa Barat
Universitas Pendidikan Indonesia
Jayapura, Papua
Universitas Cendrawasih
Bandung, Jawa Barat
Institut Teknologi Bandung
Bogor, Jawa Barat
Institut Pertanian Bogor
Padang, Sumatera Barat
Universitas Andalas
Samarinda, Kalimantan Timur
Universitas Mulawarman
Makassar, Sulawesi Selatan
Universitas Hasanuddin
Medan, Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Banda Aceh, Aceh
Universitas Syiah Kuala

12GDN Working Paper Series
Pengumpulan data kualitatif
Data kualitatif dikumpulkan melalui kajian dokumen (desk review) dan wawancara mendalam.
Analisis kebijakan digunakan untuk menangkap dampak dari kebijakan-kebijakan yang
relevan terhadap praktik-praktik penelitian ilmu sosial. Literatur dan dokumen pendukung
dianalisis guna mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang tema-tema kunci.
Wawancara kunci dilakukan terhadap aktor-aktor yang relevan dari kalangan pemerintahan
dan birokrat universitas untuk memverifikasi temuan ini. Informan kunci dipilih dari birokrat
aktif dan/atau mantan birokrat yang bertanggung jawab atas kebijakan penelitian (Tingkat
Makro) hingga manajer struktural aktif dan/atau mantan manajer struktural yang bertanggung
jawab atas manajemen penelitian di universitas (Tingkat Meso). Oleh karena itu, metode
kualitatif bertujuan untuk memperdalam wawasan yang diperoleh dari penelitian ini.
Pada akhirnya, kombinasi data kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk memastikan kondisi
penelitian ilmu sosial di Indonesia. Penelitian ini adalah salah satu penelitian pertama yang
menggunakan data primer kuantitatif dikombinasikan dengan data kualitatif guna
mengungkap dampak dari kebijakan negara - yang membatasi produktivitas penelitian dan
menciptakan lingkungan akademis yang tidak mendukung - terhadap produksi penelitian
ilmu sosial yang konsisten, yang memenuhi standar keunggulan internasional.

GDN Working Paper Series 13
III. Memetakan Lingkungan Penelitian Ilmu Sosial di Tingkat Makro
Sejak tahun 1999, Indonesia melaksanakan program desentralisasi berskala nasional.
5
Seperti
halnya di banyak negara lain yang mengambil langkah ini, desentralisasi tidak serta-merta
terkait langsung dengan demokratisasi (Crook dan Manor, 1998). Bahkan, ada pula yang
berpendapat bahwa desentralisasi di Indonesia hanya mendifusikan kekuasaan yang
sebelumnya tersentralisasi (Hadiz, 2004). Antusiasme untuk mengalihkan lebih banyak
kekuasaan ke institusi lokal ini juga menjalar ke sektor pendidikan tinggi. Otonomi yang lebih
besar dalam hal administrasi, pendapatan, dan manajemen keuangan diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas. Namun, temuan sebelumnya mengungkapkan bahwa warisan
birokratisasi era Orde Baru, yang mengatur universitas ke dalam struktur hierarkis dan
tersentralisasi (Hadiz dan Dhakidae, 2005), terus saja menghalangi tercapainya tujuan ini.
Sejak saat itu, lanskap pendidikan tinggi telah berubah. Rosser (2015) mengidentifikasi empat
kelompok aktor kunci yang selama dasawarsa terakhir memegang peranan penting dalam
menggulirkan transisi demokratis dan desentralisasi ini.
Kelompok pertama dari aktor-aktor ini adalah para pejabat teknokratik di pemerintah
dan sekutu-sekutu mereka dari komunitas donor. Aktor-aktor ini telah menjadi
pendukung kuat agenda pendidikan tinggi neoliberal sebagaimana disebutkan di atas.
(…) Kumpulan aktor kedua adalah tokoh-tokoh politik, militer, dan birokratis predator
yang menguasai aparatus negara, entitas korporat yang terkait dengan mereka (sering
kali melalui ikatan keluarga, persahabatan, atau partai politik), dan jaringan patronase
yang lebih luas di mana keduanya terlibat. Aktor-aktor ini memiliki kepentingan untuk
memaksimalkan kendali politis dan birokratis atas PT-PT negeri maupun swasta agar
dapat melakukan korupsi dan berburu rente. (…) Kumpulan aktor ketiga adalah
individu-individu dan organisasi-organisasi yang berada di belakang banyaknya PT
swasta di Indonesia. Sebagian besar PT swasta di Indonesia dikelola oleh yayasan
nirlaba. Namun demikian, banyak yang dijalankan sebagai usaha swasta atau
kendaraan bagi organisasi keagamaan untuk memperoleh pendapatan, membangun
basis sosial, dan memobilisasi dukungan untuk partai politik dan calon yang mereka
sukai. (…) Kumpulan aktor keempat adalah unsur-unsur merakyat seperti para aktivis di
LSM progresif, kelompok mahasiswa universitas, serta akademisi nasionalis dan sayap
kiri. Para anggota koalisi ini mempromosikan agenda kebijakan yang menggabungkan
pendekatan berbasis hak untuk pembangunan, oposisi terhadap privatisasi dan
deregulasi, nasionalisme, dan populisme radikal (hal. 5-8).
Untuk memahami potret “klientelisme” (clientelism) yang menyedihkan dalam sektor
pendidikan tinggi pasca rezim otoritarian di Indonesia ini dengan lebih baik, diperlukan
adanya pendekatan lintas sektoral terkait bagaimana penelitian sosial dihasilkan. Akan
5 Program ini telah didukung oleh bantuan internasional sejak akhir 1980-an, yang ditanggapi oleh rezim Soeharto dengan
memberikan kendali administratif yang lebih besar kepada pemerintah daerah dengan tetap mempertahankan kendali
pusat (Silver, 2005).

14GDN Working Paper Series
bermanfaat apabila kita mengambil lingkup produksi penelitian yang lebih luas, dan
menempatkan universitas negeri dan perguruan tinggi dalam latar ini.
Definisi “sektor pengetahuan” menurut Guggenheim (2012) adalah “lanskap kelembagaan
secara keseluruhan dari pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil yang
mendukung pengembangan kebijakan publik” (hal. 142). Cara sektor pendidikan tinggi
dilembagakan menghalangi diperolehnya manfaat penuh dari gagasan “sektor pengetahuan”
yang optimistis. Gagasan ini sejalan dengan studi Tyfield (2012; 2013), yang berpendapat
bahwa ekonomi pengetahuan akan terus melanjutkan kegiatannya, yang berbasis web
sekalipun, walau terdapat unsur yang merusak, sehingga akan tetap utuh. Kesadaran penuh
akan hubungan patron–klien yang memperoleh manfaat dari birokrasi pendidikan tinggi,
diperlukan untuk memperjelas peta lingkungan penelitian di Indonesia (lihat Gambar 5).
Di peta yang kami usulkan, pendidikan tinggi kami tempatkan di bagian lembaga negara,
karena model organisasinya yang hierarkis. Universitas negeri jumlahnya hanya 74 dari total
529 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang terdaftar di Dikti (PPDikti, 2015). Namun, jumlah
total mahasiswa universitas negeri menyumbang 40 persen dari sekitar 3,5 juta mahasiswa
aktif (Rosser, 2015). Temuan anecdotal dari wawancara pribadi memperkirakan setidaknya 60
persen pendapatan PT berasal dari biaya perkuliahan sejak tahun 1999. Kebijakan pendidikan
tinggi menjadi kian liberal seiring restrukturisasi universitas menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN), yang memberikan otonomi lebih besar untuk mencari pendanaan eksternal
guna mendukung kegiatan mereka. Universitas kini dapat terlibat dalam penelitian dan
pelatihan bisnis, dan diperbolehkan untuk menaikkan biaya perkuliahan dan penerimaan
Sumber: Rosser, 2015, Nughoro, 2005; Bank Dunia, 2013; KSI, 2012; dan penulis.
• Lembaga Akreditasi Nasional
• Kementerian Keuangan
• Lembaga Pegawai Negeri Sipil
• Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi
• Lembaga Pendidikan
Tinggi
• Forum Rektor
Indonesian
• Asosiasi Universitas
Swasta
• Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI)
• Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI)
• BAPPENAS
• Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT)
• Lembaga Penelitian
Independen (mis. CSIS
Indonesia)
• DFAT Australia
• Bank Dunia
• UNDP
• OECD
• Knowledge Sector Initiative
LEMBAGA
NEGARA
ASOSIASI
AKADEMIS
LEMBAGA
PENELITIAN
LEMBAGA
INTERNASIONAL
Gambar 5. Lingkungan Penelitian di Indonesia

GDN Working Paper Series 15
mahasiswa, yang berujung pada kenaikan pendapatan dari biaya perkuliahan.
Langkah-langkah untuk memberikan kemandirian dan otonomi yang lebih besar kepada
universitas negeri di Indonesia telah dilakukan sebelum perubahan rezim Reformasi pada
tahun 1998 (ACDP, 2013, hal.38). Namun, akhir dari kekuasaan Soeharto, sebagai momentum
bersejarah, terbukti menjadi titik balik krusial dan kesempatan yang tepat untuk akhirnya
mengimplementasikan agenda reformasi yang sebelumnya telah dianjurkan oleh faksi-faksi
dalam universitas negeri. Masing-masing universitas saling berlomba, yang menggambarkan
kontestasi antara penolakan atas “komodifikasi pendidikan tinggi” (Nugroho, 2005, hal. 164)
dengan keinginan memanfaatkan peluang mereformasi model manajemen kuno yang lebih
responsif terhadap kebutuhan pasar. Pergolakan internal ini telah berlangsung selama lima
belas tahun sejak peraturan otonomi universitas diberlakukan. Sementara promosi akademis
tetap berada di bawah kendali negara, berdasarkan persetujuan birokratis dari atasan di
lembaga-lembaga seperti Dikti, BKN, dan Kementerian Dalam Negeri, dan bukan atas dasar
kecakapan akademis.
Secara kronologis, pada 1998, untuk memuluskan transisi ke otonomi yang lebih besar dalam
sistem pendidikan tinggi, tujuh universitas negeri diputuskan memperoleh status baru pada
tahun 1999 melalui peraturan pemerintah No. 61/1999.
6
Idenya adalah untuk memberikan
kemandirian yang lebih besar pada empat universitas negeri teratas. Tiga universitas lainnya
akan mengikuti sebagai model bagi lembaga-lembaga lain yang akan bergabung ke dalam
kelompok tersebut (ACDP, 2013, hal. 38). Universitas-universitas ini dikenal sebagai entitas
BHMN. Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas
Pendidikan Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas
Airlangga menjadi model implementasi kebebasan akademis dan birokratis baru tersebut.
Daftar lengkap universitas-universitas pertama yang menerapkan model otonomi ini diuraikan
dalam tabel di bawah ini.
6 Lihat PP No. 61 Tahun 1999.
6000000
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
Sumber: Bank Dunia, Indikator Pembangunan Dunia (dalam Rosser, 2015, hal. 10)
Gambar 6. Total Penerimaan Mahasiswa Baru (1972 hingga 2011)

16GDN Working Paper Series
Tabel1. Daftar Universitas BHMN Terdahulu
No Perguruan Tinggi Peraturan PemerintahTahun diberlakukan
1.Universitas Indonesia PP No.152/2000 2000
2.Universitas Gadjah Mada PP No.153/2000 2000
3.Institut Pertanian Bogor PP No.154/2000 2000
4Institut Teknologi Bandung PP No. 155/2000 2000
5.Universitas Sumatera Utara PP No.56/2003 2003
6.Universitas Pendidikan Indonesia PP No.6/2004 2004
7.Universitas Airlangga PP No.30/2006 2006
Sumber: Hidayat (2012).
Hal ini menandai awal pergeseran menuju kebebasan yang lebih besar bagi universitas-
universitas negeri dalam memberikan pelayanan kepada “publik”, yang mendatangkan sumber
pendapatan selain dari pemerintah. Pemerintah lalu menyetujui undang-undang tentang
Sistem Pendidikan Nasional di tahun 2003.
7
Undang-undang tersebut memberi universitas-
universitas negeri otonomi keuangan yang lebih besar. Hal ini memicu kritik dari masyarakat
luas. Banyak pihak berpendapat bahwa undang-undang tersebut sengaja mengurangi
tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada warga negaranya.
8
7 UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003.
8 Untuk kritik yang menyeluruh mengenai komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia, lihat Heru Nugroho, “The political
econnomy of higher education: The university as an arena for the struggle of power”, dalam Hadiz & Dhakidae (2005), hal.
164.
Sumber: Penulis.
1999-2000
• Inisiasi 7
universitas
otonom
2003
• UU Sisdiknas
2009
• UUBHP
2010
• Pembatalan
UU BHP
2012-present
• UU
Pendidikan
Tinggi
• Proses transisi
Gambar 7. Tonggak Penting Perkembangan PT di Indonesia

GDN Working Paper Series 17
Aktor-aktor non-negara juga memiliki pengaruh signifikan terhadap skema pendidikan tinggi
di Indonesia. Khususnya, peran lembaga bantuan asing yang sering kali diabaikan. Padahal
kehadiran mereka terbukti turut memengaruhi kebijakan pemerintah terkait pendidikan
tinggi. Beberapa di antaranya termasuk projek IMHERE Bank Dunia
9
(Rosser, 2015: 15) atau
peran Australian Aid melalui program Supporting Indonesia’s Tertiary Education atau
Mendukung Pendidikan Tinggi di Indonesia.
10
Sebagian sasaran Bank Dunia dikritik oleh para
ahli pendidikan. Mereka menganggap program-program tersebut terlihat jejaknya dalam
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tahun 2007. UU ini meletakkan fondasi
bagi sistem pendidikan tinggi yang lebih otonom dan lebih kompetitif berdasarkan prinsip-
prinsip neoliberal.
Langkah ini diikuti oleh pembuatan kerangka regulasi untuk memastikan adanya kebebasan
yang lebih besar untuk universitas negeri. Inilah logika utama di balik upaya untuk
mendorong diterbitkannya peraturan Badan Hukum Pendidikan, yang akan menjadi dasar
hukum bagi universitas dan unit pendidikan pada umumnya. Dari sudut pandang pemerintah,
undang-undang ini akan berfungsi sebagai prasyarat hukum agar universitas dan sekolah,
baik negeri maupun swasta, berpeluang untuk mengubah status mereka menjadi badan
hukum setelah memenuhi sejumlah persyaratan tertentu (ACDP, 2013, hal. 39).
Sejalan dengan argumen di atas, RUU tentang BHP banyak diperdebatkan oleh aktor-aktor
masyarakat sipil dan badan mahasiswa. Inti dari debat tersebut menyoal liberalisasi
pendidikan tinggi dan berkurangnya tanggung jawab negara dalam menyediakan pendidikan
yang terjangkau bagi warga negaranya. Pada akhirnya, pada tanggal 31 Maret 2010
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan (UU No. 9/2009). Keputusan
ini dipandang sebagai kemenangan oleh masyarakat sipil dan para penyokong pendidikan
publik. Sementara para pejabat pemerintah, termasuk yang berada di Dikti, melihat putusan
tersebut sebagai kemunduran dalam mereformasi pendidikan tinggi. Dengan dibatalkannya
UU BHP, selama periode tertentu PT beroperasi tanpa adanya kepastian terkait status hukum
mereka. Beberapa universitas negeri berubah status menjadi Badan Layanan Umum (BLU),
sebagai akibat dari dibatalkannya UU BHP. Status BLU membatasi otonomi universitas sebatas
urusan manajemen keuangan, selagi tetap beroperasi sebagai unit pelaksana di bawah
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (ACDP, 2013, hal.39).
Sementara pemerintah bergerak maju untuk mengusulkan RUU baru yang akan menjamin
status otonom PT, organisasi kemahasiswaan menuntut negara untuk menegaskan kembali
komitmennya dalam menyediakan akses yang terbuka dan setara ke pendidikan tinggi,
menggarisbawahi debat yang masih berlangsung menyoal kendali negara melawan
mekanisme pasar dalam menyediakan pendidikan tinggi sebagai pelayanan publik. Seiring
9 IMHERE (Indonesia Managing Higher Education Relevance and Efficiency) berjalan dari 2005 hingga 2012, didanai oleh Bank
Dunia dan dilaksanakan oleh Dikti. Informasi lebih lanjut tentang proyek yang telah ditutup ini dapat ditemukan di http://
www.worldbank.org/projects/P085374/higher-education-relevance-effici
ency?lang=en, diakses 7 Januari 2016.
10 Lihat https://dfat.gov.au/about-us/grants-tenders-funding/tenders/business-notifications/Documents/indonesia-tertiary-ed-
conceptnote.pdf, diakses 7 Januari 2016.

18GDN Working Paper Series
perubahan hukum dan konsekuensi kelembagaannya tersebut, Dikti juga memperkenalkan
dan mengamandemen serangkaian peraturan terkait aspek kelembagaan dan profesionalitas
dari manajemen pendidikan tinggi di Indonesia. Sebagian besar perubahan ini diperkenalkan
selama masa jabatan Satryo Brodjonegoro sebagai direktur jenderal Dikti. Ia terbilang kritis
terhadap perubahan global pada pendidikan tinggi sekaligus menyadari tiadanya pilihan
selain mengikuti norma yang berlaku.
Tabel 2. Perubahan Kelembagaan dan Kepemimpinan di Dikti
Periode 1999 - 2007 2007 - 2010 2010 - 2014
Kepemimpinan DIKTI Dr. Satryo BrodjonegoroDr. Fasli JalalDr. Djoko Santoso
Perubahan
Kebijakan
Kunci
Tingkat Makro
(UU
diperkenalkan)
Strategi Jangka Panjang
Pendidikan Tinggi (2003-
2010)
UU tentang Guru dan Dosen
(2005)
UU Sistem Pendidikan
Nasional (2003)
UU Badan Hukum
Pendidikan (2009)
UU Pendidikan
Tinggi (2012)
Pengawasan
Peraturan
Pemerintah
Peraturan Pemerintah
19/2005 tentang Standar
Pendidikan Nasional
Peraturan
Pemerintah
37/2009 tentang
Dosen
Sasaran Kinerja
Pegawai (SKP
-2011)
Keputusan
Menteri
Pendirian Lembaga
Pendidikan Nasional (2000)
Sistem kredit
akademis (2009)
Publikasi ilmiah
(2012)
Sistem kredit
akademis (2014)
Sumber: Penulis
Selama kepemimpinan Brodjonegoro, Dikti mulai mendekati pendidikan tinggi dengan cara
yang lebih rasional dan efisien. Dikti mengambil peran lebih sebagai fasilitator daripada
pengawas, menandai dimulainya proses transisi yang panjang. Dikti di bawah kepemimpinan
Brodjonegoro mengawal pengenalan status hukum baru untuk universitas. Hal ini jelas-jelas
memengaruhi cara PT beroperasi, dikelola, dan dievaluasi, termasuk pada bagaimana dana
penelitian disalurkan.

GDN Working Paper Series 19
Pendanaan penelitian
Perubahan status hukum universitas negeri berdampak langsung pada manajemen dana
penelitian. Potensi otonomi beriringan dengan kewajiban perguruan tinggi menjadi lebih
mandiri dalam hal pendanaan (Brodjonegoro, 2000; Karetji, 2010; Bank Dunia, 2013).
Diperkenalkannya mekanisme pendanaan baru telah memberikan penekanan lebih pada
keluaran dan kinerja, yang bertujuan untuk menstimulasi persaingan yang lebih ketat dan
berorientasi pasar. Hal ini memaksa universitas untuk mencari sumber-sumber eksternal guna
mendanai penelitian. Hal ini juga berarti bahwa pendapatan, pada dasarnya, tidak bisa
diakumulasi. Ini terbukti dari sistem pengagihan biaya (cost-sharing), di mana universitas
dapat menentukan sendiri biaya perkuliahannya, sembari berupaya menjamin akses yang
setara melalui subsidi silang, termasuk memperkenalkan biaya tambahan di luar biaya
perkuliahan (Nizam, 2006; Ngo, 2013).
Dalam satu dekade terakhir, skema pendanaan penelitian telah berubah beberapa kali, tapi
secara konsisten tetap condong ke arah agenda neoliberal. Hal ini terindikasi dari transisi pola
distribusi pendanaan dari pendanaan terpusat, menjadi pendanaan berbasis kompetisi (Bank
Dunia, 2013). Skema itu bertujuan untuk mendorong kolaborasi antar-disiplin ilmu dan
mengaitkan antara penelitian dan aktor-aktor inovasi (Bank Dunia, 2013; ACDP, 2013). Sejak
awal 1990-an, Dikti telah mengambil langkah-langkah yang terukur untuk mempersiapkan
universitas-universitas publik menjadi otonom dengan mengembangkan kapasitas internal
yang dibutuhkan bagi otonomi kelembagaan. Diperkenalkannya “block grant” dan “budget
envelopes”
11
dalam pencairan dana dilihat sebagai pergeseran kebijakan yang fundamental
(ACDP, 2013: 61).
Sementara itu, sebagian besar universitas negeri telah mengalokasikan dana sebagai insentif
untuk peneliti yang memiliki publikasi internasional. Jumlahnya berbeda-beda, tapi ini
menunjukkan niat untuk mendukung peneliti yang produktif. Universitas-universitas negeri
yang tergolong mandiri, atau yang berhasil mencapai skor kapasitas penelitian tertinggi, tidak
terlalu bergantung pada pendanaan Dikti untuk menjalankan penelitian mereka. Hal itu
berkat jaringan individual dan kelembagaan mereka yang sudah terbentuk. Universitas-
universitas negeri yang mandiri, tujuh di antaranya memiliki status BHMN dan menerima
pendapatan selain dari APBN. Mereka adalah universitas-universitas yang memang sudah
besar dan dekat dengan ibu kota negara. Akses langsung ke pendanaan Dikti serta kedekatan
dengan pusat industri dan donor internasional telah memungkinkan mereka untuk melakukan
lebih banyak penelitian, sehingga kian memperlebar kesenjangan antara universitas di Jawa
dan di luar Jawa.
Dalam beberapa tahun terakhir, Dikti telah mengalokasikan lebih banyak pendanaan untuk
mendukung penelitian. Antara tahun 2006 dan 2009, dana penelitian dan pengembangan dari
pemerintah pusat dan Dikti untuk univ ersitas negeri, meningkat dari sekitar Rp200 juta
11 Block grants: Hibah yang lazimnya datang dari pemerintah pusat. Hibah ini bisa dialokasikan pihak lokal yang berwenang
untuk kegiatan-kegiatan khusus.
Budget envelopes: Alokasi dana yang telah disekat, seperti dompet, sesuai dengan kebutuhan.

20GDN Working Paper Series
menjadi Rp1,4 miliar (dari sekitar 18.000 dolar AS menjadi 12.000 dolar AS; Bank Dunia, 2013,
hal.32). Sementara total dana relatif meningkat, jumlah skema untuk menyalurkannya juga
membengkak, yang sering kali membingungkan para peneliti dan pengguna potensial lainnya
ketika mengajukan permohonan dan melewati seluruh proses seleksi. Tabel di bawah ini
menggambarkan banyaknya skema hibah yang ada.
Tabel 3. Garis Besar Skema Penelitian yang Didanai Dikti
Penelitian Desentralisasi Penelitian Kompetitif Nasional
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Penelitian Unggulan Strategis Nasional
Penelitian Tim Pascasarjana Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri
Penelitian Fundamental
Penelitian Kerja Sama Luar Negeri dan Publikasi
Internasional
Penelitian Hibah Bersaing Penelitian Kompetensi
Penelitian Kerja Sama antar-Perguruan TinggiPenelitian Strategis Nasional
Penelitian Disertasi Doktor Penelitian Prioritas Nasional MP3EI
Penelitian Dosen Pemula
Sumber: Dikti, 2015.
Tabel di atas menggambarkan dua skema utama pendanaan Dikti. Skema pertama disalurkan
langsung ke universitas, atau skema desentralisasi. Masing-masing universitas negeri,
tergantung status mereka, mengelola dana tersebut dengan tingkat otonomi yang bervariasi.
Skema kedua berada di tingkat nasional. Dalam skema ini, peneliti mengajukan permohonan
langsung ke Dikti. Skema nasional tentu saja dirancang untuk lebih kompetitif dibandingkan
dengan skema desentralisasi. Akan tetapi, jumlah pengajuannya tetap saja rendah karena
dosen-dosen kerap kali enggan mengorbankan waktu mereka untuk memasuki lika-liku
birokratis dari skema-skema pendanaan yang banyak dan sering kali membingungkan itu.
“Saya kira dosen di FISIP paling tidak yang saya tahu, berarti memang ada beberapa
variasi. Dosen yang sebagian mungkin yang mengakses atau mungkin rajin katakanlah,
atau beberapa kali katakanlah mengajukan hibah-hibah riset kepada Dikti ya, saya kira
beberapa teman ada melakukan itu, dan mendapatkan itu, saya termasuk yang tidak ya.
Jadi ada kategori lain saya kira yang mungkin tidak terlalu selama ini peduli atau tertarik
untuk mengajukan aplikasi kepada hibah-hibah riset yang dilakukan oleh Dikti. Salah
satunya memang karena mungkin semacam kesan umum, kesan populer di kalangan
teman-teman dosen sendiri yang mengatakan bahwa ribet, urusan riset dengan Dikti,
ribet.” (Wakil Dekan Universitas Gadjah Mada, wawancara pribadi, 18 Mei 2015).

GDN Working Paper Series 21
Rintangan lainnya adalah administrasi dan manajemen keuangan yang birokratis, yang
menghambat penyerapan anggaran yang telah ditingkatkan dari Dikti untuk penelitian
universitas negeri. Selain itu, masalah klasik yang selalu muncul adalah persyaratan untuk
menghabiskan anggaran penelitian di tahun fiskal yang sama (Bank Dunia, 2013). Oleh karena
itu, terlepas dari itikad baik Dikti untuk memperkenalkan pendanaan yang lebih kompetitif dan
berbasis kompetensi, upaya ini belum mencapai hasil yang diinginkan. Persyaratan birokratis
terkait penggunaan dana penelitian Dikti merupakan penghalang utama karena periode
penggunaannya yang singkat dan pencairannya yang memakan waktu. Oleh karena berasal
dari APBN tahunan, dana tersebut dicairkan dan diaudit oleh Kementerian Keuangan. Masalah
ini secara seragam disebut oleh seluruh pemangku kepentingan dalam kasus kami, baik di
tingkat jurusan, pusat penelitian, atau direktorat penelitian universitas-universitas negeri.
“Saya melihat menjadi hambatan yang cukup serius itu kalau kita menggunakan
anggaran dari APBN. Itu sangat serius, sebab produktivitas penelitian. Yang jelas,
banyak hal yang tidak sinkron dengan nature dari penelitian. Kita lihat saja dari siklus
tahun anggaran. Itu misalkan memulainya pencairan dana, itu kan susah diprediksi. Jadi
disini saya sudah berjuang keras, pernah baru bisa cair bulan Juli. November, sudah
harus tuntas karena Desember sudah closed anggaran, seperti itu” (Direktur Penelitian
Dikti, wawancara pribadi, 21 Desember 2015).
UU Pendidikan Tinggi tahun 2012, seharusnya menjamin jumlah dana penelitian yang lebih
tinggi. UU ini menetapkan bahwa minimum 30 persen dari Bantuan Operasional Perguruan
Tinggi Negeri (BOPTN) harus dialokasikan untuk tujuan penelitian. Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan saat itu menegaskan kembali keberadaan dana untuk Riset dan Teknologi
Pendidikan Tinggi, sebagaimana dikutip sebagai berikut: “seluruh universitas seharusnya
mengalokasikan 35 persen dari biaya operasional mereka untuk kegiatan penelitian (Tempo,
2015, hal.52) . Dalam hal pendanaan penelitian, ia menyatakan bahwa Indonesia harus
mengalokasikan antara 1 hingga 2 persen PDB-nya untuk memenuhi kebutuhan
industrialisasi. Menteri juga mengklaim bahwa negara berencana menyediakan fasilitas dan
infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk meningkatkan penelitian pendidikan tinggi (Tempo,
2015, hal. 52) .
Boks1. Pencairan Dana yang Tidak Efektif
Secara umum, alokasi pendanaan penelitian telah meningkat, tapi dengan penyerapan yang rendah karena hambatan birokratis
Bersamaan dengan peningkatan ini, pencairan dana menjadi lebih kompleks dan
menghambat peneliti dalam melakukan pengajuan
Sasaran untuk meningkatkan kolaborasi di seluruh sektor belum menjadi kenyataan karena
kegagalan dalam mengidentifikasi hambatan utamanya, yakni model yang amat birokratis
dari universitas negeri itu sendiri

22GDN Working Paper Series
Ketenagakerjaan
Sistem ketenagakerjaan akademis merupakan masalah lain lagi. Universitas negeri yang
memiliki otonomi diberikan fleksibilitas untuk mempekerjakan dosen dan peneliti di bawah
skema yang disesuaikan dan bersifat orang per orang (Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu).
Sementara itu, para dosen tetap dan anggota fakultas yang direkrut oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dinilai dan dievaluasi berdasarkan indikator-indikator yang
ditetapkan oleh Dikti, yang mengikuti pedoman dari Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Formulir penilaian khusus pun diperkenalkan dan kinerja akademisi kini diukur dengan ketat,
memengaruhi bukan saja etika kerja, tapi juga insentif keuangan dan mekanisme pemberian
penghargaan. Sementara Dikti berupaya menciptakan atmosfer akademis yang lebih berbasis
kinerja, birokrasi negara malah menghambat upaya ini. Struktur dari atas ke bawah,
tersentralisasi, dan hierarkis belum direformasi secara struktural, dan menghambat
pengelolaan penelitian yang unggul secara akademis.
Universitas-universitas negeri kini menjadi organisme manajemen birokratis, di mana kegiatan
akademis dibelenggu otoritas administratif (Hidayat, 2012; Nugroho, 2005, hal.163; Sherlock,
2010). Sejak era Orde Baru, kemajuan akademis dievaluasi berdasarkan keberhasilan
seseorang dalam memenangkan jabatan administratif, dan bukan karena karya akademisnya
(Nugroho, 2005, hal. 163). Tren ini tercermin sekali dalam sistem promosi. Untuk dapat
dipromosikan dari Golongan III/a (golongan pertama untuk dosen pemula) ke III/d (setara
dengan seseorang yang memegang gelar doktor di universitas-universitas Anglo-Saxon),
kualifikasi kandidat harus diperiksa dan disetujui oleh suatu tim di universitas. Pada
praktiknya, seorang dosen di universitas negeri di Indonesia tidak membutuhkan gelar doktor
untuk memperoleh golongan III/d. Lebih jauh lagi, otoritas untuk mempromosikan seseorang
ke golongan IV/a (dosen penuh), hingga golongan IV/e (Profesor) berada di tangan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Nugroho, ibid.). Sistem ini kekurangan transparansi yang sangat
penting bagi akademisi untuk dapat menciptakan atmosfer yang produktif bagi kemajuan
pengetahuan.
Meskipun ada tanda-tanda upaya untuk mengubah praktik ini, contohnya, dengan
diperkenalkannya Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) oleh pemerintah, warisan
sistem birokratis tidaklah mudah untuk dihilangkan, sebagaimana disimpulkan oleh Turner et
al. (2009):
“Kinerja yang baik juga tidak diakui dan oleh karenanya tidak diberi penghargaan yang
pantas, menyebabkan rasa frustrasi dan lesunya motivasi di antara para pegawai
berkinerja baik. Kesalahan sistem DP3 telah diketahui selama bertahun-tahun, namun
sifatnya yang tidak mengancam mungkin telah menjamin dukungan di antara kalangan
pegawai negeri, dan sehingga langgeng” (hal. 233).
Kenyataannya, apa pun upaya untuk mendorong profesionalisasi lingkungan kerja di
universitas negeri pada akhirnya justru dihalangi oleh status akademisi sebagai pegawai

GDN Working Paper Series 23
negeri atau pegawai pemerintah. Memang, sebagian besar regulasi yang dianggap sebagai
penghalang peningkatan produktivitas penelitian di Indonesia berhubungan dengan status
dan kewajiban akademis ini, sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. Landasan Hukum Evaluasi Kinerja Akademis
Nama Peraturan
Peraturan yang
Memerlukan
Tindakan
Lembaga Negara
Pengawas
Uraian
Evaluasi staf fungsional:
diperlukan bagi peraturan
penilaian kinerja yang
memberikan insentif kepada
staf fungsional untuk
menghasilkan penelitian yang
relevan
SK Bersama
Menhukham & BKN
M.390-KP.04.10/2002
& 1/2002 tentang
Perencanaan
Pembuatan
Peraturan
BKN, Menhukham
& Mendagri
Penilaian kinerja
dan mekanisme
pemberian insentif
Penilaian kinerja
dan mekanisme
pemberian insentif
SK Bersama LIPI &
BKN 3719/D/2004
& 60/2004 tentang
Peneliti
BKN, LIPI &
Mendagri
Penilaian kinerja
dan mekanisme
pemberian insentif
untuk peneliti
Pembagian staf struktural
(administratif) dan fungsional
(spesialis): perlu menguraikan
pembagian organisasional
dan pekerjaan di antara dua
kategori tersebut.
UU 43/1999
Amandemen dari UU
8/1974
UU 8/1974
mengenai Dasar
Ketenagakerjaan
BKN
Kategorisasi fungsi
pegawai negeri
Prosedur pengadaan yang
kompleks, ambigu, dan
diterapkan dalam berbagai
cara yang berbeda di seluruh
pemerintahan.
Perpes 54/2010
mengenai pedoman
pengadaan barang
dan jasa.
LKPP
Pedoman teknis
tentang sistem
pengadaan Proses tender menghilangkan
universitas dan organisasi
non-pemerintah dari pasar
pengetahuan
Diamandemen
dengan:
Keppres 61/2004
Perpres 32/2005
Perpres 70/2005
Perpres 8/2006
Perpres 79/2006
Perpres 85/2006
Perpres 95/2006
Sistem kredit akademis
Permendikbud No 92
Tahun 2014
Dikti
Peningkatan lebih
lanjut untuk angka
kredit

24GDN Working Paper Series
Sistem evaluasi pegawai
negeri
PP 46 Tahun 2011KemenPAN-RB
Pemutakhiran
terbaru tentang
penilaian kinerja
Sumber: Sherlock, 2010; disunting oleh penulis
Hingga tahun 2014, harapan otonomi administratif belum diterjemahkan ke dalam budaya
akademis yang memuaskan dan bermanfaat. Hal ini sebagian dikarenakan ketidakmampuan
universitas dalam menerjemahkan persyaratan yang ditetapkan oleh Dikti terkait isu-isu
berikut ini:
• Aturan mengenai Cuti Studi dan Tugas Akademis
• Angka kredit (Permendikbud No. 92 Tahun 2014)
• Penilaian Kinerja Pegawai Negeri (PP 46 Tahun 2011)
• Sistem Tunjangan Kinerja
Ambillah contoh, Universitas Indonesia telah menetapkan sasaran jangka panjang untuk
menjadi “universitas kelas dunia” (Renstra UI, 2010). Hal ini mengharuskan perubahan dalam
parameter kinerja akademis, namun belum tentu diiringi oleh dukungan infrastruktur, kondisi
kerja, dan jaminan pekerjaan yang lebih baik. Budaya akademis yang belum terbangun ini
juga tercermin dalam struktur gaji akademis di universitas-universitas negeri yang tidak
berkorelasi dengan produktivitas penelitian, sistem kredit akademis (kum) yang sangat
kompleks yang dikembangkan oleh Dikti, dan kurangnya mobilitas akademis antar-institusi
(Guggenheim, 2012, hal. 169-170). Selain itu, sampai saat ini, Dikti belum memperkenalkan
sistem cuti panjang berdasarkan kinerja bagi dosen dan peneliti, baik di bawah universitas
negeri maupun swasta. Hal ini berkaitan dengan peraturan pegawai negeri yang melarang staf
mengambil cuti, sebagaimana dijelaskan oleh mantan Direktur Jenderal Dikti.
“Dulu ada di Peraturan Menpan yang dulu, jaman saya masih, ada sabbatical leave.
Cuma belum bisa terwujud, karena tadi, masalah kalau dia itu PNS, kan sulit sabbatical
leave itu bisa di-ini, bisa diproses, karena kita masih nyebutnya harus ditugaskan, gitu.
Mereka kan maunya cuti, kalau cuti, nggak bisa di PNS cuti. Jadi konflik antara aturan
PNS dengan aturan akademik. Ketika dia otonom, bukan PNS, maka sabbatical leave itu
hal yang biasa, gitu. Kembali, ide banyak, tapi kendalanya itu adalah aturan kita. Karena
kita masih dari Kementerian, kecuali yang sudah otonom ini ya” (Mantan Direktur
Jenderal Dikti, wawancara pribadi, 29 September 2015).
Akibatnya, akademisi, sama dengan para pekerja lain di bawah sistem pasar bebas, harus
berurusan dengan kesulitan dan ekspektasi ekonomi, sehingga mendorong mereka
mengambil sebanyak mungkin jam mengajar, selain harus menyelesaikan berbagai proyek
penelitian. Pendapatan yang dihasilkan di bawah kebijakan BHMN seharusnya dipakai untuk
menaikkan gaji, tapi nyatanya hanya dinikmati mereka yang menempati jabatan struktural di
administrasi universitas (McCarthy dan Ibrahim, 2010, hal.8). Arti otonomi finansial bagi

GDN Working Paper Series 25
akademisi di luar struktur administratif ini terkait dengan ketidakjelasan sistem yang ada. Pada
akhirnya, hal ini berujung pada masalah manajemen keuangan internal di tiap-tiap universitas
negeri.
Boks 2. Isu-Isu Terkait Birokrasi Ketenagakerjaan
• Birokrasi ketenagakerjaan negara dan kebijakan pegawai negeri, termasuk evaluasi
kinerja, tidak berkolerasi dengan kecakapan akademis
• Universitas negeri lebih cenderung mengadopsi mekanisme pasar bebas daripada
mengurusi isu-isu jaminan ketenagakerjaan dan kesejahteraan dosen tidak tetap
Manajemen keuangan
Salah satu keuntungan yang dijanjikan dari otonomi universitas adalah kebebasan finansial
yang lebih tinggi (Hidayat, 2012; Bank Dunia, 2013). Hal ini tentu saja harus disertai dengan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan peningkatan pengendalian mutu (Brodjonegoro,
2000, Hidayat, 2012). Otonomi seharusnya diiringi dengan kepemimpinan dan struktur
manajemen yang lebih baik di dalam universitas (ACDP, 2013, hal.76; Brodjonegoro dan
Moeliodihardjo, 2013). Resep umum yang diberikan baik oleh Dikti maupun organisasi donor
internasional adalah mengadopsi pendekatan-pendekatan konvensional dari Manajemen
Publik Baru (Shin dan Jung, 2013) dan berupaya memenuhi standar penjaminan mutu
internasional yang baru (Hidayat, 2012). Universitas Andalas, Sumatera Barat, misalnya, telah
membentuk Badan Pengawasan Mutu pada tahun 2007. Unit ini mengawasi implementasi
standar-standar yang ditetapkan fakultas dalam siklus empat tahunan, selain menyelesaikan
evaluasi tahunan.
Dengan latar belakang seperti ini, salah satu tantangan besar yang dihadapi universitas yang
menghendaki transformasi adalah perubahan radikal dalam pengelolaan dana. Hal ini
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi universitas BHMN, namun belum sepenuhnya
dipenuhi, lantaran kebanyakan universitas belum memiliki kapasitas yang memadai dalam
manajemen keuangan yang efektif (ACDP, 2013, hal. 62). Dalam menghasilkan sumber-sumber
pendanaan baru, universitas-universitas negeri sering kali mengandalkan pendekatan jangka
pendek, dengan memaksakan kenaikan biaya perkuliahan atau menciptakan jalur-jalur masuk
baru yang lebih mahal daripada jalur umum, sehingga membuka akses bagi mahasiswa yang
rela membayar lebih di pasar pendidikan tinggi. Hanya dalam lima tahun terakhirlah
universitas-universitas besar menemukan cara yang lebih kreatif untuk membentuk unit-unit
usaha untuk membiayai operasional mereka. Salah satu cara agar universitas dapat memasuki
pasar pendidikan tinggi komersial adalah melalui perantara atau di bawah bendera
perusahaan konsultasi (Sherlock, 2010, hal.28), seperti yang telah dipraktikkan oleh ITB melalui
perusahaan LAPI dan UI melalui perusahaan Daya Makara.

26GDN Working Paper Series
Namun demikian, memasuki pasar pendidikan tinggi juga mempunyai tantangan tersendiri, di
mana universitas-universitas negeri menghadapi rintangan yang signifikan dalam
melaksanakan kontrak riset untuk pemerintah di bawah peraturan pengadaan yang ada saat
ini (McCarthy dan Ibrahim, 2010, hal.19; Suryadarma, Pomeroy dan Tanuwidjaja, 2011). Lagi-
lagi, praktik birokratis kelembagaan terbukti menjadi penghalang, karena masih ada
perselisihan atas kepemilikan aset-aset universitas, serupa dengan permasalahan
ketenagakerjaan akademis.
Dijangkiti oleh “klientelisme”, kontrak-kontrak penelitian di universitas cenderung
“dikendalikan oleh ‘bos-bos besar’ penelitian [dan] berada dalam sistem patronasi penelitian”
(McCarthy dan Ibrahim, 2005, hal. 8). Meskipun beberapa aktor dan “kelompok” mungkin
diuntungkan oleh struktur yang ada, secara objektif, ini menjadi hambatan besar bagi
universitas untuk beroperasi dengan lebih efisien dan sejalan dengan kebutuhan sistem
manajemen yang transparan dan profesional.
Saat ini, universitas BLU seperti Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat dan
Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Kalimantan Timur, tengah melalui fase yang
sama seperti pendahulu BHMN mereka. Namun, tanpa adanya pengalaman dalam
menghasilkan pendanaan dan kurangnya pengaruh dibanding universitas BHMN lain dalam
mengumpulkan uang dari biaya perkuliahan, mereka akan kalah bersaing dengan universitas
BHMN di Jawa dalam pasar pendidikan tinggi nasional.
“Ya kalau mau bandingkan BLU dengan sebelum BLU, kan sebetulnya mestinya kalau
Universitasnya itu sudah punya aset banyak, nyaman sekali BLU itu, ya kan. Dana
operasional sendiri, gaji-gaji pegawainya ditanggulangi APBN. Nah, masalahnya kita,
Unmul nih belum ada pemasukan selain dari SPP” (Wakil Dekan FISIP Universitas
Mulawarman, wawancara pribadi, 5 Mei 2015).
Kasus Unmul dan Unand, sebagai dua universitas negeri yang berada di luar Jawa,
menunjukkan bahwa otonomi telah dimanfaatkan dengan lebih efektif oleh universitas negeri
yang ada di Jawa. Meskipun kecenderungan ke arah agenda yang lebih neoliberal
memengaruhi penelitian sosial di universitas-universitas negeri di Jawa dan di luar Jawa
secara berbeda, namun dalam dua kasus ini, komersialisasi tidak diiringi oleh profesionalisasi
birokrasi yang sudah ada.

GDN Working Paper Series 27
Boks 3. Isu-Isu Keuangan Kunci dalam Penelitian Universitas
• Komersialisasi penelitian universitas telah berkembang sejak datangnya gelombang
pertama ke arah otonomi universitas yang lebih besar, karena universitas negeri perlu
menghasilkan pendapatan mereka sendiri
• Manajemen dana yang profesional merupakan syarat mutlak peningkatan kelembagaan
• Sebagian besar universitas tidak memiliki kapasitas memadai dalam manajemen
keuangan yang efektif karena adanya model pendidikan tinggi yang birokratis
• Kurangnya transparansi merupakan dampak dari manajemen universitas yang birokratis
yang berorientasi pasar
Publikasi ilmiah
Sasaran yang diharapkan, yaitu peningkatan jumlah publikasi internasional, menjadi tidak
realistis. Kuantitas dan kualitas publikasi ilmiah yang kurang baik telah menjadi isu besar di
kalangan komunitas akademis Indonesia. Dikti sering dituduh tidak menganggap serius
masalah ini, serta memberikan solusi yang tidak tepat, lantaran kegagalan mereka
mengidentifikasi akar permasalahannya (Rakhmani, 2013; Suseno, 2015).
Ketika mempelajari masalah ini secara langsung di tingkat pemangku kepentingan, kita akan
menyadari bahwa publikasi ilmiah, entah dalam skala nasional maupun internasional,
dianggap oleh pemangku kepentingan universitas negeri sebagai sekadar hasil tidak langsung
dari kegiatan akademis. Kebanyakan universitas tidak memiliki peta jalan khusus atau
indikator kinerja terkait sasaran publikasi. Bagi banyak birokrat universitas, mendorong dosen
untuk menerbitkan penelitian skala internasional bukanlah prioritas utama, karena penekanan
kinerja akademis masih diukur berdasarkan jam mengajar dan jumlah proyek yang
dijalankan—kalaupun ada.
Argumen yang terus muncul di sini adalah bahwa dosen Indonesia hampir-hampir tidak punya
waktu untuk menulis, lantaran beban yang sudah terlalu berat dan simpul pengajaran–
penelitian yang rumit (ACDP, 2013, hal.46). Sementara itu, akademisi muda, yang kebanyakan
dipekerjakan secara kontrak, dan dianggap berpotensi, kewalahan dengan beban untuk
mengambil tanggung jawab akademis dan administratif segera setelah mereka kembali dari
studi di luar negeri ke lembaga asalnya (Brodjonegoro dan Moeliodihardjo, 2013; Rakhmani,
2013). Sebagai jalan pintas untuk meningkatkan jumlah publikasi akademis, Dikti
memperkenalkan Surat Keputusan Menteri di tahun 2012 yang mewajibkan mahasiswa
pascasarjana untuk menerbitkan penelitian di jurnal akademis sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar mereka.

28GDN Working Paper Series
Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Dikti, yang
bertujuan mendorong produktivitas penelitian, belum terpenuhi lantaran cara pencairan
dana, rekrutmen ketenagakerjaan dan mekanisme promosi, serta manajemen keuangan yang
birokratis. Lebih jauh lagi, kebijakan-kebijakan ini tidak dibuat berdasarkan bukti serta
karakteristik organisasi yang disasarnya.
Boks 4. Ketimpangan antara Kebijakan Penelitian dan Praktik
• Kebijakan DIKTI tidak mengatasi hambatan kelembagaan, yaitu administrsi dan
manajemen keuangan yang birokratis, yang menghalangi produksi penelitian
• Otonomi yang lebih besar dimanfaatkan untuk menerima lebih banyak mahasiswa demi
menutup biaya operasional universitas
• Komersialisasi pendidikan tinggi memperparah ketimpangan antara kebijakan dan
praktik penelitian, yang diindikasikan buruknya buruknya tingkat publikasi
Kami mengidentifikasi adanya kesenjangan antara kebijakan yang dikeluarkan Dikti dan
praktik di universitas negeri. Administrasi dan manajemen keuangan birokratis yang
menghambat pencairan dana Dikti menjadi penyebab kesenjangan ini, karena universitas
negeri terikat dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, Kementerian
Dalam Negeri, dan Badan Kepegawaian Negara. Lebih jauhnya lagi, otonomi lebih tinggi yang
telah diberikan kepada universitas negeri dipergunakan untuk menerima lebih banyak
mahasiswa demi menutupi biaya operasional universitas, sehingga menghasilkan pendanaan
untuk pengembangan kapasitas penelitian yang tidak tepat sasaran, terutama di lembaga
yang penghasilan utamanya diperoleh dari pengajaran. Dengan demikian, komersialisasi
pendidikan tinggi sebenarnya malah memperburuk kesenjangan antara kebijakan dan praktik
penelitian, sebagaimana diindikasikan oleh rendahnya angka publikasi ilmiah.

GDN Working Paper Series 29
IV. Kinerja Kelembagaan Penelitian Ilmu Sosial, Kapasitas Penelitian dan Jangkauan
Penelitian
Sebagai alat untuk memantau kinerja penelitian universitas, Dikti telah membuat sistem
evaluasi tahunan yang memeringkatkan baik universitas negeri maupun swasta ke dalam
empat kategori, dan juga menentukan jumlah dana yang dicairkan ke masing-masing
lembaga. Dalam evaluasi terbarunya di tahun 2015, kinerja penelitian perguruan tinggi
menghasilkan 14 universitas mandiri (lihat Tabel 5), 36 universitas utama, dan 79 universitas
madya. Kelompok-kelompok ini merupakan tingkatan-tingkatan keunggulan penelitian yang
didasarkan pada empat indikator: jumlah dosen berdasarkan strata mereka, aktivitas pusat-
pusat penelitian, penelitian yang dilaksanakan dengan pendanaan Dikti dan non-Dikti, produk
penelitian, dan manajemen pusat penelitian.
Tabel 5. Universitas dengan Kinerja Penelitian “Mandiri” Versi Dikti
No. Perguruan Tinggi Lokasi
1.Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung, Jawa Barat
2.Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
3.Universitas Indonesia (UI) Jakarta
4.Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat
5.Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor, Jawa Barat
6.Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah
7.Universitas Hasanuddin (Unhas)
Makassar, Sulawesi
Selatan
8.Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah
9.Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur
10Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur
11.Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Jawa Timur
12.UPN Veteran Jawa Timur Surabaya, Jawa Timur
13.Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Malang, Jawa Timur
14.Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat
Sumber: Tempo, 31 M ei 2015
Sebanyak 12 dari 14 universitas dengan kinerja penelitian mandiri, atau yang telah mencapai
tingkatan tertinggi, berlokasi di Jawa. Enam universitas dalam daftar mandiri dikaji dalam
penelitian ini, yaitu ITB (Bandung, Jawa Barat), UGM (Yogyakarta), UI (Depok, Jawa Barat), IPB
(Bogor, Jawa Barat), Universitas Hasanuddin (Unhas, Makassar, Sulawesi Selatan), dan Unand
(Padang, Sumatera Barat). Dua universitas di luar Jawa yang masuk daftar mandiri juga dikaji

30GDN Working Paper Series
dalam penelitian ini, di samping dua universitas negeri yang tidak mencapai status mandiri,
yaitu Universitas Mulawarman (Unmul) dan Universitas Sumatera Utara (USU). Terlepas dari
perbedaan geografis dan status hukum tiap-tiap universitas negeri yang dipilih—dengan
sedikit sekali pengecualian—kinerja kelembagaan dari struktur birokratis yang sama, menjadi
serupa. Pendanaan penelitian dari Dikti masih menempati porsi kecil dari keseluruhan jaringan
penelitian yang dibangun antar-lembaga; metode perekrutan tertutup masih berlaku;
penundaan dalam mencairkan pendanaan Dikti merupakan isu di seluruh universitas negeri;
semua universitas memiliki persoalan terkait publikasi internasional.
Gambaran singkat studi kasus
Universitas Indonesia
Universitas pertama yang dikaji adalah Universitas Indonesia (UI), terutama Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (Fisip). Fisip UI didirikan pada tahun 1959. Fondasi awalnya terletak di
Jurusan Publikasi, sekarang Jurusan Komunikasi, yang berdiri di bawah Fakultas Hukum dan
Ilmu Sosial. Saat ini, fakultas ini terdiri atas delapan jurusan, dengan lebih dari 180 staf
pengajar. Universitas Indonesia memiliki sejumlah pusat penelitian baik di tingkat universitas
maupun fakultas. Fisip sendiri memiliki 18 pusat penelitian, baik yang beroperasi langsung di
bawah departemen, atau multidisiplin, dan karenanya, beroperasi secara otonom di bawah
Fisip. UI juga merupakan salah satu dari empat universitas BHMN terdahulu, yang dianggap
memiliki kapasitas administratif dan keuangan untuk beroperasi secara otonom. UI juga salah
satu universitas yang paling awal, dan oleh karenanya, banyak dikritik lantaran
memperkenalkan program internasional yang menawarkan gelar ganda. Dalam hal kinerja
penelitian, Fisip bertekad meningkatkan keluaran penelitian setiap tahunnya, dalam bentuk
peningkatan jumlah publikasi internasional.
Institut Pertanian Bogor
Universitas negeri yang kedua adalah Institut Pertanian Bogor (IPB). IPB didirikan pada tahun
1963, dengan fokus pada pengembangan pengajaran dan penelitian pertanian. Pada tahun
2007, universitas ini mengambil langkah pertama untuk menjadi universitas berbasis
penelitian. Fakultas Ekologi Manusia (Fema) adalah unit yang paling menyerupai sekolah ilmu
sosial di IPB. Fakultas ini terdiri atas tiga jurusan: Jurusan Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Jurusan Gizi Masyarakat, dan Jurusan Ilmu Keluarga dan
Konsumen. Universitas ini, melalui direktorat riset dan inovasi serta LPPM, telah menunjukkan
komitmen yang kuat dan nyata untuk memperkuat kapasitas penelitian dan publikasinya.
Direktorat ini siap memberikan insentif hingga 20 juta rupiah (sekitar 1.500 dolar AS) kepada
peneliti yang menerbitkan penelitiannya secara internasional di jurnal-jurnal yang terindeks
Scopus.
Komitmen tersebut telah membuahkan hasil yang cukup baik, dengan semakin banyaknya

GDN Working Paper Series 31
akademisi IPB yang masuk dalam jurnal terindeks Scopus dan lainnya. Para peneliti lain secara
umum juga telah berhasil menerbitkan karya mereka secara internasional—meskipun
sebagian besar di bidang ilmu pengetahuan alam. Hasilnya, peringkat IPB dalam hal publikasi
naik, dan kini menjadi universitas terproduktif kedua di Indonesia, meskipun sebagian besar
publikasinya berasal dari fakultas-fakultas ilmu pengetahuan alam. Yang perlu ditekankan,
kesuksesan ini sebagian besar merupakan kontribusi dari bidang ilmu pengetahuan alam, dan
bukan dari mitra mereka di disiplin-disiplin ilmu sosial.
Universitas Sumatera Utara
Universitas negeri ketiga, Universitas Sumatera Utara (USU), didirikan pada 4 Juni 1952 sebagai
Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) didirikan pada
tahun 1982 dan menjadi fakultas kesembilan di universitas tersebut. Fakultas ini awalnya
menawarkan enam jurusan: Jurusan Sosiologi, Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Jurusan
Antropologi, Jurusan Mata Kuliah Dasar Umum, Jurusan Ilmu Administrasi, dan Jurusan Ilmu
Komunikasi. Terdapat sepuluh pusat penelitian, tapi hanya satu yang dianggap aktif, yaitu
Pusat Studi Perpajakan. Secara resmi, LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat) menjadi unit manajemen eksekutif terkait penelitian, yang memfasilitasi berbagai
kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh akademisinya.
USU juga memiliki UPR (Unit Pengembangan Riset) di sebagian besar fakultasnya, tapi tugas
utama mereka hanya terbatas pada mencatat penelitian yang dilakukan di setiap fakultas.
LPPM terutama bertanggung jawab mengadakan klinik dan diskusi tentang penulisan
penelitian.
Saat ini, USU sedang mengalami penurunan keluaran penelitian oleh akademisinya. LPPM USU
telah mengeluarkan beberapa kebijakan guna meningkatkan produktivitas penelitian dan
publikasi universitas, misalnya dengan meningkatkan insentif. Fakultas atau pusat penelitian
yang paling produktif adalah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan juga
Fakultas Pertanian. Kedua fakultas ini memberikan sumbangsih penelitian terbanyak di USU.
Penelitian ilmu sosial masih harus bekerja keras jika ingin seimbang dengan kedua fakultas
tersebut.
Universitas Hasanuddin
Universitas Hasanuddin (Unhas) adalah universitas negeri keempat. Unhas dianggap sebagai
universitas paling bergengsi di luar Jawa. Awalnya, Unhas merupakan cabang dari Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Jakarta yang didirikan pada akhir 1950-an, dengan Fakultas
Ekonomi sebagai program resmi pertamanya. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip)
menyusul di tahun 1961, mempekerjakan hanya 16 dosen. Saat ini, fakultas tersebut terdiri
atas tujuh departemen dan lebih dari 80 staf pengajar. Semua departemen menawarkan
program studi sarjana dan pascasarjana. Sebagai universitas paling kenamaan di luar Jawa,
Unhas menarik lebih banyak sumber pendanaan, terutama dari donor dan perusahaan-

32GDN Working Paper Series
perusahaan besar. Unhas juga dianggap sebagai simpul utama di Indonesia Timur dan telah
menjalankan sejumlah inisiatif untuk meningkatkan kapasitas pendidikan tinggi di kawasan
ini.
Universitas Andalas
Universitas negeri kelima adalah Universitas Andalas (Unand). Unand secara resmi didirikan pada
tahun 1948. Namun demikian, butuh waktu lama sebelum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(Fisip) secara resmi dibuka pada 13 Mei 1993. Embrio fakultas ini hadir dalam bentuk dua jurusan
yang termasuk ke dalam Fakultas Sastra, yaitu Jurusan Sosiologi dan Antropologi, yang
kemudian menjadi program-program awal Fisip Unand. Awal kelahirannya juga dicantumkan
dalam rencana jangka panjang 1980-1989, dan pendiriannya didukung lebih lanjut melalui
serangkaian lokakarya di awal 1980-an, disokong oleh Yayasan Ilmu Sosial dan Volkswagen
Foundation. Fakultas tersebut saat ini mempekerjakan 80 akademisi di enam departemen, yaitu
Sosiologi, Antropologi, Hubungan Internasional, Administrasi Publik, Ilmu Politik, dan Ilmu
Komunikasi. Beberapa departemen menawarkan program studi pascasarjana, yaitu Sosiologi,
Antropologi, Ilmu Komunikasi, dan Ilmu Politik. Baru-baru ini, fakultas tersebut memperkenalkan
program pascasarjana yang fokus pada pemilihan kepala daerah, sebagai cara untuk
menanggapi perkembangan politik dan sosial terbaru di Sumatera Barat.
Tidak ada unit penelitian khusus di bawah Fisip Unand, meskipun setiap departemen disarankan
oleh LPPM untuk mengembangkan peta jalan penelitian mereka sebagai pedoman jangka
menengah untuk tujuan strategis dan ilmiah. Penelitian terutama dilaksanakan dan diawasi oleh
LPPM, yang juga bertanggung jawab atas kegiatan pusat penelitian di tingkat universitas. Unand
sekarang menyandang status BLU dan sedang dalam masa transisi untuk menjadi lebih otonom
secara finansial dan tidak terlalu bergantung pada dana negara yang dicairkan oleh Dikti. Hal ini
sering kali menjadi hambatan, karena pengeluaran universitas lebih banyak disbanding
penghasilan dan harus memangkas bonus kinerja tahunan untuk staf administratif dan
ketatausahaan. Kondisi ini telah memicu protes massal yang pecah sekitar bulan Maret 2015.
Universitas Mulawarman
Universitas negeri keenam adalah Universitas Mulawarman (Unmul). Universitas Mulawarman
didirikan pada tahun 1962, menjadikannya universitas tertua di Kalimantan Timur. Sebelumnya,
universitas ini bernama Universitas Kalimantan Timur. Saat ini Unmul memiliki jumlah mahasiswa
terbanyak di Kalimantan. Universitas ini dikenal karena Jurusan Kehutanannya, terutama selama
dasawarsa 1980-an, seiring eksplorasi perkebunan dan pertambangan pada masa Orde Baru.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) didirikan pada tahun 1966, sebagai lepasan dari
Fakultas Ekonomi dan Ketatanegaraan.
Fisip Unmul saat ini menawarkan sepuluh program studi sarjana dan satu program pascasarjana.
Fitur khusus dari fakultas ini adalah koeksistensi antara Sosiologi dan Kesejahteraan Sosial

GDN Working Paper Series 33
(Sosiatri) yang berasal dari Universitas Gadjah Mada. Perkembangan program ini dimulai sejak
tahun 1970-an, ketika pihak universitas berkolaborasi dengan UGM dalam menyusun
kurikulumnya, sehingga menjadi mirip dengan program yang ditawarkan UGM. Fakultas ini
memiliki sekitar sembilan puluh akademisi, di mana mayoritas dari mereka menyandang gelar
master. Tidak ada unit penelitian khusus, dengan sebagian besar studi dilakukan di bawah
departemen. Dengan tidak adanya unit penelitian khusus, jaringan individual dan keahlian
menjadi sumber utama kolaborasi dan kemitraan, bersama-sama dengan proyek yang dipicu
permintaan pemerintah daerah dan/atau otoritas lokal, yang biasanya adalah alumni fakultas
atau universitas tersebut. Saat ini, Unmul dianggap sebagai universitas dengan kinerja terbaik di
Kalimantan, bersama-sama dengan Universitas Lambung Mangkurat di Balikpapan. Fakultas ini
juga diakui Dikti atas peningkatan kegiatan penelitiannya. Unmul terdaftar di bawah status BLU
dan saat ini sedang dalam fase transisi. Menciptakan sumber pendanaan alternatif, termasuk
pendanaan penelitian, merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi rektorat dan
para eksekutif fakultas.
Institut Teknologi Bandung
Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah universitas negeri ketujuh yang dikunjungi. ITB didirikan
pada 2 Maret 1959 sebagai Perguruan Tinggi untuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
dengan misi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam penelitian ini,
kami melihat manajemen penelitian di tiga fakultas, yaitu Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan (SAPPK), Sekolah Bisnis dan Pembangunan, serta Fakultas Seni Rupa
dan Desain. Sekolah-sekolah inilah yang paling mirip dengan studi-studi ilmu sosial di antara
fakultas-fakultas ilmu pengetahuan yang mendominasi Institut Teknologi Bandung. Sekolah
Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan didirikan pada 29 Agustus 2005. Sekolah
yang baru didirikan ini mulai beroperasi sebagai unit pelaksana akademis yang bertanggung
jawab terhadap kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sejak 1
Januari 2006. SAPPK mengelola dua belas program akademis, mulai dari program sarjana hingga
doktoral, dan delapan divisi penelitian.
Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD-ITB) dibuka pada tahun 1984. Fakultas ini memiliki tiga
jurusan: Seni Rupa, Desain, dan Sosial-Teknologi. Dalam perkembangannya, fakultas ini mulai
melaksanakan penelitian sosial sebagai bagian dari Jurusan Sosial-Teknologinya. Sekolah Bisnis
dan Manajemen ITB (SBM-ITB) didirikan pada 31 Desember 2003 dan memiliki lima program:
Program S1 Manajemen, Program Magister Administrasi Bisnis, Program Magister Ilmu
Pengetahuan Manajemen, Program Doktoral Ilmu Pengetahuan Manajemen, dan Program S1
Kewirausahaan. ITB mempunyai satu Lembaga Penelitian (LP) yang mengoordinasikan
manajemen penelitian di semua fakultas. LP bekerja erat dengan para dosen dalam
menyebarluaskan informasi penelitian, membantu dosen dan fakultas dengan manajemen
penelitian, serta mencairkan hibah ke para dosen dan fakultas. Tiap-tiap fakultas juga memiliki
unit penelitiannya sendiri, tetapi seluruh manajemen penelitian masih harus melalui LP.
Berdasarkan jumlah publikasi yang diterbitkan universitas, unit penelitian yang paling produktif

34GDN Working Paper Series
adalah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Namun demikian, SAPPK, FSRD, dan
SBM juga dianggap produktif, dengan memfokuskan diri terutama pada penelitian kebijakan.
Universitas Gadjah Mada
Universitas kedelapan adalah Universitas Gadjah Mada (UGM). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UGM (Fisipol) didirikan pada tahun 1955, merupakan fakultas ilmu sosial dan ilmu
politik tertua di Indonesia. Fisipol dikembangkan dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum
yang sudah ada sebelumnya. Saat ini, fakultas ini menawarkan enam program sarjana, yaitu
Hubungan Internasional, Ilmu Komunikasi, Manajemen dan Kebijakan Publik, Ilmu Politik dan
Pemerintahan, Pengembangan Sosial dan Kesejahteraan, dan Sosiologi. Fakultas ini bertekad
membangun keunggulan penelitian dan telah menunjukkan reformasi nyata dalam
manajemen penelitian maupun pengajaran, serta manajemen pengetahuan pada umumnya.
Oleh karena itu, fakultas ini telah memperkenalkan unit penelitian dan kerja sama khusus
yang mengintegrasikan seluruh proyek permintaan pemerintah dan mendistribusikan proyek-
proyek tersebut ke tiap-tiap departemen atau pusat penelitian. Pusat Pengembangan
Kapasitas dan Kerja Sama (PPKK) berfungsi sebagai pengumpul proyek yang bertujuan
menghindari tumpang tindih dan potensi konflik kepentingan di antara unit-unit penelitian
yang ada ataupun proyek-proyek individual di kalangan akademisi UGM.
Pendanaan penelitian
Sumber pendanaan penelitian berbeda-beda antara universitas di Jawa dan di luar Jawa.
Untuk universitas-universitas besar di Jawa (UI, ITB, UGM, IPB), sumber pendanaan penelitian
didominasi oleh organisasi donor internasional dan sektor swasta. Untuk universitas-
universitas yang lebih periferal, pendanaan publik, pendanaan pemerintah, dan kerja sama
antar-universitas amat dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan kegiatan penelitian.
Salah satu temuan paling penting adalah bagaimana dominasi universitas-universitas besar
meluas melebihi wilayah geografis dan administratif mereka, sebagaimana dicontohkan kasus
UGM. Universitas ini telah membentuk kerja sama yang kuat dengan banyak pemerintahan
daerah yang menggunakan jasa konsultasi dan analisis kebijakan mereka.
12
Sementara itu, universitas-universitas di luar Jawa lebih bergantung pada dana publik, baik
melalui skema pendanaan Dikti maupun jasa konsultasi kepada pemerintah daerah masing-
masing. Hal ini tidak hanya menunjukkan terbatasnya peluang yang tersedia di luar Jawa, tapi
juga permasalahan akses ke pasar pengetahuan yang ada.
12 Wawancara dengan kepala unit kerja sama, FISIP UGM, 20 Mei 2015.

GDN Working Paper Series 35
Lembaga Pemerintah Sektor Swasta Donor Internasional Universitas
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Lembaga Pemerintah
Jumlah Sampel Lembaga Pemerintah=261. Jumlah Sampel Sektor Swasta=261. Jumlah Sampel Donor Internasional=261.
Jumlah Sampel Universitas=261.
Sektor Swasta
Jawa Luar Jawa
Donor Internasional Universitas
48%
78% 80%
69%
52%
22%
20%
31%
Sumber: Penulis.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Jumlah Sampel Lembaga Pemerintah=252. Jumlah Sampel Sektor Swasta=85. Jumlah Sampel Donor Internasional=76.
Jumlah Sampel Universitas=90.
Riset Dasar Riset Terapan
27%
13%
25%
37%
73%
87%
75%
63%
Sumber: Penulis.
Gambar 8. Jaringan Penelitian dan Institusi Asal
Gambar 9. Jenis Penelitian dan Pendanaannya

36GDN Working Paper Series
Boks 5. Dampak Pencairan Dana yang Tidak Efektif
• Peningkatan dana penelitian telah meningkatkan jumlah kegiatan penelitian di
universitas-universitas di Jawa, sementara universitas di luar Jawa tertinggal.
• Universitas-universitas negeri di Jawa tidak hanya memiliki akses langsung yang lebih
besar ke organisasi donor internasional dan sektor swasta, yang meliputi sebagian besar
sumber pendanaan penelitian mereka, tapi juga ke pasar pendidikan tinggi secara
keseluruhan.
• Pendanaan penelitian untuk universitas-universitas negeri di luar Jawa utamanya berasal
dari pemerintah, pendanaan publik, dan kerja sama antar-universitas.
Ketenagakerjaan
Mayoritas responden kami adalah dosen tetap yang dipekerjakan sebagai pegawai negeri di
bawah universitas mereka masing-masing. Hal ini mencerminkan realitas akademisi Indonesia,
di mana dosen-dosen secara resmi dipekerjakan sebagai pegawai negeri. Akademisi Indonesia
juga kelompok yang semakin menua, karena tenaga kerjanya didominasi oleh akademisi
senior yang menyandang status lektor kepala dan direkrut melalui sistem rekrutmen tertutup
atau semi tertutup.
Hal ini juga menunjukkan terbatasnya peluang bagi dosen baru untuk melamar posisi yang
kosong sekaligus hambatan-hambatan dalam universitas untuk membuka posisi baru.
Gambar 10. Klasifikasi Tenaga Kerja
Jumlah Sampel=350
Lektor Kepala
37%
Dosen
29%
Asisten Ahli
23%
Profesor
7%
Lain-lain
4%
Sumber: Penulis.

GDN Working Paper Series 37
Lebih jauh, 37 persen responden sudah menyandang status Lektor Kepala (menurut klasifikasi
pegawai negeri). Menariknya, peran dan kontribusi profesor di kalangan akademis Indonesia
dipertanyakan secara terbuka di media nasional.
13
Fakta menunjukkan hanya 2,3 persen dari
220.426 dosen penuh waktu di seluruh perguruan tinggi yang menyandang status profesor.
Namun masalah tersebut tak sebesar masalah rendahnya kontribusi professor jika dibanding
status mereka, sehingga penambahan jumlah profesor tidak menjadi solusi bagi masalah
kualitas. Solusinya justru memperbaiki lingkungan kerja—termasuk mengevaluasi kinerja para
profesor—yang akan berdampak positif pada komunitas akademis di setiap universitas.
13 Beberapa artikel tentang hal ini dapat ditemukan di harian nasional Kompas, antara Oktober dan November 2015.
Sumber: Penulis.
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Dosen Tetap Dosen Tidak Tetap Lainnya
Jumlah Sampel Dosen Tetap=325. Jumlah Sampel Sektor Swasta=9. Jumlah Sampel Dosen Tidak Tetap =76.
Jumlah Sampel Lain-lain=5.
PNS BHMN Lainnya
91%
33%
0%
9%
22%
0%1%
44%
100%
Sumber: Penulis.
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Rekrutmen Semi Tertutup Rekrutmen Terbuka Rekrutmen Tertutup
Jumlah Sampel=329
< 30 tahun 30-40 tahun 40-50 tahun > 50 tahun
3% 3%
4%
57%
32%
52%
24%
32%
12%
16%
33%
32%
Gambar 11. Status Ketenagakerjaan
Gambar 12. Metode Rekrutmen

38GDN Working Paper Series
Berdasarkan data yang dikumpulkan, dosen (58 persen) memperoleh gaji bersih < Rp4 juta
14
per bulan tanpa penghasilan tambahan. Mereka yang memiliki penghasilan tambahan dari
kegiatan-kegiatan pribadi yang terkait dengan profesi utama mereka sebagai dosen,
kebanyakan menerima penghasilan tambahan di atas gaji tetap mereka. Ada juga sejumlah
besar dosen (25 persen) yang tidak memiliki penghasilan tambahan, yang mengindikasikan
kurangnya aktivitas mereka di luar tugas utama sebagai dosen.
14 Setara dengan ± 285 dolar AS, per Januari 2016.
Sumber: Penulis.
Sumber: Penulis.
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Jumlah Sampel=345
< 4 juta
< 4-8 juta > 8 juta
58%
36%
6%
35% 30% 25% 20% 15% 10%
5% 0%
Jumlah Sampel=334
< 4 juta
< 4-8 juta > 8 juta Tidak ada
31%
25%
25%
19%
Gambar 13. Gaji Bulanan
Gambar 14. Penghasilan Tambaha

GDN Working Paper Series 39
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa kelompok yang berusia lebih muda kurang
dilibatkan dalam penelitian. Ketika dikaitkan dengan peningkatan penerimaan mahasiswa
baru dari tahun 1998 hingga 2006, dan mayoritas dosen tetap hanya menyandang gelar
master, dapat disimpulkan bahwa dosen-dosen muda, yang direkrut melalui sistem yang lebih
terbuka, mengambil beban lebih besar di pengajaran daripada di penelitian setelah
diberlakukannya undang-undang otonomi universitas.
Boks 6. Dampak Isu Ketenagakerjaan terhadap Penelitian
• Kebanyakan peneliti aktif berasal dari kelompok berusia di atas 50 tahun, yang terutama
direkrut melalui sistem tertutup (lihat Bab 5).
• Peneliti yang lebih muda kurang dilibatkan dalam penelitian, yang bisa jadi berarti
bahwa mereka mengambil beban lebih besar di pengajaran daripada penelitian.
Manajemen keuangan
Sebagaimana telah didiskusikan di bab sebelumnya, Dikti mencairkan dana penelitian melalui
dua kanal utama: 1) langsung ke universitas melalui skema Hibah Penelitian Desentralisasi
atau 2) melalui Hibah Penelitian Kompetitif Nasional, di mana universitas harus mengajukan
permohonan pendanaan. Untuk universitas-universitas besar dengan sumber daya besar dan
ikatan yang kuat dengan industri, mencari dana penelitian bukanlah tantangan besar,
sebagaimana diakui oleh Wakil Dekan Fema IPB:
“IPB kan tiap tahun dapat lebih dari 30 miliar lah. 40 miliar untuk penelitian saja, jadi
peluang seorang dosen untuk mendapatkan dana penelitian itu sangat besar, begitu.”
(Wakil Dekan FEMA IPB, wawancara pribadi, 1 April 2015)
Gambaran sebaliknya dapat dilihat di Unand, atau Unmul, di mana tidak ada—atau sangat
terbatas—dana di tingkat fakultas yang dikhususkan untuk menjalankan proyek penelitian
yang serius. Fisip Unand contohnya, hanya mampu mendistribusikan Rp15 juta setiap
tahunnya ke masing-masing departemen, berharap para dosen mampu menghasilkan
setidaknya satu produk penelitian di akhir tahun, karena mereka diharapkan untuk
melaporkan kinerja pegawai.
Mengajukan permohonan untuk dana Dikti selalu menjadi pilihan bagi universitas negeri.
Namun demikian, penggunaan dana negara juga menjadi permasalahan yang terus ada, baik
bagi dosen maupun birokrat universitas. Sebagaimana diakui oleh sejumlah informan, sifat
dasar dana negara lebih sering menjadi hambatan, bukan solusi:
“Dan ini, uang turun itu tidak seperti yang diharapkan. Di dalam proposal, penelitian
mulai, taruhlah mulai Mei atau April, gitu kan. Ada yang 6 bulan, 10 bulan, kalau yang
10 bulan misalnya mulai Maret-April. Dana pernah ada turun, September baru dana

40GDN Working Paper Series
turun, saya pernah ngalamin, itu dana dari Pusat juga, di akhir Oktober harus buat
laporan.” (Wakil Dekan FEMA IPB, wawancara pribadi, 1 April 2015)
Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, sifat dasar dana negara yang diaudit setiap tahun
itu menghambat kualitas penelitian karena memaksakan batasan waktu, khususnya dalam
konteks penelitian sosial. Selain itu, perbedaan status hukum (BLU atau PTN BH) memengaruhi
bagaimana sumber daya dan penerimaan dikelola. Universitas-universitas dengan status PTN
BH dan kategorisasi mandiri tidak terlalu bergantung pada dana yang dicairkan Dikti, dan oleh
karenanya lebih mandiri, dibandingkan dengan universitas-universitas BLU yang tidak
memiliki sumber daya yang dibutuhkan.
Boks 7. Isu-Isu Keuangan Kunci dalam Penelitian Universitas
• Dana negara yang diaudit secara tidak langsung menunrunkan kualitas penelitian,
karena mengurangi jumlah waktu pelaksanaan penelitian dikarenakan syarat pengisian
formulir yang memakan waktu.
• Perbedaan status hukum universitas BLU dan PTN BH memengaruhi bagaimana sumber
daya penelitian dan penerimaan dikelola. Universitas-universitas PTNBH, yang
kebanyakan terletak di Jawa, lebih mandiri dibandingkan universitas BLU.
Publikasi ilmiah
Mayoritas responden (86 persen) belum berhasil menerbitkan penelitian di jurnal yang diindeks
oleh pangkalan data bibliometrik bereputasi, yaitu Scopus.
15
Hanya 14 persen dari seluruh
15 Tim penelitian mengakui bahwa pangkalan data bibliometrik tidak selalu dapat diandalkan sebagai pengukuran reputasi
sebuah jurnal, terutama di bidang ilmu sosial dan humaniora. Beberapa jurnal paling bergengsi tentang Indonesia, di
antaranya jurnal Indonesia, tidak terdaftar di Scopus sebagai pendirian politis terhadap ekonomi politik publikasi. Scopus di
sini digunakan sebagai ilustrasi terkait kondisi publikasi di bidang ilmu sosial dan humaniora di Indonesia.
Sumber: Penulis.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Jumlah Sampel=216
Jawa
Tidak Terindeks Scopus Terindeks Scopus
Luar Jawa
37%
90%
63%
10%
Gambar 15. Jurnal dengan Penilaian Sejawat (Peer-Review) dan Terindeks Scopus

GDN Working Paper Series 41
responden telah berhasil melakukannya, dan 90 persen dari mereka berasal dari universitas-
universitas di Jawa. Hal ini tidak hanya menunjukkan keterbatasan kapasitas untuk menerbitkan,
namun juga ketimpangan kapasitas antara universitas negeri, di mana akademisi-akademisi
yang berhasil lebih mudah dijumpai di universitas-universitas besar yang terletak di Jawa.
Sebagaimana dibahas di bab sebelumnya, besaran dan cakupan insentif bervariasi sesuai
dengan kapasitas kelembagaan tiap-tiap universitas. IPB contohnya, yang menganggap serius
urusan publikasi, menyediakan insentif finansial antara Rp3 dan Rp5 juta, serta membentuk
tim publikasi ilmiah:
“Tim Publikasi Ilmiah IPB, ya itu melakukan dan khususnya untuk Pasca Sarjana, karena
yang kita tuntut untuk publikasi internasional itu mahasiswa Pasca Sarjana ya,
kemampuan menulisnya kita perbanyak, kita perkuat. Itu dengan pelatihan,
narasumber dalam negeri maupun narasumber luar negeri. Kemudian kita lakukan juga
bantuan untuk proof reading... Jadi mahasiswa yang draft -nya hampir habis, terus belum
yakin disubmit, dicek oleh Tim Publikasi tadi.” (Kepala Direktorat Inovasi dan Penelitian
IPB, wawancara pribadi, 2 April 2015).
Universitas-universitas negeri yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan, seperti
merekrut penyunting dan peninjau naskah untuk meningkatkan kualitas produk penelitian
mereka, tidak bergantung pada pendanaan Dikti. Standar Biaya Umum yang dikeluarkan oleh
Kementerian Keuangan tidak secara khusus mengatur biaya unit untuk komponen seperti itu,
yang memang sangat spesifik untuk sektor pendidikan tinggi. Dengan demikian, universitas-
universitas negeri dengan akses yang lebih langsung ke sumber daya akan memiliki peluang
lebih besar untuk menghasilkan pendapatan dari luar Dikti guna membayar pengeluaran-
pengeluaran tersebut.
Sumber: Penulis.
Jumlah Sampel=216
Ya; 14%
Tidak; 86%
Gambar 16. Jumlah Akademisi yang Menulis di Jurnal Scopus

42GDN Working Paper Series
Boks 8. Dampak Kebijakan Penelitian dan Praktik
• Pencairan dana penelitian, pengembangan kapasitas pegawai, dan manajemen
keuangan yang semuanya tidak efektif telah menyebabkan tingkat publikasi
internasional rendah sekali, di mana hanya 14 persen dari peneliti aktif yang telah
menerbitkan penelitian di jurnal bereputrasi dengan penilaian sejawat.
• Di antara yang 14 persen ini, 90 persennya berada di Jawa.

Dampak kebijakan dan praktik penelitian di tingkat kelembagaan menunjukkan bahwa
universitas-universitas negeri yang berbasis di Jawa memiliki lebih banyak peluang untuk
mencari pendapatan eksternal daripada mereka yang berada di luar Jawa. Hasilnya, mayoritas
publikasi di jurnal-jurnal kenamaan dicapai oleh para akademisi universitas negeri di Jawa.

GDN Working Paper Series 43
V. Perilaku dan Karakteristik Peneliti

Perilaku dan Karakteristik PenelitiBagian ini menyajikan latar belakang, perilaku, dan
karakteristik peneliti di delapan universitas negeri terpilih di Indonesia. Bagian-bagian
sebelumnya telah menjelaskan bagaimana hambatan struktural di tingkat makro dan meso,
yaitu pencairan dana penelitian, mekanisme ketenagakerjaan yang birokratis, dan manajemen
keuangan yang tidak efektif, telah berkontribusi terhadap miskinnya penelitian ilmu sosial.
Tujuan dari bagian ini adalah untuk memberikan bukti empiris mengenai bagaimana
hambatan struktural ini telah membentuk perilaku dan karakteristik penelitian di delapan
universitas negeri di Indonesia. Kami ingin menekankan beberapa poin utama dalam hal ini.
Pertama, para peneliti aktif di universitas-universitas negeri di Jawa memiliki peluang lebih
besar untuk membangun jaringan dengan pemerintah pusat, sektor swasta, donor
internasional, dan universitas lain untuk melakukan penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa
indikator-indikator kinerja kunci yang kuantitatif yang ditetapkan Dikti mungkin telah
memperparah celah yang memang sudah timpang antara universitas-universitas negeri yang
berada di Jawa dan di luar Jawa.
Kedua, kebanyakan peneliti memperoleh gelar yang lebih tinggi di lembaga asal mereka. Tren
ini terjadi di seluruh universitas negeri yang diteliti. Jika disandingkan dengan praktik
rekrutmen tertutup, hal ini menunjukkan adanya “insularitas” dalam hal pengembangan
kapasitas. Secara signifikan, peneliti aktif yang memperoleh gelar di luar negeri memiliki lebih
banyak artikel yang diterbitkan di jurnal terindeks Scopus. Temuan-temuan empiris ini
mengindikasikan bahwa birokratisasi pendidikan tinggi telah menumbuhkan budaya
persilangan tertutup (inbreeding), di mana akademisi direkrut secara tertutup dan di antara
mereka berguru di dalam institusi mereka sendiri. Sebagai konsekuensi, hanya sejumlah kecil
peneliti saja (8 persen) yang dapat dianggap produktif.
Gambaran singkat peneliti
Proporsi gender peneliti aktif dalam penelitian ini adalah 40 persen perempuan dan 60 persen
laki-laki. Saat ini tidak ada peraturan yang tegas di Indonesia untuk meningkatkan jumlah
peneliti perempuan di universitas-universitas negeri (lihat Gambar 17). Dari 261 peneliti aktif,
73 persennya telah membangun jaringan dengan pemerintah, sektor swasta, organisasi donor
internasional, dan universitas lain. Sebanyak 27 persen dari para peneliti aktif ini menjalankan
penelitian independen tanpa menghubungi atau menjalin jaringan dengan organisasi
eksternal.
Di antara para peneliti aktif, 88 persen atau 308 orang melakukan penelitian mereka di bawah
jurusannya masing-masing (lihat Gambar 18). Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak
mengelola penelitiannya di bawah unit khusus yang, berdasarkan wawancara mendalam, bisa
saja disebabkan oleh tidak adanya satu unit khusus yang ditujukan untuk manajemen

44GDN Working Paper Series
penelitian, atau bisa juga karena kesengajaan peneliti untuk tidak berafiliasi dengan unit
penelitian tersebut. Kasus-kasus kami menunjukkan, tidak semua universitas memiliki unit
penelitian khusus, seperti kasus Universitas Mulawarman, Universitas Andalas, dan Universitas
Sumatera Utara. Sebagai catatan, ketiga universitas ini berada di luar Jawa.
Proporsi tertinggi peneliti aktif, yang mencapai 43 persen atau 143 peneliti, berusia di atas 50
tahun (lihat Gambar 19). Disusul oleh kelompok usia 40 hingga 50 tahun (29 persen) dan usia
30 hingga 40 tahun (25 persen). Mayoritas peneliti aktif (55 persen) menyandang gelar master,
sementara 44 persen menyandang gelar doktor. Temuan ini menunjukkan lemahnya
pengembangan kapasitas di kalangan peneliti aktif. Diperlukan respons yang lebih serius
dalam merekrut dan melatih penyandang gelar doktor yang berusia lebih produktif untuk
Sumber: Penulis.
Sumber: Penulis.
Jumlah Sampel=355
Perempuan
40%
Laki-laki
60%
Jumlah Sampel=350
Pusat
Penelitian;
12%
Jurusan; 88%
Gambar 17. Proporsi Gender
Gambar 18. Unit Kerja

GDN Working Paper Series 45
meningkatkan kualitas penelitian.
Secara keseluruhan, 22 persen peneliti aktif memperoleh gelar terakhir mereka di luar negeri,
sementara 78 persen memperolehnya di Indonesia, baik di institusi asal mereka ataupun
universitas-universitas negeri, terutama di Jawa. Di antara mereka yang memperoleh gelar dari
luar negeri, 62,5 persen memiliki gelar doktor dan 37,5 persen menyandang gelar master.
Proporsi sebaliknya tampak jelas di antara mereka yang menyandang gelar dari dalam negeri:
61 persen menyandang gelar master, sementara 39 persen menyandang gelar doktor. Dengan
kata lain, para peneliti aktif yang belajar di luar negeri memperoleh gelar yang lebih tinggi
dibandingkan rekan mereka yang belajar di dalam negeri.
Sumber: Penulis.
< 30 tahun
3%
> 50 tahun
43%
30-40 tahun
25%
40-50 tahun
29%
Jumlah Sampel=332
Sumber: Penulis.
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Jumlah Sampel untuk Domestik=271. Jumlah Sampel untuk Internasional=80.
Magister
Domestik Internasional
Doktor
61%
37.5%39%
62.5%
Gambar 19. Distribusi Usia
Gambar 20. Asal Gelar Tertinggi Diperoleh

46GDN Working Paper Series
Sumber: Penulis.
Di antara para peneliti aktif yang memperoleh gelar tertinggi mereka di universitas negeri
domestik, setengahnya (49 persen) memperolehnya di lembaga asal mereka sendiri,
sementara 51 persen atau 138 peneliti memperolehnya di universitas negeri lain—lagi-lagi,
utamanya di Jawa (lihat Gambar 20). Angka-angka ini menunjukkan tingginya kelaziman di
kalangan peneliti Indonesia untuk tinggal di dalam zona nyaman mereka ketika mengejar
gelar yang lebih tinggi, yang barangkali telah berujung pada inbreeding di lingkungan
universitas negeri. Dikti sebelumnya telah mengindikasikan bahwa persoalan inbreeding ini
telah menyebabkan “insularitas” (insularity). Para pejabat Dikti yang diwawancarai
mengungkapkan bagaimana universitas, dan kemudian fakultas mereka, lebih memikirkan
upaya mengejar minat penelitian mereka sendiri, terlepas dari upaya-upaya Dikti untuk
mendorong penelitian yang lebih kolaboratif.
16
Menurut kepala Subdirektorat Penelitian Dikti,
skema pendanaan saat ini, seperti Penelitian Kerja Sama antar-Perguruan Tinggi, dibuat untuk
meningkatkan kolaborasi, tapi belum secara efektif dimanfaatkan oleh penerima manfaat
yang disasar.
Gambar 21. Lokasi Gelar Tertinggi Diperoleh
Sebagian besar peneliti aktif, 325 orang, memiliki jabatan atau merupakan dosen tetap. Di
antara para dosen tetap ini, kebanyakan adalah pegawai negeri (91 persen) atau Pegawai
Negeri Sipil (PNS); hanya 9 persen yang merupakan pegawai badan hukum. Artinya, sebagian
besar peneliti aktif di universitas negeri tunduk pada skema ketenagakerjaan birokratis.
16 Wawancara dengan Desmelita, Kepala Sub-Direktorat Penelitian Dikti, 23 November 2015.
Di lembaga asal
49%
Di luar lembaga
51%
Jumlah Sampel=274

GDN Working Paper Series 47
Boks 9. Dampak Birokrasi Pendidikan Tinggi Terhadap Profil Peneliti

Terdapat kecenderungan di kalangan peneliti Indonesia untuk tinggal di lembaga asalnya
sendiri ketika mengejar gelar yang lebih tinggi yang barangkali telah berujung pada
‘pengembangan di dalam’ di lingkungan universitas negeri. Dikti telah menyinggung
bahwa persoalan pengembangan di dalam telah menyebabkan “insularitas”. Para pejabat
Dikti yang diwawancarai mengungkapkan bagaimana universitas, dan kemudian fakultas
mereka, lebih memikirkan upaya mengejar minat penelitian mereka sendiri, terlepas dari
upaya-upaya Dikti untuk mendorong penelitian yang lebih kolaboratif.
Perilaku dan karakteristik
Sebanyak 27 persen dari total responden memiliki akun media sosial yang untuk menjalin
jaringan profesional. Pilihan akun media sosial profesional mereka termasuk LinkedIn (48
persen) dan Academia (46 persen). Angka ini menunjukkan bahwa sejumlah besar responden
secara aktif menjalin jaringan di dunia maya.
Gambar 22. Penggunaan Media Sosial untuk Profesional
Sumber: Penulis.
LinkedIn
48%
Lain-
lain
5%
Academia
46%
Jumlah Sampel=97

48GDN Working Paper Series
Gambar 23. Menduduki Banyak Jabatan Struktural di Kampus
Dari 354 responden, 51 persen atau 180 peneliti memegang lebih dari satu jabatan (Gambar
23). Artinya, para peneliti tersebut juga menjabat sebagai kepala program studi, pusat
penelitian, sekretaris program, dan lain sebagainya di atas tugas mengajar, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Tak mengherankan jika 92 persen dari mereka tidak memanfaatkan
cuti dalam tanggungan untuk mengembangkan kapasitas dan jaringan dengan akademisi di
negara lain (Gambar 24). Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa mendapatkan dan
mempertahankan jabatan struktural bisa dipahami sebagai cara individu untuk mengamankan
modal yang dibutuhkan di lingkungan akademis, seperti dinyatakan oleh Bourdieu (1984).
Sumber: Penulis.
Sumber: Penulis.
Jumlah Sampel=354
Tidak
49%
Ya
51%
Jumlah Sampel=355
Tidak
92%
Ya
8%
Gambar 24. Peluang Cuti dalam Tanggungan

GDN Working Paper Series 49
Angka di atas menunjukkan bahwa hampir seluruh responden memberikan kuliah dan
bimbingan akademis di tahun 2014, di samping tugas-tugas jabatan manajerial yang dipegang
oleh setengah dari mereka (Gambar 25). Responden menerima lebih banyak insentif untuk
melakukan konsultasi independen, mengajar, dan memberikan bimbingan akademis
ketimbang melakukan penelitian, sebagaimana diutarakan oleh kepala Pusat Penelitian Unhas:
“...cuma saya lihat ini kebanyakan dosen-dosen ini dia lebih suka menjadi narasumber
ketimbang peneliti. Dia jadi narasumber, dia diapresiasi, dihargai yang sangat bagus.
Honor yang sangat bagus. Tidak perlu repot-repot dengan laporan segala macam.
Dengan meneliti itu kan repot, tidak terlalu menarik bagi dia. Hanya dengan uang 100
juta, repotnya bukan main, ah lebih baik jadi narasumber saja” (Kepala Pusat Penelitian
Unhas, wawancara pribadi, 14 April 2015).
Sepertinya ada persepsi dan penilaian yang sama, bahkan di kalangan pengelola universitas,
bahwa minat kalangan ilmuwan sosial di banyak universitas negeri di Indonesia dalam
Sumber: Penulis.
Menulis
Konsultasi Akademis
Mengajar
Jumlah Sampel untuk Mengajar=350. Jumlah Sampel untuk Konsultasi Akademis=348. Jumlah Sampel untuk Menulis=348.
> jam/semester 0-6 jam/semester
0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%
56%
43%
72%
44%
57%
28%
Sumber: Penulis.
Jumlah Sampel=353
> 20 publikasi 11-15 publikasi 1-5 publikasi16-20 publikasi 6-10 publikasi 0
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50%
5%
2%
4%
14%
45%
30%
Gambar 25. Distribusi Pekerjaan di 2014
Gambar 26. Jumlah Publikasi Non-Jurnal (2010-2014)

50GDN Working Paper Series
melakukan penelitian sangat kurang. Hal ini terbukti di Unand, Unhas, USU, dan Unmul. Lebih
jauh lagi, sebanyak 30 persen responden tidak mengomunikasikan temuan penelitian mereka
melalui publikasi non-jurnal, yang meliputi surat kabar, majalah, televisi, radio, dan media
populer lainnya.
Sebanyak 45 persen responden atau 159 peneliti, menerbitkan sekitar 1 hingga 5 publikasi
non-jurnal antara tahun 2010 hingga 2014. Dalam kurun yang sama, 14 persen menerbitkan 6
hingga 10 publikasi non-jurnal, 4 persen menerbitkan 11 hingga 15, 2 persen menerbitkan 16
hingga 20, dan 5 persen menerbitkan lebih dari 20 publikasi non-jurnal. Namun, dari tingkat
publikasi ini, hanya 28 responden atau 8 persen yang menerbitkan artikel di jurnal dengan
penilaian sejawat yang terindeks di pangkalan data bibliometrik bereputasi (Scopus).
Dari 8 persen yang telah memublikasikan artikel di jurnal internasional bereputrasi, 90
persennya merupakan peneliti aktif yang berbasis di universitas negeri di Jawa (UI, UGM, IPB,
ITB) dan 10 persennya berbasis di universitas negeri di luar Jawa (Unmul, Unhas, USU; Gambar
27). Lebih banyak peneliti (216 orang) telah memublikasikan penelitian mereka di jurnal yang
tidak bereputasi. Terdapat lebih banyak peneliti aktif di universitas negeri di luar Jawa (67
persen) daripada di universitas negeri di Jawa (37 persen) yang menerbitkan di jurnal-jurnal
tersebut. Dikti telah berupaya mengatasi rendahnya tingkat publikasi ini dengan memberikan
insentif.
“Sebenarnya kita juga menyiapkan reward untuk mereka yang produktif. Misalkan yang
kalau disini sudah agak lama sebenarnya, kalau berhasil publikasi di Jurnal yang terindex,
itu kita beri satu artikel itu 35 juta, begitu. Dan saya kira sudah banyak Perguruan Tinggi
melakukan hal yang sama, dan terakhir saya dengar LPDP
17
itu lebih banyak lagi
memberikan reward itu, bisa sampai 100 juta. Jadi orang apa, dosen, peneliti, itu tidak
hanya mengejar cum, tapi juga dalam pengembangan ilmunya selalu continuous, begitu”
(Mantan Direktur Penelitian Dikti, wawancara pribadi, 21 Desember 2015).
17 LPDP adalah Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan, didirikan pada tahun 2012 dan mengelola dana negara di bawah
Kementerian Keuangan, terutama untuk tujuan beasiswa dan penelitian.
Sumber: Penulis.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Jumlah Sampel=216
Jawa
Tidak Terindeks Scopus Terindeks Scopus
Luar Jawa
37%
90%
63%
10%
Gambar 27. Jurnal dengan Penilaian Sejawat (Peer Review) dan Terindeks Scopus

GDN Working Paper Series 51
Berdasarkan temuan ini, insentif moneter tidak akan efektif jika seseorang ingin meningkatkan
jumlah artikel yang dipublikasikan. Para peneliti memegang lebih dari satu jabatan struktural,
mengajar, memberikan bimbingan akademis, serta konsultasi independen. Di antara mereka
yang aktif melakukan penelitian, hanya 8 persen yang memiliki publikasi internasional,
sementara sebagian besar responden malah memublikasikan artikel di jurnal yang tidak
terindeks. Lagi pula, kebanyakan peneliti yang memublikasikan karya mereka di tingkat
internasional berbasis di Jawa. Hal ini berarti insentif-insentif moneter ini praktis lebih mudah
diakses bagi mereka yang berada di Jawa, sehingga memperburuk ketidaksetaraan yang
sudah ada antar-wilayah.
Selain itu, hanya 45 persen responden yang memantau indeks kutipan mereka di Scopus dan
pusat data bibliometrik lainnya. Sementara lebih dari separuh bahkan tidak menyadarinya
(Gambar 28). Melihat dari gelar tertinggi yang diperoleh peneliti, tampak jelas bahwa
kebanyakan peneliti yang mengetahui indeks kutipan mereka adalah peneliti yang
memperoleh gelar di luar negeri dan mereka yang menyandang gelar doktor (lihat Gambar
29).
Gambar 29. Informasi Indeks Kutipan Menurut Asal dan Lokasi Diperoleh
Sumber: Penulis.
Jumlah Sampel=353
Tidak
55%
Ya
45%
Gambar 28. Pemahaman terhadap Indeks Kutipan
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Jumlah Sampel untuk Domestik=272. Jumlah Sampel untuk Internasional=80. Jumlah Sampel untuk Gelar Master=194.
Jumlah Sampel untuk Gelar Doktor=156.
Yes
Domestik Gelar MagisterInternasional Gelar Doktor
No
39% 36%
66%
56%
61%
64%
34%
44%
Sumber: Penulis.

52GDN Working Paper Series
Sebanyak 66 persen dari mereka yang memperoleh gelar di luar negeri mengetahui indeks
kutipan mereka, sementara 34 persen tidak mengetahuinya. Di lain pihak, 61 persen yang
memperoleh gelar domestik tidak mengetahui indeks kutipan mereka, sementara 39 persen
mengetahuinya. Di antara mereka yang menyandang gelar master, 64 persen tidak memantau
indeks kutipan mereka, sementara 36 persen mengikutinya. Di antara para penyandang gelar
doktor, 56 persen mengetahui indeks kutipan mereka dan 44 persen tidak mengetahuinya.
Tampak jelas bahwa mereka yang menyandang gelar lebih tinggi dan mereka yang mencari
pendidikan tinggi di luar lembaga asalnya memiliki kesadaran yang lebih besar terkait
pentingnya publikasi internasional. Hal ini menunjukkan bahwa yang perlu diperbaiki
bukanlah insentif moneter bagi para cendekiawan yang memublikasikan artikelnya secara
internasional, melainkan peningkatan kesadaran terkait pentingnya menjalin kerja sama
dengan jaringan sejawat internasional.
Boks 10. Dampak Indikator Kinerja Kunci Dikti
• Peningkatan insentif moneter di kalangan cendekiawan yang menerbitkan artikel secara
internasional dilihat sebagai bonus, bukan dorongan utama untuk memublikasikan.
• Membangun sistem penilaian sejawat yang suportif di antara dan di dalam tiap-tiap
universitas itu lebih penting.
• Pengembangan kapasitas terkait pentingnya meningkatkan reputasi internasional
melalui mobilitas yang lebih tinggi ke negara lain sekaligus kembali ke lembaga asal .

Gambar 30. Jaringan Penelitian
Adalah penting untuk mengeksplorasi jaringan penelitian dari para peneliti aktif yang sudah
ada (Gambar 30). Angka terendah terlihat jelas pada jaringan dengan sektor swasta (27
persen), disusul oleh organisasi donor internasional (31 persen) dan universitas lain (38
Sumber: Penulis.
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Jumlah Sampel Lembaga Pemerintah=355. Jumlah Sampel Sektor Swasta=354.
Jumlah Sampel Donor Internasional=352. Jumlah Sampel Universitas=354.
Tanpa Jaringan
Lembaga Pemerintah Sektor Swasta Donor Internasional Universitas
Dengan Jaringan Lain-lain (PGI, HKBP, ISKI)
26%
73%
67%
62%
74%
27%
31%
38%
0% 0%
2%
0%

GDN Working Paper Series 53
persen). Sementara angka tertinggi adalah jaringan dengan pemerintah (74 persen). Hal ini
menunjukkan bahwa pengguna utama penelitian universitas negeri adalah pemerintah.
Gambar 31. Jaringan Penelitian Pemerintah
Di antara 261 peneliti yang memiliki jaringan penelitian dengan pemerintah, 55 persennya
adalah dengan pemerintah pusat, 27 persen dengan pemerintah daerah, dan 22 persen
dengan pemerintah pusat dan daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam penelitian yang
dilakukan untuk pemerintah, pemerintah pusat adalah pengguna tertinggi. Lebih jelas di luar
Jawa, di mana permintaan akan penelitian termasuk rendah, pemerintah daerah menjadi
sumber utama dana penelitian, sebagaimana diakui di Unmul:
“... untungnya, masih ada beberapa proyek yang dapat dikerjakan, baik institusi
maupaun individu. Kalau mengandalkan sini, jangan harap. Sekarang ada dari BOPTN
(Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri), tetapi jumlahnya kecil juga. Saya amat
bersyukur bahwa pemerintah daerah masih membutuhkan keahlian kami, sehingga
tetap mendatang-kan proyek-proyek penelitian” (Wakil Dekan Fisip Unmul, wawancara
pribadi, 5 Mei 2015).
Sumber: Penulis.
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Jumlah Sampel=261
Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Dua-duanya
23%
55%
21%
Sumber: Penulis.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Riset Dasar Riset Terapan
27%
13%
25%
37%
73%
87%
75%
63%
Lembaga Pemerintah Sektor Swasta Donor Internasional Universitas
Jumlah Sampel untuk Lembaga Pemerintah=252. Jumlah Sampel untuk Sektor Swasta=85.
Jumlah Sampel untuk Bantuan Asing=76. Jumlah Sampel untuk Universitas=90.
Gambar 32. Jenis Penelitian Menurut Sumber Pendanaan

54GDN Working Paper Series
Situasi yang sama ditemukan di Unand dan Unhas, di mana penelitian dilakukan sekali-sekali,
mengikuti permintaan otoritas setempat, apakah dengan Komisi Penyiaran (misalnya di
Unand) maupun Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (misalnya di Unhas).
Selain itu, ketika dibagi berdasarkan jenis penelitian dasar dan terapan di antara sumber-
sumber pendanaan yang berbeda, angka-angka secara konsisten menunjukkan bahwa semua
jenis sumber pendanaan meminta penelitian terapan (Gambar 32). Angka tertinggi untuk
penelitian terapan adalah untuk memenuhi permintaan sektor swasta, atau 87 persen dari
total 85 peneliti yang melakukan studi untuk sektor swasta. Sebanyak 75 persen dari 76
peneliti melaksanakan penelitian terapan untuk organisasi donor internasional. Total 194
peneliti atau 73 persen adalah para peneliti yang melakukan studi terapan untuk pemerintah.
Juga tampak jelas bahwa penelitian dasar kebanyakan dilakukan untuk universitas, meskipun
dalam jumlah kecil, yaitu 37 persen atau 30 orang.
Hal ini berarti, kebanyakan penelitian memiliki tujuan praktis yang hendak dicapai, dan tidak
selalu bertujuan melakukan analisis sosial yang fundamental. Menurut pejabat tinggi di Dikti,
hal ini karena penelitian memang dirancang untuk memberikan solusi bagi pasar atau negara,
dan tidak selalu untuk publikasi internasional.
“Karena dana yang besar-besar itu, itu target utamanya tidak publikasi, tapi
menghasilkan produk yang di apa itu, bisa diindustrikan. Hanya beberapa skema saja
yang memang target output-nya dipaksa untuk publikasi di Jurnal Internasional, seperti
itu” (Mantan Direktur Penelitian Dikti, wawancara pribadi, 21 Desember 2015).
Gambar 33. Jumlah Akademisi yang Menulis di Jurnal Terindeks Scopus Menurut Durasi Penelitian
Secara konsisten, di kalangan akademisi yang diterbitkan secara internasional, durasi
penelitian yang ideal adalah antara 9 hingga 12 bulan. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang
melakukan penelitian untuk pemerintah, sektor swasta, organisasi donor internasional, dan Sumber: Penulis.
50%
40%
30%
20%
10%
0%
1-3 Bulan 4-6 Bulan 7-9 Bulan 9-12 Bulan>12 Bulan
9%
15%
18%
7%
23% 23%
18%
29%
36%
31%
36%
43%
14%
23%
27%
14%
18%
8%
0%
7%
Lembaga Pemerintah Sektor Swasta Donor Internasional Universitas
Jumlah Sampel untuk Lembaga Pemerintah=22. Jumlah Sampel untuk Sektor Swasta=13.
Jumlah Sampel untuk Bantuan Asing=11. Jumlah Sampel untuk Universitas=14.

GDN Working Paper Series 55
universitas (lihat Gambar 33). Angka yang lebih tinggi juga ditemukan pada kalangan peneliti
yang waktu penelitiannya lebih dari 12 bulan. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk
merancang skema pendanaan yang menyasar publikasi internasional daripada solusi praktis,
dan ini membutuhkan durasi setidaknya sembilan bulan untuk melakukan penelitian.
Universitas-universitas negeri di luar Jawa lebih bergantung pada pendanaan penelitian dari
Dikti. Tanpa mengesampingkan fakta bahwa akademisi di Jawa memiliki lebih banyak peluang
untuk menjalin jaringan dengan pemerintah pusat, organisasi donor internasional, dan sektor
swasta, mereka juga kurang memiliki mobilitas akademis, sebagaimana diindikasikan oleh
lembaga di mana mereka memperoleh gelar tertingginya.
Boks 11. Dampak Skema Pendanaan yang Ada Saat Ini
• Skema dana penelitian Dikti tidak efektif mengingat terbatasnya waktu lantaran
karakterisitik APBN yang harus diserap pada tahun anggaran yang sama.
• Batasan waktu menghalangi peneliti menghasilkan penelitian berkualitas yang layak
dipublikasikan secara internasional.
• Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian yang layak dipublikasikan
secara internasional adalah di antara atau di atas 9–12 bulan.

Indikator kinerja kunci kuantitatif yang ditetapkan Dikti memperparah ketimpangan
kesempatan di antara universitas-universitas negeri di Jawa dan di luar Jawa. Apabila
pendekatan ini dilanjutkan, peningkatan publikasi internasional hanya akan terkonsentrasi
hanya pada universitas-universitas negeri yang memiliki akses lebih langsung ke sumber daya.

56GDN Working Paper Series
VI. Penelitian Ilmu Sosial dan Kaitannya dengan Kebijakan
Di bagian sebelumnya, kami telah memberikan analisis empiris mengenai perilaku dan
karakteristik peneliti yang telah dibentuk oleh struktur birokrasi. Produktivitas penelitian lebih
lazim di kalangan peneliti Indonesia yang memiliki mobilitas regional dan internasional,
sehingga jaringan penelitian mereka lebih kaya daripada kolega mereka yang tidak memiliki
mobilitas. Para peneliti ini jumlahnya hanya sebagian kecil saja dari seluruh peneliti aktif di
universitas-universitas negeri di Indonesia. Di bagian ini, kami menguraikan para pengguna
utama penelitian ilmu sosial di Indonesia, dan sejauh mana para peneliti berhubungan
dengan para pengguna ini.
Sebagian besar penelitian yang dilakukan di universitas pada dasarnya bersifat penelitian
terapan, dengan proporsi yang lebih kecil merupakan penelitian dasar. Bagian ini
mengungkapkan bahwa tema dominan penelitian sosial di universitas-universitas terpilih
yang dikaji adalah penelitian terapan untuk tata kelola pemerintahan. Pengguna utama jenis
penelitian ini adalah pemerintah pusat dan organisasi donor internasional, yang secara
signifikan memengaruhi tema penelitian yang dilakukan di universitas-universitas negeri.
Hasilnya, penelitian dasar yang berupaya menjawab pertanyaan fundamental di masyarakat
Indonesia saat ini jarang dilakukan.
Kajian-kajian lain telah menunjukkan bahwa keterkaitan antara penelitian sosial dan
pembuatan kebijakan di Indonesia amat lemah, kendati terjadi peningkatan permintaan akan
kebijakan berbasis data (McCarthy dan Ibrahim, 2010; Sherlock, 2010, ODI, 2011).
Dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, seperti India dan Filipina,
Indonesia kekurangan jurnal ilmiah dan kebijakan serta media perantara untuk
mengomunikasikan temuan penelitian ke pembuat kebijakan (McCarthy dan Ibrahim, 2010).
Kami berargumen bahwa hal ini disebabkan penelitian tentang tata kelola pemerintahan tidak
terhubung dengan konsep-konsep teoretis tentang pembangunan. Penelitian tersebut
dikerjakan sebagai sumber penghasilan universitas saja.
Sebuah studi terbaru yang berupaya mendiagnosis efektivitas terkini jurnal-jurnal dalam
mengomunikasikan bukti untuk pembuatan kebijakan menunjukkan bahwa saat ini, di
Indonesia, tidak ada jurnal kebijakan yang dirancang untuk menyebarluaskan temuan
penelitian kepada pembuat kebijakan (Rakhmani, Siregar, Halim, 2016). Universitas-universitas
negeri di Indonesia masih sangat jauh dari menghasilkan penelitian yang terhubung dengan
pembuatan kebijakan. Pertama, ada kebutuhan untuk mendorong lebih banyak penelitian
dasar yang bertujuan meningkatkan pemahaman atas fenomena sosial. Kami berpendapat
bahwa penelitian sosial dasar penting untuk memberikan informasi dan menghindari
pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang tidak tepat.
Kondisi kekinian: Tema dominan dan pengguna penelitian sosial
Sebagian besar penelitian yang dilakukan oleh para peneliti universitas negeri adalah untuk
pemerintah (74 persen). Sementara tema yang akhir-akhir ini paling populer untuk diteliti

GDN Working Paper Series 57
adalah “tata kelola pemerintahan”, yang terdiri atas tata kelola demokratis, tata kelola ling-
kungan, desentralisasi, pembangunan dan tata kelola pemerintahan, tata kelola pemerintahan
Indonesia, tata kelola pemerintahan internasional, manajemen bencana, kebijakan pedesaan,
tata kelola ekonomi, serta tata kelola pertahanan dan keamanan (lihat Gambar 34).
Gambar 34. Sub-Tema Penelitian Tata Kelola Pemerintahan
Sebagian besar penelitian (79 persen) bertema umum tentang tata kelola pemerintahan dan
berbagai subtemanya merupakan penelitian terapan (lihat Gambar 35). Penelitian tentang tata
kelola pemerintahan berasal dari jaringan penelitian utama. Para peneliti bekerja sama
dengan pemerintah dan organisasi donor internasional. Akibatnya, jenis penelitian tentang
tata kelola pemerintahan yang dilaksanakan, didominasi oleh penelitian terapan untuk
mencapai tujuan praktis.
Gambar 35. Penelitian Terkait Tata Kelola Pemerintahan
Sumber: Penulis.
Sumber: Penulis.
Jumlah Sampel=94
Penelitian
Dasar
21%
Penelitian Terapan
79%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
Demokrasi
Lingkungan
Desentralisasi
Indonesia
Kebijakan
Pembangunan
Internasional
Manajemen
Bencana
Kebijakan
Pedesaan
Ekonomi
Pertahanan dan Keamanan
5%
6%
5%
6%
21%
29%
6%
12%
5%
4%
Jumlah Sampel=78

58GDN Working Paper Series
Seorang mantan Direktur Penelitian Dikti berpendapat,
18
penelitian dasar (hulu) juga perlu
diperkuat. Para peneliti sebaiknya tidak hanya melayani kebutuhan industri. Mengingat
kebutuhan Indonesia saat ini adalah untuk mendongkrak perekonomian dalam negeri
menggunakan sumber daya material dan imaterial lokal, penelitian juga telah diarahkan untuk
melayani kebutuhan yang lebih komersial
19
(hilirasi riset). Kekhawatiran saat ini di kalangan
pembuat kebijakan adalah bagaimana menghubungkan antara penelitian dengan pemangku
kepentingan dari sektor ekonomi dan industri dengan lebih baik (ACDP, 2013, Brodjonegoro
dan Moeliodihardjo, 2014). Dalam konteks penelitian sosial, dorongan ke arah kebijakan yang
lebih berbasis data juga mendorong lebih banyak penelitian praktis dan mengarahkan
penghasil pengetahuan untuk menjalin ikatan yang lebih kuat dengan para pengguna
penelitian (ODI, 2011).
Popularitas, jika tidak ingin disebut dominasi, pendekatan terapan dalam penelitian sosial
sebagian terjadi karena fakta bahwa budaya pemikiran kritis, praktis tidak ada. Suatu
ekosistem yang memunculkan pemikiran kritis, beserta budaya penilaian sejawat yang
berkualitas, belum juga terbentuk pasca-Reformasi setelah selama tiga dasawarsa lembaga-
lembaga dilucuti perannya dalam memengaruhi kebijakan (Robison dan Hadiz, 2004). Oleh
karena itu, kendati memiliki masyarakat sipil yang lebih dinamis setelah demokratisasi, umpan
balik langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan pemerintah tetap saja tidak
terorganisasi di Indonesia. Melihat mayoritas pengguna penelitian di Indonesia saat ini, kami
berpendapat bahwa otonomi keuangan yang lebih besar di antara universitas-universitas
negeri berarti mereka yang berada di Jawa akan memperoleh manfaat yang lebih besar dari
kondisi ekonomi yang masih tersentralisasi (Gambar 36). Sebagian besar perusahaan swasta
dan organisasi donor internasional berada di Jawa. Sementara Dikti tidak melihat disparitas
sumber daya dan kapasitas sebagai isu yang mendesak untuk diatasi.
20
Gambar 36. Jaringan Penelitian Universitas Negeri di Jawa dan di Luar Jawa
18 Wawancara pribadi, 21 Desember 2015
19 Kompas, 1 November 2014.
20 Berdasarkan wawancara dengan mantan Direktur Jenderal Dikti dan mantan Direktur Penelitian Dikti.
Sumber: Penulis.
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Jawa Luar Jawa
48%
78% 80%
69%
52%
22% 20%
31%
Lembaga Pemerintah Sektor Swasta Donor Internasional Universitas
Jumlah Sampel untuk Lembaga Pemerintah=261. Jumlah Sampel untuk Sektor Swasta=97.
Jumlah Sampel untuk Donor Internasional=108. Jumlah Sampel untuk Universitas=134.

GDN Working Paper Series 59
Peningkatan otonomi universitas negeri melalui status BHMN ditujukan untuk mereformasi
model manajemen dan merespons tuntutan pasar terhadap pendidikan tinggi dengan lebih
baik. Peningkatan otonomi, di satu sisi, merepresentasikan terpenuhinya aspirasi universitas
negeri untuk menentukan agenda penelitian dan pendidikan tingginya sendiri, jauh dari
kendali negara. Undang-undang tentang otonomi universitas benar-benar telah menciptakan
perubahan signifikan di universitas-universitas negeri di Indonesia. Selain otonomi yang lebih
besar, undang-undang ini juga mengubah skema pendapatan dengan memberi universitas-
universitas negeri kekuasaan untuk secara otonom mengelola penerimaan mahasiswa mereka
dan menyediakan penelitian serta jasa pelatihan secara langsung kepada sektor swasta dan
organisasi donor internasional.
Sebagaimana argumentasi yang diajukan di sepanjang laporan ini, para pendukung otonomi
di atas pada awalnya berharap di universitas-universitas negeri dapat bekerja layaknya
lembaga-lembaga sektor swasta. Universitas-universitas negeri diharuskan melakukan
evaluasi diri, menyusun rencana pengembangan kelembagaan mereka sendiri, dan
mengalokasi anggaran menurut proyeksi mereka sendiri sebagai prasyarat untuk menerima
pendanaan dari pemerintah pusat. Selain APBN, pemerintah pusat juga mendapatkan
pinjaman dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk memfasilitasi skema pendanaan
kompetitif bagi universitas (Wicaksono dan Friawan, 2008).
Gambar 37. Sumber Pendapatan Universitas Indonesia (1994-2006)
Arus penerimaan Universitas Indonesia, salah satu studi kasus dalam penelitian ini,
menunjukkan pada tahun 1994, dana pemerintah menyumbang 81 persen dari total
penerimaan universitas. Setelah adanya undang-undang otonomi universitas negeri, sumber-
Sumber: Wicaksono dan Friawan, 2008, hal. 34.
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Bujet Rutin Bujet Pengembangan Sumber Sendiri dan Eksternal
1994
28.5
52.5
42.2
23.3
39.9
22.2
40.6
21.1
34.4
12.3
37.3
10.3
36.6
8.3
39.4
7.7
40.0
6.3
30.1
5.2
17,5
5.1
17.8
4.8
17.1
2.7
1997 2000 2003 2006

60GDN Working Paper Series
sumber pendapatan sendiri dan dari pihak eksternal menggantikan anggaran pemerintah.
Jumlah pendapatan sendiri dan eksternal tersebut meningkat dari 46,7 persen pada 2000
menjadi 80,2 persen pada tahun 2006.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa meskipun otonomi telah meningkatkan kemampuan
universitas-universitas negeri di Jawa untuk menghasilkan pendapatan dan mengurangi
ketergantungan mereka terhadap APBN, namun di lain pihak memperparah persoalan
ketidaksetaraan antar-daerah yang telah ada sebelum reformasi akibat penyelenggaraan
ekonomi dan administrasi negara yang sentralistik. Berkurangnya peran pemerintah pusat
dalam membiayai universitas negeri tidak mengubah—jika tidak mau dikatakan
memperburuk—disparitas antar-daerah, antara universitas-universitas negeri di Jawa dan di
luar Jawa.
Hambatan utama dalam melaksanakan penelitian untuk pembuatan kebijakan bisa diatasi
dengan pertama-tama mengakui kondisi yang masih berlangsung, yaitu masih adanya
dominasi penelitian terapan yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis. Hal ini
bermula dari kurangnya penelitian dasar yang penting untuk menghindari pembuatan
kebijakan yang tidak tepat, sesuatu yang menjadi kekhawatiran para pengguna riset kebijakan
di Indonesia (McCarthy dan Ibrahim, 2010). Terdapat pula persepsi di kalangan pejabat tinggi
Dikti—yang sebagian besar berasal dari disiplin ilmu pengetahuan alam—bahwa penelitian
sosial harus menghasilkan solusi praktis. Hal ini menjelaskan mengapa penelitian sosial dasar
yang diajukan untuk memperoleh hibah penelitian dari Dikti menjadi tidak populer.
“...di pemahaman teman-teman di Pemerintahan itu, penelitian harus ada hasilnya,
dalam wujud itu digunakan sebagai tolak ukur, akibatnya teman-teman di Ilmu Sosial,
sulit meneliti, karena wujudnya apa, wong kita konsep kok, nggak bisa katanya. Karena
keuangan kita itu menuntut kalau uang digunakan untuk penelitian, harus ada wujud-
nya, hasil.” (Mantan Direktur Jenderal Dikti, wawancara pribadi, 29 September 2015).
Boks 12. Kondisi Kebijakan Penelitian Terkini
Meskipun tata kelola pemerintahan menjadi tema dominan di antara penelitian sosial
yang dilakukan di universitas-universitas negeri, keterkaitannya dengan pembuatan
kebijakan lemah. Pilihan topik diarahkan untuk mencari pendapatan bagi universitas
ketimbang upaya kelembagaan bergelut dengan pembuatan kebijakan pemerintah.
Penelitian dasar, yang penting untuk mencegah pembuatan kebijakan yang sempit, justru
diabaikan.

Sementara penelitian terapan mendominasi penelitian di lingkungan universitas-universitas
negeri, fakta bahwa penelitian ini tidak terhubung secara langsung dengan pembuatan
kebijakan menunjukkan bahwa pemilihan topik lebih banyak didasarkan pada alasan
pragmatis, atau dimaksudkan untuk mencari pendapatan bagi universitas, bukan upaya
kelembagaan bergelut dengan pembuatan kebijakan pemerintah. Lagi pula, penelitian dasar,
yang penting untuk menghindari pembuatan kebijakan yang sempit, justru diabaikan.

GDN Working Paper Series 61
VII. Ringkasan Temuan
Berdasarkan temuan empiris dalam penelitian ini, kami berpendapat bahwa reformasi
universitas negeri di Indonesia diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar regional.
Kebijakan-kebijakan makro yang dikeluarkan pemerintah Indonesia telah menghasilkan
otonomi kelembagaan yang lebih besar di universitas-universitas negeri. Namun, model
kelembagaan yang birokratis pada universitas-universitas negeri telah mencegah terwujudnya
reformasi yang sebenarnya. Hal ini menghambat pencairan dana penelitian yang nilainya telah
ditingkatkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sementara pengukuran kinerja
dosen-dosen di Indonesia terus saja didasarkan atas kriteria promosi pegawai negeri sipil dan
bukan kecakapan akademis. Hal ini berdampak pada buruknya aktivitas dan produktivitas
akademik di universitas-universitas negeri di Indonesia, yang berdampak jangka panjang
terhadap pemikiran kritis, lemahnya kaitan ke kebijakan, serta secara ironis, melemahkan
posisi mereka di pasar regional dibanding Singapura dan Malaysia. Argumen kami diuraikan
dalam tiga tingkat, yaitu kebijakan makro, kondisi kelembagaan meso, dan perilaku penelitian
individu mikro yang dibentuk oleh level-level birokrasi ini.
Kebijakan pemerintah yang berusaha meningkatkan kolaborasi antar-sektor memang telah
dibuat. Hal ini tampak jelas dari peningkatan alokasi dana untuk penelitian. Akan tetapi,
penyerapan dana ini rendah akibat banyaknya metode pencairan yang rumit, mengikuti
sistem anggaran Kementerian Keuangan. Hal tersebut telah menurunkan semangat peneliti
untuk mengajukan permohonan, sehingga akademisi pencari kredit saja yang menjadi
mendapatkan manfaat utama dari skema-skema pendanaan ini.
Para akademisi pencari kredit (kum) adalah golongan akademisi di Indonesia yang mampu
mengambil keuntungan dari birokrasi universitas negeri. Peraturan dan kebijakan
ketenagakerjaan pemerintah terkait pegawai negeri sipil mengikuti sistem promosi Badan
Kepegawaian Negara, yang memberikan promosi bukan menurut kecakapan akademis,
melainkan akumulasi angka kredit. Angka-angka ini dapat diakumulasi melalui pengajaran,
seminar, dll., dengan penekanan sedikit saja pada penelitian dan publikasi internasional.
Selain itu, otonomi yang lebih besar di antara universitas-universitas negeri telah
dimanfaatkan di tingkat kelembagaan untuk menerima lebih banyak mahasiswa guna
menutupi biaya operasional universitas. Kondisi tersebut berakibat pada kurangnya kegiatan
penelitian di kalangan akademisi universitas negeri.
Konsisten dengan kondisi ini, para akademisi Indonesia lebih cenderung untuk menetap di
lembaga asalnya ketika mengejar gelar yang lebih tinggi, sehingga boleh jadi berujung pada
terciptanya budaya persilangan tertutup (inbreeding) di lingkungan universitas negeri.
Persoalan inbreeding ini telah disinggung oleh para pejabat Dikti sebagai penyebab
“insularitas”. Para pejabat tersebut mengungkapkan bagaimana universitas, dan kemudian
fakultas mereka, lebih memikirkan agenda penelitiannya sendiri, meski Dikti berupaya
mendorong adanya penelitian yang lebih kolaboratif.

62GDN Working Paper Series
Secara signifikan, peningkatan dana penelitian oleh negara telah pula meningkatkan
penyerapan dana penelitian di antara universitas-universitas di Jawa, sementara universitas-
universitas negeri di luar Jawa ketinggalan. Lagi pula, universitas-universitas negeri di Jawa
sudah memiliki akses langsung yang lebih besar ke pendanaan donor internasional dan sektor
swasta, yang mencakup sebagian besar sumber dan jaringan pendanaan penelitian, ditambah
akses yang lebih langsung ke pasar pendidikan tinggi nasional secara keseluruhan. Kondisi
saat ini untuk membuka universitas-universitas negeri untuk merespons permintaan pasar
pendidikan tinggi regional memperparah kesenjangan yang sudah ada antara universitas-
universitas negeri di Jawa dan di luar Jawa.
Di kalangan universitas negeri di Jawa yang sudah lebih mandiri, tata kelola pemerintahan
menjadi tema utama penelitian sosial mereka. Namun, keterkaitan antara penelitian dengan
pembuatan kebijakan lemah. Dengan mempertimbangkan kondisi penelitian sosial yang telah
kami identifikasi, tema tata kelola pemerintahan yang dominan ini nampaknya lebih diarahkan
untuk mencari pendapatan bagi universitas ketimbang cerminan komitmen kelembagaan
universitas negeri untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah. Penelitian
dasar, yang amat penting untuk mencegah pembuatan kebijakan yang sempit, terus-menerus
digerogoti oleh ketiadaan budaya penilaian sejawat yang krusial dalam menjamin kualitas
penelitian. Oleh karena itu, reformasi kelembagaan harus diarahkan untuk membentuk
budaya penilaian sejawat yang kritis, yang harus sejalan dengan peningkatan daya saing
regional melalui dukungan kelembagaan terhadap mobilitas akademis (misalnya, konferensi
internasional, hibah universitas bersama, dll.) di kalangan akademisi universitas negeri di
Indonesia.
Melampaui batasan birokratis
Agar tidak terperangkap dalam gambaran suram terkait kondisi kekinian penelitian di PT
Indonesia, atau lebih buruk lagi, mengulangi kesalahan yang sama dalam jenis transformasi
sosial yang berbeda, kami ingin menyentuh tren global terbaru yang menekankan intensifikasi
kolaborasi dan koordinasi lintas sektoral melalui inovasi teknologi (lihat Christensen et al.
2007, Christensen, 2010; Tyfield, 2012; 2013). Tren yang mulai muncul pada akhir 1990-an ini
menyatakan bahwa kolaborasi lintas sektoral dimungkinkan oleh “ekonomi pengetahuan”
yang diperkenalkan melalui teknologi baru dan inovasi. Hal tersebut terutama dipengaruhi
oleh gelombang kapitalisme ventura berbasis teknologi yang optimistis di Silicon Valley. Para
akademisi berpendapat bahwa “demokratisasi ilmu pengetahuan” digaungkan oleh ilmu
pengetahuan yang terbuka, akses yang terbuka, kuliah online terbuka, serta revolusi melalui
web 2.0/wiki yang memungkinkan percakapan langsung antara para spesialis dan amatir
(Nielsen, 2012; Daniel, 2012; Edgecliffe-Johnson dan Cook, 2013; Cadwalladr, 2012).
Gelombang ini telah tiba di Indonesia dalam bentuk inisiatif tata kelola pemerintahan yang
terbuka yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga donor internasional beragenda demokratis,
terutama selama Pemilihan Presiden 2014 (Rakhmani, 2014). Kami sependapat dengan Tyfield
(2013) yang, mengambil sudut pandang ekonomi politik kultural. Tyler berpendapat bahwa
dampaknya lebih menyerupai gangguan berbasis web ketimbang sebuah transisi.

GDN Working Paper Series 63
Tentu saja, tidak ada jaminan bahwa kesimpulan seperti itu akan muncul atau mungkin
terjadi. Memang, “ekonomi bebasis ilmu pengetahuan” yang lengkap masih jauh dari
genggaman. Hal itu tidak akan tercapai tanpa adanya pergolakan sosial, politik, budaya,
dan kemungkinan, militer yang signifikan, melalui proses penuh gelora diwarnai oleh
persaingan moral dan kekuasaan. Kita memang baru berada pada tahap awal proses
“transisi” ekonomi ilmu pengetahuan yang berlarut-larut—dan ini tidak akan selesai
lewat jalan pintas melalui cetak biru dan definisi akademis yang abstrak. Namun
perspektif yang diuraikan di atas setidaknya membuat kita waspada atas apa yang akan
terjadi dan bagaimana bentuknya—dan memberikan ide titik-titik intervensi yang
strategis (Tyfield, 2013, hal. 45).
Meskipun pendekatan yang lebih optimistis berbasis teknologi boleh jadi akan muncul tak
lama lagi di Indonesia, tanpa adanya perubahan sistematis di lembaga perguruan tinggi yang
ada, negeri ini tidak akan melihat demokratisasi ilmu pengetahuan, melainkan kooptasi
teknologi demi melayani kepentingan segelintir orang. Kebijakan-kebijakan dan praktik-
praktik yang menghambat kualitas penelitian di universitas-universitas negeri di Indonesia
berurat berakar pada masa lalu (Guggenheim, 2012) serta dalam prasyarat-prasyarat ideologis
dari era otoritarian sebelumnya (Heryanto, 2005; Hadiz dan Dhakidae, 2005).

64GDN Working Paper Series
Daftar Pustaka
ACDP (2013). Developing Strategies for University, Industry, and Government Partnership. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Aspinall, E., dan Fealy, G. (2003). Local power and politics in Indonesia. Singapura: Institute of
Southeast Asian Studies.
Balarin, M. Contexts of knowledge production, circulation and use in South American Low and
middle income countries – studi komparatif dari Bolivia, Paraguay dan Peru.
Bank Dunia (2013). Indonesia: Research & Development Financing. Jakarta: Kantor Bank Dunia
Jakarta.
Bank Dunia (2014). Indonesia Economic Quarterly, Juli 2014. Hard Choices. Jakarta: Kantor Bank
Dunia Jakarta.
Basri, M. C. (2012). “Indonesia’s Role in the World Economy: Sitting on the Fence”, dalam
Anthony Reid (Ed.), Indonesia Rising. The Repositioning of Asia’s Third Giant. Singapura: ISEAS.
Bassett, R., dan A. Maldonado-Maldonado, eds. (2009). International Organizations and Higher
Education Policy: Thinking Globally, Acting Locally? London: Routledge.
Boston, J., Martin, J., Pallot, J., & Walsh, P. (1996). Public Management: The New Zealand Model.
Auckland: Oxford University Press.
Bourdieu, P. (1984). Homo Academicus. Stanford: Stanford University Press.
Brodjonegoro, S. (2000). “Higher Education Reform in Indonesia.” Paper, Task Force on Higher
Education.
Brodjonegoro, S., Moeliodihardjo, B. (2014). University - Industry Collaboration. Jakarta: .
Cadwalladr, C. (2012). “Do Online Courses Spell the End for the Traditional University?” The
Observer, November 2011.

GDN Working Paper Series 65
Callon, M. (1994). “Is Science a Public Good?” Science, Technology and Human Values, 19: 395-
424.
Christensen, T., dan Lægreid, P. (Eds.). New Public Management. The Transformation of Ideas and
Practice. Aldershot: Ashgate.
Christensen, T., & Lægreid, P. (2007). “The Whole-of-Government Approach to Public Sector
Reform.” PAR: Public Administration Review, 67: 1059–1066.
Christensen, T. (2010). University Governance Reforms: Potential Problems of more autonomy?
Crook, R.C., Manor, J. (1998) Democracy and Decentralisation in South Asia and West Africa:
Participation, Accountability and Performance. Cambridge: Cambridge University Press.
Daniel, J. (2012). “Making Sense of MOOCs: Musings in a Maze of Myth, Paradox and Possibility.”
Journal of Interactive Media in Education. http://jime.open.ac.uk/2012/18.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, http://forlap.Dikti.go.id/perguruantinggi/homegraphpt.
Edgecliffe-Johnson, A., Cook, C. (2013). “Education: From Blackboard to Keyboard.” Financial
Times, 17 Januari.
Fairclough, N. (2005) “Peripheral Vision Discourse Analysis in Organization Studies: The Case for
Critical Realism.” Studi organisasi 26(6): 915-939.
Guggenheim, S. (2012). “Indonesia’s Quiet Springtime: Knowledge, Policy and Reform”, dalam
Anthony Reid (Ed.), Indonesia Rising. The Repositioning of Asia’s Third Giant. Singapura: ISEAS.
Graf, L. (2009). “Applying the Varieties of Capitalism Approach to Higher Education: Comparing
the Internationalisation of German and British Universities.” European Journal of Education
44(4): 569–585.
Hadiz, V. R. (2004). “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo‐
Institutionalist Perspectives.” Development and Change 35(4): 697-718.
Hadiz, V. R. dan Dhakidae, D. (2005). Social Science and Power in Indonesia. Singapura: Equinox
Publishing.

66GDN Working Paper Series
Hidayat, R. (2012). Politik Pendidikan Tinggi Indonesia Pasca Orde Baru: Reformasi Tata Kelola
Dalam Perspektif New Public Management.
Karetji, P. C. (2010). Gambaran Umum Sektor Pengetahuan di Indonesia. Laporan Akhir. Jakarta:
AusAid.
Kementerian Keuangan, http://kemenkeu.go.id
Kompas,http://edukasi.kompas.com/read/2014/11/07/21411271/Pendidikan.dan.Kebudayaan
Kompas,http://tekno.kompas.com/read/2008/08/20/21492920/Dikti.dan.ristek.gabungkan.
anggaran.riset
Lyotard, J-F. (1991). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minnesota: University of
Minnesota Press.
McCarthy, J., Ibrahim, R. (2010). Review of Social Science Capacity Building Support to Indonesia’s
Knowledge Sector. Jakarta: Knowledge Sector Initiative. Jakarta: AusAID
McKinsey Global Institute (2012). The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential.
Merle, J. (2003). Rethinking Science and Commodifying Knowledge.
Mietzner, M. (2012). “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist Elites and Resilient
Civil Society.” Democratization 19(2): 209-229.
Moeliodihardjo, et al. (2000). Higher education strategy: implementation of the
new paradigm. Background paper for university autonomy.
Mok, K. (2008.) “Varieties of Regulatory Regimes in Asia: The Liberalization of the Higher
Education Market and Changing Governance in Hong, Kong, Singapore, and Malaysia.” Pacific
Review 21(2): 147–170.
Ngo, J. (2013). Lions or Lambs? How deans lead faculties in Indonesia. Disertasi, University of
Twente, Belanda.
Nielsen, M. (2012). Reinventing Discovery: The New Era of Networked Science. Princeton, NJ dan

GDN Working Paper Series 67
Oxford: Princeton University Press.
Nizam. (n.d.). Higher Education Quality Assurance System in Indonesia, dari http://www.rihed.
seameo.org/mambo/qa2009/indonesia_report.pdf
Nizam. (2006). “The Need for Higher Education Reforms.” Higher Education in East-Asia: 35–68.
Asia-Pacific Programme of Educational Innovation for Development, United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization. Bangkok: UNESCO Bangkok.
Nordholt, H. S., dan Van Klinken, G. (2007). Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-
Suharto Indonesia. KITLV Press.
Nugroho, H. (2005). “The Political Economy of Higher Education: The University as an Arena for
the Struggle for Power”, dalam V. R. Hadiz dan D. Dhakidae, Social Science and Power in
Indonesia. Singapura: Equinox Publishing.
ODI, (2011). “The Political Economy of Policymaking in Indonesia.” Working Paper 340. London:
Overseas Development Institute.
Pollitt, C., & Bouckaert, G. (2004). Public Management Reform: A Comparative Analysis (edisi
kedua). Oxford: Oxford University Press.
Rakhmani, I. (2013). “Publikasi Ilmiah dan Solusi Jangka Pendek”. Kompas, 25 Februari.
Rakhmani, I. (2014). “Technology for Transparency.” New Mandala 21.
Rakhmani, I., Siregar, F., dan Halim, M., (2017). Policy Journal Diagnostics Study. Jakarta:
Knowledge Sector Initiative.
Reid, Anthony. (2011). “Indonesia dan Dunia Sesudah 66 Tahun” dalam TEMPO 14-20 November
halaman 94-95.
Robison, R. dan Hadiz, V. (2004). Reorganising Power in Indonesia. London: Routledge Curzon.
Rosser, A. (2015). “Neoliberalism and the Politics of Higher Education Policy in Indonesia.”
Comparative Education.
Sakamoto, H. (2007). “The Dynamics of Inter-Provincial Income Distribution in Indonesia.”

68GDN Working Paper Series
Working Paper 25. The International Centre for the Study of East Asian Development,
Kitakyushu.
Sarantakos, S. (2012). Social Research. Palgrave Macmillan.
Seale, C. (1999). “Quality in Qualitative Research.” Qualitative Inquiry 5(4): 465-478.
Sherlock, S. (2010) Knowledge for Policy: Regulatory Obstacles to the Growth of a Knowledge
Market in Indonesia. Jakarta: AusAID.
Shin, J. C. dan Jung, J. (2013). “Academics Job Satisfaction and Job Stress Across Countries in
the Changing Academic Environments.” Higher Education 67: 603–620.
Silver, C. (2003). “Do the Donors Have It Right? Decentralization and Changing Local
Governance in Indonesia.” The Annals of Regional Science 37: 421-434.
Suryadarma, D., Pomeroy, J., dan Tanuwidjaja, S. (2011). Economic Factors Underpinning
Constraints in Indonesia’s Knowledge Sector. Jakarta: AusAID.
Suseno, F. M. (2015). “Publikasi di Jurnal Internasional.” Kompas, 9 Juli.
Stehr, N. (1994). Knowledge Societies. London: Sage.
Suryadarma, D., Artha, R. P., Suryahadi, A., & Sumarto, S. (2005). “A Reassessment of Inequality
and Its Role in Poverty Reduction in Indonesia.” Makalah Kerja SMERU Research Institute.
Jakarta: Social Monitoring and Early Response Unit.
Suryadarma, D., Widyanti, W., Suryahadi, A., & Sumarto, S. (2006). “From Access to Income:
Regional and Ethnic Inequality in Indonesia.” Makalah Kerja SMERU Research Institute. Jakarta:
Social Monitoring and Early Response Unit.
Tempo, 31 Mei 2015.
Turner, M., Imbaruddin, A., and Sutiyono, W. (2009). “Human Resource Management: The
Forgotten Dimension of Decentralisation in Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies
45(2): 231—249.
Tyfield, D. (2012). “A Cultural Political Economy of Research and Innovation in an Age of Crisis.”

GDN Working Paper Series 69
Minerva 50(2): 149-167.
Tyfield, D. Transition to Science 2.0: “ Remoralizing” the Economy of Science.
Tyfield, D. (2013). Spontaneous Generations: A Journal for the History and Philosophy of Science,
7(1): 29-48.
Wicaksono, Y. T., Friawan, D. (2010). “Recent Developments of Higher Education in Indonesia:
Issues and Challenges”, dalam S. Armstrong dan B. Chapman (ed), Financing Higher Education
and Economic Development in East Asia. Canberra: Australian National University.
Yusuf, A. A,, Sumner, A., Rum, A. I. (2013). “The Long Run Evolution of Inequality in Indonesia.”
Makalah Kerja.

70GDN Working Paper Series
Lampiran
Lampiran 1
Daftar Mereka yang Diwawancarai:
No. Nama Organisasi/Afiliasi
Tanggal
Wawancara
Durasi
1
Achmad Dading
Gunadi
(Mantan) Menteri Riset dan
Teknologi
09/03/2015 40 menit
2
Bagio
Moeliodihardjo
Konsultan Dikti 17/03/2015 60 menit
3Satryo BrojonegoroMantan Direktur Jenderal Dikti29/09/2015 60 menit
4Desmelita Dikti 23/11/2015 15 menit
5Agus Subekti Dikti 21/12/2015 50 menit
Lampiran 2
Gambar 38. Gelar Tertinggi yang Diperoleh Berdasarkan Usia
Sumber: Penulis.
Gelar Doktor
Gelar Magister
> 50 tahun 40-50 tahun 30-40 tahun < 30 tahun
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%
62%
28%
32%
27%
6%
40%
0%
5%

GDN Working Paper Series 71
Sumber: Penulis.
Sumber: Penulis.
Sumber: Penulis.
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Dosen Tetap Dosen Tidak Tetap Lainnya
PNS BHMN Lainnya
91%
33%
0%
9%
22%
0%1%
44%
100%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Dalam Negeri Luar Negeri
Rekrutmen Semi-Terbuka Rekrutmen TerbukaRekrutmen Tertutup
20%
22%
53%
50%
27% 28%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Rekrutmen Semi-Terbuka Rekrutmen Terbuka Rekrutmen Tertutup
Gelar Magister Gelar Doktor
49%
65%
45%
51%
35%
55%
Gambar 39. Status Ketenagakerjaan Responden
Gambar 40. Metode Rekrutmen Menurut Lokasi Kampus
Gambar 41. Metode Rekrutmen Menurut Gelar yang Diperoleh

corporate website : www.gdn.int
NEW DELHI WASHINGTON DC
KANTOR PUSAT Global Development Network
Global Development Network 1850 M Street NW
2nd Floor, West Wing, ISID Complex Suite 170
4, Vasant Kunj Institutional Area Washington DC 20036-5810
New Delhi-110070, INDIA USA
T: +91 11 4323 9494 / 2613 9494 T: +1 202 861 4364
F: +91 11 2613 6893 F: +1 202 861 4365